Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan
pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam
masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika
yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia,
berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku
bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.
Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen
garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan
mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari
keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.
Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama setempat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Humanisme)
Berikut tulisan dari Haneef James Oliver menjelaskan tentang Humanisme :
Salah satu persoalan dari pendidikan dunia Barat adalah materi pengajarannya semata-mata menyandarkan intelektual, meskipun secara rasional mereka mengetahui fakta bahwa pengetahuan manusia sangatlah terbatas. Hal itu terlihat dari pemahaman manusia yang secara konstan selalu berubah, bergantung pada pemikiran yang berkembang pada tiap zaman. Sebagaimana pemikiran kaum humanis yang tidak mampu memisahkan tujuan jangka panjang manusia, kebutuhannya dan kesenangannya, karena pandangan humanisme hanya didasarkan pada intelektual manusia, yang pada kenyataannya benar-benar terbatas.
وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
QS 17 : 85
Meskipun masyarakat Barat telah membangun sistem ekonomi dan politik yang menjadi kebanggaan mereka, namun sistem tersebut tidak mengajarkan manusia untuk menghadapi kehidupan setelah mati dan bertemu dengan sang Pencipta. Tak hanya pandangan humanisme saja yang gagal menyiapkan manusia untuk menghadapi kehidupan di akhirat yang keberadaannya jauh lebih penting (dibanding kehidupan dunia). Pandangan-pandangan yang mereka miliki juga gagal untuk membantu memahami tujuan mereka hidup di dunia.
يَعْلَمُونَ ظَاهِراً مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.
QS 30: 7
Ketika seseorang menemukan pengetahuan yang benar, dia akan berusaha dengan sungguh-sungguh dan berada di jalur yang benar. Orang tersebut akan menyadari betapa sedikitnya ilmu yang dia ketahui. Namun jika pendekatan seseorang terhadap ilmu salah, hal itu menjadikan perbuatan yang keliru pula seperti menjadi materealistis dan merasa bangga dengan ilmu yang dimiliki. Kesalahan pendekatan dalam mencari ilmu pengetahuan bukanlah merupakan hal baru, telah tercatat dalam sejarah dari orang-orang yang hidup di masa sebelumnya. Peristiwa tersebut tentunya bisa dijadikan pelajaran,
فَلَمَّا جَاءتْهُمْ رُسُلُهُم بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِندَهُم مِّنَ الْعِلْمِ
Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka merasa senang dengan pengetahuan (keduniaan) yang telah mereka miliki.
QS 40:83
Ketika menimbang masalah ini, Asy-Syaikh As-Sa’di menjelaskan betapa jelasnya fakta jika manusia merupakan makhluk yang tidak sempurna dilihat dari berbagai macam perspektif, apapun yang mereka peroleh dari ilmu-ilmu tersebut dan kemampuan yang mereka miliki, semuanya merupakan karunia Allah yang telah memberi ilmu pengetahuan dan kemampuan.
Juga perlu dipertimbangkan bahwa Allah telah menetapkan pada manusia ilmu pengetahuan dan kemampuan terbatas, yang tidak dapat diperluas atau dikembangkan. Allah-lah, sang Pencipta yang telah menciptakan mereka dari ketiadaan, Dia pulalah yang mengeluarkan mereka dari rahim ibunya dalam keadaan tidak tahu apa-apa, lalu Allah memberi kemampuan untuk mendengar, melihat juga memahami, dan kemampuan untuk mempelajari ilmu pengetahuan.”[1]
Pandangan humanisme yang terbatas dalam memahami ilmu pengetahuan telah membuat mereka lupa bahwa setiap jengkal informasi yang mereka dapatkan tersebut sebenarnya datang dari sang Pencipta yang Maha Mengetahui :
قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Mereka (para malaikat) menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .”
