Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap aspek
kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Islam juga memiliki
banyak prinsip dasar yang memberikan frame khusus pada bab muamalah.
Oleh karenanya, sudah sepatutnya bagi setiap pengusaha muslim untuk
mempelajari dan memahami kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Islam dalam
jual beli (bisnis) agar ia dapat membedakan antara praktik bisnis yang
halal dan yang haram, yang hak dan yang batil, dan ia juga bisa
menyelamatkan dirinya dan hartanya dari hal-hal terlarang seperti riba,
dusta, penipuan, dan selainnya.
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab radhiyallahu anhu, bahwa ia mengeluarkan setiap pedagang yang tidak paham tentang jual beli (yang syar’i) dari pasar, seraya berkata, “Tidak diperkenankan berdagang di pasar-pasar kaum muslimin bagi siapa saja yang tidak memahami seluk beluk riba.”
Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa beliau memerintahkan para penguasa untuk mengumpulkan seluruh pedagang dan orang-orang pasar, lalu beliau menguji mereka satu-persatu, saat beliau dapati diantara mereka ada yang tidak mengerti hukum halal-haram dalam jual-beli beliau melarangnya masuk ke pasar seraya menyuruhnya mempelajari fiqih muamalah (bisnis), bila telah paham, orang tersebut dibolehkan masuk pasar. (lihat Al maaliyah wal Mashrafiyyah, DR. Nazih Hamad, hal.359).
Di antara kaidah-kaidah dasar dalam muamalah yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Hukum Asal dalam Bab Muamalah adalah Mubah
Mayoritas ulama fikih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah mubah (diperbolehkan), kecuali terdapat dalil shahih dan jelas yang melarangnya. (lihat Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, Dr. Shalih As-Sadlan)
Prinsip ini berbeda dengan prinsip ibadah. hukum asal dalam ibadah adalah dilarang hingga ada dalil shahih yang membolehkannya atau mensyariatkannya. Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak berlomba-lomba membuat sesuatu yang baru dalam agama Allah yang tidak diajarkan.
Di antara dalil bagi prinsip dasar ini ialah firman Allah:
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنزلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلالا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
“Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS.Yunus:59).
Dan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Ma-idah: 1)
Dan firman-Nya pula:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولا
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-isra’: 34)
Aqad (perjanjian) di sini sifatnya mutlak, mencakup janji hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Dalil lainnya ialah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
Dan firman-Nya pula:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Dan Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119)
Ayat-ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa apa saja yang tidak diharamkan oleh Allah maka hukumnya halal atau mubah. Dan juga mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang.
2. Hukum asal segala sesuatu adalah bebas tanggungan
Asal status hukum kepemilikan seseorang adalah terbebas dari segala tuntutan. Tidak ada seorang pun yang dituntut oleh orang lain tentang sesuatu yang dimilikinya, kecuali jika ada bukti kuat yang menafikannya. Jika hanya sekadar pengakuan atau tuduhan, maka dianggap tanpa ada landasan dan alasan yang kuat.
Barangsiapa mengaku punya piutang terhadap orang lain tetapi tidak memiliki bukti yang kuat dan meyakinkan, maka orang yang didakwa berhutang padanya bebas dari dakwaan tersebut bila ia mengingkarinya. Sebab orang yang mendakwa ingin agar uang yang dihutang bisa disandarkan jadi hak miliknya. Padahal hukum asal kepemilikan sesuatu itu bebas dan orang yang mengaku-ngaku tersebut bertentangan dengan hukum asal. Dan barangsiapa bertentangan dengan hukum asal, maka hendaknya dia menunjukkan suatu bukti yang kuat dan meyakinkan.
Dari prinsip ini, maka lahirlah prinsip lain yaitu ‘bukti diharuskan ada bagi pihak yang mendakwa (mengaku) dan sumpah itu diambil dari orang yang mengingkarinya’.
