Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
Bagi seorang anak, orang tua bisa menjadi ladang
untuk menggali pahala akhirat sebanyak-banyaknya. Yaitu dengan cara
berbakti, menghormati, mengasihi, dan juga merawatnya ketika orang tua
mencapai usia lanjut. Namun sayang, tidak banyak yang mengetahui betapa
besar nilai kebaktian seorang anak kepada orang tua.
Dalam edisi yang lalu telah digambarkan bagaimana
besar hak kedua orang tua atas diri anak dikarenakan besarnya
pengorbanan mereka terhadap anak-anaknya. Sehingga karena besarnya hak
tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan hak keduanya setelah hak-Nya dan hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisa: 36)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu mengatakan: “Ayat ini merupakan dalil bahwa kedudukan hak orang tua adalah setelah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika dikatakan mana hak Rasul? Saya katakan: Pada hak Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah tercakup hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak bisa diwujudkan melainkan dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Qaulul Mufid, 1/37)
Siapakah yang dimaksud kedua orang tua di dalam ayat tersebut?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu
menjelaskan: “(Kata) walidain mencakup ibu, bapak dan seterusnya (garis
keturunan) ke atas. Akan tetapi kepada ibu dan bapak yang lebih
(ditekankan). Dan semakin dekat hubungannya, maka (penekanan) untuk
berbuat baik juga lebih kuat.” (Al-Qaulul Mufid, 1/37)
Untukmu, Wahai Orang Tuaku
1. Durhaka kepadamu berdua termasuk dosa besar dan mengakibatkan masuk ke dalam neraka. Diriwayatkan dari Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَاقٌّ وَلاَ مُؤْمِنٌ بِسِحْرٍ وَلاَ مُدْمِنُ خَمْرٍ وَلاَ مُكَذِّبٌ بِقَدَرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang durhaka, orang
yang beriman dengan sihir, orang yang kecanduan khamr, dan orang yang
mendustakan taqdir.”
1 Diriwayatkan juga dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ
وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ
وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas
kalian kedurhakaan kepada ibu-ibu kalian, mengharamkan mengubur hidup
anak-anak wanita, bakhil, rakus dan Allah membenci kalian untuk
mengatakan katanya-katanya, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.”
2 Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu:
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الْكَبَائِرِ، قَالَ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ
وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan persaksian palsu.’“
3 Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلاَثًا.
قَالُوا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ
وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ. وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَلاَ
وَقَوْلُ الزُّوْرِ. قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا:
لَيْتَهُ سَكَتَ
“Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Beliau mengulanginya tiga kali. Lalu mereka berkata: “Iya, wahai Rasululah.” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau lalu duduk yang tadinya ittika` seraya mengatakan: “Ketahuilah (termasuk juga) persaksian palsu.” Abu Bakrah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulanginya sehingga kami mengatakan: ‘Duhai seandainya beliau berhenti.’”
4 Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
الْكَبَائِرُ اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِيْنُ الْغَمُوْسُ
“Dosa-dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu.”
5 Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى
لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي
اْلآخِرَةِ مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk
disegerakan adzabnya oleh Allah di dunia, bersamaan dengan adzab yang
Allah simpan untuk di akhirat nanti, daripada perbuatan dzalim dan
memutuskan hubungan silaturrahim.”6
2. Mencela mereka berdua termasuk kedurhakaan dan perbuatan yang mendatangkan kutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ
كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلاً كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا
“Dan apabila keduanya telah lanjut usia atau
salah satu dari keduanya, maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka
berdua “ah” dan jangan kamu menghardiknya, dan katakanlah ucapan yang
baik. Rendahkan sayap kehinaanmu di hadapan keduanya dan katakanlah:
‘Wahai Rabbku, berikanlah kepada keduanya kasih sayang sebagaimana dia
berdua telah memeliharaku semenjak kecilku.’” (Al-Isra`: 24)
Diriwayatkan dari Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah, ia berkata:
كُنْتُ عِنْدَ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَأَتَاهُ
رَجُلٌ فَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُسِرُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: فَغَضِبَ وَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ شَيْئًا يَكْتُمُهُ النَّاسَ
غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ حَدَّثَنِي بِكَلِمَاتٍ أَرْبَعٍ. قَالَ: فَقَالَ: مَا
هُنَّ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ؟ قَالَ: قَالَ: لَعَنَ اللهُ مَنْ
لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ وَلَعَنَ
اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ اْلأَرْضِ
“Di saat saya berada di sisi ‘Ali bin Abu Thalib, seseorang mendatangi beliau dan berkata: “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merahasiakan sesuatu kepadamu?” (‘Amir bin Watsilah) berkata: Lalu ‘Ali marah dan berkata: “‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah merahasiakan sesuatupun kepadaku yang beliau sembunyikan
dari orang lain, hanya saja beliau menyampaikan empat kalimat kepadaku.”