QS 2:32
Kelalaian dan Ketidakseimbangan Pendekatan terhadap Sains
Asy-Syaikh As-Sa’di menyatakan: “Salah satu bentuk pengkhianatan terbesar terhadap ilmu pengetahuan dan kenyataan yang terjadi pada ilmuwan dalam berhubungan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala dan agama-Nya terjadi ketika para ilmuwan (saintis) melakukan sebuah riset.
Dalam usaha mereka memahami alam, mereka mengadakan sejumlah penyelidikan terhadap berbagai macam benda (makhluk), dari penyelidikan itu mereka memperoleh banyak sekali keuntungan. Namun sayangnya, kita jarang sekali mendengar mereka menyebut nama Tuhan ketika mereka berhasil dengan penelitian yang mereka buat, seolah-olah Tuhan sebagai sang Pencipta dan Pengatur tidak memiliki andil dalam keberhasilan mereka.
Hal itu sekaligus membuktikan bahwa mereka menempatkan Tuhan dalam porsi yang sedikit dalam kehidupan mereka. Tak hanya itu, mereka juga tidak menunjukkan rasa terima kasih pada-Nya yang telah menciptakan segala hal yang dibutuhkan manusia dalam jumlah yang tak terhitung (tentunya obyek riset yang mereka teliti juga merupakan ciptaan Allah).
Dia memberikan semua itu dengan kehendak-Nya dan kemampuan-Nya dalam mengendalikan ciptaan-Nya. Namun demikian, mereka para ilmuwan sebagian besar meragukan hal itu, mereka menganggap bahwa obyek peneitian yang ada di alam ini memang sudah ada sejak dulu (bukan diciptakan). Itulah sebabnya mereka mengingkari keberadaan sang Pencipta dan Pengatur beserta kemampuan-Nya, tentunya sikap mereka tersebut benar-benar melampaui batas dan jauh dari keyakinan yang benar :
بَلْ كَذَّبُوا بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُمْ فَهُمْ فِي أَمْرٍ مَّرِيجٍ
Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran[2] tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, sehingga mereka berada dalam keadaan kacau balau.
QS 50:5
Seandainya mereka mau mengakui bahwa ilmu pengetahuan dan semua yang mereka dapatkan termasuk keberadaan makhluk-makhluk (obyek riset) yang merupakan karunia dari sang Pencipta juga seluruh nikmat (yang mereka saksikan) merupakan anugrah dari Allah, maka mereka akan ditunjuki kepada jalan yang lurus (dalam urusan dunia dan agama).”[3]
Ketidakseimbangan yang Mengantarkan Manusia kepada Kebingungan
Setelah melihat bagaimana dasar-dasar ilmu dibangun pada awal buku ini,[4] ilmuwan materialis masih saja mencari pemahaman yang benar dan pengetahuan terhadap beberapa isu krusial yang dihadapi oleh umat manusia. Asy-Syaikh As-Sa’di mengomentari sikap para sarjana tersebut, dengan berkata: “Kamu masih saja sibuk dengan bidang ilmu pengetahuan yang kamu banggakan itu, masih saja mencari (menemukan) teori-teori baru yang kamu yakini kebenarannya, lalu kamu membuat sebuah kesimpulan berdasarkan teori-teori tersebut, kamu meyakininya, kamu membuat kewenangan dan penegasan kebenaran teori-teori tersebut. Kemudian dalam waktu beberapa lama, kamu akan mempertimbangkan teori-teori itu dan mencari tahu titik lemahnya, kamu mulai meragukannya, dan mungkin kamu mulai menyusun alasan untuk menyalahkannya, dan kemudian membuat sebuah eksperimen (penemuan) yang kontradiksi (berlawanan) dengan teori-teori tersebut dan membuat teori-teori baru…
