Nama
lengkapnya adalah Amir bin Abdullah. Sahabat asal Quraisy ini termasuk
sepuluh sahabat yang diproyeksikan oleh Nabi masuk surga. Beliau ini
dijuluki dengan pemegang amanat kaum Muslimin yang sempat mengikuti
semua peperangan bersama Rasulullah . Dia termasuk komando dalam
penaklukan Syam (Suriah, Libanon, Yordan dan Palestina sekarang).
Ayahnya termasuk pasukan musyrikin yang berhasil ditumbangkan dan
dibunuhnya. Beliau meninggal dunia akibat penyakit pes yang meraja lela.
Saat hendak
menghembuskan nafasnya yang terakhir, Umar bin Khattab berkata :
“Seandainya Abu Ubaidah Ibnul Jarrah masih hidup, tentulah ia di antara
orang-orang yang akan saya angkat sebagai penggantiku. Dan jika Allah
bertanya hal itu kepadaku, maka aku akan jawab: “Saya angkat kepercayaan
Allah dan kepercayaan Rasul-Nya…”
Ialah Abu
Ubaidah, Amir bin Abdillah Ibnul Jarrah, sahabat Rasulullah yang masuk
Islam melalui Abu Bakar pada awal kerasulan, yaitu sebelum Rasulullah mengambil rumah Arqam sebagai tempat berdakwah.
Semenjak
Abu Ubaidah berbai’at kepada Rasulullah , untuk membaktikan seluruh
hidupnya di jalan Allah, ia tidak lagi memperhatikan dirinya dan masa
depannya. Seluruh hidupnya ia habiskan untuk mengemban amanat yang
dititipkan Allah kepadanya, untuk mencapai ridha-Nya. Amanat yang
diembannya selalu dipenuhi dengan tanggung jawab. Dan itu merupakan
sifat yang paling menonjol dari Abu Ubaidah. Inilah yang membuat
Rasulullah kagum padanya, sehingga Rasulullah bersabda : “Amiinu hadzihi
al Ummah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah (orang kepercayaan umat ini, adalah
Abu Ubaidah bin Jarrah)”.
Rasulullah ,
sangat sayang pada Abu Ubaidah. Rasulullah pun sangat terkesan atas
pribadinya. Ketika datang utusan dari Najran dan Yaman yang menyatakan
ke-islaman mereka, mereka meminta kepada Rasulullah agar mengirimkan
kepada mereka seorang guru untuk mengajarkan Islam dan Al Quran. Dan
Rasululullah bersabda : “Baiklah akan saya kirim bersama tuan-tuan
seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya…., benar-benar
terpercaya…., benar-benar terpercaya…!”
Pujian yang
begitu tulus keluar dari mulut Rasulullah. Mendengar hal itu para
sahabat semua terkesima dan berharap kalau pilihan Rasulullah jatuh pada
dirinya, karena pujian tersebut merupakan pengakuan yang jujur dari
seorang Rasul yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Peristiwa
tersebut diceritakan oleh Umar bin Khattab : “Sebenarnya aku tak pernah
tertarik menjadi seorang amir, tetapi ketika Rasulullah mengucapkan hal
itu, aku sangat tertarik dan berharap bahwa orang yang dimasudkan
Rasulullah itu adalah aku. Dan aku pun cepat-cepat berangkat untuk
shalat dzuhur. Seperti biasa, Rasulullah yang mengimami para jamaah.
Ketika kami selesai shalat, Rasulullah menoleh ke kanan dan ke kiri.
Maka aku pun mengulurkan badan agar kelihatan Rasulullah…. Tetapi,
Rasulullah masih melayangkan pandangannya mencari-cari, hingga akhirnya
tampaklah Abu Ubaidah, maka dipanggilnya. Lalu Rasulullah bersabda :
‘Pergilah berangkat bersama mereka dan selesaikanlah apabila terjadi
perselisihan diantara mereka dengan yang haq…!’ Maka berangkatlah Abu
Ubaidah bersama orang-orang dari Najran dan Yaman”.
Seperti di
zaman Rasulullah, Abu Ubaidah menjadi seorang yang sangat dipercaya.