Prinsip ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ وَلَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِيْنَ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
“Jika semua orang diberikan (apa yang mereka dakwakan) hanya dengan dakwaan mereka, maka akan banyak orang yang mendakwakan harta dan jiwa orang lain. Tapi yang mendakwa harus mendatangkan bukti dan terdakwa yang mengingkari harus bersumpah.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan selainnya, dan sebahagiannya di Shahihain)
Ibnu Daqiq Al-‘Ied berkata: “Dan hadits ini adalah salah satu pokok hukum dan referensi utama dalam pertentangan dan perselisihan. Konsekuensinya seseorang tidak boleh divonis hanya dengan dakwaannya.” (Syarah Arba’in, Ibnu Daqiq, hlm.117)
3. Prinsip tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain
Islam melarang umatnya untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan bahaya pada orang lain dan mengakibatkan kerusakan di atas muka bumi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 2430 dan Ahmad no.2867)
Sebagai penerapan dari prinsip ini, maka setiap pengusaha muslim dituntut untuk memiliki kemampuan dalam menyeimbangkan antara kemaslahatan untuk dirinya dan untuk masyarakatnya, ketika dia memanfaatkan hartanya dalam investasi.
Wajib bagi pengusaha muslim untuk menelaah keadaan masyarakat dengan jeli, yang kemudian mendorongnya untuk melakukan kewajiban-kewajibannya sehingga bisa mendatangkan manfaat untuk mereka. Dia tidak membatasi diri untuk melakukan kebaikan, jika terdapat kemanfaatan untuk manusia pada umumnya.
4. Segala sesuatu yang mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya haram
Di antara hikmah Allah yang agung adalah ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah menjaganya dengan sebuah penjagaan yang sangat ketat, yaitu dengan menutup semua pintu yang mengantarkan seseorang ke sana. Oleh karena itu segala sarana yang mengarahkan manusia ke jalan yang haram, maka diharamkan juga. Hal ini ditetapkan untuk menutup kemungkinan-kemungkinan lainnya. Dosa yang terdapat pada perbuatan haram, tidak hanya diberikan pada pelakunya saja, namun juga kepada semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan tersebut.
Dalam masalah riba, Rasulullah melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, orang yang memberinya, penulisnya, dan saksinya. Begitu juga dengan diharankannya khamr. Rasulullah melaknat peminumnya, pembuatnya, penyajinya, alat yang digunakan untuk menyajikannya, yang memakan hasil keuntungannya, dan semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan haram tersebut. (Hadits yang melaknat riba dan khamr serta siapa saja yang bersangkutan dengan keduanya dapat dibaca pada majalah Pengusaha Muslim edisi 02 Volume 1 di rubrik Kajian Kita hal. 41)
5. Beralasan untuk melaksanakan yang haram, tidak mengubah status keharamannya.
Islam telah menutup rapat upaya-upaya untuk mencari celah dan alasan agar seseorang dapat malakukan perbuatan haram tersebut, misalnya dengan menggunakan sarana yang samar dan mambuat-buat alasan. Bisa juga dalam bentuk menyebut sesuatu yang aslinya diharamkan dengan nama lain, atau menampilkannya dengan cover yang berbeda tanpa mengubah intinya. Tindakan tersebut tidak menjadikan status keharamannya berubah menjadi halal.
Mencari-cari alasan atas sesuatu yang telah diharamkan merupakan sifat dan karakter kaum Yahudi. Rasulullah menceritakan tentang suatu masa, di mana akan banyak manusia yang menghalalkan riba dengan nama jual beli. Padahal riba tetaplah riba sekalipun ia dinamakan dengan bunga, keuntungan, kelebihan, atau penjualan. Dalam masalah ini Ibnul Qayyim berkata, “Kerusakan yang sangat besar yang dikandung dalam riba, tidak cukup hanya dengan mengubah nama aslinya dari riba menjadi transaksi lainnya. Begitu juga tidak berarti hanya dengan mengubah bentuknya menjadi bentuk lainnya.” (Lihat Ighatsatu Al-Lahfan Min Mashayidi Asy-Syaithan, pada pasal golongan yang menghalalkan riba).
