Senin, 23 Desember 2013

“Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah ulama.” (Fathir: 28)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
“Sesungguhnya hanyalah.”
Lafadz ini menunjukkan pembatasan. Pembatasan dalam satu kalimat bermakna istitsna’ (pengecualian/pengkhususan). Adapun istitsna’ dalam konteks kalimat penafian, menurut jumhur ulama, mengandung makna penetapan (itsbat). (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 16/177)
“Ulama.”
Ia adalah bentuk jamak dari alim. Yang dimaksud adalah orang yang berilmu tentang syariat Allah subhaanahu wata’aala,  serta mengerti tentang hukum halal dan haram. Inilah yang dimaksud ilmu apabila disebut secara mutlak (tanpa pengait) dalam kitabullah dan sunnah Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam. Ini pula ilmu yang jika kita mempelajari dan mengamalkannya akan mendapat keutamaan. Hal ini karena selain ilmu syariat, tidak ada perbedaan dalam mengetahuinya antara seorang mukmin dan kafir.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahulloh menjelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang menunjukkan dua perkara:
1. Ma’rifatullah (mengenal Allah subhaanahu wata’aala),  Asmaul Husna yang dimiliki-Nya, sifat-sifat-Nya Yang Mahaagung, dan perbuatan-perbuatan-Nya yang menakjubkan.
Hal ini menumbuhkan sikap pengagungan, pemuliaan, rasa takut kepada-Nya, rasa cinta, berharap, bertawakal, dan ridha dengan ketetapan-Nya, serta bersabar atas musibah yang menimpa.
2. Berilmu tentang apa yang dicintai dan diridhai-Nya, serta apa yang dibenci dan dimurkai-Nya, berupa berbagai keyakinan, amalan, dan ucapan, baik yang lahir maupun batin. (Lihat Fadhlu Ilmis Salaf, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali t, hlm. 73)
Syaikhul Islam t berkata menjelaskan ayat ini, “Mereka adalah para ulama yang beriman kepada apa yang dibawa oleh para rasul. Merekalah yang takut kepada-Nya.” (Majmu’ al-Fatawa, 16/177)

Tafsir Ayat
Ayat Allah subhaanahu wata’aala,   yang mulia ini menjelaskan bahwa orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  adalah seorang yang alim (berilmu). Sebaliknya, seseorang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah l adalah orang yang jahil.
Rasa takut manusia kepada Allah subhaanahu wata’aala,  bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keilmuan dan keyakinan seseorang kepada Rabbnya.
Mujahid rahimahulloh berkata, “Sesungguhnya, orang yang alim adalah yang takut kepada Allah subhaanahu wata'aala.”
Beliau rahimahulloh juga berkata, “Orang yang fakih adalah orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiallohu anhu,  bahwa beliau berkata, “Cukuplah rasa takut seseorang kepada Allah subhaanahu wata’aala,  sebagai ilmu, dan cukuplah kelalaian seseorang kepada-Nya sebagai kejahilan.”
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radiallohu anhu, bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya, orang fakih yang sebenar-benarnya adalah orang yang tidak menyebabkan manusia putus asa dari rahmat Allah subhaanahu wata’aala,  tidak memberi kemudahan kepada mereka untuk bermaksiat kepada-Nya, tidak memberi rasa aman kepada mereka dari siksaan-Nya, serta tidak menyebabkan manusia meninggalkan al-Qur’an dan mencari alternatif selainnya. Sesungguhnya, tidak ada kebaikan dalam satu ibadah yang tidak dibarengi ilmu, tidak pula ada kebaikan pada satu ilmu yang tidak terkandung pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam membaca al-Qur’an yang tidak disertai tadabbur.” (Lihat atsar-atsar ini dalam Tafsir Ibnu Katsir tatkala menjelaskan ayat ini)
Syaikhul Islam rahimahullohu berkata ketika menjelaskan ayat ini, “Tidaklah seseorang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  kecuali dia seorang alim. Oleh karena itu, setiap yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   maka dialah alim. Demikianlah konteks ayat ini. Para ulama salaf dan kebanyakan para ulama mengatakan bahwa setiap alim berarti dia takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  sebagaimana ayat yang lain juga menunjukkan bahwa siapa yang bermaksiat kepada Allah subhaanahu wata’aala,  berarti dia jahil.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abul Aliyah rahimahulloh, ‘Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad shallallohu 'alaihi wasallam tentang firman Allah subhaanahu wata’aala,
“Sesungguhnya, tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan.” (an-Nisa: 17)