Lalu orang itu berkata: “Apa keempat perkara itu, wahai Amirul
Mukminin?” ‘Ali berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah
melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang
yang melindungi pelaku bid’ah dan Allah melaknat orang yang mengubah
patok bumi.’“
7 Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ.
قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟
قَالَ: نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ
أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci kedua orang tuanya.” (Para shahabat) berkata: ‘Ya Rasulullah, apakah seseorang (tega) mencaci kedua orang tuanya?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Iya.
(Yaitu dengan cara) dia mencaci bapak orang lain lalu orang lain itu
membalas mencaci bapaknya, dia mencaci ibu orang lain kemudian orang itu
balas mencaci ibunya.’“8
3. Doa engkau berdua wahai ibu dan bapakku, cepat diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka doakanlah agar hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala tercurah padaku dan janganlah berdoa kutukan untukku.
Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui lisan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah sabdanya:
لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَلاَ تَدْعُوا عَلَى
أَوْلاَدِكُمْ وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ لاَ تُوَافِقُوا مِنَ
اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
“Jangan kalian berdoa kejelekan untuk diri
kalian, dan jangan berdoa kejelekan untuk anak-anak kalian, dan jangan
berdoa kejelekan untuk harta benda kalian, karena tidaklah kalian
bertemu dengan waktu yang mustajab (bila minta kepada Allah pasti akan
dikabulkan) melainkan Allah mengabulkan doa kalian.”
8 Bila engkau tersakiti oleh putra putrimu, janganlah
segera berdoa kejelekan buat mereka. Karena doa kedua orang tua
termasuk sederetan doa yang mustajab, sebagaimana telah dijelaskan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah sabda beliau dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ؛ دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ
“Tiga doa yang mustajab (dikabulkan) dan tidak
ada keraguan padanya (yaitu) doa orang tua, doa orang yang sedang safar
dan doa orang yang terdzalimi.”9
4. Bila engkau telah tiada, baktiku akan sampai kepadamu. Hal ini telah di jelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda-sabdanya berikut: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ
إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ؛ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seseorang meninggal dunia, maka
terputuslah amalnya melainkan tiga perkara (yaitu) shadaqah jariyah,
ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak yang shalih yang mendoakan
(kebaikan) baginya.”
10 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي
تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ.
قَالَ: فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا وَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ
بِهِ عَنْهَا
“Seseorang berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia. Apakah akan bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas namanya?’ Beliau menjawab: ‘Iya.’
Orang itu berkata: ‘Sesungguhnya aku memiliki kebun yang sudah berbuah
dan saya mengangkatmu menjadi saksi bahwa aku telah menyedekahkannya
untuk ibuku.”11
5. Jika engkau berdua kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dengarlah nasihat dari Rabbku kepadamu!
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ
جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا
إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Dan Kami telah wasiatkan kepada manusia agar
berbuat baiklah kepada kedua orang tua, dan jika keduanya memaksamu
untuk menyekutukan-Ku dan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka
janganlah kamu menaati keduanya dan kepadaku kalian akan dikembalikan
dan Aku akan mengabarkan kepada kalian apa yang telah kalian perbuat.” (Al-’Ankabut: 8)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk
menyekutukan-Ku sedangkan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka
janganlah kalian menaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan cara yang baik.” (Luqman: 15)
Diriwayatkan dari Asma` bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قُلْتُ: وَهِيَ رَاغِبَةٌ
أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ
“Ibuku datang menjengukku dan dia dalam keadaan musyrik di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan aku mengatakan: ‘Dia sangat berkeinginan (untuk bertemu denganku),
apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu’.”12
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah (putri Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’i)
berkata: “Jika seorang wanita memiliki salah satu dari mahramnya atau
keluarganya kafir, dia boleh berbuat baik kepadanya. Dalilnya adalah
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ
يُقَاتِلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ
أَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kalian dari orang-orang
kafir yang tidak memerangi kalian dalam agama dan tidak mengusir kalian
dari negeri-negeri kalian untuk kalian berbuat baik kepada mereka dan
berbuat adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berbuat adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan: “Allah tidak
melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak
memerangi kalian dalam agama, seperti kaum wanita dan orang-orang lemah
dari mereka; أَنْ تَبَرُّوْهُمْ (untuk kalian berbuat baik kepada
mereka) dan وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ (kalian berbuat adil).” Lalu beliau
menyebutkan hadits Asma` bintu Abu Bakr di atas. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/363) Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang orang kafir yang kita tidak boleh berbuat baik kepada mereka:
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ
قَاتَلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَأَخْرَجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ
وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
“Sesungguhnya Allah melarang kalian (untuk
berbuat baik) kepada orang-orang kafir yang memerangi kalian dalam agama
dan mengeluarkan kalian dari negeri-negeri kalian dan mereka dengan
terang-terangan mengusir kalian untuk kalian berloyalitas kepada mereka.