Begitupun setelah Rasulullah wafat, Abu Ubaidah sangat dipercayai umat.
Beliau mengemban kepercayaan umatnya dengan amanah dan penuh tanggung
jawab. Sehingga tidak aneh kalau beliau selalu dijadikan suri teladan
oleh umat di masa itu.
Sampai
suatu hari di Madinah, terdengar kabar bahwa Abu Ubaidah wafat. Amirul
Mukminin Umar bin Khattab seketika memejamkan kedua pelupuk matanya. Air
mata pun meleleh, hingga Umar membuka matanya dengan tawakal
menyerahkan diri. Didoakannya Abu Ubaidah agar mendapat rahmat dari
Allah. Lalu bangkitlah kenangan-kenangan lamanya bersama Abu Ubaidah
sahabatnya. Lalu katanya, “Seandainya aku bercita-cita, maka tak ada
harapanku selain sebuah rumah yang penuh didiami oleh tokoh-tokoh
seperti Abu Ubaidah…”
Abu Ubaidah wafat di atas bumi yang telah disucikan dari keberhalaan Persi dan penindasan Romawi.
Perjalan lain dari Ibnu Jarrah :
Ibnul
Jarrah adalah seorang panglima yang cerita kemenangan dan suksesnya
menjadi pembicaraan dunia. Ia adalah seorang yang mengesampingkan
gemerlapnya dunia yang palsu dan menerjunkan dirinya ke dalam berabagai
medan perang mencari mati syahid, tetapi selalu saja Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberinya hidup. Dia seorang yang kuat yang dapat dipercaya, yang pernah dipilih oleh Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam menjadi guru di Najran dan salah seorang diantara sepuluh orang yang dinyatakan akan mendapatkan surga.
Dia adalah soerang panglima yang pernah memohon kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala supaya
hari terakhirnya ditentukan di tengah-tengah tentaranya. Alloh berkenan
mengabulkan permohonannya itu. Itulah garis-garis besar kepribadian
amiinul ummah “kepercayaan umat Islam”, Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah,
penyebar kalimat “Allohu Akbar” di negeri Syam dan sekitarnya.
Ada orang
yang bertanya kepada Abdullah bin Umar, “bagaimana dengan Ibnul
Jarrah?”. “Rahimahulloh! Dia seorang yang selalu berwajah cerah, baik
akhlaknya dan seorang pemalu”, jawab Abdullah.
Sejarah tidak mencatat masa-masa mudanya bersama dengan rekan-rekan
sebayanya, tetapi sejarah merekam semua langkahnya ketika menuju ke
Baitul Arqam, bergabung dengan kelompok orang-orang Mukmin yang telah
memilih Islam sebagai agamanya, beriman kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sebagai Tuhannya, dan menerima Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam sebagai nabi dan rasulNya.
Menurut
sejarah, Ibnul Jarrah tergolong orang pertama y ang menyambut seruan
Islam. Ia bersama beberapa orang rekannya; Utsman bin Mazh’un, ‘Ubaidah
ibnul Harits bin Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, dan Abu Salamah
bin Abdul Asad, pergi menemui Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam
sebelum beliau membukan sekolah dan dakwahnya di Darul Arqam. Beliau
menawarkan Islam kepada mereka dan membentangkan apa-apa yang berkenaan
dengan agama itu, lalu mereka menerima tawaran itu dengan puas dan
ikhlas. Sejak saat itulah, ia dan rekan-rekannya itu menjadi manusia
baru, seakan-akan terputus hubungannya dengan manusia lama yang
bergelimang kejahiliahan dalam keyakinan dan penyembahan berhala.
Pada waktu
kaum Quraisy memaklumkan perang terhadap kelompok orang mukmin yang
tiada berdaya dan berdosa, dengan melakukan pengejaran dan penyiksaan di
luar abatas kemanusiaan, Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wasallam
memberikan izin kepada kelompok itu berhijrah ke Habasyah. Diantara para
Muhajirin yang menyelamatkan agamanya dari keganasan kaum Quraisy itu
ialah Abu ‘U baidah ibnul Jarrah.
