(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi)
Transaksi jual beli hendaknya mengandung empat hal. Dalam artikel sebelumnya telah dijelaskan dua hal: sah menurut agama, dan mengandung keadilan. Berikut ini akan dibahas hal yang ketiga dan keempat.
1 Penyebutan setelah ashar secara khusus adalah karena mulianya waktu tersebut di mana pada waktu itu berkumpul malaikat malam dan siang. (Fathul Bari)
Sumber artikel : asysyariah.com
Transaksi jual beli hendaknya mengandung empat hal. Dalam artikel sebelumnya telah dijelaskan dua hal: sah menurut agama, dan mengandung keadilan. Berikut ini akan dibahas hal yang ketiga dan keempat.
MENGANDUNG KEBAIKAN
Sesungguhnya Allah l memerintahkan untuk berbuat adil dan berbuat 
baik. Di antara bentuk kebaikan adalah sikap toleransi dalam berjual 
beli, tidak menipu dalam mengambil untung, bila meminta pelunasan utang 
maka terkadang dengan menganggap lunas utang orang atau menggugurkan 
sebagiannya, terkadang dengan memberi tempo, terkadang dengan bersikap 
lunak dan bila ada orang yang hendak meminta dibatalkan transaksinya ia 
menerimanya…
Demikian ringkasan penjelasan Ibnu Qudamah t dalam kitab Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin.
Apa yang disebutkan beliau adalah sebuah gambaran sikap toleransi 
seorang muslim dalam bermuamalah. Nabi n menganjurkan sikap demikian 
karena dengan itu akan terjalin hubungan yang baik antara sesama 
masyarakat. Namun kebaikan itu menuntut semua pihak, bukan hanya pihak 
penjual tapi juga pihak pembeli. Bukan hanya pihak yang mengutangi tapi 
juga pihak yang berutang. Bukan hanya pihak yang menyewakan tapi juga 
pihak yang menyewa. Hal ini hendaknya menjadi perhatian semua pihak, 
bukan sebagian pihak sehingga terjadi ketimpangan.
Pada pembahasan ini kami akan memberikan sedikit perincian 
sikap-sikap ihsan atau baik dalam bermuamalah sebagaimana berikut ini.
Khiyar
Khiyar yaitu opsi atau pilihan antara melangsungkan akad atau 
membatalkan. Di antara bentuk toleransi Islam dalam perkara jual beli 
adalah adanya khiyar.
Khiyar ini bisa karena keduanya masih dalam majelis jual beli 
–belum berpisah– di mana keduanya masih memiliki kesempatan berpikir 
pada transaksi yang mereka langsungkan. Ini disebut khiyar majelis.
Khiyar bisa juga disebabkan adanya cacat pada barang yang dibeli, ini disebut khiyar aib.
Atau disebabkan adanya penipuan, sehingga pembeli membelinya dengan
 harga terlalu tinggi. Ini disebut khiyar ghabn, dan masih ada jenis 
khiyar yang lain.
Seorang muslim yang taat mestinya tunduk pada aturan ini, baik dia 
sebagai pihak penjual ataupun sebagai pihak pembeli. Aturan ini 
ditetapkan tidak lain kecuali demi kemaslahatan semua pihak, sehingga 
saling ridha itu dapat terwujud dan tidak ada pihak yang dirugikan. 
Disebutkan dalam hadits dari Hakim bin Hizam z, dari Nabi n, beliau 
berkata:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا
“Penjual dan pembeli itu punya hak khiyar selama mereka belum berpisah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Menerangkan Aib atau Cacat
Pada pembahasan yang telah lewat telah diterangkan tentang 
dilarangnya menutupi cacat pada barang dagangan dan perbuatan itu 
merupakan salah satu perbuatan zalim yang dapat menghilangkan keberkahan
 perdagangan. Maka sebaliknya, di antara sikap ihsan atau kebaikan 
pedagang adalah menerangkan aib bila memang ada pada barang yang dia 
jual. Yang demikian akan menyebabkan keberkahan dari Allah l pada apa 
yang diperdagangkan.
Menepati Janji
Dalam perdagangan terkadang terdapat suatu perjanjian, ini bisa 
berupa prasyarat dalam jual beli yang mereka sepakati. Selama 
persyaratan tersebut tidak mengandung pelanggaran terhadap agama, maka 
wajib bagi kedua belah pihak untuk memenuhinya. Nabi n bersabda:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
“Kaum muslimin itu berada pada persyaratan-persyaratan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Atau misalnya dalam bentuk jual beli salam yaitu pembelian dengan 
cara memesan suatu barang kepada pedagang dengan spesifikasi yang jelas 
dengan terlebih dahulu memberikan uangnya. Tentu transaksi yang semacam 
ini sangat menuntut adanya kejujuran dan menepati janji.
