Rabu, 22 Januari 2014

Soal: Syaikh yang mulia, kami mohon fatwanya, semoga anda memperoleh ganjaran pahala. Berapa lama berlangsungnya masa nifas, sehingga dia bisa (kembali) shalat? Demikian juga (berlangsungnya) masa haid? Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah menjawab:
Wanita dalam keadaan nifas sampai darah nifas tidak lagi keluar, kemudian ia (harus) mandi besar dan melaksanakan shalat. Kondisi wanita satu sama lainnya berbeda. Di antara mereka ada yang darahnya berhenti dalam selang waktu satu pekan pasca persalinan. Di antara mereka ada yang terhenti darahnya dalam selang waktu 25 hari. Bisa jadi di antara mereka ada yang terhenti darah nifasnya setelah 40 hari atau 60 hari jika melihat darah telah berhenti.
Bahkan di antara mereka ada yang tidak melihat darah sama sekali. ‘Aisyah pernah ditanya ihwal seorang wanita yang nifas, lalu ia tidak melihat darah, beliau berkata: “Allah telah membersihkan (darah)nya.”
Bila darah nifas telah berhenti walaupun hanya satu hari atau selama 60 hari, maka ia wajib mandi besar dan melaksanakan shalat. Demikianpula bila waktu ini bulan Ramadhan, maka ia harus berpuasa.
Demikian juga dengan wanita yang sedang haid. Karena wanita lebih mengetahui ihwal haidnya. Boleh jadi di antara mereka ada yang haid hanya selama satu hari. Di antara mereka ada haid selama dua hari, atau tiga hari sampai tujuh hari, 15 hari dan ia masih mengeluarkan darah haid selama beberapa waktu.
Hanya saja, jika darah itu terus keluar, maka darah yang keluar itu dinamakan darah istihadhah. Ia merujuk pada kebiasaan masa haidnya -jika ia memang mempunyai kebiasaan haid sebelum ia mengalami sakit tersebut. Sebab hal itu telah berubah menjadi penyakit, bukan darah haid. Jika kebiasaan masa haidnya -sebelum ia menderita penyakit itu- adalah tujuh hari, maka masa haidnya adalah tujuh hari.
Apabila ia tidak memiliki rutinitas jadwal haid maka ia bisa mengamati warna darahnya. Darah haid warnanya hitam, dapat diketahui dengan baunya yang amis. Jika darah itu berwarna hitam dan mengeluarkan bau amis, maka darah itu dianggap darah haid. Setelah itu ia (harus) menunaikan shalat, puasa dan suaminya boleh menggaulinya, sebab ia dianggap sedang mengalami istihadhah.
Apabia ia belum memiliki rutinitas jadwal haid maka itu adalah fase pendahuluan. Apabila ia masih belia dan masih baru pertama kali mengalami istihadhah sementara ia belum memiliki rutinitas masa haidh, darah (yang keluar pun) belum bisa dibedakan, maka ia merujuk pada rutinitas masa haid saudara-saudara perempuan, ibu dan sanak familinya, sehingga ia dapat mengetahui berapa lama berlangsungnya masa haid mereka. Boleh jadi rutinitas masa haid saudara-saudara perempuan dan sanak famili memiliki keserupaan. Wallâhul Musta’ân.
Ia wajib berusaha secara optimal dalam masalah ini. Adapun jika itu hanya haid saja, maka berlangsungnya masa haid adalah keluarnya darah. Sepatutnya, dia tidak tergesa-gesa dan ia tidak lantas mandi besar, kecuali jika ia telah benar-benar melihat lendir berwarna putih.
Dalam kesempatan ini ada suatu hal yang ingin saya beri catatan, yaitu sebagian wanita mandi besar dan bersuci, kemudian tahu-tahu ada darah yang kembali keluar. Jika darah yang keluar itu menyerupai sifat-sifat darah haid, maka itu adalah darah haid. Jika yang keluar itu hanya berupa air yang berwarna kekuning-kuningan dan sangat keruh, dan keluarnya darah tersebut di luar waktu haid, (dalam hal ini) Ummu Athiyah berkata: “Dulu kami tidak menganggap darah bercampur nanah dan darah kotor termasuk darah haid.” Al-Kadr (air yang sangat keruh) adalah seperti air bercampur darah yang keluar dari vagina. Apabila cairan itu keluar pada siklus haid, maka cairan itu dianggap darah haidh. Jika darah itu keluar di luar siklus haid, maka darah itu tidak dianggap apa-apa (bukan darah haid). [Ijaabatu as-Saail, Soal No. 353]
Sumber: إجابة السائل karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i. Edisi Indonesia: Asy-Syaikh Muqbil Menjawab Masalah Wanita, hal. 197-200. Penerjemah: Abu ‘Abdillah Salim. Editor: Abu Faruq Ayip Syafruddin. Penerbit: Penerbit An Najiyah Surakarta, cet. ke-1. 
*****************

