Sabtu, 21 Januari 2012

At Tauhid edisi VII/11
Oleh: Ginanjar Indrajati B.
Kita mendapati bahwa orang yang berbakti kepada kedua orangtuanya, dianugerahi Allah anak-anak yang berbakti kepadanya. Adapun orang yang tidak berbakti kepada kedua orangtuanya, akan Allah berikan kepadanya anak-anak yang durhaka kepadanya.
Kisah Nyata
Ada sebuah kisah nyata yang dituturkan oleh seorang ibu. Ia berkata,  “…Suatu hari istri anak saya meminta suaminya (anak saya) agar menempatkan saya di ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anak saya menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, saya berusaha masuk ke dalam rumah, tetapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun menusuk tubuh saya. Kondisi saya semakin buruk. Lalu, anak saya ingin membawaku ke suatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit. Akan tetapi, ternyata ia mencampakkanku ke panti jompo. Setelah itu, ia tidak pernah lagi menemui saya….” (Majalah As-Sunnah)
Pembaca mulia, penggalan kisah di atas merupakan masalah yang banyak terjadi di zaman kita. Tidak sedikit anak yang ketika kesuksesan duniawi telah ia raih, melupakan jasa-jasa orang tuanya yang telah bekerja keras membanting tulang untuk menyokong dirinya semenjak ia kecil. Banyak anak tidak ingat bagaimana dulu orang tua rela tidak tidur semalaman untuk menggendongnya, menjaganya, menyusuinya, sampai membersihkan ompolnya. Namun, jasa-jasa itu justru dibalas dengan menyerahkan orang tua ke panti jompo. Ini adalah salah satu bentuk kedurhakaan yang besar karena yang dibutuhkan orang tua kita adalah pelayanan kita justru di saat mereka sudah memasuki usia renta. Yang mereka butuhkan adalah perhatian kita dan kesiapan kita untuk menceboknya, mengeluarkan kotorannya, menemaninya, membantunya berjalan, dan menjaganya di saat tubuh mereka sudah lemah.
Kedudukan Berbakti Kepada Orang Tua
Islam telah mensyariatkan bahwa orang tua memiliki porsi tertinggi untuk diberikan pelayanan oleh seorang anak. Oleh karena itu, membuat kedua orang tua menangis adalah salah satu larangan yang harus dijauhi 
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah seraya berkata, ‘Saya datang demi berbaiat kepadamu untuk berhijrah, namun saya meninggalkan kedua orang tuaku menangis.’ Maka, Rasulullah bersabda, Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau membuat keduanya menangis.’” (HR. Abu Dawud).
Pembaca mulia, ibu bapak merupakan sebab lahirnya kita di dunia ini. Oleh karena itu, perhatikanlah bahwa Allah telah menunjukkan besarnya hak orang tua dengan menggandengkan antara perintah untuk berbuat baik kepada keduanya dengan perintah untuk bertauhid kepada-Nya, sebagaimana dalam potongan surat Luqman, ayat 14 berikut ini, yang artinya. “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu.” Dengan demikian, melakukan kedurhakaan kepada orang tua merupakan perbuatan keji dan termasuk dosa besar yang diancam dengan siksa neraka.
Dari Thoisalah rahimahullah, bahwasannya Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya,” Apakah engkau takut masuk dalam neraka?”. Aku berkata, “Iya”. Ia berkata, “Dan apakah engkau ingin masuk dalam surga?”. Aku berkata, “Iya” Ia berkata, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”. Aku berkata, “Ibuku bersamaku”. Ia berkata, “Demi Allah jika engkau lembut tatkala berbicara dengannya dan engkau memberi makan kepadanya maka engkau sungguh akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar” (Tafsir Ath-Thabari).
Bakti Kepada Orang Tua adalah Akhlak Salaf
Generasi awal Islam (salaf), merupakan generasi yang sangat menjunjung tinggi hak-hak orang tua mereka. Tidak bisa dihitung banyaknya kisah yang menggambarkan betapa besar bakti mereka kepada kedua orang tua.
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Harga kurma naik melambung di masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan hingga 1000 dirham. Maka, Usamah bin Zaid pun pergi menuju pohon kurma yang ia miliki. Kemudian, ia melubanginya dan mengambil jantung kurma tersebut lalu ia berikan kepada ibunya. Orang-orang lalu berkata kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau melakukan ini padahal engkau tahu bahwa harga pohon kurma sekarang mencapai 1000 dirham?”, Usamah berkata, “Ibuku meminta jantung pohon kurma kepadaku dan tidaklah ia meminta sesuatu kepadaku yang aku mampu kecuali aku penuhi permintaannya.” (Shifatus shafwah, Ibnul Jauzi)
Dari Musa bin ‘Uqbah rahimahullah berkata, “Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Tholib tidak makan bersama ibunya padahal ia adalah orang yang paling berbakti kepada ibunya. Lalu, ditanyakan kepadanya tentang hal itu. Maka, ia menjawab, “Aku takut jika aku makan bersama ibuku lantas matanya memandang pada suatu makanan dan aku tidak tahu pandangannya tersebut, lalu aku memakan makanan yang dipandangnya itu. Maka aku telah durhaka kepadanya. (Risalah bir was Shilah, Ibnul Jauzi)
Besarnya Dosa Mendurhakai Orang Tua
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dosa-dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa serta sumpah palsu.” (HR. Bukhari). Perhatikan hadits di atas. Rasulullah menempatkan dosa durhaka kepada orang tua setelah dosa syirik, dan sebelum dosa membunuh jiwa. Maka, bisa kita bayangkan betapa besar dosa ini.