6. Niat baik tidak melegalkan diperbolehkannya melakukan yang haram.
Haram tetap menjadi haram, sebaik apapun niat pelakunya. Karena dalam Islam, tujuan tidak bisa menghalalkan seseorang untuk menggunakan segala macam cara untuk meraihnya.
Oleh karenanya, seorang pengusaha muslim tidak boleh mengumpulkan harta dari sesuatu yang haram, seperti dari riba atau hal lain yang diharamkan syari’at Islam, kemudian ia gunakan untuk menafkahi dirinya, keluarganya, untuk membangun masjid atau pesantren, atau untuk melakukan ibadah haji dan umrah. Karena amal tersebut ditolak oleh Allah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
« إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ »
“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana perintah-Nya kepada para Rasul. Allah berfirman: “Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.” (QS. Al-Mu’minun: 51) dan Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172)
Kemudian beliau menyebutkan seorang yang bepergian jauh, dengan rambut kusut lagi berdebu mengulurkan kedua tangannya ke langit (seraya berdoa, pen): Ya Tuhan, ya Tuhan, sementara makanannya haram, minumannya haram, bajunya haram, dan diberi makan dengan makanan yang haram, bagaimana mungkin dikabulkan permintaannya?” (HR. Muslim no. 2393)
Dan Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ جَمَعَ مَالاً حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang mengumpulkan harta yang haram, kemudian dia menyedekahkannya, maka dia tidak akan mendapatkan pahala, dan dosanya akan dibebankan padanya.” (HR. Ibnu Hibban no. 3216. Syu’aib Arna’uth berkata, “sanadnya hasan”).
7. Hal-hal yang mendesak (dharurat) membolehkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang haram
Kaidah ini berlandaskan pada firman Allah:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Akan tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)
Prinsip ‘kecuali dalam keadaan terpaksa’ ini diikat dengan suatu batasan ‘tidak boleh melampaui batas’ dalam menggunakan sesuatu yang haram, juga tidak keluar dari batasan darurat.
Dari prinsip ini, ulama fiqih mengambil sebuah kaidah lain yang berbunyi, “Apa yang diperbolehkan dalam kondisi darurat, diukur sesuai dengan ukurannya.”
Keadaan darurat bukanlah seperti pakaian yang elastis sehingga bisa ditafsirkan oleh siapa saja sesuai hawa nafsunya, tanpa ada batasan. Jangan karena atas nama darurat menjadikan seseorang melakukan sesuatu yang haram, terutama riba.
Sesungguhnya darurat itu adalah suatu keadaan yang bisa memaksa seseorang pada kehancuran. Seorang muslim sekalipun dalam keadaan darurat, tidak sepantasnya menyerah pada keadaan, kemudian tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan nafsunya. Hendaknya ia tetap berpegang teguh pada hukum awal bahwa manusia memilih yang halal, sehingga dia tidak terbiasa melakukan yang haram atau mempermudah hal yang darurat.
8. Segala bentuk pinjaman yang mengakibatkan keuntungan yang disyaratkan, maka dianggap riba
Objek masalah ini secara langsung adalah riba an-nasi’ah. Suatu pinjaman yang di dalamnya ada tambahan yang telah diketahui sebelumnya adalah riba terang-terangan. Tidak boleh ada keuntungan yang disembunyikan dari modal dasar kontan dan jumlah nominal tertentu. Keuntungan menjadi dibolehkan, jika ia didapat bersamaan dengan perputaran proses produksi dan segala hal yang terkait dengannya. Kemudian keuntungan tersebut akan dibagi berdasarkan pertimbangan unsur-unsur yang digerakkan bersama dalam aktifitas produksi.