Meskipun
sambutan dan penerimaan raja Habasyah sangat baik terhadap mereka,
mereka diterima dengan hormat dan didekatkan dari majelisnya, semua
kebutuhan dan hajat keluarganya dipenuhi, baik moral maupun material,
namun semua itu tidak berarti bagi mereka daripada kehidupan di dekat
Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam; setiap hari mengikuti
pelajaran dan bimbingannya, dalam upaya mempertebal keimanannya.
Tidaklah heran, ketika mereka mendengar berita bahwa telah dicapai
kesepakatan antara Muhammad dan kaum Quraisy, berita gembira itu
membangkitkan semangat mereka untuk segera pulang kembali ke Mekkah
tanpa mengecek kebenarannya lagi. Setibanya mereka disana, mereka malah
mendapat penyiksaan yang lebih ganas dari kaum Quraisy, sampai ada
diantaranya yang tewas oleh dendam hitam yang memenuhi lubuk hati musuh
terhadap tunas dakwah yang baru merintis itu.
Akibat
teror ganas kaum Quraisy itu, penduduk kota Mekkah hidup dalam ketakutan
dan kegelisahan yang tiada terperikan. Ibnul Jarrah tak lama tinggal di
Mekkah, begitu pula rekan-rekannya yang lain. Kaum Quraisy mengetahui
bahwa Muhammad berhasil keluar menembus kepungannya dan pergi berhijrah
ke Yatsrib, tempat yang dijadikan model dan landasan bertolak nya Islam
dan kaum Muslimin, negara tempat menggembleng para pahlawan, negarawan,
alim ulama yang akan dilepaskan ke seluruh penjuru dunia untuk
membimbing dan memimpin umat manusia ke jalan Tuhan Yang Maha Satu,
dengan rasa puas dan ikhlas.
Jalan
antara Mekkah dan Yatsrib menjadi saksi ketika Ibnul Jarrah melepaskan
kendali kudanya menggulung bumi dan bersaing dengan angin, mengikuti
jejak rekan-rekannya yang sudah mendahuluinya ke Yatsrib. Ketika sampai
di hadapan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam di Madinah,
ia hampir tidak dikenal lagi karena debu padang pasir yang ditempuh
tanpa henti hampir menutupi wajahnya. Setiba di sana, ia disambut baik
oleh Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dan dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Mu’az.
Saad bin Mu’az adalah orang yang telah mempersembahkan diri dan harta bendanya di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan
tidak sudi berkompromi dengan kaum Yahudi, sesudah mereka mengkhianati
perjanjian yang sudah mereka tanda tangani bersama Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam, sehingga ia terluka parah dalam perang Ahzab. Ia memohon kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar jangan dimatikan sebelum matanya puas melihat Yahudi Bani Quraizhah dihukum. Ternyata, Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doanya. Bani Quraizhah menolak keputusan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dan minta diputuskan oleh Sa’ad bin bin Mu’az, bekas sekutu mereka. Akhirnya, Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam
meminta supaya Sa’ad memberikan keputusannya. Diputuskanlah; semua
laki-laki Bani Quraizhah dibunuh, kaum wanita dan anak-anaknya ditawan
dan harta bendanya dirampas.
Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam berkomentar atas keputusan Sa’ad itu, “engkau telah memberikan keputusan dengan hukum Alloh dari atas langit yang ke tujuh”.
Sejak
menginjakkan kakinya di Yatsrib, sejak itu pulalah Abu ‘Ubaidah
mnganggap bumi itu sebagai tanah air agama dan dirinya yang harus
dipertahankan mati-matian. Ia melakukan tugas kewajibannya dengan penuh
kesadaran dan tanggung jawab. Hal ini terlihat dari tidak pernah
absennya di semua peperangan bersama dengan Rasululloh ShallAllohu
‘alaihi wasallam.
Dalam
perang Badar, ia selaku tentara, harus senantiasa patuh kepada perintah
panglimanya. Sebagai seorang mukmin, ia mempunyai pandangan, sikap dan
garis tegas yaitu bahwa semua yang berperang di bawah panji Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam yang
mengucapkan kalimat tauhid, mereka adalah saudara, keluarga dan
kawan-kawannya, meskipun berbeda asal-usul, warna kulit dan darahnya.
