
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
“Sesungguhnya hanyalah.”
Lafadz
 ini menunjukkan pembatasan. Pembatasan dalam satu kalimat bermakna 
istitsna’ (pengecualian/pengkhususan). Adapun istitsna’ dalam konteks 
kalimat penafian, menurut jumhur ulama, mengandung makna penetapan 
(itsbat). (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 16/177)
“Ulama.”
Ia adalah bentuk jamak dari alim. Yang dimaksud adalah orang yang berilmu tentang syariat Allah subhaanahu wata’aala,  serta
 mengerti tentang hukum halal dan haram. Inilah yang dimaksud ilmu 
apabila disebut secara mutlak (tanpa pengait) dalam kitabullah dan 
sunnah Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam. Ini pula ilmu yang jika kita 
mempelajari dan mengamalkannya akan mendapat keutamaan. Hal ini karena 
selain ilmu syariat, tidak ada perbedaan dalam mengetahuinya antara 
seorang mukmin dan kafir.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahulloh menjelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang menunjukkan dua perkara:
1. Ma’rifatullah (mengenal Allah subhaanahu wata’aala),  Asmaul Husna yang dimiliki-Nya, sifat-sifat-Nya Yang Mahaagung, dan perbuatan-perbuatan-Nya yang menakjubkan.
Hal
 ini menumbuhkan sikap pengagungan, pemuliaan, rasa takut kepada-Nya, 
rasa cinta, berharap, bertawakal, dan ridha dengan ketetapan-Nya, serta 
bersabar atas musibah yang menimpa.
2.
 Berilmu tentang apa yang dicintai dan diridhai-Nya, serta apa yang 
dibenci dan dimurkai-Nya, berupa berbagai keyakinan, amalan, dan ucapan,
 baik yang lahir maupun batin. (Lihat Fadhlu Ilmis Salaf, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali t, hlm. 73)
Syaikhul
 Islam t berkata menjelaskan ayat ini, “Mereka adalah para ulama yang 
beriman kepada apa yang dibawa oleh para rasul. Merekalah yang takut 
kepada-Nya.” (Majmu’ al-Fatawa, 16/177)
Tafsir Ayat
Ayat Allah subhaanahu wata’aala,   yang mulia ini menjelaskan bahwa orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  adalah seorang yang alim (berilmu). Sebaliknya, seseorang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah l adalah orang yang jahil.
Rasa takut manusia kepada Allah subhaanahu wata’aala,  bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keilmuan dan keyakinan seseorang kepada Rabbnya.
Mujahid rahimahulloh berkata, “Sesungguhnya, orang yang alim adalah yang takut kepada Allah subhaanahu wata'aala.”
Beliau rahimahulloh juga berkata, “Orang yang fakih adalah orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiallohu anhu,  bahwa beliau berkata, “Cukuplah rasa takut seseorang kepada Allah subhaanahu wata’aala,  sebagai ilmu, dan cukuplah kelalaian seseorang kepada-Nya sebagai kejahilan.”
Diriwayatkan
 dari Ali bin Abi Thalib radiallohu anhu, bahwa beliau berkata, 
“Sesungguhnya, orang fakih yang sebenar-benarnya adalah orang yang tidak
 menyebabkan manusia putus asa dari rahmat Allah subhaanahu wata’aala,  tidak
 memberi kemudahan kepada mereka untuk bermaksiat kepada-Nya, tidak 
memberi rasa aman kepada mereka dari siksaan-Nya, serta tidak 
menyebabkan manusia meninggalkan al-Qur’an dan mencari alternatif 
selainnya. Sesungguhnya, tidak ada kebaikan dalam satu ibadah yang tidak
 dibarengi ilmu, tidak pula ada kebaikan pada satu ilmu yang tidak 
terkandung pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam membaca al-Qur’an 
yang tidak disertai tadabbur.” (Lihat atsar-atsar ini dalam Tafsir Ibnu Katsir tatkala menjelaskan ayat ini)
Syaikhul Islam rahimahullohu berkata ketika menjelaskan ayat ini, “Tidaklah seseorang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  kecuali dia seorang alim. Oleh karena itu, setiap yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   maka
 dialah alim. Demikianlah konteks ayat ini. Para ulama salaf dan 
kebanyakan para ulama mengatakan bahwa setiap alim berarti dia takut 
kepada Allah subhaanahu wata’aala,  sebagaimana ayat yang lain juga menunjukkan bahwa siapa yang bermaksiat kepada Allah subhaanahu wata’aala,  berarti dia jahil.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abul Aliyah rahimahulloh, ‘Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad shallallohu 'alaihi wasallam tentang firman Allah subhaanahu wata’aala, 
“Sesungguhnya, tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan.” (an-Nisa: 17)
Mereka (para sahabat Nabi ) berkata kepadaku, ‘Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah subhaanahu wata’aala,  maka dia jahil.’