Seseorang akan mendapatkan modal kontannya sebesar modalnya dalam pengembangan usaha. Keuntungan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk persentase. Adapun kerugian akan dibagi berdasarkan titik-titik yang bersinggungan dalam upaya pembiayaan proses produksi. Dengan demikian, uang nominal yang diserahkan kontan pada dasarnya tidak diperbolehkan sebagai upah atau ganti atas hutang.
9. Umat Islam tergantung pada syarat mereka
Kaidah ini menjelaskan bahwa orang-orang yang mengadakan akad transaksi hendaknya berkomitmen dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati bersama, selama syarat-syarat tersebut bukan pada masalah yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Hukum asal dalam menetapkan syarat-syarat dalam jual beli adalah mubah. Pendapat ini berdasarkan hadits Rasulullah: “Semua orang Islam berkomitmen dengan syarat yang mereka tetapkan bersama, yang tentunya syarat tersebut berbanding lurus dengan kebenaran.”
Beliau juga bersabda:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Mengapa banyak dari kaum muslimin yang menetapkan syarat-syarat yang tidak didapatkan dalam Al-Qur’an. Barangsiapa yang menetapkan syarat yang tidak ada dalam Al-Qur’an, maka dia tidak mempunyai hak sekalipun walaupun membuat seratus syarat.” (HR. Bukhari II/972 no.2579, dan Muslim II/1141 no.1504)
Pada dasarnya, Rasulullah tidaklah mengingkari kemungkinan adanya syarat yang dibuat oleh mereka yang melakukan transaksi. Yang beliau ingkari adalah syarat-syarat yang ditentukan tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa hukum asal dari pengajuan syarat ini adalah mubah, kecuali jika syarat-syarat tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an (dan As-Sunnah, pen).
10. Segala sesuatu yang diperbolehkan untuk menjualnya, maka boleh juga untuk menyedekahkannya dan menggadaikannya
Maksudnya bahwa menurut syari’at segala sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual, maka diperbolehkan juga untuk dihibahkan, disedekahkan, dan dijadikan jaminan.
Demikian tulisan sederhana tentang beberapa kaidah dasar dan prinsip Islam dalam menjalankan usaha atau bisnis. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-showab.
[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM, Edisi 3 Volume 1 tanggal 15 Maret 2010]
Sumber : abufawaz.wordpress.com
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab radhiyallahu anhu, bahwa ia mengeluarkan setiap pedagang yang tidak paham tentang jual beli (yang syar’i) dari pasar, seraya berkata, “Tidak diperkenankan berdagang di pasar-pasar kaum muslimin bagi siapa saja yang tidak memahami seluk beluk riba.”
Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa beliau memerintahkan para penguasa untuk mengumpulkan seluruh pedagang dan orang-orang pasar, lalu beliau menguji mereka satu-persatu, saat beliau dapati diantara mereka ada yang tidak mengerti hukum halal-haram dalam jual-beli beliau melarangnya masuk ke pasar seraya menyuruhnya mempelajari fiqih muamalah (bisnis), bila telah paham, orang tersebut dibolehkan masuk pasar. (lihat Al maaliyah wal Mashrafiyyah, DR. Nazih Hamad, hal.359).
Di antara kaidah-kaidah dasar dalam muamalah yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Hukum Asal dalam Bab Muamalah adalah Mubah
Mayoritas ulama fikih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah mubah (diperbolehkan), kecuali terdapat dalil shahih dan jelas yang melarangnya. (lihat Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, Dr. Shalih As-Sadlan)
Prinsip ini berbeda dengan prinsip ibadah. hukum asal dalam ibadah adalah dilarang hingga ada dalil shahih yang membolehkannya atau mensyariatkannya. Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak berlomba-lomba membuat sesuatu yang baru dalam agama Allah yang tidak diajarkan.
Di antara dalil bagi prinsip dasar ini ialah firman Allah:
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنزلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلالا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
“Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS.Yunus:59).