Dan barangsiapa yang berloyalitas kepada mereka maka merekalah
orang-orang yang berbuat aniaya.” (Al-Mumtahanah: 9)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
melarang kalian dari berloyalitas kepada mereka yang memancangkan
permusuhannya kepada kalian, memerangi kalian, dan mengusir kalian
dengan terang-terangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kalian mencintai mereka, dan memerintahkan agar kalian memerangi mereka.”
Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata: “Telah turun empat ayat dalam Al-Qur`an berkaitan denganku:
Pertama: Ibuku bersumpah tidak akan makan dan minum sampai aku meninggalkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka turunlah ayat:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا
“Dan jika kedunya memaksamu untuk menyekutukan
Aku sedangkan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah kalian
menaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang
baik.” (Luqman: 15)
Kedua: Sesungguhnya dulu aku pernah
mengambil pedang yang sangat aku inginkan, lalu aku berkata: “Ya
Rasulullah, berikan aku ini.” Lalu turunlah:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَنْفَالِ
“Mereka akan meminta kepadamu harta rampasan perang.” (Al-Anfal: 1)
Ketiga: Aku sakit, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjengukku. Lalu aku mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku
ingin membagikan hartaku. Apakah aku boleh berwasiat dengan setengah
hartaku?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.” Lalu aku berkata: “Sepertiganya?” Lalu beliau diam, maka sepertiga (harta) setelah itu boleh (diwasiatkan).
Keempat: Sesungguhnya aku minum
khamr bersama sekelompok Anshar. Lalu seseorang dari Anshar memukul
hidungku dengan rahang unta. Lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu Allah menurunkan ayat tentang hukum haramnya khamr.13
6. Jika engkau mati dalam keadaan musyrik, engkau tidak mendapatkan baktiku untuk mendoakanmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam sebuah firman-Nya:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ
يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيْمِ
“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman untuk memintakan ampun bagi kaum musyrikin walaupun mereka
adalah kerabat yang paling dekat setelah jelas baginya bahwa mereka
menjadi penghuni neraka Jahim (mati dalam keadaan kafir).” (At-Taubah: 113)
Cerita Indah nan Penuh Pelajaran pada diri Nabi Ibrahim dan Bapaknya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّهُ كَانَ
صِدِّيْقًا نَبِيًّا. إِذْ قَالَ لأَبِيْهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا
لاَ يَسْمَعُ وَلاَ يُبْصِرُ وَلاَ يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا. يَا أَبَتِ
إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي
أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا. يَا أَبَتِ لاَ تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ
الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا. يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ
يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا.
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيْمُ لَئِنْ لَمْ
تَنْتَهِ لأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا. قَالَ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا. وَأَعْتَزِلُكُمْ
وَمَا تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَى أَلاَّ
أَكُوْنَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا. فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا
يَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ
وَكُلاًّ جَعَلْنَا نَبِيًّا. وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا
وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di
dalam Al-Kitab (Al-Qur`an) ini, sesungguhnya dia adalah orang yang
sangat membenarkan dan seorang nabi. Ingatlah ketika dia berkata kepada
bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak
mendengar, tidak melihat, dan tidak bisa menolongmu sedikitpun? Wahai
bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan
yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan
menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, jangan kamu
menyembah setan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Rabb Yang Maha
Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan
ditimpa adzab dari Rabb yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi
setan.’ Bapaknya: ‘Bencikah kamu kepada sesembahan-sesembahanku, hai
Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan aku rajam dan
tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.’ Ibrahim berkata: ‘Semoga
keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada
Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan
diri darimu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, dan aku akan
berdoa kepada Rabbku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa berdoa kepada
Rabbku.’ Maka ketika Ibrahim telah menjauhkan diri dari mereka dan dari
apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq
dan Ya’qub, dan masing-masing kami angkat menjadi nabi. Dan kami
anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan
mereka menjadi buah tutur yang baik lagi tinggi.” (Maryam: 41-50)
Faedah yang terkandung dalam kisah Ibrahim Abul Muwahhidin (bapak orang-orang yang bertauhid):
1. Bersemangat dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik kepada keluarga yang dekat atau yang jauh, terlebih lagi kepada kedua orang tua.