Demikian
 pula yang dikatakan oleh Mujahid, al-Hasan al-Bashri, dan yang lainnya 
dari kalangan ulama tabi’in dan yang setelahnya, rahimahumullah.” (Majmu Fatawa, 16/176—177)
As-Sa’di rahimahulloh berkata, “Semakin seseorang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  semakin besar pula rasa takut kepada-Nya. Rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata’aala,  menyebabkannya
 meninggalkan kemaksiatan serta mempersiapkan diri untuk bertemu dengan 
Dzat yang dia takuti. Ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, 
karena ia akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah subhaanahu wata’aala.
 Orang-orang yang takut kepada-Nya adalah orang-orang yang mendapatkan 
kemuliaan-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Balasan
 mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya 
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha 
terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Hal itu adalah 
(balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (al-Bayyinah: 8) (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahulloh mengatakan, “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   dengan
 sebenar-benarnya adalah para ulama yang memiliki ma’rifat (pengetahuan)
 tentang-Nya. Hal ini karena setiap kali bertambah pengetahuan seseorang
 kepada Yang Mahaagung, Mahakuasa, dan Maha Berilmu, yang memiliki 
sifat-sifat kesempurnaan dengan asmaul husna, semakin bertambah dan 
sempurna pengetahuan seseorang kepada-Nya. Maka dari itu, rasa takut 
kepada-Nya pun semakin bertambah dan semakin kuat.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Syaikhul
 Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata menjelaskan ayat ini, 
“Maknanya, tidak ada yang takut kepada-Nya selain seorang alim. Sungguh,
 Allah l telah mengabarkan bahwa setiap yang takut kepada Allah 
subhaanahu wata’aala,  berarti dia adalah seorang alim, sebagaimana firman-Nya di dalam ayat yang lain,
(Apakah
 kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang 
beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia 
takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah,
 “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak 
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima 
pelajaran. (az-Zumar: 9)
Rasa
 takut (khasy-yah) selalu mengandung sifat berharap (raja’). Jika tidak 
demikian, dia akan menjadi seorang yang berputus asa (dari rahmat-Nya). 
Sejalan dengan itu, perasaan berharap mengharuskan adanya rasa takut, 
sebab ketiadaan hal tersebut dapat menyebabkan seseorang merasa aman 
(dari kemurkaan-Nya). Jadi, orang yang memiliki rasa takut dan berharap 
kepada Allah l adalah para ulama yang dipuji oleh Allah rahimahulloh.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 7/21)
Tanda Ilmu adalah Khasy-yah
Ayat
 ini menjelaskan bahwa ilmu yang hakiki, yang akan memberi manfaat 
kepada pemiliknya, adalah yang menumbuhkan rasa takut seorang hamba 
kepada Allah subhaanahu wata’aala,   Semakin
 bertambah ilmu yang bermanfaat yang dimiliki oleh seorang hamba, 
semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata’aala.  Oleh
 karena itu, para nabi, orang-orang saleh, para shiddiqin, dan para 
syuhada, memiliki rasa takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   yang lebih daripada selain mereka yang tingkat keimanannya lebih rendah.
Disebutkan
 dalam Shahih al-Bukhari dari hadits Aisyah radiallohu anha yang 
mengatakan bahwa apabila Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, 
memerintah kaum muslimin, beliau memerintah mereka dengan sesuatu yang 
mampu mereka lakukan. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami tidak seperti 
engkau, wahai Rasulullah. Sesungguhnya, Allah subhaanahu wata’aala,  telah
 mengampuni apa yang telah lalu dari dosamu dan yang akan datang.” 
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam marah mendengar hal itu hingga 
kemarahan tersebut tampak di wajah beliau shallallohu alaihi wasallam, 
lalu bersabda:
إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللهِ أَنَا
“Sesungguhnya orang yang paling bertakwa dan paling berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,   adalah aku.” (HR. al-Bukhari, 1/20)
Dalam riwayat Muslim rahimahulloh dengan lafadz,
وَاللهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَخْشَاكُمْ لِلهِِ وَأَعْلَمَكُمْ بِمَا أَتَّقِي
“Demi Allah, sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   dan yang paling berilmu dengan apa yang aku tinggalkan.” (HR. Muslim no. 1110)
Dalam riwayat Muslim rahimahulloh dari hadits Ummu Salamah radiallohu anha,
أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَتْقَاكُمْ لِلهِ وَأَخْشَاكُمْ لَهُ
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah hamba yang paling bertakwa di antara kalian dan yang paling takut kepada-Nya.” (HR. Muslim no. 1108)
Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam, menggandengkan rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata'aala dengan ilmu.
