At Tauhid edisi V/20
Oleh: Yulian Purnama
Sungguh indah ikatan suci antara dua
orang insan yang pasrah untuk saling berjanji setia menemani mengayuh
biduk mengarungi lautan kehidupan. Dari ikatan suci ini dibangun
keluarga bahagia, yang dipimpin oleh seorang suami yang shalih dan
dimotori oleh seorang istri yang shalihah. Mereka mengerti hak-hak dan
kewajiban mereka terhadap pasangannya, dan mereka pun memahami hak dan
kewajiban mereka kepada Allah Ta’ala. Kemudian lahir dari mereka berdua anak-anak yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah Azza Wa Jalla.
Cinta dan kasih sayang pun tumbuh subur di dalamnya. Rahmat dan berkah
Allah pun terlimpah kepada mereka. Inilah keluarga sakinah mawaddah wa
rahmah, samara kata orang. Inilah model keluarga yang diidamkan oleh
setiap muslim tentunya.
Tidak diragukan lagi, bahwa untuk
menggapai taraf keluarga yang demikian setiap orang harus melewati
sebuah pintu, yaitu pernikahan. Dan usaha untuk meraih keluarga yang
samara ini hendaknya sudah dimulai saat merencanakan pernikahan. Pada
tulisan singkat ini akan sedikit dibahas beberapa kiat menuju pernikahan
Islam yang diharapkan menjadi awal dari sebuah keluarga yang samara.
Berbenah Diri Untuk Mendapatkan Yang Terbaik
Penulis ingin membicarakan 2 jenis
manusia ketika ditanya: “Anda ingin menikah dengan orang shalih/shalihah
atau tidak?”. Manusia jenis pertama menjawab “Ya, tentu saja saya
ingin”, dan inilah muslim yang masih bersih fitrahnya. Ia tentu
mendambakan seorang suami atau istri yang taat kepada Allah, ia
mendirikan shalat ia menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Ia menginginkan sosok yang shalih atau shalihah.
Maka, jika orang termasuk manusia pertama ini agar ia mendapatkan
pasangan yang shalih atau shalihah, maka ia harus berusaha menjadi orang
yang shalih atau shalihah pula. Allah Azza Wa Jalla berfirman yang artinya: “Wanita-wanita
yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk
wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki
yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula”
[QS. An Nur: 26]. Yaitu dengan berbenah diri, berusaha untuk bertaubat
dan meninggalkan segala kemaksiatan yang dilakukannya kemudian menambah
ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan manusia jenis kedua menjawab:
“Ah saya sih ndak mau yang alim-alim” atau semacam itu. Inilah seorang
muslim yang telah keluar dari fitrahnya yang bersih, karena sudah
terlalu dalam berkubang dalam kemaksiatan sehingga ia melupakan Allah Ta’ala,
melupakan kepastian akan datangnya hari akhir, melupakan kerasnya siksa
neraka. Yang ada di benaknya hanya kebahagiaan dunia semata dan enggan
menggapai kebahagiaan akhirat. Kita khawatir orang-orang semacam inilah
yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai orang yang enggan masuk surga. Lho, masuk surga koq tidak mau? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya: ‘Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?’. Beliau bersabda: “Yang taat kepadaku akan masuk surga dan yang ingkar terhadapku maka ia enggan masuk surga” [HR. Bukhari]
Seorang istri atau suami adalah teman
sejati dalam hidup dalam waktu yang sangat lama bahkan mungkin seumur
hidupnya. Musibah apa yang lebih besar daripada seorang insan yang
seumur hidup ditemani oleh orang yang gemar mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya? Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Keadaan
agama seorang insan tergantung pada keadaan agama teman dekatnya. Maka
sudah sepatutnya kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman
dekat” [HR. Ahmad, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani]
Bekali Diri Dengan Ilmu
Ilmu adalah bekal penting bagi seseorang
yang ingin sukses dalam pernikahannya dan ingin membangun keluarga
Islami yang samara. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama
tentunya. Secara umum, seseorang perlu membekali diri dengan ilmu-ilmu
agama, minimal ilmu-ilmu agama yang wajib bagi setiap muslim. Seperti
ilmu tentang aqidah yang benar, tentang tauhid, ilmu tentang syirik,
tentang wudhu, tentang shalat, tentang puasa, dan ilmu yang lain, yang
jika ilmu-ilmu wajib ini belum dikuasai maka seseorang dikatakan belum
benar keislamannya. Lebih baik lagi jika membekali diri dengan ilmu
agama lainnya seperti ilmu hadits, tafsir al Qur’an, Fiqih, Ushul Fiqh
karena tidak diragukan lagi bahwa ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan
dunia dan akhirat. Renungkanlah firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” [QS. Al Mujadalah: 11]
Secara khusus, ilmu yang penting untuk
menjadi bekal adalah ilmu tentang pernikahan. Tata cara pernikahan yang
syar’I, syarat-syarat pernikahan, macam-macam mahram, sunnah-sunnah
dalam pernikahan, hal-hal yang perlu dihindari, dan yang lainnya.