Lalu berapa banyak teori yang kamu sanggah dan adakah yang kamu anggap benar? Ini merupakan realita yang datang dari tingkat ilmu pengetahuanmu yang tinggi. Bagaimana mungkin, orang yang memiliki tingkat pengetahuan yang rendah menggunakan teori-teori tersebut untuk menentang Rasul yang menyampaikan wahyunya berdasarkan informasi yang benar?”[5]
Bagaimana Islam Menganjurkan Manusia untuk Mencari Ilmu Pengetahuan di Abad Milenium
Lebih lanjut lagi, As-Sa’di menyatakan, “para ilmuwan atheis (dan simpatisannya) masih sibuk memikirkan solusi dari berbagai macam krisis yang dihadapi umat manusia. Tentunya mereka mengatasi solusi dengan berbagai usaha dan sains. Namun kenyataannya, mereka tidak dapat menyelesaikan persoalan dengan cara yang menurut mereka ampuh. Setiap waktu mereka mencari solusi untuk setiap masalah, fakta menunjukkan solusi-solusi yang mereka kerahkan tersebut malah menambah jumlah masalah yang mereka hadapi …
Sebagai contohnya persoalan yang telah membuat manusia menjadi bingung dan kacau … adalah ilmu pengetahuan … Maksudnya, tak hanya pengetahuan yang berkaitan dengan sains saja, akan tetapi juga hal-hal yang terkait dengan keyakinan dan tujuan hidup. Bagi mereka segala bentuk solusi yang mereka temukan untuk persoalan tersebut (masalah perbedaan keyakinan dan tujuan hidup) adalah benar.
Sebenarnya dalam Islam, ada desakan untuk mempelajari ilmu pengetahuan, bahkan dorongan tersebut terasa begitu kuat yang membuat kaum Muslim terdesak untuk mempelajarinya. Islam juga memerintahkan manusia untuk mempelajari semua ilmu penting yang bermanfaat bagi kehidupan, baik ilmu dunia ataupun ilmu yang berkaitan dengan urusan agama.
Untuk bidang ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan urusan agama, Islam memiliki detail penyelesaian sepenuhnya, setelah mengetahui prinsip-prinsip yang mendasar. Adapun untuk persoalan yang berkenaan dengan urusan dunia, Islam pun telah menunjukkan prinsip-prinsip Mendasar dan jalan kepada manusia untuk menggapainya …
Berbeda dengan Islam, pemahaman materialis hanya terfokus pada masalah yang berkenaan dengan urusan dunia saja, yang pada kenyataannya hanya menjadikan urusan dunia menjadi mudah. Lebih jauh lagi, mereka mengejek dan mencerca segala macam ilmu sains yang berkenaan dengan agama. Padahal jika mereka sadar, sebenarnya ilmu sains yang mereka banggakan tidak benar-benar bermanfaat kecuali jika ilmu sains tersebut digunakan untuk urusan yang berkenaan dengan agama. Untuk alasan inilah, akhirnya ilmu sains tersebut tidak mendatangkan manfaat bagi mereka, bahkan membuat mereka berada dalam kebingungan. Mereka malah berbantah-bantahan dengan teori yang mereka buat sendiri dengan berbagai macam filosofi yang tidak stabil dan justru membuat kacau.
Masalah lain yang dihadapi oleh umat manusia adalah persoalan kekayaan dan kemiskinan: Perlu diketahui bahwa agama ini dan jalan hidup yang ditawarkannya memberi solusi untuk segala persoalan manusia (termasuk soal kaya dan miskin) agar manusia dapat hidup bahagia. Islam memerintahkan manusia untuk mencari nafkah dengan cara-cara diijinkan oleh agama dan sesuai dengan waktu dan tempat.
Islam juga memerintahkan manusia untuk meminta bantuan Allah dalam rangka mendapatkan pekerjaan (sumber nafkah) dan agar terhindar diri dari hal-hal yang diharamkan (yang dapat membahayakan kehidupan mereka) ketika mencarinya (pekerjaan). Singkatnya, Islam memerintahkan manusia untuk memenuhi kewajibannya dengan berbagai macam cara (yang dihalalkan) agar mereka bisa memperoleh kekayaan.