2. Bersabar dalam menerima segala ujian di jalan dakwah.
3. Memakai uslub (metode) lemah lembut dalam berdakwah, terlebih kepada orang tua. Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mencontohkan sikap lemah lembut di dalam dakwah di mana Nabi Ibrahim tidak mengajak bicara bapaknya dengan kata: “Wahai bapakku, saya ini orang pintar dan kamu orang bodoh,” atau mengatakan “Kamu tidak punya ilmu sedikitpun.” Namun beliau memakai bentuk pembicaraan dengan kata yang menunjukkan bahwa beliau dan bapaknya mempunyai ilmu, namun ilmu yang sampai kepada beliau belum sampai kepada bapaknya.
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mengikuti millah (agama) Nabi Ibrahim. Di antara bentuk mengikuti millah-nya adalah menempuh jalan beliau dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan jalan ilmu dan hikmah, lemah lembut lagi penuh kemudahan. Secara bertahap dari satu tingkatan kepada tingkatan yang lain, bersabar di jalan dakwah itu, tidak bosan, bersabar dari segala gangguan makhluk yang diarahkan kepadanya, baik dengan ucapan atau perbuatan. Sebaliknya, memberikan ampunan dan maaf serta gampang berbuat baik dengan ucapan atau perbuatan. (lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 443-444)
2. Bersabar dalam menerima segala ujian di jalan dakwah.
3. Memakai uslub (metode) lemah lembut dalam berdakwah, terlebih kepada orang tua. Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mencontohkan sikap lemah lembut di dalam dakwah di mana Nabi Ibrahim tidak mengajak bicara bapaknya dengan kata: “Wahai bapakku, saya ini orang pintar dan kamu orang bodoh,” atau mengatakan “Kamu tidak punya ilmu sedikitpun.” Namun beliau memakai bentuk pembicaraan dengan kata yang menunjukkan bahwa beliau dan bapaknya mempunyai ilmu, namun ilmu yang sampai kepada beliau belum sampai kepada bapaknya.
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mengikuti millah (agama) Nabi Ibrahim. Di antara bentuk mengikuti millah-nya adalah menempuh jalan beliau dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan jalan ilmu dan hikmah, lemah lembut lagi penuh kemudahan. Secara bertahap dari satu tingkatan kepada tingkatan yang lain, bersabar di jalan dakwah itu, tidak bosan, bersabar dari segala gangguan makhluk yang diarahkan kepadanya, baik dengan ucapan atau perbuatan. Sebaliknya, memberikan ampunan dan maaf serta gampang berbuat baik dengan ucapan atau perbuatan. (lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 443-444)
Cerita Indah Isma’il dengan Seorang Ayah yang Mulia
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنَّ مِنْ شِيْعَتِهِ لإِبْرَاهِيْمَ. إِذْ جَاءَ
رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ. إِذْ قَالَ لأَبِيْهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا
تَعْبُدُوْنَ. أَئِفْكًا آلِهَةً دُوْنَ اللهِ تُرِيْدُوْنَ. فَمَا
ظَنُّكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ. فَنَظَرَ نَظْرَةً فِي النُّجُوْمِ.
فَقَالَ إِنِّي سَقِيْمٌ. فَتَوَلَّوْا عَنْهُ مُدْبِرِيْنَ. فَرَاغَ إِلَى
آلِهَتِهِمْ فَقَالَ أَلاَ تَأْكُلُوْنَ. مَا لَكُمْ لاَ تَنْطِقُوْنَ.
فَرَاغَ عَلَيْهِمْ ضَرْبًا بِالْيَمِيْنِ. فَأَقْبَلُوا إِلَيْهِ
يَزِفُّوْنَ. قَالَ أَتَعْبُدُوْنَ مَا تَنْحِتُوْنَ. وَاللهُ خَلَقَكُمْ
وَمَا تَعْمَلُوْنَ. قَالُوا ابْنُوا لَهُ بُنْيَانًا فَأَلْقُوْهُ فِي
الْجَحِيْمِ. فَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ اْلأَسْفَلِيْنَ.
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِيْنِ. رَبِّ هَبْ لِي مِنَ
الصَّالِحِيْنَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ. فَلَمَّا بَلَغَ
مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي
أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا
وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ. قَدْ
صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّ
هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ الْمُبِيْنُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ.