Segera Memberikan Gaji Pegawai
Yakni setelah pegawai melakukan pekerjaannya, segeralah memberikan 
gajinya, karena itu merupakan haknya, sedangkan dia telah memberikan hak
 majikannya dengan melakukan pekerjaannya. Oleh karenanya, bila majikan 
menahan haknya maka di hari kiamat nanti Allah l akan menjadi lawannya 
sebagaimana hadits yang telah lewat.
Jujur
Kejujuran merupakan sifat yang terpuji. Jujur akan membawa kepada 
kebaikan. Seorang pedagang dituntut untuk jujur dalam bertutur kata, 
menerangkan cacat yang ada pada barang yang diperdagangkan dan tidak 
mengada-ada. Sehingga dia tidak mengatakan barang telah ditawar sekian 
sementara belum ditawar dengan harga tersebut atau bahkan belum ditawar 
sama sekali. Bila mesti menyebutkan modalnya juga sejujurnya tanpa 
meninggikannya.
Dengan kejujuran tersebut maka Allah l akan memberkahi 
perniagaannya, sebagaimana hadits yang lalu. Dalam hadits yang lain dari
 Watsilah bin Al-Asqa’ z, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَخْرُجُ إِلَيْنَا وَكُنَّا تُجَّارًا وَكَانَ يَقُولُ: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ
Adalah Rasulullah n keluar menemui kami dan kami adalah para 
pedagang, dan beliau mangatakan: “Wahai para pedagang, jauhi oleh kalian
 kedustaan.” (Shahih Lighairihi, HR. At-Thabarani, Shahih At-Targhib, 
2/164 no. 1793)
Amanah
Amanah juga merupakan sifat yang sangat terpuji, sifat yang 
dimiliki orang-orang mulia. Nabi Muhammad n sendiri telah dijuluki 
sebagai Al-Amin, orang yang sangat amanah, sejak sebelum diangkat 
sebagai nabi. Sementara lawannya, yaitu khianat, adalah sifat 
orang-orang munafik.
Sifat amanah sangat dibutuhkan dalam praktik jual beli, terlebih di
 zaman di mana amanah telah diangkat dari umat ini. Nabi n berkisah:
“Sesungguhnya amanah itu turun pada pangkal qalbu orang-orang, lalu
 turunlah Al-Qur’an sehingga mereka mengetahui ilmu dari Al-Qur’an dan 
dari As-Sunnah. –Lalu Nabi n menerangkan kepada kami tentang tercabutnya
 amanah–, beliau berkata: ‘Seseorang tidur sekali lalu dicabutlah amanah
 dari qalbunya, maka masih tersisa bekasnya sedikit. Lalu seseorang 
tidur sekali (lagi) lalu dicabutlah amanah dari qalbunya sehingga masih 
tersisa bekasnya seperti bekas kulit yang menonjol dan berair, seperti 
bara yang kamu jatuhkan pada kakimu lalu (kulitnya) menjadi berair, kamu
 melihatnya meninggi tapi tidak ada apa-apanya. –Lalu Nabi n mengambil 
kerikil dan beliau jatuhkan di kakinya–, sampai orang-orang saling 
berjual beli, hampir-hampir tidak seorangpun menunaikan amanah. 
Sampai-sampai disebut bahwa ada seorang yang amanah dari bani Fulan, 
hingga orangpun mengatakan: ‘Betapa pandainya dia, betapa berakalnya 
dia’, padahal tidak ada dalam qalbunya sebiji sawipun dari iman.” 