Dan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Ma-idah: 1)
Dan firman-Nya pula:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولا
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-isra’: 34)
Aqad (perjanjian) di sini sifatnya mutlak, mencakup janji hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Dalil lainnya ialah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
Dan firman-Nya pula:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Dan Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119)
Ayat-ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa apa saja yang tidak diharamkan oleh Allah maka hukumnya halal atau mubah. Dan juga mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang.
2. Hukum asal segala sesuatu adalah bebas tanggungan
Asal status hukum kepemilikan seseorang adalah terbebas dari segala tuntutan. Tidak ada seorang pun yang dituntut oleh orang lain tentang sesuatu yang dimilikinya, kecuali jika ada bukti kuat yang menafikannya. Jika hanya sekadar pengakuan atau tuduhan, maka dianggap tanpa ada landasan dan alasan yang kuat.
Barangsiapa mengaku punya piutang terhadap orang lain tetapi tidak memiliki bukti yang kuat dan meyakinkan, maka orang yang didakwa berhutang padanya bebas dari dakwaan tersebut bila ia mengingkarinya. Sebab orang yang mendakwa ingin agar uang yang dihutang bisa disandarkan jadi hak miliknya. Padahal hukum asal kepemilikan sesuatu itu bebas dan orang yang mengaku-ngaku tersebut bertentangan dengan hukum asal. Dan barangsiapa bertentangan dengan hukum asal, maka hendaknya dia menunjukkan suatu bukti yang kuat dan meyakinkan.
Dari prinsip ini, maka lahirlah prinsip lain yaitu ‘bukti diharuskan ada bagi pihak yang mendakwa (mengaku) dan sumpah itu diambil dari orang yang mengingkarinya’.
Prinsip ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ وَلَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِيْنَ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
“Jika semua orang diberikan (apa yang mereka dakwakan) hanya dengan dakwaan mereka, maka akan banyak orang yang mendakwakan harta dan jiwa orang lain. Tapi yang mendakwa harus mendatangkan bukti dan terdakwa yang mengingkari harus bersumpah.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan selainnya, dan sebahagiannya di Shahihain)
Ibnu Daqiq Al-‘Ied berkata: “Dan hadits ini adalah salah satu pokok hukum dan referensi utama dalam pertentangan dan perselisihan. Konsekuensinya seseorang tidak boleh divonis hanya dengan dakwaannya.” (Syarah Arba’in, Ibnu Daqiq, hlm.117)
3. Prinsip tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain
Islam melarang umatnya untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan bahaya pada orang lain dan mengakibatkan kerusakan di atas muka bumi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 2430 dan Ahmad no.2867)
Sebagai penerapan dari prinsip ini, maka setiap pengusaha muslim dituntut untuk memiliki kemampuan dalam menyeimbangkan antara kemaslahatan untuk dirinya dan untuk masyarakatnya, ketika dia memanfaatkan hartanya dalam investasi.
Wajib bagi pengusaha muslim untuk menelaah keadaan masyarakat dengan jeli, yang kemudian mendorongnya untuk melakukan kewajiban-kewajibannya sehingga bisa mendatangkan manfaat untuk mereka. Dia tidak membatasi diri untuk melakukan kebaikan, jika terdapat kemanfaatan untuk manusia pada umumnya.
4. Segala sesuatu yang mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya haram
Di antara hikmah Allah yang agung adalah ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah menjaganya dengan sebuah penjagaan yang sangat ketat, yaitu dengan menutup semua pintu yang mengantarkan seseorang ke sana. Oleh karena itu segala sarana yang mengarahkan manusia ke jalan yang haram, maka diharamkan juga. Hal ini ditetapkan untuk menutup kemungkinan-kemungkinan lainnya. Dosa yang terdapat pada perbuatan haram, tidak hanya diberikan pada pelakunya saja, namun juga kepada semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan tersebut.