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي اْلآخِرِينَ. سَلاَمٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ.
كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا
الْمُؤْمِنِيْنَ. وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ
الصَّالِحِيْنَ. وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِيْنٌ
“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk
golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Rabbnya dengan
hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan
kaumnya: ‘Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki
sesembahan-sesem-bahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah
anggapanmu terhadap Rabb semesta alam?’ Lalu ia memandang sekali pandang
ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: ‘Sesungguhnya aku sakit.’ Lalu
mereka berpaling darinya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan
diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: ‘Apakah kamu
tidak makan? Kenapa kamu tidak menjawab?’ Lalu dihadapinya
berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan
kuat). Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim
berkata: ‘Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.’
Mereka berkata: ‘Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim;
lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu.’ Mereka
hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka
orang-orang yang hina. Dan Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya aku pergi
menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya
Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang
yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang
amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran
keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu
telah membenarkan mimpi itu,’ sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)
‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.’ Demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan
kelahiran Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih.
Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak
cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya
sendiri dengan nyata.” (Ash-Shaffat: 83-113)
Faedah yang diambil dalam kisah Isma’il:
1. Sifat-sifat terpuji yang dimiliki oleh beliau di
antaranya al-hilm. Sifat ini mencakup kesabaran, akhlak yang baik, dada
yang lapang dan memberikan maaf kepada siapa yang berbuat aniaya
kepadanya.
2. Kesabaran dalam mewujudkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Keberanian yang sejati dalam menjunjung tinggi amanat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Keyakinan yang tinggi dalam melaksanakan perintah yang sangat berat.
5. Anak yang shalih tidak akan menghalangi orang tuanya untuk melaksanakan perintah.
6. Ketabahan dan kesabaran dalam melaksanakan tugas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang besar, baik di dunia ataupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat penyebutan sang anak dan sang bapak dengan pujian yang tinggi sampai hari kiamat.
7. Keberkahan hidup akan didapat dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. (lihat Tafsir As-Sa’di hal. 651-652)
2. Kesabaran dalam mewujudkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Keberanian yang sejati dalam menjunjung tinggi amanat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Keyakinan yang tinggi dalam melaksanakan perintah yang sangat berat.
5. Anak yang shalih tidak akan menghalangi orang tuanya untuk melaksanakan perintah.
6. Ketabahan dan kesabaran dalam melaksanakan tugas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang besar, baik di dunia ataupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat penyebutan sang anak dan sang bapak dengan pujian yang tinggi sampai hari kiamat.
7. Keberkahan hidup akan didapat dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. (lihat Tafsir As-Sa’di hal. 651-652)
1 HR. Al-Imam Ahmad (no. 26212), Al-Imam An-Nasa‘i (no. 5577) dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma dengan lafadz yang lain dan ada tambahan. Juga dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat Ahmad (no. 5839) dan dari shahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Al-Imam Ahmad (no. 18747), dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam kitab beliau Shahihul Jami’ (5/191).
2 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593.
3 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5977 dan Muslim no. 127
4 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no.126
5 HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 2947
6 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 4256, At-Tirmidzi no. 2435, dan Ibnu Majah no. 4021 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 915 dan 976) dan dalam Shahih Adabul Mufrad no. 23
7 HR. Al-Imam Muslim no. 3658
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5516 dan Muslim no. 6243
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5328
9 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 1313, At-Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3852 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab (no. 32) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Shahihah no. 598 dan dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 43.
10 HR. Al-Imam Muslim no. 3084
11 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 2496 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud (no. 2566) dan dalam kitab Shahih Al-Adabul Mufrad hal. (no???) 46.
12 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5978 dan Muslim no. 1671
13 HR. Al-Imam Muslim no. 4432 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab no. 24.
2 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593.
3 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5977 dan Muslim no. 127
4 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no.126
5 HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 2947
6 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 4256, At-Tirmidzi no. 2435, dan Ibnu Majah no. 4021 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 915 dan 976) dan dalam Shahih Adabul Mufrad no. 23
7 HR. Al-Imam Muslim no. 3658
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5516 dan Muslim no. 6243
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5328
9 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 1313, At-Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3852 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab (no. 32) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Shahihah no. 598 dan dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 43.
10 HR. Al-Imam Muslim no. 3084
11 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 2496 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud (no. 2566) dan dalam kitab Shahih Al-Adabul Mufrad hal. (no???) 46.
12 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5978 dan Muslim no. 1671
13 HR. Al-Imam Muslim no. 4432 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab no. 24.
Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=410
Sumber artikel : akhwat.web.id
0 komentar :
Posting Komentar