Berbagai dalil dari al Qur’an dan sunnah secara umum menunjukkan bahwa berdusta itu hukumnya haram.
Dusta adalah dosa dan ‘aib yang amat buruk. Di samping berbagai dalil
dari Al Qur’an dan As Sunnah umat Islam bersepakat bahwa berdusta itu
haram.
Di antara dalil tegas yang menunjukkan haramnya dusta adalah hadits berikut ini.
Demikian pula berita yang keliru tanpa sengaja bukanlah termasuk dusta karena dusta adalah dusta jika dilakukan dengan sengaja.
Akan tetapi tidak semua dusta itu terlarang. Ada beberapa dusta yang diizinkan oleh syariat. Di antaranya adalah:
Hadits ini secara gamblang menunjukkan adanya beberapa jenis dusta yang diperbolehkan karena pertimbangan tertentu. Para ulama telah membuat kaedah tentang dusta yang diperbolehkan. Kaedah yang paling bagus adalah perkataan Abu Hamid Al Ghazali.
Demikian pula jika kita mendapatkan titipan barang dari seseorang lalu ada seorang penjahat yang menanyakan keberadaan barang tersebut dengan tujuan untuk merampasnya maka berdusta dalam kondisi seperti ini hukumnya wajib demi menyelamatkan barang tersebut.
Andai kita diminta untuk bersumpah dalam kasus-kasus semisal di atas maka hendaknya kita menggunakan tauriyah dalam sumpah.
Ini semua dilakukan jika memang suatu tujuan tidaklah mungkin dicapai kecuali dengan berdusta. Upaya hati-hati dalam hal ini adalah menggunakan tauriyah.
Andai kita berdusta dengan tujuan yang benar, baik itu merupakan tujuan pribadi maupun untuk kepentingan orang lain maka kedustaan dalam keadaan semacam ini dibolehkan. Misal ada seorang penjahat yang menarik baju kita lalu menanyakan harta kita untuk dirampas maka seharusnya kita tidak menuruti keinginan penjahat tersebut. Contoh lain adalah andai kita ditanya tentang rahasia orang lain maka seharusnya kita tidak memberitahukannya.
Kita seharusnya menimbang antara ekses negative akibat berdusta dengan sesuatu yang mungkin timbul jika kita berkata jujur. Seandainya dampak positif yang ditimbulkan dengan berkata jujur maka dalam kondisi seperti ini berdusta tidak diperbolehkan. Jika kasusnya sebaliknya atau kita ragu dengan dampak positif perkataan dusta maka berdusta hukumnya haram.
Diriwayatkan dari Umar bin Khatab bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya kata-kata kiasan bisa digunakan orang untuk menggantikan kata-kata dusta”.
Jika ada orang yang bertamu ke rumah Hammad sedangkan beliau tidak berkenan untuk mempersilahkannya masuk maka beliau gigit jarinya dengan gigi geraham kemudian berkata, “Aduh gigiku, gigiku”.
Imam Ahmad ketika ditanya tentang Maruzi padahal Maruzi tengah berada di dalam rumah bersama Imam Ahmad sedangkan Maruzi sendiri enggan untuk menemui orang tersebut maka Imam Ahmad meletakkan salah satu jari tangannya di telapak tangan lalu mengatakan, “Maruzi tidak berada di sini. Untuk apa dia berada di sini?”.
Sumber : ustadzaris.com
Di antara dalil tegas yang menunjukkan haramnya dusta adalah hadits berikut ini.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji dan khinat terhadap amanah” (HR Bukhari no 2682 dan Muslim no 220).
Yang dimaksud dengan dusta adalah menyampaikan berita yang tidak sesuai dengan kenyataan secara sengaja.Berdasarkan definisi tersebut maka fiksi bukanlah dusta karena syarat supaya disebut dusta adanya kenyataan yang diselisihi. Sedangkan dalam fiksi tidak terdapat kenyataan yang diselisihi. Hal ini tentu berlaku selama fiksi tersebut tidak dikesankan sebagai sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi.
Demikian pula berita yang keliru tanpa sengaja bukanlah termasuk dusta karena dusta adalah dusta jika dilakukan dengan sengaja.
Akan tetapi tidak semua dusta itu terlarang. Ada beberapa dusta yang diizinkan oleh syariat. Di antaranya adalah:
عن حُمَيْد بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ أُمَّهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِى مُعَيْطٍ وَكَانَتْ مِنَ الْمُهَاجِرَاتِ الأُوَلِ اللاَّتِى بَايَعْنَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَقُولُ « لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِى خَيْرًا ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِى شَىْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.Ibnu Syihab az Zuhri, seorang tabi’in, berkata, “Aku belum pernah mendengar adanya dusta yang diperbolehkan kecuali dalam tiga hal yaitu ketika perang, untuk mendamaikan orang yang berselisih dan ucapan suami untuk menyenangkan istrinya atau sebaliknya.” (HR Muslim no 6799).