Mereka (para sahabat Nabi ) berkata kepadaku, ‘Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah subhaanahu wata’aala,  maka dia jahil.’
Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, al-Hasan al-Bashri, dan yang lainnya dari kalangan ulama tabi’in dan yang setelahnya, rahimahumullah.” (Majmu Fatawa, 16/176—177)
As-Sa’di rahimahulloh berkata, “Semakin seseorang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  semakin besar pula rasa takut kepada-Nya. Rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata’aala,  menyebabkannya meninggalkan kemaksiatan serta mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ia akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah subhaanahu wata’aala. Orang-orang yang takut kepada-Nya adalah orang-orang yang mendapatkan kemuliaan-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Hal itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (al-Bayyinah: 8) (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahulloh mengatakan, “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   dengan sebenar-benarnya adalah para ulama yang memiliki ma’rifat (pengetahuan) tentang-Nya. Hal ini karena setiap kali bertambah pengetahuan seseorang kepada Yang Mahaagung, Mahakuasa, dan Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dengan asmaul husna, semakin bertambah dan sempurna pengetahuan seseorang kepada-Nya. Maka dari itu, rasa takut kepada-Nya pun semakin bertambah dan semakin kuat.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata menjelaskan ayat ini, “Maknanya, tidak ada yang takut kepada-Nya selain seorang alim. Sungguh, Allah l telah mengabarkan bahwa setiap yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  berarti dia adalah seorang alim, sebagaimana firman-Nya di dalam ayat yang lain,
(Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (az-Zumar: 9)
Rasa takut (khasy-yah) selalu mengandung sifat berharap (raja’). Jika tidak demikian, dia akan menjadi seorang yang berputus asa (dari rahmat-Nya). Sejalan dengan itu, perasaan berharap mengharuskan adanya rasa takut, sebab ketiadaan hal tersebut dapat menyebabkan seseorang merasa aman (dari kemurkaan-Nya). Jadi, orang yang memiliki rasa takut dan berharap kepada Allah l adalah para ulama yang dipuji oleh Allah rahimahulloh.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 7/21)

Tanda Ilmu adalah Khasy-yah
Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu yang hakiki, yang akan memberi manfaat kepada pemiliknya, adalah yang menumbuhkan rasa takut seorang hamba kepada Allah subhaanahu wata’aala,   Semakin bertambah ilmu yang bermanfaat yang dimiliki oleh seorang hamba, semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata’aala.  Oleh karena itu, para nabi, orang-orang saleh, para shiddiqin, dan para syuhada, memiliki rasa takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   yang lebih daripada selain mereka yang tingkat keimanannya lebih rendah.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dari hadits Aisyah radiallohu anha yang mengatakan bahwa apabila Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, memerintah kaum muslimin, beliau memerintah mereka dengan sesuatu yang mampu mereka lakukan. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami tidak seperti engkau, wahai Rasulullah. Sesungguhnya, Allah subhaanahu wata’aala,  telah mengampuni apa yang telah lalu dari dosamu dan yang akan datang.” Rasulullah shallallohu alaihi wasallam marah mendengar hal itu hingga kemarahan tersebut tampak di wajah beliau shallallohu alaihi wasallam, lalu bersabda:
إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللهِ أَنَا
“Sesungguhnya orang yang paling bertakwa dan paling berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,   adalah aku.” (HR. al-Bukhari, 1/20)
Dalam riwayat Muslim rahimahulloh dengan lafadz,
وَاللهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَخْشَاكُمْ لِلهِِ وَأَعْلَمَكُمْ بِمَا أَتَّقِي
“Demi Allah, sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   dan yang paling berilmu dengan apa yang aku tinggalkan.” (HR. Muslim no. 1110)
Dalam riwayat Muslim rahimahulloh dari hadits Ummu Salamah radiallohu anha,
أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَتْقَاكُمْ لِلهِ وَأَخْشَاكُمْ لَهُ
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah hamba yang paling bertakwa di antara kalian dan yang paling takut kepada-Nya.” (HR. Muslim no. 1108)
Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam, menggandengkan rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata'aala dengan ilmu.
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahulloh berkata, “Telah dimaklumi bahwa para nabi shallallohu alaihi wasallam, dan para sahabatnya adalah orang yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  dan paling mengetahui tentang hak-hak dan sifat-sifat-Nya, serta pengagungan yang menjadi hak Allah subhaanahu wata’aala. Bersamaan dengan itu, mereka menjadi hamba yang paling banyak ibadahnya kepada Allah subhaanahu wata’aala,  dan yang paling takut serta berharap mendapat rahmat-Nya.” (Adhwaul Bayan, 2/325)