Lama Waktu Nifas

Majalah AsySyariah Edisi 044

Tanya: Berapa lama wanita yang nifas meninggalkan shalat?

Jawab:
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh t menjawab, “Wanita yang nifas memiliki beberapa keadaan:
Pertama: Darah nifasnya berhenti sebelum sempurna 40 hari dan setelah itu sama sekali tidak keluar lagi. Maka ketika darah tersebut berhenti/tidak keluar lagi, si wanita harus mandi, puasa (bila bertepatan dengan bulan Ramadhan), dan mengerjakan shalat (bila telah masuk waktunya).
Kedua: Darah nifasnya berhenti sebelum genap 40 hari, namun beberapa waktu kemudian darahnya keluar lagi sebelum selesai waktu 40 hari. Pada keadaan ini, si wanita mandi, puasa, dan shalat di saat berhentinya darah. Namun di saat darah tersebut kembali keluar berarti ia masih dalam keadaan nifas, sehingga ia harus meninggalkan puasa dan shalat. Ia harus mengqadha puasa wajib yang ditinggalkannya sementara untuk shalat yang ditinggalkan tidak ada qadha.
Ketiga: Darahnya terus menerus keluar sampai sempurna waktu 40 hari. Maka dalam jangka waktu 40 hari tersebut, ia tidak shalat dan tidak puasa. Setelah berhenti darahnya, barulah ia mandi, puasa, dan shalat.
Keempat: Darahnya keluar sampai lewat 40 hari.
Dalam hal ini ada dua gambaran:
1. Keluarnya darah setelah 40 hari tersebut bertepatan dengan waktu kebiasaan haidnya, yang berarti ia haid setelah nifas. Maka ia menunggu sampai selesai masa haidnya, baru bersuci.
2. Keluarnya darah tidak bertepatan dengan kebiasaan haidnya. Maka ia mandi setelah sempurna nifasnya selama 40 hari, ia mengerjakan puasa dan shalat walaupun darahnya masih keluar.
Apabila kejadian ini berulang sampai tiga kali, yakni setiap selesai melahirkan, dari melahirkan anak yang pertama sampai anak yang ketiga misalnya, darahnya selalu keluarnya lebih dari 40 hari berarti ini merupakan kebiasaan nifasnya. Yakni masa nifasnya memang lebih dari 40 hari. Selama masa nifas yang lebih dari 40 hari itu ia meninggalkan puasa yang berarti harus dia qadha di waktu yang lain (saat suci), sementara shalat yang ditinggalkan tidak ada qadhanya.
Apabila kejadian keluarnya darah lebih dari 40 hari ini tidak berulang, yakni hanya sekali, maka darah tersebut bukanlah darah nifas tapi darah istihadhah.
Wallahu a’lam.”

