Senin, 26 Mei 2014

smsPertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh. Ustadz ana punya unek-unek dan pertanyaan, mohon penjelasannya.
Ana pernah berkenalan dengan seorang akhwat yang hingga saat ini ana menjalani hubungan lewat telepon dan sms, ana bener-bener suka sama akhwat tersebut begitupun sebaliknya. Bahkan kami berbicara kearah yang lebih serius tetapi saat ini ana masih berstatus sebagai santri SMA dan ana bingung apa yang harus ana lakukan karena hal tersebut mengganggu konsentrasi belajar ana. 



Jawaban:

Wa ‘alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh
Alhamdulillah. Thayyib, akhi fillah. Semoga rahmat dan taufiq Allah senantiasa melekat pada kehidupan kita bersama.

Berkenalan, tentu punya banyak makna. Ia bisa berupa perkenalan wajar antara seorang muslim dan muslimah dalam kehidupan sosial yang mubah. Dalam hidup bertetangga, bermasyarakat atau dalam hubungan bisnis yang legal. Maka hukum seputar perkenalan semacam itu selalu diawali dengan mubah. Hukum lain akan datang, bergantung pada hal-hal lain yang terjadi, terselipkan atau terintaksikan dalam hubungan-hubungan tersebut. Mungkin ada hal-hal yang kurang baik, makruh, haram atau bahkan dosa besar. Perkenalan lain adalah yang bersifat lebih personal dan lebih inter personal, yaitu ketika seorang muslim secara sengaja berkenalan dengan seorang muslimah, hanya dengan tujuan ingin mengenalnya, ingin menjalin hubungan persahabatan, pertemanan, atau hubungan-hubungan karib lainnya.

Perkenalan jenis yang kedua ini secara hukum asal, tergolong makruuh. Tentu tak bisa divonis haram, karena tidak ada dalil secara khusus yang menyebutkan letak, posisi dan sisi keharamannya. Karena para Sahabat wanita yang tercatat dalam sejarah, hingga biografi dan sepak terjangnya sampai pada hal yang detil-detil menunjukkan bahwa mereka juga dikenal oleh para sahabat lelaki, dan karena itu sejarah mereka bisa tercatat dan teriwayatkan sedemikian rupa.

Tapi, perkenalan seperti itu akan menjadi lebih baik ditinggalkan karena nilai manfaatnya yang kecil, sementara bahaya dan fitnah atau godaan di baliknya sangat banyak dan beragam. Berbeda dengan para Sahabat yang memiliki tujuan periwayatan, karena kehidupan sahabat punya nilai lekat dengan argumentasi fiqih dan hadits, karena kehidupan mereka adalah bagian dari aplikasi sunnah-sunnah Rasulullah.

Tapi, bila perkenalan itu dilakukan demi tujuan-tujuan yang dibenarkan dalam syariat, maka hukumnya menjadi mubah atau bahkan dianjurkan. Contohnya, seorang muslim yang berkenalan dengan seorang muslimah karena muslimah itu menjadi perantara mengenal orang lain yang memiliki hubungan bisnis. Mengenalnya, karena dia guru dari anak kita. Mengenalnya, karena antara dia dengan kita ada hubungan sosial yang terkait dengan dunia edukasi, dunia bisnis atau yang lainnya.

Kalau seorang muslim sudah berkenalan dengan seorang muslimah, dengan tujuan apapun selama bukan dengan niat haram atau untuk melakukan hal-hal yang melanggar syariah, lalu muncul ketertarikan antara keduanya, maka itu bagian dari fithrah manusia, di mana seorang lelaki tertarik pada perempuan atau sebaliknya. Ia akan menjadi haram, bila dimuarakan pada aksi-aksi yang diharamkan Allah. Dan dia menjadi halal, bila dilabuhkan pada aplikasi ajaran syariat, yaitu pernikahan.

Bila ketertarikan itu sudah melekat di hati, sementara kita belum mampu menikah, atau belum ingin merentas jalan menuju pernikahan, maka kita wajib memutuskan hubungan kedekatan itu, untuk sementara waktu, atau untuk selama-lamanya. Karena itulah yang disebut syahmu iblis, anak panah setan.

Sengaja saya sebut kata sementara, karena artinya, bisa saja seorang muslim memutuskan hubungan itu sementara waktu, dan bila suatu saat keinginan menikah itu sudah muncul dan ingin direalisasikan, ia bisa menjalin kembali kedekatan tersebut. Namun akan menjadi selamanya, ketika salah seorang di antara keduanya akhirnya memilih menikahi atau dinikahi orang lain. Karena kedekatan itu tak punya landasan syariat, untuk bisa mengikat orang lain sebagai calon isteri atau suaminya. Ikatan itu hanya terjadi dengan pernikahan. Tidak dengan cara lain, seperti pertunangan dan sejenisnya. Wallaahu A’lam.

sumber: Majalah elfatah

0 komentar :

Posting Komentar