Tumbuhnya rasa khasy-yatullah dalam diri seorang hamba akan memberikan pengaruh pada keimanan dan amalannya. Di antara pengaruh tersebut adalah:
1. Ia akan semakin giat menjalankan ibadah dengan penuh rasa takut dan berharap.
2. Ia akan meninggalkan kemaksiatan baik di keramaian maupun saat sendirian.
3. Senantiasa mengingat Allah subhaanahu wata’aala,  dengan berzikir, membaca al-Qur’an, dan yang semisalnya.
4. Tidak memasukkan ke dalam perutnya sesuatu yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wata’aala.
5. Merasa yakin dengan apa yang dijanjikan oleh Allah subhaanahu wata’aala,  berupa kenikmatan bagi orang yang bertakwa dan siksaan bagi yang durhaka.
6. Tidak berkata tanpa ilmu dalam urusan agama.

Gelar Bukan Ilmu
Sebagian orang menyangka bahwa tanda seorang yang berilmu adalah jika dia memiliki banyak hafalan dan riwayat. Sebagian lagi ada yang menyangka bahwa tanda seorang alim adalah jika dia memiliki gelar akademis seperti Lc, MA, doktor, profesor, dan yang lain. Ini adalah pemahaman yang keliru.
Jika seseorang memiliki semua yang disebutkan, namun ilmu yang dimilikinya tidak menumbuhkan rasa takut kepada Allah subhaanahu wata'aala dalam dirinya dan tidak memberikan perubahan ke arah yang baik dalam kehidupannya-dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidupnya-, dia bukanlah seorang yang berilmu. Ilmu yang dimilikinya justru akan menjadi hujah yang dapat membinasakannya. Wallahul musta’an.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiallohu anhu,  bahwa beliau berkata, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak meriwayatkan hadits, namun ilmu adalah khasy-yah.”
Al-Imam Malik t berkata, “Ilmu itu bukan dengan sekadar banyak menghafal riwayat, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan oleh Allah subhaanahu wata’aala,  pada hati seorang hamba.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/555)
Abu Hayyan at-Taimi berkata, “Ulama itu ada tiga: (1) seorang yang berilmu tentang Allah l dan tentang perintah Allah l, (2) seorang yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  namun tidak berilmu tentang perintah Allah l, dan (3) seorang yang berilmu tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala, namun tidak berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala.
Yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata'aala, dan perintah-Nya, dialah yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  sekaligus mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Adapun yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  namun tidak berilmu tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala,  dia adalah orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   namun tidak mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Sementara itu, yang berilmu tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala,   namun tidak berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  adalah orang yang mengerti sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya, namun dia tidak takut kepada-Nya.” (Jami’ Bayani Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2/47)
Al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengingatkan para pelajar yang belajar agama di bangku universitas, “Hal yang menyedihkan di zaman kita sekarang ini adalah yang menjadi tolok ukur menentukan keilmuan manusia adalah gelar-gelar. Anda punya gelar, maka Anda akan diberi pekerjaan dan jabatan sesuai dengan gelar tersebut. Bisa jadi, seseorang bergelar doktor lalu diberi pekerjaan sebagai pengajar di sebuah universitas, padahal dia adalah orang yang paling jahil.
Sementara itu, ada seorang pelajar setingkat sekolah menengah yang jauh lebih baik darinya, dan ini kenyataan. Sekarang ini, ada orang yang bergelar doktor namun dia tidak mengerti ilmu sedikit pun. Bisa jadi, dia lulus dengan cara menipu atau lulus dalam keadaan ilmu tersebut belum melekat pada dirinya. Namun, dia tetap diangkat sebagai pegawai karena memiliki ijazah doktor. Di sisi lain, ada seorang penuntut ilmu yang baik, lebih baik daripada manusia lainnya dan lebih baik seribu kali daripada doktor ini, namun dia tidak diberi jabatan. Dia tidak mengajar di perguruan tinggi. Mengapa? Karena dia tidak berijazah doktor.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/436).
Wallahul muwaffiq.


Sumber artikel : salafybpp.com

0 komentar :

Posting Komentar