Semua yang berperang di bawah bendera Quraisy atau sekutu mereka, mereka
adalah musuh aqidah dan lawan dirinya, meskipun mereka keluarga
terdekatnya.
Dengan
logika dan pemahaman seperti itu terhadap aqidah dan agamanya, dan
perannya sebagai seorang mukmin, maka ketika ia melihat ayahnya ikut
menghunus pedang di tengah-tengah pasukan kaum musyrikin, membunuh
saudara-saudaranya sesama mukmin, majulah ia menghampirinya, tetapi
ayahnya menghindarinya. Walaupun demikian, ia mengejarnya dan memberikan
pukulan yang mematikan.
Ayahnya
adalah kafir, menyekutukan Tuhannya dengan yang lain; kafir terhadap
Tuhan Yang menciptakannya; ia mengangkat senjata hendak menumpas agama
Tuhannya dan para pendukung agama tersebut. Oleh karena itu, ia sudah
tidak berguna lagi bagi Tuhannya. Siapa yang hidupnya sudah tidak
berguna bagi Tuhannya niscaya tidak berguna juga bagi seluruh umat
manusia.
Dalam perang Uhud, ketika peperangan itu sudah mencapai puncaknya, dimana pihak musuh sudah berhasil mengepung ketat Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam
dan menjadikan beliau sebagai sasaran tunggal anak panah dan senjata
lainnya, Abu ‘Ubaidah dan beberapa orang rekannya menghunus pedangnya
untuk melindungi Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dari
serangan ganas musuh sehingga darah mengucur dari wajah beliau dan
beliau mengusahpnya dengan tangan kanannya seraya mengucapkan,
“Bagaimana suatu kaum akan menang sedangkan mereka membiarkan nabi yang
menuntunnya kepada Tuhannya lerluka wajahnya?”.
Abu Bakar
ash-Shiddiq radhiallâhu ‘anhu melukiskan peran yang dimainkan Abu
‘Ubaidah dalam perang Uhud itu, “pada waktu itu, Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam terkena
dua kali bidikan anak panah pada tulang pipinya, lalu aku segera pergi
menghampirinya. Ternyata dari sebelah timur ada orang lain yang
mendahuluiku, menghampirinya dengan cepat pula. Aku berkata, “Ya Alloh,
jadikanlah hal itu sebagai kepatuhan kepada Mu”. Sesudah itu, sampailah
aku di dekat Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam. Aku melihat Abu
‘Ubaidah sudah sampai terlebih dahulu, lalu ia berkata, “Ya Abu Bakar,
aku mohon kau membiarkan aku melepaskan panah itu dari wajah Rasululloh
Shallallohu ‘alaihi wasallam!”. Aku membiarkan Abu ‘Ubaidah melepaskan
mata anak panah itu dengan gigi depannya dan ia berhasil mencabutnya,
tetapi ia terjatuh ke tanah dan giginya pun patah. Selanjutnya, ia
mencabut mata anak panah yang kedua hingga gigi depannya yang satunya
patah juga. Sejak itu, Abu ‘Ubaidah ompong gigi depannya.
Dalam perang Dzatus Salaasil, Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam
menugaskannya memimpin pasukan para shahabatnya (diantaranya Abu Bakar
dan Umar) sebagai bala bantuan untuk Amru bin Ash. Setibanya pasukan
itu, Amru berkata kepadanya, “Ya Aba ‘Ubaidah, kau didatangkan sebagai
bala bantuan untuk pasukanku”. Abu ‘Ubaidah menjawab, “Tidak.. Aku
dengan pasukanku dan kamu dengan pasukanmu, masing-masing memimpin
pasukannya”. Amru bin Ash menolak adanya banyak pemimpin, ia tetap
menganggap pasukan Abu ‘Ubaidah yang baru datang itu harus ada di bawah
pimpinannya sebagai bala bantuan. Abu ‘Ubaidah berkata, “Ya Amru,
Rasulullloh ShallAllohu ‘alaihi wasallam melarangku, kalian
berdua jangan berselisih!. Apabila engkau membangkang kepadaku, biarlah
aku yang patuh kepadamu!”. Alangkah indahnya kata-kata dan sikapnya
itu?”.