Batasan Durhaka kepada Orang Tua
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil” (Q.S. Al-Isra`: 23-24).
Dari ayat di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa sekadar ucapan “ah” yang notabene hanya pengingkaran lisan saja sudah termasuk perbuatan durhaka kepada orang tua. Maka, bagaimana dengan yang lebih besar dari itu?
Syaikh Taqiyyuddin As-Subki berkata, “Defenisi durhaka adalah menyakiti (mengganggu) kedua orangtua dengan jenis gangguan apa saja, baik tingkatan gangguan tersebut rendah atau tinggi, mereka melarang gangguan itu atau tidak, atau sang anak menyelisihi perintah mereka berdua atau larangan mereka berdua dengan syarat (perintah atau larangan mereka) bukanlah kemaksiatan.” (Dinukil dari Umdatul Qori)
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas (dalam buku Berbakti kepada Kedua Orang Tua) mengurai bentuk-bentuk durhaka kepada kedua orang tua sebagai berikut:
[1] Menimbulkan gangguan terhadap orang tua baik berupa perkataan (ucapan) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih dan sakit hati. [2] Berkata ‘ah’ dan tidak memenuhi panggilan orang tua. [3] Membentak atau menghardik orang tua. [4] Bakhil. Tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih mementingkan yang lain dari pada mengurusi orang tuanya padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan. [5] Bermuka masam dan cemberut dihadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, ‘kolot’ dan lain-lain.
[6] Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua atau lemah. Akan tetapi, jika ‘si Ibu” melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri maka tidak mengapa dan karena itu anak harus berterima kasih. [7] Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua. [8] Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah misalnya alat musik, mengisap rokok, dll. [9] Mendahulukan taat kepada istri dari pada orang tua. Bahkan ada sebagian orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya. Na’udzubillah. [10] Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam ini adalah sikap yang amat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.
Berbakti kepada Orang Tua dapat Menghapus Dosa Besar
Dari ‘Atha` bin Yasar dari Ibnu Abbas, “Bahwasanya ada seorang laki-laki menemuinya dan berkata, “Aku melamar seorang wanita dan ia menolak untuk menikah denganku. Lalu datang orang lain melamarnya, ia mau menikah dengannya. Maka, aku pun cemburu dan aku bunuh wanita itu. Apakah aku masih bisa bertaubat?” Ibnu Abbas berkata, “Apakah ibumu masih hidup?” Laki-laki itu berkata, “Tidak”. Ibnu Abbas berkata, “Bertaubatlah engkau kepada Allah dan dekatkanlah dirimu kepada Allah sekuat Engkau”. Lalu, pergilah orang itu dan aku pun (Atha` bin Yasar) bertanya kepada Ibnu Abbas mengapa ia menanyakan apakah ibu orang tersebut masih hidup.” Ibnu Abbas berkata, Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang lebih dekat kepada Allah daripada berbakti kepada ibu (HR. Bukhari dalam  Al-Adab Al-Mufrod )
Jika Ayah Mengambil Harta Anak
Disebutkan dalam sebuah hadits bahwasanya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak, dan ayahku ingin untuk mengambil seluruh hartaku”. Maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Engkau dan hartamu itu milik ayahmu.” (HR. Ibnu Majah).
Oleh karena itu, Imam Ahmad menyatakan bolehnya ayah untuk mengambil harta anaknya sesukanya dalam keadaan butuh ataupun tidak butuh, baik sedikit ataupun banyak dengan tiga syarat: [1]. Tidak memberikan mudharat bagi sang anak dan tidak mengambil harta yang berkaitan dengan kebutuhan sang anak. [2]. Tidak mengambil harta anaknya kemudian diberikan kepada anaknya yang lain. [3]. Sang ayah tidak menghambur-hamburkan harta tersebut dan tidak berbuat mubadzir [*Dalam Islam, menunaikan hak orang tua lebih didahulukan daripada menunaikan hak istri]
Penutup
Demikianlah sedikit risalah ringkas yang penulis berharap dapat bermanfaat bagi para pembaca mulia. Sebagai nasehat penutup, penulis nukilkan dengan bahasa bebas perkataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, “… Allah akan memberi ganjaran kepada anak yang berbakti kepada orang tua di dunia sebelum Allah memberi ganjaran kepadanya di akhirat. Oleh karena itu, kita mendapati –berdasarkan apa yang telah kami dengar dan kami lihat- bahwa orang yang berbakti kepada kedua orangtuanya, dianugerahi Allah anak-anak yang berbakti kepadanya. Adapun orang yang tidak berbakti kepada kedua orangtuanya, akan Allah berikan kepadanya anak-anak yang durhaka kepadanya.” (Fatwa Ibnu Utsaimin, Al-Washoya Al-‘Asyr). Untuk pembahasan lebih luas, silakan lihat seri artikel tentang Berbakti kepada Orang Tua di situs www.firanda.com. [Penulis: Ginanjar Indrajati B.*]
*Penulis adalah alumni Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta, staf pengajar Ma’had Umar bin Khattab, menggeluti dakwah di dunia maya. Beliau sedang menyelesaikan program studi S1 Sastra Arab di UGM

0 komentar :

Posting Komentar