(Shahih, HR. Muslim dan yang lain. Lihat sedikit penjelasan dalam Shahih
 At-Targhib no. 2994)
Demikian mahalnya amanah. Oleh karenanya, Anas z menyebutkan:
مَا خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ n إِلاَّ قَالَ: لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ، وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ
Tidaklah Rasulullah n berkhutbah kepada kami kecuali berkata: 
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah, dan tidak 
ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.” (Shahih, HR. Ahmad, 
Al-Bazzar, At-Thabarani, dan Ibnu Hibban akan tetapi dalam lafadz 
beliau: Rasulullah n berkhutbah kepada kami dan mengatakan dalam 
khutbahnya: Tidak ada iman… dst. Lihat Shahih At-Targhib no. 3004)
Atas dasar itu, tak heran bila Nabi n menjanjikan kedudukan yang 
tinggi bagi seorang pedagang yang amanah. Dari Ibnu Umar c, bahwa 
Rasulullah n bersabda:
التَّاجِرَ الْأَمِيْنُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Seorang pedagang yang amanah, jujur, dan muslim, maka ia akan 
bersama para syuhada pada hari kiamat.” (Hasan Shahih, HR. Ibnu Majah, 
Shahih At Targhib, 2/162 no. 1783)
Seorang pedagang harus amanah dalam segala hal yang terkait dengan 
perdagangan, termasuk tentunya dalam hal takaran dan timbangan. Ibnu 
Mas’ud z berkata:
الصَّلاَةُ أَمَانَةٌ، وَالْوُضُوءُ أَمَانَةٌ، وَالْوَزْنُ 
أَمَانَةٌ، وَالْكَيْلُ أَمَانَةٌ، -وَأَشْيَاءُ عَدَّهَا- وَأَشَدُّ 
ذَلِكَ الْوَدَائِعُ
“Shalat adalah amanah, wudhu adalah amanah, timbangan adalah 
amanah, takaran adalah amanah, -beliau menyebutkan beberapa hal- dan 
yang paling beratnya adalah (amanah) titipan-titipan.” (Hasan, 
diriwayatkan Al-Baihaqi. Lihat Shahih At-Targhib, 2/157 no. 1763)
Karena pentingnya amanah, Nabi n menyuruh kita untuk tetap amanah 
walaupun kepada orang yang berkhianat kepada kita. Dari Abu Hurairah z, 
ia berkata Rasulullah n bersabda:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah kewajiban amanah kepada orang yang mengamanahimu, dan 
jangan kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (Hasan, HR. Abu 
Dawud no. 3535 lihat Shahih Sunan Abi Dawud)
Allah l juga berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang 
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di 
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah 
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah 
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa’: 58)
Tidak Menjual Barang kepada Orang yang Menggunakannya Untuk Maksiat
Bila kita mengetahui bahwa orang yang membeli barang dagangan kita 
akan mempergunakannya untuk maksiat, maka tidak boleh bagi kita untuk 
menjualnya kepadanya. Karena hal itu termasuk tolong-menolong dalam 
perbuatan dosa. Allah l berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan 
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. 
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat 
siksa-Nya.” (Al-Ma’idah: 2)
Tidak boleh juga menjual senjata saat terjadi pertikaian di antara 
muslimin. Ibnul Qayyim t mengatakan: “Senjata yang dijual oleh seseorang
 kepada orang yang dia ketahui bahwa ia akan menggunakannya untuk 
membunuh seorang muslim, maka haram, tidak sah. Karena ini mengandung 
bantuan pada perkara dosa dan permusuhan. Tapi bila dia jual kepada 
orang yang menggunakannya untuk berjihad di jalan Allah l, maka itu 
merupakan ketaatan dan ibadah.” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, 2/12)
Iqalah
Artinya pembatalan akad jual beli dengan kerelaan penjual dan 
pembeli. Ini merupakan kebaikan yang dianjurkan oleh Rasulullah n bila 
penjual dengan rela mau membatalkan akad jual beli ketika diminta oleh 
pembeli, di mana pembeli membutuhkannya, sekalipun akad telah sah.
Sebagai gambarannya, disebutkan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud: “Bila 
seseorang membeli sesuatu dari orang lain lalu menyesali pembeliannya, 
mungkin karena ada penipuan atau karena tidak lagi membutuhkannya, atau 
karena tidak punya uang lagi, sehingga ia kembalikan barang kepada 
penjual dan penjualpun menerimanya, maka Allah l akan menghilangkan 
kesusahannya di hari kiamat nanti. Hal itu merupakan kebaikannya 
terhadap pembeli, karena akad telah sempurna sehingga pembeli tidak 
dapat membatalkannya.”
Dari Abu Hurairah z, ia berkata: Rasulullah n telah bersabda:
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا بَيْعَتَهُ أَقَالَهُ اللهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa mau membatalkan akad penjualan seorang muslim maka 
Allah akan lepaskan dia dari kesulitannya di hari kiamat.” (Shahih, HR. 
Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan ini lafadznya, Al-Baihaqi dan 
yang lain, lihat Shahih At-Targhib no. 1758)
Samahah
Samahah berarti toleransi atau memudahkan urusan. Kita dianjurkan 
memiliki sikap toleransi terhadap orang lain dalam urusan jual beli atau
 utang piutang serta memudahkan urusan muamalah dengan mereka. Dari 
Jabir z bahwa, Rasulullah n bersabda:
رَحِمَ الله رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى
“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang memudahkan urusan bila 
menjual, memudahkan urusan bila membeli, dan memudahkan urusan bila 
menagih haknya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat Ibnu Hibban t ada tambahan lafadz: “Memudahkan bila melunasi.”
Dalam riwayat lain dari Jabir bin Abdillah z, ia berkata: Rasulullah n bersabda:
غَفَرَ اللهُ لِرَجُلٍ كَانَ قَبْلَكُمْ، كَانَ سَهْلًا إِذَا بَاعَ 
سَهْلاً إِذَا اشْتَرَى سَهْلاً إِذَا قَضَى سَهْلاً إِذَا اقْتَضَى
“Allah mengampuni seseorang sebelum kalian. Orang itu bila menjual 
memudahkan urusan, bila membeli memudahkan urusan, bila melunasi 
memudahkannya, dan bila menagih memudahkannya.” (HR. Al-Baihaqi dalam 
As-Sunan Al-Kubra, 5/357)
Dalam hadits lain dari Utsman bin Affan z berkata: Rasulullah n bersabda:
أَدْخَلَ اللهُ الْجَنَّةَ رَجُلًا كَانَ سَهْلًا بَائِعًا وَمُشْتَرِيًا
“Allah memasukkan ke dalam Al-Jannah seorang penjual atau pembeli yang memudahkan urusan.” (HR. Ibnu Majah)
Dari Ibnu Umar dan Aisyah c, bahwa Rasulullah n bersabda:
مَنْ طَلَبَ حَقًا فَلْيَطْلُبْ فِي عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرَ وَافٍ
“Barangsiapa yang menuntut hak hendaknya menuntut dengan menjaga 
(dari yang tidak halal), terpenuhi atau tidak terpenuhi.” (HR. 
At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi)
Ibnu Hajar t mengatakan tentang hadits Jabir z di atas: “Di 
dalamnya terdapat anjuran untuk mempermudah urusan muamalah dan 
berakhlak yang luhur. Tidak musyahah (saling menyulitkan) dan tidak 
menekan orang dalam menuntut hak, serta memaafkan mereka.” (Fathul Bari)
Wadh’ul Ja’ihah
Sebuah istilah ahli fiqih. Ja’ihah berarti bencana alam, bukan 
upaya manusia. Semacam angin, hujan, atau hama. Wadh’u berarti 
menggugurkan. Maksudnya adalah pengguguran akad karena tanaman/buah yang
 dibeli terkena hama atau bencana sehingga tidak panen. Bila terjadi hal
 semacam ini maka kerugian ditanggung penjual, sehingga penjual 
mengembalikan uang kepada pembeli sebesar kerugiannya. (Lihat penjelasan
 dalam kitab Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi 2/41, Syarhul Buyu’ hal. 64)
Hal tersebut adalah hukum yang ditetapkan oleh Nabi n sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah z, Rasulullah n bersabda:
لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ 
يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ 
بِغَيْرِ حَقٍّ؟
“Seandainya engkau menjual buah kepada saudaramu lalu hama atau 
bencana menimpanya, maka tidak halal bagimu untuk mengambil suatu apapun
 darinya (pembeli). Dengan (imbalan) apa engkau mengambil harta 
saudaramu dengan tanpa hak?” (HR. Muslim)
Tidak Banyak Sumpah
Yakni demi melariskan dagangannya. Ini adalah sifat tercela, 
seandainyapun dengan jujur, terlebih jika bersumpah dengan kedustaan. 
Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah z, ia berkata: Rasulullah n 
bersabda:
ثَلاثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ: رَجُلٌ 
حَلَفَ بَعْدَ الْعَصْرِ عَلَى مَالِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ فَاقْتَطَعَهُ، 
وَرَجُلٌ حَلَفَ لَقَدْ أَعْطَى بِسِلْعَتِهِ أَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَى، 
وَرَجُلٌ مَنَعَ فَضْلَ الْمَاءِ، يَقُولُ اللهُ :الْيَوْمَ أَمْنَعُكَ 
فَضْلِي كَمَا مَنَعْتَ فَضْلَ مَا لَمْ تَعْمَلْهُ يَدَاكَ
“Tiga golongan manusia Allah tidak akan berbicara dengannya dan 
tidak akan melihatnya: Seseorang yang bersumpah setelah ashar1 atas 
harta seorang muslim sehingga ia dapat mengambilnya, dan seseorang 
bersumpah bahwa ia telah memberikan barangnya dengan lebih mahal dari 
yang ia berikan, dan seseorang yang menghalangi (orang lain) dari 
kelebihan airnya. Allah l mengatakan: ‘Hari ini Aku halangi kamu dari 
karunia-Ku sebagaimana kamu halangi (orang) sisa dari sesuatu yang tidak
 diupayakan oleh kedua tanganmu’.” (HR. Ibnu Hibban)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri z ia berkata:
مَرَّ أَعْرَابِيٌّ بِشَاةٍ فَقُلْتُ: تَبِيعُنِيهَا بِثَلاثَةِ 
دَرَاهِمَ. قَالَ: لاَ، وَاللهِ. ثُمَّ بَاعَنِيهَا، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ 
لِرَسُولِ اللهِ n فَقَالَ: بَاعَ آخِرَتَهُ بِدُنْيَاهُ
Seorang Arab badui melewatiku dengan membawa seekor kambing, lalu 
aku katakan: “Juallah kepadaku kambing itu dengan harga tiga dirham.” Ia
 menjawab: “Demi Allah, tidak. Setelah itu ia menjualnya kepadaku 
(dengan harga tersebut) maka kutanyakan kepada Rasulullah n hal itu, 
beliau menjawab: ‘Dia telah menjual akhiratnya dengan imbalan 
dunianya’.” (Hasan, HR. Ibnu Hibban, Shahih At-Targhib no. 1792)
Dari Abdurrahman bin Syibl z, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah n bersabda:
إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ. قَالَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ،
 أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنَّهُمْ 
يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ
“Sesungguhnya para pedagang itu adalah para penjahat.” Para sahabat
 berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah halalkan jual beli?” 
Beliau menjawab: “Ya, akan tetapi mereka bicara lalu berdusta dan mereka
 bersumpah maka mereka berdosa.” (Shahih, HR. Ahmad, Shahih At-Targhib 
no. 1786)
Dari Salman z, ia berkata: Rasulullah n telah bersabda:
ثَلاثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: 
أُشَيْمِطٌ زَانٍ، وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ، وَرَجُلٌ جَعَلَ اللهَ 
بِضَاعَةً لاَ يَشْتَرِي إِلاَّ بِيَمِينِهِ وَلا يَبِيعُ إِلاَّ 
بِيَمِينِهِ
“Tiga golongan manusia, Allah tidak akan melihat mereka pada hari 
kiamat: orangtua yang berzina, orang miskin yang sombong, dan seseorang 
yang menjadikan Allah sebagai dagangannya, dia tidak membeli kecuali 
dengan sumpah dan tidak menjual kecuali dengan sumpah.” (Shahih, HR. 
At-Thabarani, Shahih At-Targhib no. 1788)
Dari Abu Dzar z, dari Nabi n, beliau berkata:
ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ 
يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ n
 ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، فَقُلْتُ: خَابُوا وَخَسِرُوا وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ 
اللهِ؟ قَالَ: الْـمُسْبِلُ، وَالْـمَنَّانُ، وَالْـمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ 
بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ
“Tiga golongan, Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, 
tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka azab yang pedih.” Nabi n 
menyebutnya tiga kali maka aku katakan: “Rugi mereka, siapakah mereka, 
ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang memanjangkan kainnya 
(sampai bawah mata kaki), orang yang mengungkit pemberian, dan orang 
yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (Shahih, HR. Muslim 
dan Ashabus-Sunan)
Dari Abu Hurairah z ia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
الْحَلْفُ مَنْفَقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مَمْحَقَةٌ لِلْكَسْبِ
“Sumpah itu (biasanya) membuat laris dagangan dan (biasanya) menghancurkan penghasilan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Abu Dawud: “Menghancurkan berkah.” (Shahih At-Targhib no. 1794)
4. SAYANG TERHADAP AGAMANYA
Sikap sayang seorang pedagang terhadap agamanya baik yang terkait 
dengan dirinya atau yang mencakup urusan akhiratnya, di antaranya 
seorang pedagang tidak semestinya akhiratnya tersibukkan dengan urusan 
dunianya. Bahkan hendaklah ia memerhatikan agamanya. Rasa sayang 
terhadap agama itu akan terwujud sempurna dengan memerhatikan enam 
perkara:
Pertama, niat yang baik dalam berwirausaha. Hendaknya ia meniatkan 
dengan itu untuk menjaga dirinya dari meminta-minta dan mencegah rasa 
tamaknya terhadap apa yang ada di tangan manusia. Dia meniatkan untuk 
mencukupi keluarganya, agar dengan itu ia termasuk golongan mujahidin. 
