At Tauhid edisi VII/39
Oleh: Ammi Nur Baits
Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab “Ats-Tsiqat”
kisah ini. Dia adalah imam besar, Abu Qilabah Al-Jarmy Abdullah bin
Yazid dan termasuk diantara tabi’in yang meriwayatkan dari sahabat Anas
bin malik. Kisah ini diriwayatkan dari seorang mujahid yang bertugas di
daerah perbatasan (ribath), Abdullah bin Muhammad, beliau menuturkan:
Saya keluar untuk menjaga perbatasan di
Uraisy Mesir. Ketika aku berjalan, aku melewati sebuah perkemahan dan
aku mendengar seseorang berdoa,
“Ya Allah, anugerahkan aku ilham
untuk tetap mensyukuri nikmatMu yang telah engkau anugerahkan kepadaku
dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang
Engkau ridhai. Dan masukkanlah aku dengan rahmatMu ke dalam golongan
hamba-hambaMu yang shalih.” (Doa beliau ini merupakan kutipan dari firman Allah di surat An-Naml, ayat 19).
Aku melihat orang yang berdoa tersebut,
ternyata ia sedang tertimpa musibah. Dia telah kehilangan kedua tangan
dan kedua kakinya, matanya buta dan kurang pendengarannya. Beliau
kehilangan anaknya, yang biasa membantunya berwudhu dan memberi makan…
Lalu aku mendatanginya dan berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, sungguh aku telah mendengar doamu tadi, ada apa gerangan?”
Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai
hamba Allah. Demi Allah, seandainya Allah mengirim gunung-gunung dan
membinasakanku dan laut-laut menenggelamkanku, tidak ada yang melebihi
nikmat Tuhanku daripada lisan yang berdzikir ini.” Kemudian dia berkata,
“Sungguh, sudah tiga hari ini aku kehilangan anakku. Apakah engkau
bersedia mencarinya untukku? (Anaknya inilah yang biasa membantunya
berwudhu dan memberi makan)
Maka aku berkata kepadanya, “Demi Allah,
tidaklah ada yang lebih utama bagi seseorang yang berusaha memenuhi
kebutuhan orang lain, kecuali memenuhi kebutuhanmu.” Kemudian, aku
meninggalkannya untuk mencari anaknya. Tidak jauh setelah berjalan, aku
melihat tulang-tulang berserakan di antara bukit pasir. Dan ternyata
anaknya telah dimangsa binatang buas. Lalu aku berhenti dan berkata
dalam hati, “Bagaimana caraku kembali kepada temanku, dan apa yang akan
aku katakan padanya dengan kejadian ini? Aku mulai berpikir. Maka, aku
teringat kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam.
Setelah aku kembali, aku memberi salam kepadanya.
Dia berkata, “Apakah engkau temanku?”
Aku katakan, “Benar.”
Dia bertanya lagi, “Apa yang selama ini dikerjakan anakku?”
Aku berkata, “Apakah engkau ingat kisah Nabi Ayyub?”
Dia menjawab, “Ya.”
Aku berkata, “Apa yang Allah perbuat dengannya?”
Dia berkata, “Allah menguji dirinya dan hartanya.”
Aku katakan, ”Bagaimana dia menyikapinya?”
Dia berkata, “Ayyub bersabar.”
Aku katakan, “Apakah Allah mengujinya cukup dengan itu?”
Dia menjawab, “Bahkan kerabat yang dekat dan yang jauh menolak dan meninggalkannya.”
Lalu aku berkata, “Bagaimana dia menyikapinya?”
Dia berkata, “Dia tetap sabar. Wahai hamba Allah, sebenarnya apa yang engkau inginkan?”
Lalu aku berkata, “Anakmu telah meninggal, aku mendapatkannya telah dimangsa binatang buas di antara bukit pasir.”
Dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan dariku keturunan yang dapat menjerumuskan ke neraka.”
Lalu dia menarik nafas sekali dan ruhnya keluar.
Aku duduk dalam keadaan bingung apa yang
harus kulakukan. Jika aku tinggalkan, dia akan dimangsa binatang buas.
Jika aku tetap berada disampingnya, aku tidak dapat berbuat apa-apa.
Ketika dalam keadaan tersebut, tiba-tiba ada segerombolan perampok
mendatangiku.