Namun Islam juga memerintahkan manusia untuk bersabar ketika mereka berada dalam kemiskinan dan menghadapinya dengan penuh ketundukan. Kita dianjurkan tidak mengeluh ketika menghadapi takdir yang telah ditetapkan untuknya (berupa kemiskinan), meskipun mereka mengalami berbagai macam gangguan dan tekanan untuk mendapatkan pekerjaan dan nafkah. Islam juga melarang manusia bersikap malas atau merasa tidak mampu melakukan hal-hal bermanfaat (mencari nafkah), karena hal tersebut dapat mengancam urusan agama dan dunia mereka.”[6]
Nabi Muhammad pernah bersabda:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ
“Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan.”[7]
Sebagaimana dia juga menjelaskan prinsip-prinsip penting yang jika diimpelentasikan dalam kehidupan akan membuat kehidupan bangsa dan peradaban menjadi dan berkembang: Berusahalah untuk hal-hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan Allah dan jangan bersikap lemah.”[8]
SUMBER : Naskah pracetak Buku “INVASI BARAT” Penulis : Haneef James Oliver , Penerbit Too Bagus Pusblishing, Bandung untuk http://kaahil.wordpress.com
[1] Ibid, hal. 55 [2] Maksudnya Al Qur’an dan ilmu pengetahuan yang ada di dalamnya.
[3] Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, op.cit., hal. 42-43
[4] 3 Bab pertama berkaitan dengan pembahasan tentang keberadaan sang Pencipta, mengapa hanya Dia satu-satunya yang layak diibadahi, dan bagaimana Dia mengirimkan wahyu yang memberi kita petunjuk mengpenai peribadatan dan penghambaan yang diridhoi-Nya.
[5] Ibid, hal. 29
[6] Ibid, hal. 46-47
[7] Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 6371
[8] Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2664
Sumber artikel : kaahil.wordpress.com
Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama setempat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Humanisme)
Berikut tulisan dari Haneef James Oliver menjelaskan tentang Humanisme :
Salah satu persoalan dari pendidikan dunia Barat adalah materi pengajarannya semata-mata menyandarkan intelektual, meskipun secara rasional mereka mengetahui fakta bahwa pengetahuan manusia sangatlah terbatas. Hal itu terlihat dari pemahaman manusia yang secara konstan selalu berubah, bergantung pada pemikiran yang berkembang pada tiap zaman. Sebagaimana pemikiran kaum humanis yang tidak mampu memisahkan tujuan jangka panjang manusia, kebutuhannya dan kesenangannya, karena pandangan humanisme hanya didasarkan pada intelektual manusia, yang pada kenyataannya benar-benar terbatas.
وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
QS 17 : 85
Meskipun masyarakat Barat telah membangun sistem ekonomi dan politik yang menjadi kebanggaan mereka, namun sistem tersebut tidak mengajarkan manusia untuk menghadapi kehidupan setelah mati dan bertemu dengan sang Pencipta. Tak hanya pandangan humanisme saja yang gagal menyiapkan manusia untuk menghadapi kehidupan di akhirat yang keberadaannya jauh lebih penting (dibanding kehidupan dunia). Pandangan-pandangan yang mereka miliki juga gagal untuk membantu memahami tujuan mereka hidup di dunia.
يَعْلَمُونَ ظَاهِراً مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.