Demikianlah,
Islam berhasil menciptakan manusia model, insan kamil yang diasuh
Tuhannya, ruh dan kalbunya dimumikan dari sifat-sifat kebumian dan
keremehan manusiawi. Alangkah jujurnya kata-kata itu dalam nilai
kejantanan seseorang, “kalau kau membangkang kepadaku, biarlah aku yang
patuh kepadamu”, pada saat kepentingan jamaah kaum muslimin dan agama
Islam menuntut persatuan dan kekompakan.
Pada suatu
waktu, datanglah perutusan dari Najran kepada Nabi Shallallohu ‘alaihi
wasallam meminta supaya bersama mereka dikirimkan seorang agama,
mengajarkan hukum-hukum syariat kepada mereka, dan merangkap sebagai
penengah (hakim) apabila terjadi perselisihan antara mereka. Rasululloh
Shallallohu ‘alaihi wasallam berjanji kepada mereka: “nanti malam,
kalian datang kembali, aku akan mengirimkan bersama kalian seorang yang
terpercaya”. Umar ibnul Kaththab bercerita tentang hal itu: “aku belum
pernah ingin mendapatkan pangkat lebih dari itu pada waktu itu,
mudah-mudahan akulah orang yang dimaksudkan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam itu, Aku pergi menantikan waktu zhuhur. Sesudah Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam
selesai sholat zhuhur, beliau menoleh ke kanan dan ke kiri seperti ada
yang dicari. Aku menjulurkan kepalaku supaya beliau melihatku, tetapi
beliau masih saja mencari hingga beliau melihat Abu ‘Ubaidah ibnul
Jarrah, lalu beliau berseru: “kau pergi bersama mereka dan putuskan
sengketa yang terjadi antara mereka dengan sebenar-benarnya”. Demikian
keterangan yang jujur dari Umar ibnul Khaththab. Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tiap-tiap umat memiliki orang kepercayaan dan kepercayaan umat ini adalah Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah”.
Tepat sekali sebda Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam itu,
ibnul Jarrah adalah seorang kepercayaan dalam akhlaknya, tidak seorang
muslimpun merasa dirugikan olehnya. Ia kepercayaan dalam agamanya, ia
berusaha keras menggalakkan dakwah secara merata. Ia kepercayaan dalam
memelihara batas-batas negara sehingga semua pihak menghargai kewibawaan
dan kekuasaannya.
Bagaimana
tidak demikian, dia adalah salah seorang dari sepuluh orang pertama yang
masuk Islam dan salah seorang dari sepuluh orang yang dinyatakan akan
mendapatkan surga. Sesudah Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam wafat,
banyak orang yang datang hendak membaiat Abu ‘Ubaidah menjadi khalifah,
tetapi ia menjawab: “apakah kalian datang kepadaku sedangkan di
tengah-tengah umat ini masih ada orang yang ketiga”. Yang ia maksudkan
adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, sesuai dengan apa yang disabdakan
Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar di Gua Hira’, yang artinya: “Di waktu dia berkata kepada temannya, ‘janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Alloh beserta kita”. (QS: At-Taubah: 40).
Pada waktu itu, Umar ibnul Khaththab radhiallâhu ‘anhu
termasuk salah seorang yang datang kepadanya, seraya berkata, “ulurkan
tanganmu, aku akan membaiat kau, hai kepercayaaan umat, seperti yang
dikatakan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam“.
Abu
‘Ubaidah, menjawab, “belum pernah aku melihat kau tergelincir seperti
sekarang sejak engkau Islam. Apakah kau akan membaiatku, sedangkan
ash-Shiddiq, shahabat kedua Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam di
Gua Hira’, ada di tengah-tengah kita?”. Rupanya teguran Abu ‘Ubaidah
itu menyadarkan Umar. Ia lalu mengirimkan orang untuk memanggil Abu
Bakar di rumah Aisyah, Ummul Mukminin, lalu ketiganya pergi ke Saqifah
Bani Saa’idah. Setibanya disana, mereka mendapatkan kaum Anshar sedang
melakukan rapat. Abu Bakar bertanya keheranan, “ada apa ini?”. Mereka
menjawab, “dari kami diangkat amir dan dari kalian juga diangkat amir”.