Dalam masalah riba, Rasulullah melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, orang yang memberinya, penulisnya, dan saksinya. Begitu juga dengan diharankannya khamr. Rasulullah melaknat peminumnya, pembuatnya, penyajinya, alat yang digunakan untuk menyajikannya, yang memakan hasil keuntungannya, dan semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan haram tersebut. (Hadits yang melaknat riba dan khamr serta siapa saja yang bersangkutan dengan keduanya dapat dibaca pada majalah Pengusaha Muslim edisi 02 Volume 1 di rubrik Kajian Kita hal. 41)
5. Beralasan untuk melaksanakan yang haram, tidak mengubah status keharamannya.
Islam telah menutup rapat upaya-upaya untuk mencari celah dan alasan agar seseorang dapat malakukan perbuatan haram tersebut, misalnya dengan menggunakan sarana yang samar dan mambuat-buat alasan. Bisa juga dalam bentuk menyebut sesuatu yang aslinya diharamkan dengan nama lain, atau menampilkannya dengan cover yang berbeda tanpa mengubah intinya. Tindakan tersebut tidak menjadikan status keharamannya berubah menjadi halal.
Mencari-cari alasan atas sesuatu yang telah diharamkan merupakan sifat dan karakter kaum Yahudi. Rasulullah menceritakan tentang suatu masa, di mana akan banyak manusia yang menghalalkan riba dengan nama jual beli. Padahal riba tetaplah riba sekalipun ia dinamakan dengan bunga, keuntungan, kelebihan, atau penjualan. Dalam masalah ini Ibnul Qayyim berkata, “Kerusakan yang sangat besar yang dikandung dalam riba, tidak cukup hanya dengan mengubah nama aslinya dari riba menjadi transaksi lainnya. Begitu juga tidak berarti hanya dengan mengubah bentuknya menjadi bentuk lainnya.” (Lihat Ighatsatu Al-Lahfan Min Mashayidi Asy-Syaithan, pada pasal golongan yang menghalalkan riba).
6. Niat baik tidak melegalkan diperbolehkannya melakukan yang haram.
Haram tetap menjadi haram, sebaik apapun niat pelakunya. Karena dalam Islam, tujuan tidak bisa menghalalkan seseorang untuk menggunakan segala macam cara untuk meraihnya.
Oleh karenanya, seorang pengusaha muslim tidak boleh mengumpulkan harta dari sesuatu yang haram, seperti dari riba atau hal lain yang diharamkan syari’at Islam, kemudian ia gunakan untuk menafkahi dirinya, keluarganya, untuk membangun masjid atau pesantren, atau untuk melakukan ibadah haji dan umrah. Karena amal tersebut ditolak oleh Allah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
« إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ »
“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana perintah-Nya kepada para Rasul. Allah berfirman: “Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.” (QS. Al-Mu’minun: 51) dan Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172)
Kemudian beliau menyebutkan seorang yang bepergian jauh, dengan rambut kusut lagi berdebu mengulurkan kedua tangannya ke langit (seraya berdoa, pen): Ya Tuhan, ya Tuhan, sementara makanannya haram, minumannya haram, bajunya haram, dan diberi makan dengan makanan yang haram, bagaimana mungkin dikabulkan permintaannya?” (HR. Muslim no. 2393)
Dan Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ جَمَعَ مَالاً حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang mengumpulkan harta yang haram, kemudian dia menyedekahkannya, maka dia tidak akan mendapatkan pahala, dan dosanya akan dibebankan padanya.” (HR. Ibnu Hibban no. 3216. Syu’aib Arna’uth berkata, “sanadnya hasan”).
7. Hal-hal yang mendesak (dharurat) membolehkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang haram
Kaidah ini berlandaskan pada firman Allah:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Akan tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)
Prinsip ‘kecuali dalam keadaan terpaksa’ ini diikat dengan suatu batasan ‘tidak boleh melampaui batas’ dalam menggunakan sesuatu yang haram, juga tidak keluar dari batasan darurat.