Juga dia berniat untuk berbuat baik terhadap sesama muslimin.
Kedua, agar bermaksud dengan usahanya untuk menunaikan salah satu 
fardhu kifayah. Karena bila perindustrian atau perdagangan terhenti, 
tentu kehidupan pun akan macet. Namun di antara indusri ada yang sangat 
penting, ada juga yang kurang perlu, karena terkait dengan perhiasan 
atau sekadar untuk bermewah-mewahan. Maka bekerjalah pada industri yang 
penting, supaya dengan itu usahanya bisa mencukupi kaum muslimin. 
Jauhilah segala industri yang dibenci oleh agama. Apalagi yang maksiat.
Ketiga, janganlah pasar dunianya menyibukkannya dari pasar 
akhiratnya. Pasar akhiratnya adalah masjid-masjid. Maka, hendaknya ia 
jadikan awal siangnya adalah untuk akhiratnya sampai ia masuk ke pasar 
dunia atau usahanya. Ia biasakan wirid-wiridnya. Dahulu orang-orang yang
 shalih dari ulama salaf yang berprofesi pedagang menjadikan awal 
siangnya dan akhirnya untuk akhiratnya. Bila mendengar adzan dzuhur dan 
asar, hendaknya dia meninggalkan usahanya dan menyibukkan diri untuk 
melakukan yang wajib.
Keempat, hendaknya senantiasa berdzikir kepada Allah l di pasar atau di tempat usahanya yang lain, membaca tasbih atau tahlil.
Kelima, tidak terlalu berambisi dengan pasar dan perdagangan. 
Sehingga dia tidak menjadi orang yang pertama masuk pasar dan yang 
terakhir keluar darinya.
Keenam, tidak hanya menjauhi yang haram, tapi juga menjauhi hal-hal yang syubhat.
(Diringkas dari penjelasan Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin)
Para Pedagang, Bersedekahlah…
Dalam praktik jual beli, hampir tak lepas dari kata-kata yang tidak
 ada manfaatnya atau bermudah-mudah dalam bersumpah. Lebih parah, 
terkadang tercampuri dengan kata-kata yang haram, sumpah palsu, dan 
beragam ucapan dusta. Oleh karenanya, Nabi n menganjurkan para pedagang 
untuk bersedekah. Karena dengan sedekah akan meredam kemurkaan Allah l. 
Dalam hadits dari Qais bin Gharazah z disebutkan:
كُنَّا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ n نُسَمَّى السَّمَاسِرَةَ، فَمَرَّ 
بِنَا رَسُولُ اللهِ n فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ، فَقَالَ:
 يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ 
وَالْحَلْفُ، فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
Kami di masa Rasulullah n disebut samasirah (yakni sebutan bukan 
dari bahasa Arab yang berarti makelar). Lalu Rasulullah n melewati kami 
dan menyebut kami dengan sebutan yang lebih bagus darinya, maka beliau n
 mengatakan: “Wahai para tujjar (yakni kata bahasa Arab yang berarti 
para saudagar), sesungguhnya jual beli itu tercampuri kata-kata yang 
tidak manfaat dan sumpah-sumpah, maka campurilah dengan sedekah.” 
(Shahih, HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim. Lihat Shahih Al-Jami’ 
no. 7974)
Dalam riwayat lain: “Tercampur dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan dusta.”
يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الشَّيْطَانَ وَالْإِثْمَ يَحْضُرَانِ الْبَيْعَ فَشُوبُوا بَيْعَكُمْ بِالصَّدَقَةِ
“Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa mendatangi proses
 jual beli maka campurilah jual beli kalian dengan sedekah.” (Shahih, 
HR. At-Tirmidzi, Shahih Al-Jami’ no. 7973)
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Penyebutan setelah ashar secara khusus adalah karena mulianya waktu tersebut di mana pada waktu itu berkumpul malaikat malam dan siang. (Fathul Bari)
Sumber artikel : asysyariah.com
21.00
Karimun 08 Makassar
                              Posted in 
                              


0 komentar :
Posting Komentar