Abu Bakar ash-Shiddiq berkata: “para amir dari kami dan para wazir
(menteri) dari kalian”. Sambutnya lagi, “aku setuju kalau kalian
mengangkat salah seorang diantara dua orang ini; Umar ibnul Khaththab
dan Abu ‘Ubaidah, kepercayaan umat ini”. Kedua orang itu menyatakan,
“Tidak mungkin ada seorangpun yang mengungguli kedudukanmu, ya Aba
Bakar!”. Keduanya lalu membaiatnya.
Itulah para pengikut dan shahabat Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam,
yang telah mendapatkan gemblengan Al-Qur’anul Karim dan mendapatkan
rintisan tata cara hidup melalui petunjuk dan pengajarannya.Suatu waktu, Umar ibnul Khaththab radhiallâhu ‘anhu selaku khalifah Islam mengangkat Abu ‘Ubaidah menjadi komandan pasukan kaum muslimin di Syam, menggantikan Khalid bin Walid. Pada waktu itu, Khalid sedang ada di medan perang menggempur musuh-musuh Islam. Ia tidak segera memberitahukan berita pengangkatannya dan pemecatan Khalid itu, sebagai penghormatan dan penghargaan atas jasa-jasanya.
Sesudah Khalid mendengar berita pemecatannya dan pengangkatan Abu ‘Ubaidah sebagai penggantinya maka dalam serah terima jabatan itu, Khalid berkata, “kini, telah diangkat untuk memimpin kalian kepercayaan umat ini, Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah”. Abu ‘Ubaidah menyambut perkataan itu, “aku mendengar Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Khalid adalah salah satu dari pedang-pedang Alloh, ya pemuda idaman”.
Itulah
jabatan kepanglimaan, tetapi tidak menyombongkan mereka. Itulah
kepangkatan dan jabatan tinggi dunia, namun mereka tidak lupa daratan
karena risalah atau misi mereka terbatas dan tugas mereka jelas, seperti
yang dikatakan Rabi’ bin Amir: “Alloh telah mengirimkan kami untuk
mengeluarkan orang yang Dia kehendaki diantara hamba-hambaNya, dari
mengabdikan diri kepada hambaNya kepada pengabdian diri kepada Alloh
semata”. Kalau jabatan dan kepangkatan tidak bisa menggiurkan dan
menggugurkan mereka, begitu pula dengan bujuk rayu dunia lainnya. Pada
suatu waktu, Umar ibnul Khaththab mengirim uang kepada Abu ‘Ubaidah
sebesar empat ribu dirham dan empat ratus dinar, lalu ia berpesan kepada
pesuruhnya, “perhatikan apa yang dilakukannya”. Sesudah uang itu
dibagi-bagikan, pesuruh itu melaporkan kepada khalifah Umar. Umar
berkata: “Alhamdulillah, yang menjadikan dalam kalangan kaum muslimin
orang yang melakukan hal itu”. Ketika khalifah Umar datang ke negeri
Syam, ia dijemput oleh para perwira militer dan pejabat sipil. Ia
bertanya, “mana saudaraku?”. Mereka bertanya keheranan, “siapa dia, ya
Amiral Mukminin?”.
Ia
menjawab,”Abu Ubaidah”.Mereka menjawab, “Ia segera datang”. Tak lama, ia
datang dengan menunggang seekor unta, lalu ia memberikan salam kepada
khalifah. Khalifah lalu memerintahkan para penyambutnya pulang kembali
dan membiarkannya bersama Abu ‘Ubaidah. Keduanya pergi ke rumah Abu
‘Ubaidah. Setiba di sana, Khalifah Umar tidak melihat sesuatu apapun
selain pedang dan perisainya. Umar bertanya kagum, “mengapa kau tidak
memiliki sesuatu?”. Abu ‘Ubaidah menjawab, “ya Amiral Mukminin, ini pun
akan menghantarkan kita ke tempat peristirahatan kita”. Umar tidak
melihat perabotan dan perhiasan mewah di rumahnya karena ia bukan
seorang yang senang duduk-duduk di rumah, tetapi seorang lapangan yang
selalu memandang jauh kepada apa yang ada di balik kehidupan ini. Adapun
orang-orang yang suka bergelimang dalam kesenangan hidup, mereka sudah
terperangkap jaringan setan yang sulit untuk membebaskan dirinya. Dia
tahu menempuh jalan hidup dunia menuju perumahan kehidupan abadi di
akhirat.