QS 30: 7
Ketika seseorang menemukan pengetahuan yang benar, dia akan berusaha dengan sungguh-sungguh dan berada di jalur yang benar. Orang tersebut akan menyadari betapa sedikitnya ilmu yang dia ketahui. Namun jika pendekatan seseorang terhadap ilmu salah, hal itu menjadikan perbuatan yang keliru pula seperti menjadi materealistis dan merasa bangga dengan ilmu yang dimiliki. Kesalahan pendekatan dalam mencari ilmu pengetahuan bukanlah merupakan hal baru, telah tercatat dalam sejarah dari orang-orang yang hidup di masa sebelumnya. Peristiwa tersebut tentunya bisa dijadikan pelajaran,
فَلَمَّا جَاءتْهُمْ رُسُلُهُم بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِندَهُم مِّنَ الْعِلْمِ
Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka merasa senang dengan pengetahuan (keduniaan) yang telah mereka miliki.
QS 40:83
Ketika menimbang masalah ini, Asy-Syaikh As-Sa’di menjelaskan betapa jelasnya fakta jika manusia merupakan makhluk yang tidak sempurna dilihat dari berbagai macam perspektif, apapun yang mereka peroleh dari ilmu-ilmu tersebut dan kemampuan yang mereka miliki, semuanya merupakan karunia Allah yang telah memberi ilmu pengetahuan dan kemampuan.
Juga perlu dipertimbangkan bahwa Allah telah menetapkan pada manusia ilmu pengetahuan dan kemampuan terbatas, yang tidak dapat diperluas atau dikembangkan. Allah-lah, sang Pencipta yang telah menciptakan mereka dari ketiadaan, Dia pulalah yang mengeluarkan mereka dari rahim ibunya dalam keadaan tidak tahu apa-apa, lalu Allah memberi kemampuan untuk mendengar, melihat juga memahami, dan kemampuan untuk mempelajari ilmu pengetahuan.”[1]
Pandangan humanisme yang terbatas dalam memahami ilmu pengetahuan telah membuat mereka lupa bahwa setiap jengkal informasi yang mereka dapatkan tersebut sebenarnya datang dari sang Pencipta yang Maha Mengetahui :
قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Mereka (para malaikat) menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .”
QS 2:32
Kelalaian dan Ketidakseimbangan Pendekatan terhadap Sains
Asy-Syaikh As-Sa’di menyatakan: “Salah satu bentuk pengkhianatan terbesar terhadap ilmu pengetahuan dan kenyataan yang terjadi pada ilmuwan dalam berhubungan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala dan agama-Nya terjadi ketika para ilmuwan (saintis) melakukan sebuah riset.
Dalam usaha mereka memahami alam, mereka mengadakan sejumlah penyelidikan terhadap berbagai macam benda (makhluk), dari penyelidikan itu mereka memperoleh banyak sekali keuntungan. Namun sayangnya, kita jarang sekali mendengar mereka menyebut nama Tuhan ketika mereka berhasil dengan penelitian yang mereka buat, seolah-olah Tuhan sebagai sang Pencipta dan Pengatur tidak memiliki andil dalam keberhasilan mereka.
Hal itu sekaligus membuktikan bahwa mereka menempatkan Tuhan dalam porsi yang sedikit dalam kehidupan mereka. Tak hanya itu, mereka juga tidak menunjukkan rasa terima kasih pada-Nya yang telah menciptakan segala hal yang dibutuhkan manusia dalam jumlah yang tak terhitung (tentunya obyek riset yang mereka teliti juga merupakan ciptaan Allah).
Dia memberikan semua itu dengan kehendak-Nya dan kemampuan-Nya dalam mengendalikan ciptaan-Nya. Namun demikian, mereka para ilmuwan sebagian besar meragukan hal itu, mereka menganggap bahwa obyek peneitian yang ada di alam ini memang sudah ada sejak dulu (bukan diciptakan). Itulah sebabnya mereka mengingkari keberadaan sang Pencipta dan Pengatur beserta kemampuan-Nya, tentunya sikap mereka tersebut benar-benar melampaui batas dan jauh dari keyakinan yang benar :
بَلْ كَذَّبُوا بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُمْ فَهُمْ فِي أَمْرٍ مَّرِيجٍ
Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran[2] tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, sehingga mereka berada dalam keadaan kacau balau.