Para perampok itu berkata, “Apa yang
terjadi?” Maka aku ceritakan apa yang telah terjadi. Mereka berkata,
“Bukakan wajahnya kepada kami!” Maka aku membuka wajahnya, lalu mereka
memiringkannya dan mendekatinya seraya berkata, “Demi Allah, ayahku
sebagai tebusannya, aku menahan mataku dari yang diharamkan Allah dan
demi Allah, ayahku sebagai tebusannya, tubuh orang ini menunjukkan bahwa
dia adalah orang yang sabar dalam menghadapi musibah.”
Lalu kami memandikannya, mengafaninya
dan menguburnya. Kemudian, aku kembali ke perbatasan. Lalu, aku tidur
dan aku melihatnya dalam mimpi, beliau kondisinya sehat. Aku berkata
kepadanya, “Bukankah engkau sahabatku?” Dia berkata,” Benar.” Aku
berkata, “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?” Dia berkata, “Allah telah
memasukkanku ke dalam surga dan berkata kepadaku,
“Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.” (QS. Ar-Ra’d: 24).
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
(Dari ceramah yang ditranskrip, oleh Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy yang berjudul Jannatu Ridha fit Taslim Lima Qadarallah wa Qadha, hal. 2)
Kisah nabi Ayyub sudah sering kita
dengar, namun mungkin muncul komentar dalam diri kita, “Itukan Nabi,
wajar jika dia mampu bersabar, sehingga membuat kita tidak terlalu
terkesan dengan cerita tersebut.” Tapi subhanallah.., tokoh
utama kisah di atas bukan Nabi. Abu Qilabah adalah manusia biasa seperti
layaknya kita. Beliau tidak mendapatkan wahyu maupun didatangi malaikat
Jibril untuk bersabar. Yang ini menunjukkan sikap sabar, diiringi
syukur yang luar biasa seperti kisah di atas, memungkinkan untuk ditiru
setiap orang. Tidak bisa kita bayangkan, andaikan beliau diberi oleh
Allah nikmat yang lebih dari itu, sehebat apa rasa syukur yang akan
beliau lakukan.
Inilah sifat yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkagum dan memuji pribadi orang mukmin. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, dari sahabat Suhaib bin Sinan radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh sangat mengagumkan keadaan
orang yang beriman. Semua keadaannya itu baik. Dan ini hanya ada pada
diri orang yang beriman. Apabila mereka mendapat kenikmatan, mereka
bersyukur, dan itu (sikap) yang baik baginya. Sementara jika dia
mendapatkan musibah, dia bersabar, dan itu (sikap) baik baginya.” (HR. Muslim).
Kunci Kebahagiaan Ada Tiga
Dalam bukunya yang sangat masyhur yang berjudul “qawaidul arba” (4 kaidah penting dalam memahami kesyirikan), Imam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi mengatakan:
“Semoga Allah menjadikan anda termasuk
diantara orang yang apabila dia diberi dia bersyukur, apabila diuji, dia
bersabar, dan apabila melakukan dosa, dia beristighfar. Karena tiga hal
ini merupakan tanda kebahagiaan.” (Qowaidul Arba’)
Bersyukur ketika mendapat nikmat
Dengan sikap ini, orang akan tetap mendapatkan tambahan nikmat dan keberkahannya. Sebagaimana janji Allah ta’ala, dalam firman-Nya:
“Jika kalian bersyukur maka sungguh Aku akan tambahkan untuk kalian, dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7)
Hanya saja perlu kita ingat. Sikap ini
tidaklah mudah. Kita baru bisa bersyukur, ketika kita merasa bahwa apa
yang ada pada diri kita adalah pemberian Allah yang sudah sangat
banyak. Dengan ini, kita tidak akan membandingkan kenikmatan yang ada
pada diri kita dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang lebih
‘sukses’ dari pada kita. Inilah kunci yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
“Lihatlah kepada orang yang
(nikmatnya) lebih bawah dari pada kalian. Jangan melihat kepada orang
yang (nikmatnya) di atas kalian. Dengan ini, akan lebih memungkinkan,
agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah pada diri kalian.” (HR. Turmudzi dan dinilai shahih oleh al-Albani)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengakui bahwa manusia memiliki sifat hasad dan selalu menginginkan
nikmat yang Allah berikan kepada orang lain. Dengan sebab ini, orang
akan melupakan nikmat yang ada pada dirinya. Karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengarahkan kepada manusia agar menutup celah timbulnya perasaan ini,
dengan membandingkan keadaan dirinya dengan keadaan orang yang lebih
rendah kenikmatannya dari pada nikmat yang ada pada dirinya.
