Dalil-dalil tentang Takdir
Berkaitan
 dengan sifat Iradah dan Masyi’ah bagi Allah dalam pembahasan edisi 
sebelumnya, kita memahami adanya kehendak Allah dalam masalah qadla dan 
qadar (takdir). Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki segala sesuatu 
yang akan terjadi, sedang terjadi dan telah terjadi di alam ini. Dan Ia 
juga telah mencatatnya di lauhul mahfudh jauh sebelum diciptakannya 
langit dan bumi.
Rasulullah bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخُلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ. رواه مسلم
“Allah telah mencatat takdir para mahluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. (HR. Muslim)
Takdir
 juga merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap 
muslim. Maka seluruh kaum muslimin harus beriman bahwa segala sesuatu 
sudah ditakdirkan oleh Allah سبحانه وتعالى, yang baik ataupun yang 
buruknya; yang manis maupun yang pahitnya; sengsara atau bahagia.
Rasulullah ketika menjawab pertanyaan dari Jibril tentang iman bersabda:
أَنْ
 تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ 
اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. رواه مسلم
Engkau
 beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, 
rasul-rasul-Nya, hari kiamat dan beriman kepada takdir baik dan buruknya. (HR. Muslim)
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ. القمر: 49
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran yang sudah ditentukan.” (al-Qamar: 49)
وَاللهُ
 خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ جَعَلَكُمْ أَزْوَاجًا
 وَمَا تَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى وَلاَ تَضَعُ إِلاَّ بِعِلْمِهِ وَمَا 
يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْ أُمُوُرِهِ إِلاَّ فِي 
كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ. فاطر: 11
“Dan
 Allah menciptakan kalian dari tanah kemudian dari air mani, kemudian 
Dia menjadikan kalian berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak 
ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan 
melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan 
umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, 
melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya 
yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. “(Fathir: 11)
Jika
 kaum muslimin memahami dengan benar masalah takdir ini, niscaya mereka 
akan mengetahui kekuasaan Allah yang Maha Besar dan Mutlak. Dan 
bahwasanya segala daya upaya dan kekuatan kita ada di bawah kekuasaan 
Allah. Maka ucapan yang tepat adalah ucapan kaum muslimin:
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah.
Tidak
 ada yang mengingkari takdir Allah baik dan buruknya ini kecuali 
kalangan ahlul bid’ah seperti qadariyah, mu’tazilah dan sejenisnya dari 
kalangan rasionalis.
Takdir tidak menafikan adanya usaha
Hanya
 saja, ketika sebagian kaum muslimin salah memahaminya, maka akhirnya 
sebagian di antara mereka justru hanya pasrah terhadap takdir yang telah
 ditentukan Allah hingga akhirnya malas untuk berusaha. Bahkan mereka 
menggugurkan serta tidak menganggap sama sekali adanya ketentuan 
hukum-hukum syari’at, karena mereka menganggap percuma karena seluruhnya
 sudah ditakdirkan (aliran Jabriyah).
Pada
 sisi lain yang berlawanan, sebagian kaum muslimin justru menolak adanya
 takdir yang telah ditulis Allah dalam lauhul mahfudh. Mereka menolak 
menetapkan adanya takdir sebagai salah satu dari rukun-rukun iman dengan
 alasan: hal ini akan dapat membuat umat Islam terbelakang, jumud dan 
beku (aliran Qadariyah). Sebagaimana dikatakan oleh tokoh STAIN di 
Indonesia, Prof. Dr. Harun Nasution.
Semua
 itu adalah penyimpangan dan kesesatan. Adapun Ahlus Sunnah wal jama’ah,
 mereka memahami bahwa qadla dan qadar adalah kekuasaan Allah 
sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad:
القَدَرُ قُدْرَةُ اللهِ.
Masalah takdir adalah kekuasaan Allah.
Yang
 dimaksud adalah bahwa Allah Maha Berkuasa untuk menakdirkan segala 
sesuatu sesuai dengan kehendaknya dalam keadaan manusia tetap memiliki 
ikhtiar, usaha dan kehendak. Namun semua kehendak, ikhtiar dan usaha 
manusia tidak akan lepas dari apa yang telah Allah tentukan.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا. الإنسان: 30
“Dan tidaklah kalian berkehendak, kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Insaan: 30)
Maka semua yang diamalkan oleh manusia adalah apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ. الصافات: 96
“Dan Allah menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian kerjakan. “(ash-Shaafaat: 96)
Sehingga
 dengan keyakinan mereka terhadap takdir ini, Ahlus Sunnah wal Jama’ah 
tidak pernah putus asa dalam berusaha. Hanya saja mereka mengiringi 
usahanya dengan do’a dan berharap kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar 
mendapatkan taufik dan keberhasilan, karena mereka mengetahui dan 
meyakini bahwa Allahlah yang menentukan dan menakdirkan. Tidak ada 
kekuatan dan daya upaya kecuali dengan bantuan Allah.
Dengan
 demikian, kaum muslimin yang beriman kepada takdir akan menjadi manusia
 yang besar hati, kuat, semangat dan tabah dalam menghadapi ujian-ujian 
dan musibah. Karena mereka tahu apa yang terjadi dari keberhasilan, 
kegembiraan, dan kesuksesan adalah dari Allah, sehingga mereka bersyukur
 kepada Allah. Demikian pula sebaliknya ketika mereka ditimpa kegagalan,
 kesedihan, dan musibah-musibah, maka mereka tahu bahwa itu adalah 
dengan takdir dari Allah, hingga mereka pun bersabar atas apa yang 
menimpanya dan mengucapkan: “Sesungguhnya kita milik Allah dan akan 
kembali kepada-Nya”. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. البقرة: 156
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun“. (al-Baqarah: 156)
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ. التوبة: 51
Katakanlah: “Sekali-kali
 tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk
 kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang 
yang beriman bertawakal.” (at-Taubah: 51)
Inilah hikmah dari beriman kepada takdir.
Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang hikmah diberitakannya masalah takdir kepada manusia:
مَا
 أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي 
كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ.
 لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا 
ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُور.ٍالحديد: 22-23
“Tiada
 suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu 
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum 
Kami menciptakan-nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi 
Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan putus asa 
terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu 
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak 
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. “(al-Hadiid: 22-23)
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَجَبًا
 ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ 
ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكاَنَ 
خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ. 
رواه مسلم
“Sungguh
 mengagumkan keadaan seorang mukmin, seluruh perkaranya adalah baik; dan
 tidaklah demikian bagi seseorang pun kecuali mukmin. Jika ia diberikan 
kesenangan ia bersyukur, maka itu baik bagi-nya; dan jika ia ditimpa 
kesusahan ia sabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)
Adab kepada Allah
Dengan
 keimanan kita kepada takdir Allah سبحانه وتعالى, kita menyatakan ketika
 kita mendapati kebaikan, keberhasilan, kegembiraan dan kesuksesan: “Ini
 dari Allah”. Kemudian mensyukurinya dengan ucapan alhamdulillah dan 
menggunakan kenikmatan dan kebaikan tersebut untuk apa yang diridlai 
oleh Allah سبحانه وتعالى.
Namun
 ketika kita mendapatkan musibah, kejelekan, kesedihan, dan kegagalan, 
maka yang kita nyatakan adalah sebab terjadinya musibah tersebut, 
walaupun kita mengetahui semuanya adalah takdir dari Allah سبحانه 
وتعالى. Namun Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebab-sebabnya. 
Maka kita ucapkan: “Ini akibat kelalaian kita”, “Ini karena disebabkan 
dosa-dosa kita”, “Ini akibat kecerobohan dan kelemahan kita” dan seterusnya.
Allah Ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ… النساء: 79
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri… “(an-Nisaa’: 79)
Yakni
 kita menyatakan bahwa Allah menakdirkan kejelekan-kejelekan tersebut 
adalah karena dosa-dosa kita. Sehingga pernyataan ini tidak bertentangan
 dengan ayat lain yang menyatakan semua adalah dari Allah.
وَإِنْ
 تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ 
تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ 
عِنْدِ اللَّهِ. النساء:78
“…dan
 jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari 
sisi Allah”. Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan :
 ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)’. Katakanlah: ‘Semuanya 
(datang) dari sisi Allah’… “(an-Nisaa’: 78)
Hal
 ini sama seperti ketika kita memanggil Allah ta’ala dengan 
nama-nama-Nya yang baik. Kita tidak boleh memanggil Allah dengan 
kalimat: “Wahai pencipta setan”, “Wahai pencipta kejelekan”, karena hal 
ini mengandung celaan, walaupun kita meyakini bahwa setan dan seluruh 
kejelekan adalah ciptaan Allah. Berbeda halnya ketika kita mengatakan: 
“Wahai pencipta segala mahluk” atau “Wahai pencipta segala kebaikan dan 
kejelekan”.
Berkata Imam ash-Shabuni: “Termasuk
 madzhab ahlus sunnah adalah ucapan mereka bahwa kebaikan dan kejelekan 
adalah dengan takdir dari Allah. Namun mereka tidak menyandarkan kepada 
Allah apa-apa yang akan memberikan kesan kekurangan ketika disendirikan.
 Seperti ucapan “Wahai pencipta kera dan babi-babi”. (Aqidatus Salaf ash-habul Hadits, Imam Ash-Shabuni, Tahqiq Nashir bin Abdur Rahman bin Muhammad al-Juda’. hal. 284)
Walaupun
 sesungguhnya setan, monyet, babi dan seluruh makhluk-makhluk lain 
adalah ciptaan Allah. Inilah adab kita ketika berbicara tentang Allah.
Hal ini seperti ucapan Allah سبحانه وتعالى yang mengkisahkan ucapan Ibrahim عليه السلام:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ. الشعراء: 80
“dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku.” (asy-Syu’araa: 80)
Dalam
 ayat ini, Ibrahim عليه السلام menisbatkan sakitnya kepada dirinya “aku 
sakit”, tetapi menisbahkan kesembuhannya kepada Allah “Dialah yang 
menyembuhkanku”. Walaupun Ibrahim tentu meyakini bahwa penyakit dan 
kesembuhan seluruhnya dari Allah سبحانه وتعالى.
Atau seperti ayat Allah yang mengkisahkan ucapan jin:
وَأَنَّا لاَ نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي اْلأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا. الجن: 10
“Dan
 sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah
 keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka 
menghendaki kebaikan bagi mereka. “(al-Jin: 10)
Dalam
 ayat ini, ketika membicarakan tentang kejelekan disebut dengan kata 
“dikehendaki” tanpa disebutkan siapa yang menghendakinya “apakah 
kejelekan yang dikehendaki?” Namun ketika berbicara tentang kebaikan 
disebutkan dengan jelas pelakunya: “Atau Rabb-mu menghendaki kebaikan”.
Dikutip
 dari: Salafy.or.id offline dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 
54/Th. II , 14 Shafar 1426 H, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, 
judul asli “Beriman kepada Taqdir, tidak menafikan adanya usaha”. 
Sumber artikel :  qurandansunnah.wordpress.com
21.00
Karimun 08 Makassar
                              Posted in 
                              


0 komentar :
Posting Komentar