QS 50:5
Seandainya mereka mau mengakui bahwa ilmu pengetahuan dan semua yang mereka dapatkan termasuk keberadaan makhluk-makhluk (obyek riset) yang merupakan karunia dari sang Pencipta juga seluruh nikmat (yang mereka saksikan) merupakan anugrah dari Allah, maka mereka akan ditunjuki kepada jalan yang lurus (dalam urusan dunia dan agama).”[3]
Ketidakseimbangan yang Mengantarkan Manusia kepada Kebingungan
Setelah melihat bagaimana dasar-dasar ilmu dibangun pada awal buku ini,[4] ilmuwan materialis masih saja mencari pemahaman yang benar dan pengetahuan terhadap beberapa isu krusial yang dihadapi oleh umat manusia. Asy-Syaikh As-Sa’di mengomentari sikap para sarjana tersebut, dengan berkata: “Kamu masih saja sibuk dengan bidang ilmu pengetahuan yang kamu banggakan itu, masih saja mencari (menemukan) teori-teori baru yang kamu yakini kebenarannya, lalu kamu membuat sebuah kesimpulan berdasarkan teori-teori tersebut, kamu meyakininya, kamu membuat kewenangan dan penegasan kebenaran teori-teori tersebut. Kemudian dalam waktu beberapa lama, kamu akan mempertimbangkan teori-teori itu dan mencari tahu titik lemahnya, kamu mulai meragukannya, dan mungkin kamu mulai menyusun alasan untuk menyalahkannya, dan kemudian membuat sebuah eksperimen (penemuan) yang kontradiksi (berlawanan) dengan teori-teori tersebut dan membuat teori-teori baru…
Lalu berapa banyak teori yang kamu sanggah dan adakah yang kamu anggap benar? Ini merupakan realita yang datang dari tingkat ilmu pengetahuanmu yang tinggi. Bagaimana mungkin, orang yang memiliki tingkat pengetahuan yang rendah menggunakan teori-teori tersebut untuk menentang Rasul yang menyampaikan wahyunya berdasarkan informasi yang benar?”[5]
Bagaimana Islam Menganjurkan Manusia untuk Mencari Ilmu Pengetahuan di Abad Milenium
Lebih lanjut lagi, As-Sa’di menyatakan, “para ilmuwan atheis (dan simpatisannya) masih sibuk memikirkan solusi dari berbagai macam krisis yang dihadapi umat manusia. Tentunya mereka mengatasi solusi dengan berbagai usaha dan sains. Namun kenyataannya, mereka tidak dapat menyelesaikan persoalan dengan cara yang menurut mereka ampuh. Setiap waktu mereka mencari solusi untuk setiap masalah, fakta menunjukkan solusi-solusi yang mereka kerahkan tersebut malah menambah jumlah masalah yang mereka hadapi …
Sebagai contohnya persoalan yang telah membuat manusia menjadi bingung dan kacau … adalah ilmu pengetahuan … Maksudnya, tak hanya pengetahuan yang berkaitan dengan sains saja, akan tetapi juga hal-hal yang terkait dengan keyakinan dan tujuan hidup. Bagi mereka segala bentuk solusi yang mereka temukan untuk persoalan tersebut (masalah perbedaan keyakinan dan tujuan hidup) adalah benar.
Sebenarnya dalam Islam, ada desakan untuk mempelajari ilmu pengetahuan, bahkan dorongan tersebut terasa begitu kuat yang membuat kaum Muslim terdesak untuk mempelajarinya. Islam juga memerintahkan manusia untuk mempelajari semua ilmu penting yang bermanfaat bagi kehidupan, baik ilmu dunia ataupun ilmu yang berkaitan dengan urusan agama.