Bersabar ketika mendapat ujian
Ujian dan cobaan merupakan salah satu
bagian dalam kehidupan manusia. Tidak ada kenikmatan mutlak di alam
dunia ini. Sehebat apapun manusia, sekaya apapun dia, kenikmatan yang
dia rasakan akan bercampur dengan ujian dan cobaan. Namun, orang yang
beriman bisa mengkondisikan keadaan yang sejatinya pahit ini sebagai
bagian dari kebahagiaan. Itulah sikap sabar dan mengharap pahala dari
Allah ta’ala. Karena itu, semakin besar sikap sabar yang
dilakukan, semakin besar pula kebahagiaan yang dia rasakan. Barangkali,
inilah diantara rahasia bahwa semakin sempurna keimanan seseorang maka
semakin besar pula ujian yang Allah berikan kepadanya. Dinyatakan dalam
sebuah hadits, dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya besarnya pahala
sepadan dengan besarnya ujian. Sesungguhnya Allah, apabila mencintai
seseorang maka Allah akan mengujinya. Siapa yang ridha (dengan takdir
Allah) maka dia akan mendapatkan ridha (Allah). Siapa yang marah (dengan
takdir Allah) maka dia akan mendapatkan murka (Allah)” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah, dan dinilai hasan shahih oleh al-Albani)
Diantara hikmah Allah memberikan ujian
kepada kaum mukminin adalah agar mereka tidak merasa bahwa kehidupan
dunia ini sebagai kenikmatan mutlak, sehingga mereka akan senantiasa
mengharapkan akhirat.
Memohon ampunan ketika berdosa
Bukanlah sifat orang mukmin yang
bertaqwa, sama sekali tidak memiliki dosa. Hamba beriman yang baik
adalah hamba yang ketika melakukan dosa dia segera bertaubat dan memohon
ampunan kepada Allah. Allah berfirman:
“(Orang yang bertaqwa) adalah
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka” (QS. Ali Imran: 135)
Dan inilah bagian tabiat manusia yang
tidak bisa dihilangkan dari diri mereka. Akan tetapi, yang lebih penting
adalah bagaimana seorang mukmin bisa segera bertaubat ketika melakukan
dosa. Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Dzat Yang jiwaku berada di
tangan-Nya. Andaikan kalian sama sekali tidak melakukan dosa, Allah akan
menghilangkan kalian, kemudian Allah datangkan sekelompok orang yang
mereka melakukan perbuatan dosa kemudian bertaubat, lalu Allah
mengampuni mereka.” (HR. Muslim)
Hal inilah yang dirasakan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para manusia mulia ini, khawatir, jangan-jangan termasuk orang munafik,
ketika mereka merasa lebih bertaqwa pada saat di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ketika berada di rumah, mereka masih melekat dengan dunia.
Dari Abu Hurairah rahiiallahu ‘anhu,
bahwa para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, ketika kami melihat
anda, hati kami menjadi lunak, dan kami seolah menjadi penduduk akhirat.
Namun ketika kami jauh dari anda, kami menginginkan dunia dan bercanda
dengan para istri dan anak.” Kemudian beliau bersabda:
“Jika kalian setiap saat dalam
keadaan sebagaimana ketika kalian berada di dekatku (seolah menjadi
penduduk akhirat), niscaya para malaikat akan menyalami kalian dengan
telapak tangan mereka dan mengunjungi kalian di rumah kalian. Andai
kalian tidak pernah melakukan perbuatan dosa, niscaya Allah akan
mendatangkan kaum yang berdosa (kemudian bertaubat) agar Allah
mengampuni mereka” (HR. Ahmad, dan dinyatakan oleh Syu’aib al-Arnauth: Shahih dengan beberapa jalurnya). Allahu a’lam. [Ammi Nur Baits]
Sumber : buletin.muslim.or.id
0 komentar :
Posting Komentar