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahulloh
 berkata, “Telah dimaklumi bahwa para nabi shallallohu alaihi wasallam, 
dan para sahabatnya adalah orang yang berilmu tentang Allah subhaanahu 
wata’aala,  dan paling 
mengetahui tentang hak-hak dan sifat-sifat-Nya, serta pengagungan yang 
menjadi hak Allah subhaanahu wata’aala. Bersamaan dengan itu, mereka 
menjadi hamba yang paling banyak ibadahnya kepada Allah subhaanahu 
wata’aala,  dan yang paling takut serta berharap mendapat rahmat-Nya.” (Adhwaul Bayan, 2/325)
Tumbuhnya
 rasa khasy-yatullah dalam diri seorang hamba akan memberikan pengaruh 
pada keimanan dan amalannya. Di antara pengaruh tersebut adalah:
1. Ia akan semakin giat menjalankan ibadah dengan penuh rasa takut dan berharap.
2. Ia akan meninggalkan kemaksiatan baik di keramaian maupun saat sendirian.
3. Senantiasa mengingat Allah subhaanahu wata’aala,  dengan berzikir, membaca al-Qur’an, dan yang semisalnya.
4. Tidak memasukkan ke dalam perutnya sesuatu yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wata’aala.
5. Merasa yakin dengan apa yang dijanjikan oleh Allah subhaanahu wata’aala,  berupa kenikmatan bagi orang yang bertakwa dan siksaan bagi yang durhaka.
6. Tidak berkata tanpa ilmu dalam urusan agama.
Gelar Bukan Ilmu
Sebagian
 orang menyangka bahwa tanda seorang yang berilmu adalah jika dia 
memiliki banyak hafalan dan riwayat. Sebagian lagi ada yang menyangka 
bahwa tanda seorang alim adalah jika dia memiliki gelar akademis seperti
 Lc, MA, doktor, profesor, dan yang lain. Ini adalah pemahaman yang 
keliru.
Jika
 seseorang memiliki semua yang disebutkan, namun ilmu yang dimilikinya 
tidak menumbuhkan rasa takut kepada Allah subhaanahu wata'aala dalam 
dirinya dan tidak memberikan perubahan ke arah yang baik dalam 
kehidupannya-dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman 
hidupnya-, dia bukanlah seorang yang berilmu. Ilmu yang dimilikinya 
justru akan menjadi hujah yang dapat membinasakannya. Wallahul musta’an.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiallohu anhu,  bahwa beliau berkata, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak meriwayatkan hadits, namun ilmu adalah khasy-yah.”
Al-Imam
 Malik t berkata, “Ilmu itu bukan dengan sekadar banyak menghafal 
riwayat, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan oleh Allah subhaanahu 
wata’aala,  pada hati seorang hamba.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/555)
Abu
 Hayyan at-Taimi berkata, “Ulama itu ada tiga: (1) seorang yang berilmu 
tentang Allah l dan tentang perintah Allah l, (2) seorang yang berilmu 
tentang Allah subhaanahu wata’aala,  namun
 tidak berilmu tentang perintah Allah l, dan (3) seorang yang berilmu 
tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala, namun tidak berilmu tentang
 Allah subhaanahu wata’aala.
Yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata'aala, dan perintah-Nya, dialah yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  sekaligus mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Adapun yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  namun tidak berilmu tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala,  dia adalah orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   namun tidak mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Sementara itu, yang berilmu tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala,   namun tidak berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  adalah orang yang mengerti sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya, namun dia tidak takut kepada-Nya.” (Jami’ Bayani Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2/47)
Al-Allamah
 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengingatkan para pelajar 
yang belajar agama di bangku universitas, “Hal yang menyedihkan di zaman
 kita sekarang ini adalah yang menjadi tolok ukur menentukan keilmuan 
manusia adalah gelar-gelar. Anda punya gelar, maka Anda akan diberi 
pekerjaan dan jabatan sesuai dengan gelar tersebut. Bisa jadi, seseorang
 bergelar doktor lalu diberi pekerjaan sebagai pengajar di sebuah 
universitas, padahal dia adalah orang yang paling jahil.
Sementara
 itu, ada seorang pelajar setingkat sekolah menengah yang jauh lebih 
baik darinya, dan ini kenyataan. Sekarang ini, ada orang yang bergelar 
doktor namun dia tidak mengerti ilmu sedikit pun. Bisa jadi, dia lulus 
dengan cara menipu atau lulus dalam keadaan ilmu tersebut belum melekat 
pada dirinya. Namun, dia tetap diangkat sebagai pegawai karena memiliki 
ijazah doktor. Di sisi lain, ada seorang penuntut ilmu yang baik, lebih 
baik daripada manusia lainnya dan lebih baik seribu kali daripada doktor
 ini, namun dia tidak diberi jabatan. Dia tidak mengajar di perguruan 
tinggi. Mengapa? Karena dia tidak berijazah doktor.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/436). 
Wallahul muwaffiq.
Sumber artikel : salafybpp.com 
21.26
Karimun 08 Makassar
                              Posted in 
                              


0 komentar :
Posting Komentar