Siapkan Harta Dan Rencana
Tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan
membutuhkan kemampuan harta. Minimal untuk dapat memenuhi beberapa
kewajiban yang menyertainya, seperti mahar, mengadakan walimah dan
kewajiban memberi nafkah kepada istri serta anak-anak. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” [HR. Ahmad, Abu Dawud].
Namun kebutuhan akan harta ini jangan
sampai dijadikan pokok utama sampai-sampai membuat seseorang tertunda
atau terhalang untuk menikah karena belum banyak harta. Harta yang dapat
menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya itu sudah mencukupi.
Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan
qana’ah (mensyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba
dan pengumpul harta. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Celakalah
hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan
celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak
diberi ia marah” [HR. Bukhari].
Disamping itu, terdapat larangan bermewah-mewah dalam mahar dan terdapat teladan menyederhanakan walimah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya” [HR. Ahmad]. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga, berdasarkan hadits Anas Bin Malik Radhiyallahu’anhu, ketika menikahi Zainab Bintu Jahsy mengadakan walimah hanya dengan menyembelih seekor kambing [HR. Bukhari-Muslim].
Selain itu rumah tangga bak sebuah
organisasi, perlu manajemen yang baik agar dapat berjalan lancar. Maka
hendaknya bagi seseorang yang hendak menikah untuk membuat perencanaan
matang bagi rumah tangganya kelak. Misalnya berkaitan dengan tempat
tinggal, pekerjaan, dll.
Pilihlah Dengan Baik
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius : nikah, cerai dan ruju’ ”
(Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali Nasa’i). Salah satunya
dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup
tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup insya Allah.
Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang
yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh
pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.
Kriteria yang paling utama adalah agama yang baik.
Setiap muslim atau muslimah yang ingin beruntung dunia akhirat
hendaknya mengidam-idamkan sosok suami atau istri yang baik agamanya, ia
memahami aqidah Islam yang benar, ia menegakkan shalat, senantiasa
mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan memilih istri yang baik agamanya “Wanita
dikawini karena empat hal : ……. hendaklah kamu pilih karena agamanya
(ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. [HR. Bukhari- Muslim]. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga mengancam orang yang menolak lamaran dari seorang lelaki shalih “Jika
datang kepada kalian lelaki yang baik agamanya (untuk melamar), maka
nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan terjadi
fitnah dan kerusakan besar di muka bumi” [HR. Tirmidzi, Ibnu Majah].
Selain itu ada beberapa kriteria lainnya yang juga dapat menjadi pertimbangan untuk memilih calon istri atau suami:
- Sebaiknya ia berasal dari keluarga yang baik nasabnya (bukan keluarga pezina atau ahli maksiat)
- Sebaiknya ia sekufu. Sekufu maksudnya tidak jauh berbeda kondisi agama, nasab dan kemerdekaan dan kekayaannya
- Gadis lebih diutamakan dari pada janda
- Subur (mampu menghasilkan keturunan)
- Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan jika engkau pandang…” [HR. Thabrani]
- Hendaknya calon istri memahami wajibnya taat kepada suami dalam perkara yang ma’ruf
- Hendaknya calon istri adalah wanita yang mengaja auratnya dan menjaga dirinya dari lelaki non-mahram.
Shalat Istikharah Agar Lebih Mantap
Pentingnya urusan memilih calon
pasangan, membuat seseorang layak untuk bersungguh-sungguh dalam hal
ini. Selain melakukan usaha, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala
usaha ada di tangan Allah Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala
agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Dan salah satu doa yang bisa
dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits
dari Jabir Radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan Al Qur’an” [HR. Bukhari].