Dari prinsip ini, ulama fiqih mengambil sebuah kaidah lain yang berbunyi, “Apa yang diperbolehkan dalam kondisi darurat, diukur sesuai dengan ukurannya.”
Keadaan darurat bukanlah seperti pakaian yang elastis sehingga bisa ditafsirkan oleh siapa saja sesuai hawa nafsunya, tanpa ada batasan. Jangan karena atas nama darurat menjadikan seseorang melakukan sesuatu yang haram, terutama riba.
Sesungguhnya darurat itu adalah suatu keadaan yang bisa memaksa seseorang pada kehancuran. Seorang muslim sekalipun dalam keadaan darurat, tidak sepantasnya menyerah pada keadaan, kemudian tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan nafsunya. Hendaknya ia tetap berpegang teguh pada hukum awal bahwa manusia memilih yang halal, sehingga dia tidak terbiasa melakukan yang haram atau mempermudah hal yang darurat.
8. Segala bentuk pinjaman yang mengakibatkan keuntungan yang disyaratkan, maka dianggap riba
Objek masalah ini secara langsung adalah riba an-nasi’ah. Suatu pinjaman yang di dalamnya ada tambahan yang telah diketahui sebelumnya adalah riba terang-terangan. Tidak boleh ada keuntungan yang disembunyikan dari modal dasar kontan dan jumlah nominal tertentu. Keuntungan menjadi dibolehkan, jika ia didapat bersamaan dengan perputaran proses produksi dan segala hal yang terkait dengannya. Kemudian keuntungan tersebut akan dibagi berdasarkan pertimbangan unsur-unsur yang digerakkan bersama dalam aktifitas produksi.
Seseorang akan mendapatkan modal kontannya sebesar modalnya dalam pengembangan usaha. Keuntungan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk persentase. Adapun kerugian akan dibagi berdasarkan titik-titik yang bersinggungan dalam upaya pembiayaan proses produksi. Dengan demikian, uang nominal yang diserahkan kontan pada dasarnya tidak diperbolehkan sebagai upah atau ganti atas hutang.
9. Umat Islam tergantung pada syarat mereka
Kaidah ini menjelaskan bahwa orang-orang yang mengadakan akad transaksi hendaknya berkomitmen dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati bersama, selama syarat-syarat tersebut bukan pada masalah yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Hukum asal dalam menetapkan syarat-syarat dalam jual beli adalah mubah. Pendapat ini berdasarkan hadits Rasulullah: “Semua orang Islam berkomitmen dengan syarat yang mereka tetapkan bersama, yang tentunya syarat tersebut berbanding lurus dengan kebenaran.”
Beliau juga bersabda:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Mengapa banyak dari kaum muslimin yang menetapkan syarat-syarat yang tidak didapatkan dalam Al-Qur’an. Barangsiapa yang menetapkan syarat yang tidak ada dalam Al-Qur’an, maka dia tidak mempunyai hak sekalipun walaupun membuat seratus syarat.” (HR. Bukhari II/972 no.2579, dan Muslim II/1141 no.1504)
Pada dasarnya, Rasulullah tidaklah mengingkari kemungkinan adanya syarat yang dibuat oleh mereka yang melakukan transaksi. Yang beliau ingkari adalah syarat-syarat yang ditentukan tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa hukum asal dari pengajuan syarat ini adalah mubah, kecuali jika syarat-syarat tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an (dan As-Sunnah, pen).
10. Segala sesuatu yang diperbolehkan untuk menjualnya, maka boleh juga untuk menyedekahkannya dan menggadaikannya
Maksudnya bahwa menurut syari’at segala sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual, maka diperbolehkan juga untuk dihibahkan, disedekahkan, dan dijadikan jaminan.
Demikian tulisan sederhana tentang beberapa kaidah dasar dan prinsip Islam dalam menjalankan usaha atau bisnis. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-showab.
[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM, Edisi 3 Volume 1 tanggal 15 Maret 2010]
Sumber : abufawaz.wordpress.com
0 komentar :
Posting Komentar