Dari Humaid bin ‘Abdurrahman bin Auf, sesungguhnya ibunya yang bernama Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aid, Ummu KUtsum ini adalah salah seorang wanita yang pertama kali berhijrah dan berbai’at kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Bukanlah termasuk pendusta orang yang mendamaikan orang yang berselisih dengan bertutur kata yang baik dan menanamkan kebaikan di antara orang yang berselisih”.
Hadits ini secara gamblang menunjukkan adanya beberapa jenis dusta yang diperbolehkan karena pertimbangan tertentu. Para ulama telah membuat kaedah tentang dusta yang diperbolehkan. Kaedah yang paling bagus adalah perkataan Abu Hamid Al Ghazali.
Beliau berkata, “Perkataan adalah sarana untuk menyampaikan suatu maksud. Setiap maksud yang bisa disampaikan dengan kalimat dusta ataupun kalimat yang jujur maka berdusta dalam hal ini hukumnya adalah haram karena tidak ada kebutuhan yang mendorong untuk berdusta. Jika maksud yang hendak disampaikan hanya bisa terwujud dengan dusta dan tidak bisa terwujud jika berkata apa adanya maka berdusta dalam kondisi ini diperbolehkan selama maksud yang dituju adalah perkara mubah. Bahkan dusta bisa menjadi sebuah kewajiban jika maksud yang dituju adalah perkara yang wajib”.Seorang muslim yang bersembunyi dari kejaran penjahat, kemudian penjahat itu bertanya kepada kita tentang di manakah keberadaan orang tersebut maka berdusta dalam kondisi semisal ini hukumnya adalah wajib demi menyelamatkannya.
Demikian pula jika kita mendapatkan titipan barang dari seseorang lalu ada seorang penjahat yang menanyakan keberadaan barang tersebut dengan tujuan untuk merampasnya maka berdusta dalam kondisi seperti ini hukumnya wajib demi menyelamatkan barang tersebut.
Andai kita diminta untuk bersumpah dalam kasus-kasus semisal di atas maka hendaknya kita menggunakan tauriyah dalam sumpah.
Ini semua dilakukan jika memang suatu tujuan tidaklah mungkin dicapai kecuali dengan berdusta. Upaya hati-hati dalam hal ini adalah menggunakan tauriyah.
Tauriyah adalah memilih kata-kata tertentu dengan maksud yang benar dan kata-kata tersebut bukanlah kebohongan jika ditinjau dari niat pembicara. Walau secara eksplisit kata-kata tadi dinilai sebagai sebuah kebohongan.Dalam kondisi seperti di atas jika kita tidak menggunakan tauriyah namun memilih untuk berbohong maka perbuatan seperti itu tidaklah diharamkan.
Andai kita berdusta dengan tujuan yang benar, baik itu merupakan tujuan pribadi maupun untuk kepentingan orang lain maka kedustaan dalam keadaan semacam ini dibolehkan. Misal ada seorang penjahat yang menarik baju kita lalu menanyakan harta kita untuk dirampas maka seharusnya kita tidak menuruti keinginan penjahat tersebut. Contoh lain adalah andai kita ditanya tentang rahasia orang lain maka seharusnya kita tidak memberitahukannya.
Kita seharusnya menimbang antara ekses negative akibat berdusta dengan sesuatu yang mungkin timbul jika kita berkata jujur. Seandainya dampak positif yang ditimbulkan dengan berkata jujur maka dalam kondisi seperti ini berdusta tidak diperbolehkan. Jika kasusnya sebaliknya atau kita ragu dengan dampak positif perkataan dusta maka berdusta hukumnya haram.
Diriwayatkan dari Umar bin Khatab bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya kata-kata kiasan bisa digunakan orang untuk menggantikan kata-kata dusta”.
Jika ada orang yang bertamu ke rumah Hammad sedangkan beliau tidak berkenan untuk mempersilahkannya masuk maka beliau gigit jarinya dengan gigi geraham kemudian berkata, “Aduh gigiku, gigiku”.
Imam Ahmad ketika ditanya tentang Maruzi padahal Maruzi tengah berada di dalam rumah bersama Imam Ahmad sedangkan Maruzi sendiri enggan untuk menemui orang tersebut maka Imam Ahmad meletakkan salah satu jari tangannya di telapak tangan lalu mengatakan, “Maruzi tidak berada di sini. Untuk apa dia berada di sini?”.
Ketika Rasulullah tengah berjalan bersama para shahabat, tiba-tiba mereka bertemu dengan pasukan kaum musyrikin. Mereka bertanya, ‘Dari manakah kalian?”. Nabi menjawab, “Kami dari ma-in” (ma-in bisa berarti nama kampung dan bisa berarti air). Orang-orang musyrik saling memandang lalu mengatakan, “Kampung-kampung di Yaman itu sangat banyak. Memang salah satu mereka berasal dari satu perkampungan di Yaman”. Orang-orang musyrik tersebut akhirnya berlalu.
Padahal yang Nabi maksudkan adalah ‘air’ sebagaimana dalam firman Allah di surat Ath Thariq ayat ke-6.خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ
“Manusia itu diciptakan dari air yang dipancarkan”.
Sumber : ustadzaris.com
0 komentar :
Posting Komentar