Datangi Si Dia Untuk Nazhor Dan Khitbah
Setelah pilihan telah dijatuhkan, maka
langkah selanjutnya adalah Nazhor. Nazhor adalah memandang keadaan fisik
wanita yang hendak dilamar, agar keadaan fisik tersebut dapat menjadi
pertimbangan untuk melanjutkan melamar wanita tersebut atau tidak.
Terdapat banyak dalil bahwa Islam telah menetapkan adanya Nazhor bagi
lelaki yang hendak menikahi seorang wanita. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika
salah seorang dari kalian meminang wanita, maka jika dia bisa melihat
apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” [HR. Abu Dawud].
Namun dalam nazhor disyaratkan beberapa
hal yaitu, dilarang dilakukan dengan berduaan namun ditemani oleh mahrom
dari sang wanita, kemudian dilarang melihat anggota tubuh yang
diharamkan, namun hanya memandang sebatas yang dibolehkan seperti wajah,
telapak tangan, atau tinggi badan.
Dalil-dalil tentang adanya nazhor dalam
Islam juga mengisyaratkan tentang terlarangnya pacaran dalam. Karena
jika calon pengantin sudah melakukan pacaran, tentu tidak ada manfaatnya
melakukan Nazhor.
Setelah bulat keputusan maka hendaknya
lelaki yang hendak menikah datang kepada wali dari sang wanita untuk
melakukan khitbah atau melamar. Islam tidak mendefinisikan ritual atau
acara khusus untuk melamar. Namun inti dari melamar adalah meminta
persetujuan wali dari sang wanita untuk menikahkan kedua calon pasangan.
Karena persetujuan wali dari calon wanita adalah kewajiban dan
pernikahan tidak sah tanpanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan keberadaan wali” [HR. Tirmidzi]
Siapkan Mahar
Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah
mahar, atau disebut juga mas kawin. Mahar adalah pemberian seorang suami
kepada istri yang disebabkan pernikahan. Memberikan mahar dalam
pernikahan adalah suatu kewajiban sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban” [QS.
An Nisa: 24]. Dan pada hakekatnya mahar adalah ‘hadiah’ untuk sang
istri dan mahar merupakan hak istri yang tidak boleh diambil. Dan
terdapat anjuran dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk tidak terlalu berlebihan dalam mahar, agar pernikahannya berkah. Sebagaimana telah dibahas di atas.
Setelah itu semua dijalani akhirnya
sampailah di hari bahagia yang ditunggu-tunggu yaitu hari pernikahan.
Dan tali cinta antara dua insan pun diikat.
Belum Sanggup Menikah?
Demikianlah uraian singkat mengenai
kiat-kiat bagi seseorang yang hendak menapaki tangga pernikahan. Nah,
lalu bagaimana kiat bagi yang sudah ingin menikah namun belum dimampukan
oleh Allah Ta’ala? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Orang-orang yang belum mampu menikah hendaknya menjaga kesucian diri mereka sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya”
[QS. An Nur: 33]. As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Yaitu menjaga diri
dari yang haram dan menempuh segala sebab yang dapat menjauhkan diri
keharaman, yaitu hal-hal yang dapat memalingkan gejolak hati terhadap
hal yang haram berupa angan-angan yang dapat dikhawatirkan dapat
menjerumuskan dalam keharaman” [Tafsir As Sa’di]. Intinya, Allah Ta’ala
memerintahkan orang yang belum mampu untuk menikah untuk bersabar
sampai ia mampu kelak. Dan karena dorongan untuk menikah sudah
bergejolak mereka diperintahkan untuk menjaga diri agar gejolak tersebut
tidak membawa mereka untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
juga menyarakan kepada orang yang belum mampu untuk menikah untuk
banyak berpuasa, karena puasa dapat menjadi tameng dari godaan untuk
bermaksiat [HR. Bukhari-Muslim]. Selama masih belum mampu untuk menikah
hendaknya ia menyibukkan diri pada hal yang bermanfaat. Karena jika ia
lengah sejenak saja dari hal yang bermanfaat, lubang kemaksiatan siap
menjerumuskannya. Ibnul Qayyim Al Jauziyah memiliki ucapan emas: “Jika
dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan
dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa Asy Syafi, hal. 109). Kemudian senantiasa berdoa agar Allah memberikan kemampuan untuk segera menikah. Wallahul Musta’an. [Yulian Purnama]
Sumber : buletin.muslim.or.id
0 komentar :
Posting Komentar