Untuk bidang ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan urusan agama, Islam memiliki detail penyelesaian sepenuhnya, setelah mengetahui prinsip-prinsip yang mendasar. Adapun untuk persoalan yang berkenaan dengan urusan dunia, Islam pun telah menunjukkan prinsip-prinsip Mendasar dan jalan kepada manusia untuk menggapainya …
Berbeda dengan Islam, pemahaman materialis hanya terfokus pada masalah yang berkenaan dengan urusan dunia saja, yang pada kenyataannya hanya menjadikan urusan dunia menjadi mudah. Lebih jauh lagi, mereka mengejek dan mencerca segala macam ilmu sains yang berkenaan dengan agama. Padahal jika mereka sadar, sebenarnya ilmu sains yang mereka banggakan tidak benar-benar bermanfaat kecuali jika ilmu sains tersebut digunakan untuk urusan yang berkenaan dengan agama. Untuk alasan inilah, akhirnya ilmu sains tersebut tidak mendatangkan manfaat bagi mereka, bahkan membuat mereka berada dalam kebingungan. Mereka malah berbantah-bantahan dengan teori yang mereka buat sendiri dengan berbagai macam filosofi yang tidak stabil dan justru membuat kacau.
Masalah lain yang dihadapi oleh umat manusia adalah persoalan kekayaan dan kemiskinan: Perlu diketahui bahwa agama ini dan jalan hidup yang ditawarkannya memberi solusi untuk segala persoalan manusia (termasuk soal kaya dan miskin) agar manusia dapat hidup bahagia. Islam memerintahkan manusia untuk mencari nafkah dengan cara-cara diijinkan oleh agama dan sesuai dengan waktu dan tempat.
Islam juga memerintahkan manusia untuk meminta bantuan Allah dalam rangka mendapatkan pekerjaan (sumber nafkah) dan agar terhindar diri dari hal-hal yang diharamkan (yang dapat membahayakan kehidupan mereka) ketika mencarinya (pekerjaan). Singkatnya, Islam memerintahkan manusia untuk memenuhi kewajibannya dengan berbagai macam cara (yang dihalalkan) agar mereka bisa memperoleh kekayaan.
Namun Islam juga memerintahkan manusia untuk bersabar ketika mereka berada dalam kemiskinan dan menghadapinya dengan penuh ketundukan. Kita dianjurkan tidak mengeluh ketika menghadapi takdir yang telah ditetapkan untuknya (berupa kemiskinan), meskipun mereka mengalami berbagai macam gangguan dan tekanan untuk mendapatkan pekerjaan dan nafkah. Islam juga melarang manusia bersikap malas atau merasa tidak mampu melakukan hal-hal bermanfaat (mencari nafkah), karena hal tersebut dapat mengancam urusan agama dan dunia mereka.”[6]
Nabi Muhammad pernah bersabda:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ
“Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan.”[7]
Sebagaimana dia juga menjelaskan prinsip-prinsip penting yang jika diimpelentasikan dalam kehidupan akan membuat kehidupan bangsa dan peradaban menjadi dan berkembang: Berusahalah untuk hal-hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan Allah dan jangan bersikap lemah.”[8]
SUMBER : Naskah pracetak Buku “INVASI BARAT” Penulis : Haneef James Oliver , Penerbit Too Bagus Pusblishing, Bandung untuk http://kaahil.wordpress.com
[1] Ibid, hal. 55 [2] Maksudnya Al Qur’an dan ilmu pengetahuan yang ada di dalamnya.
[3] Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, op.cit., hal. 42-43
[4] 3 Bab pertama berkaitan dengan pembahasan tentang keberadaan sang Pencipta, mengapa hanya Dia satu-satunya yang layak diibadahi, dan bagaimana Dia mengirimkan wahyu yang memberi kita petunjuk mengpenai peribadatan dan penghambaan yang diridhoi-Nya.
[5] Ibid, hal. 29
[6] Ibid, hal. 46-47
[7] Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 6371
[8] Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2664
Sumber artikel : kaahil.wordpress.com
0 komentar :
Posting Komentar