Tanya: Apabila darah terus keluar dari seorang wanita yang nifas sampai lebih 40 hari, apakah si wanita dibolehkan puasa dan shalat?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t menjawab, “Wanita yang nifas bila tetap keluar darahnya lebih dari 40 hari dalam keadaan darah tersebut tidak mengalami perubahan, maka bila kelebihan waktu tersebut bertepatan dengan masa kebiasaan haid yang pernah dialaminya (sebelum hamil), ia tidak boleh mengerjakan shalat dan puasa (karena statusnya ia sedang haid).
Namun bila tidak bertepatan dengan waktu kebiasaan haidnya yang dulu, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Di antara mereka ada yang mengatakan: bila telah sempurna waktu 40 hari dari masa nifasnya, wanita tersebut mandi dan harus mengerjakan shalat bila telah masuk waktunya sekalipun darah terus keluar/mengalir dari kemaluannya, karena si wanita sekarang terhitung mengalami istihadhah.
Di antara ulama ada yang berpendapat: si wanita tetap menunggu berhentinya darah sampai 60 hari, yang berarti ia masih berstatus nifas. Karena memang ada wanita yang masa nifasnya 60 hari. Ini perkara yang memang nyata, ada sebagian wanita yang kebiasaan nifasnya selama 60 hari. Berdasarkan hal ini, si wanita yang darahnya terus keluar lebih dari 40 hari tetap menanti sucinya sampai maksimal 60 hari. Selewatnya dari 60 hari, ia menganggap dirinya haid bila darah masih saja keluar dalam hitungan waktu/lama kebiasaan haidnya. Setelahnya ia mandi dan shalat walaupun darahnya masih keluar, karena kali ini ia terhitung wanita yang istihadhah.”
(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 60-61)

NIFAS BAGI WANITA YANG MELAHIRKAN DENGAN BEDAH CAESAR

Tanya: Sebagian wanita mengalami kesulitan dalam melahirkan kandungannya sehingga terpaksa dilakukan pembedahan yang berarti anak yang dilahirkan tidak melalui kemaluan. Apa hukumnya wanita yang mengalami kasus seperti ini dari sisi darah nifasnya? Dan apa hukum mandi mereka secara syar’i?
Jawab:
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` yang saat itu diketuai Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz t menjawab, “Hukum bagi wanita yang mengalami kejadian demikian sama dengan hukum wanita-wanita lain yang mengalami nifas karena persalinan normal. Bila ia melihat keluarnya darah dari kemaluannya, ia meninggalkan shalat dan puasa sampai suci. Bila ia tidak lagi melihat keluarnya darah maka ia mandi, mengerjakan shalat dan puasa seperti halnya wanita-wanita yang suci.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 70)

DARAH YANG KELUAR SEBELUM MELAHIRKAN

Tanya: Seorang wanita hamil keluar darah dari kemaluannya lima hari sebelum melahirkan di bulan Ramadhan. Apakah darahnya tersebut darah haid atau darah nifas? Apa yang harus dilakukan ketika itu?
Jawab:
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` menjawab, “Bila perkaranya sebagaimana yang disebutkan yakni si wanita yang sedang hamil melihat keluarnya darah lima hari sebelum melahirkan:
Jika ia tidak melihat adanya tanda-tanda dekatnya saat kelahiran seperti rasa sakit karena ingin melahirkan/kontraksi, maka darah tersebut bukanlah darah haid dan bukan pula darah nifas, melainkan darah fasad (rusak) menurut pendapat yang shahih. Karenanya, ia tidak meninggalkan ibadah, tetap mengerjakan shalat dan puasa.
Apabila bersamaan dengan keluarnya darah tersebut didapatkan tanda-tanda dekatnya saat kelahiran berupa rasa sakit dan semisalnya maka darahnya itu adalah darah nifas, sehingga ia tidak mengerjakan shalat dan puasa. Bila ia telah selesai/suci dari nifasnya setelah melahirkan, ia mengqadha puasanya saja.” Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 67)

Sumber : http://asysyariah.com/lama-waktu-nifas.html

Sumber artikel : kaahil.wordpress.com

0 komentar :

Posting Komentar