Kalau demikian watak keras dan kuat Abu ‘Ubaidah menghadapi kehidupan
ini, mendalam pengertiannya menempuh hidup dan menghadapi orang hidup,
konsekuen mempertahankan kebenaran, maka dengan sendirinya ia tidak akan
sudi berkompromi dengan kebatilan dan bermanis-manis dengan kecurangan,
tidak peduli kedudukan dan asal-usul seseorang yang dihadapannya.
Pada suatu hari, Jabalah ibnul Aiham, raja Ghassan, masuk Islam, sesudah menerima baik surant Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam yang
mengundangnya untuk menganut agama itu. Pada suatu waktu ia berjalan di
pasar kota Damaskus, tiba-tiba kakinya menginjak kaki Muzniah, lalu ia
langsung menampar Jabalah. Muzniah lalu digiring kepada Abu ‘Ubaidah
untuk diadili. Mereka berkata, “tuan Hakim, orang ini telah menampar
raja Jabalah”. “Dia harus ditampar juga!”.”Apa tidak
dibunuh?”.”Tidak”.”Apa tidak dipotong tangannya?”.”Tidak, Alloh hanya
memerintahkan dilakukan qishash, ditindak sama dengan perbuatannya”.
Jabalah berkata, “apakah kalian mengira aku mau menjadikan wajahku
perumpamaan bagi wajah nenek moyangku?”. Ia lalu meurad kembali menjadi
Kristen dan pergi menyeberang bersama kaumnya ke negeri Romawi. Negeri
Syam hamnpir seluruhnya ditaklukkan, tinggal beberapa buah benteng musuh
yang masih dipertahanka. Ketika pasukan Islam di bawah pimpinan
panglimanya, Abu ‘Ubaidah, hendak memulai pertempuran baru untuk merebut
benteng-benteng yang masih dipertahankan musuh itu, tiba-tiba terjadi
serangan penyakit menular hebat di kalangan pasukan kaum muslimin.
Mendengar berita mengerikan itu, Khalaifah Umar ingin menyelamatkan Abu
‘Ubaidah dari cengkeraman maut itu, lalu ia menulis surat memerintahkan
supaya ia keluar dari negeri itu. Isi surat itu antara lain: “Salam
sejahtera kepadamu. Lain dari itu, aku ingin menawarkan sesuatu
kepadamu, harapanku apabila engkau menerima suratku ini supaya
lekas-lekas datang menghadapku!”. Abu ‘Ubaidah paham maksud Khalifah
itu, lalu ia membalasnya: “Ya Amiral mukminin, aku sudah paham maksudmu.
Aku ada di tengah-tengah pasukan kaum muslimin, tidak bermaksud
mengutamakan keselamatan diri atau memisahkan diri dari mereka, hingga
Alloh menentukan apa yang Dia kehendaki terhadapku dan mereka, dan
bebaskanlah aku dari tawaran dan harapanmu itu!”. Abu ‘Ubaidah rahimahullah wafat karena penyakit menular itu pada tahun 18 H dalam usia 58 tahun.
Khalifah
Umar radhiallâhu ‘anhu berkata: “Kalau usia Abu ‘Ubaidah lanjut, akau
akan mengangkatnya menjadi penerusku. Kalau Alloh bertanya, atas dasar
apa kau mengangkatnya, aku akan menjawab, “aku pernah mendengar Nabi-Mu
mengatakan “Dia kepercayaan Umat ini”.
Sumber artikel : ahlulhadist.wordpress.com
0 komentar :
Posting Komentar