Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Di
dalam Al-Quran kita dapati bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah
Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Begitu pula
dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita temui
banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik dari perintah
maupun perbuatan beliau mendidik anak secara langsung.
Tentang perkara ini, Allah azza wa jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6).
Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban.”
Untuk itu -tidak bisa tidak-, seorang guru atau orang tua harus tahu apa saja yang harus diajarkan kepada seorang anak serta bagaimana metode yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa tuntunan tersebut antara lain:
- Menanamkan Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak.
- Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah.
- Mengajarkan Al-Quran, Hadits serta Doa dan Dzikir yang Ringan kepada Anak-anak.
- Mendidik Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlaq yang Mulia.
- Melarang Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan.
- Menanamkan Cinta Jihad serta Keberanian.
- Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar’i.
Pendidikan Luqman al Hakim kepada anaknya.
Wasiat Luqmanul Hakim kepada anaknya sebagaimana Allah telah berfirman:
يا بني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
“Wahai anakku, janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah karena sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang besar” (QS. Luqman :13).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan : Luqman adalah seorang hamba sholeh, berkulit hitam yang Allah telah anugrahkan padanya hikmah (pemahaman ilmu dan ta’bir). Dia telah memberikan wasiat kepada anaknya yang sangat disayangi dan dicintai dengan sesuatu wasiat yang paling afdhol dari perkara yang diketahuinya. Oleh karenanya, dia memberikan nasehat kepada anaknya yang pertama adalah agar dia menyembah Allah saja dan tidak mensyarikatkan sedikitpun dengan-Nya. Kemudian dia menjelaskan bahwa kesyirikan itu adalah sebesar-besar kezaliman. [Tafsir Ibnu Katsir III / 453].
Luqman yang dimaksud dalam ayat-ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah Luqman bin Anqa’ bin Sadun.
Dalam Tarikh nya, Ibnu Ishak menuturkan, bahwa Luqman bernama Luqman bin Bau’raa bin Nahur bin Tareh, dan Tareh bin Nahur merupakan nama dari Azar, ayah Nabi Ibrahim alaihis salam.
Wahab bin Munabbih mengatakan bahwa Luqman adalah putra dari saudari kandung Nabi Ayyub alaihis salam.
Muqatil menuturkan, Luqman adalah putra dari bibinya Nabi Ayyub alaihis salam.
Imam Zamakhsyari menguatkan dengan mengatakan: Dia adalah Luqman bin Bau’raa putra saudari perempuan Nabi Ayyub atau putra bibinya.
Riwayat lain mengatakan, Luqman adalah cicit Azar, ayahnya Nabi Ibrahim alaihis salam. Luqman hidup selama 1000 tahun, ia sezaman bahkan gurunya Nabi Daud. Sebelum Nabi Daud diangkat menjadi Nabi, Luqman sudah menjadi mufti saat itu, tempat konsultasi dan bertanya Nabi Daud alaihis salam. Wallahu a’lam.
Yang menarik disini bahwa ternyata sosok Luqman bukanlah seorang yang terpandang atau memiliki pengaruh. Ia hanya seorang hamba Habasyah yang berkulit hitam dan tidak punya kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat. Namun hikmah yang diterimanya menjadikan ucapannya dalam bentuk pesan dan nasehat layak untuk diikuti oleh seluruh orang tua tanpa terkecuali. Dalam banyak riwayat dikatakan, ia seorang budak belian, berkulit hitam, berparas pas-pasan, hidung pesek, kulit hitam legam. Namun demikian, namanya diabadikan oleh Allah menjadi nama salah satu surat dalam al-Qur’an, surat Luqman. Penyebutan ini tentu bukan tanpa maksud. Luqman diabadikan namanya oleh Allah, karena memang orang shaleh yang patut diteladani. Bahwa Allah tidak menilai seseorang dari gagah tidaknya, juga tidak dari statusnya, jabatannya, warna kulitnya dan lainnya. Akan tetapi Allah menilai dari ketakwaaan dan kesalehannnya. Luqman merupakan sosok budak hina, hitam, akan tetapi Allah abadikan karena ketakwaan dan kesalehannya.
Qatadah pernah menuturkan dari Abdullah bin Zubair bahwasannya ia pernah bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang Luqman. Jabir menjawab: “Dia berbadan pendek dan berhidung pesek, orang Nubi, Mesir”.
Sa’id bin al-Musayyib juga menuturkan bahwa Luqman termasuk orang berkulit hitam dari Mesir, akan tetapi sangat mulia, dan Allah memberikan hikmah kepadanya, juga Luqman menolak untuk diangkat sebagai Nabi.
Seorang laki-laki berkulit hitam datang mengadu kepada Said bin al-Musayyib. Sa’id kemudian berkata: “Janganlah bersedih lantaran kulit kamu hitam, karena di antara manusia pilihan itu, ada tiga orang semuanya berkulit hitam: Bilal, Mihja’ budak Umar bin Khatab dan Luqmanul Hakim”.
Mewariskan Harta dan Buku, untuk Pendidikan Anak.
- Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Syafi’i, bahwa ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan 6 perkara, salah satunya adalah harta atau materi. Oleh karena itu, para ulama tidak tanggung-tanggung merogoh kocek, guna kelangsungan pendidikan anak-anak mereka.
- Siapa yang tidak mengenal Imam As Suyuthi (991 H),seorang ulama besar yang memiliki lebih dari 600 karya. Menguasai berbagai macam disiplin keilmuan dalam Islam, hafal lebih dari 200 ribu hadits. Bahkan ia mengakui bahwa parangkat ijtihad sudah ia miliki. Dan waktu berumur 21 sudah menghasilkan karya. Salah satu karya yang amat populer bagi masyarakat muslim Indonesia adalah Tafsir al Jalalain. Kehebatan beliau tidak lepas dari pendidikan dan jerih payah ayahnya dalam mempersiapkan pendidikannya. Ayahnya telah mempersiapkan sebuah perpustakaan yang lengkap dengan berbagai macam kitab, sebelum As Suyuthi lahir, sehingga ulama Syafi’iyah ini dijuluki sebagai Ibnu Al Kutub (anak buku), karena beliau terlahir di sela-sela tumpukan buku. Maka tidaklah heran, jika semasa mudah As Suyuthi sudah menguasai banyak rujukan.
- Ibnu Al Jauzi (510 H), seorang ulama ternama dalam madzhab Hambali juga banyak mendapatkan warisan dari sang ayah, guna menopang pendidikannya. Hal ini terungkap, tatkala ia memberi nasehat kepada anak-anaknya, agar senantiasa bersabar dalam mencari ilmu, dan senantiasa menjaga kehormatan diri. Beliau menulis dalam Laftah Al Kabid, fi Nashihati Al Walad, tentang nasehatnya kepada anaknya, sewaktu mereka masih kecil: ”Ketahuilah wahai anakku, bahwa ayahku adalah seorang yang kaya, dan telah meninggalkan ribuan harta. Ketika aku baligh, ia memberiku 20 dinar dan 2 rumah. Lalu aku mengambi dinar untuk kubelanjakan buku, lalu aku jual rumah dan aku gunakan uangnya unyuk mencari ilmu, hingga harta itu habis tidak tersisa. Ayahmu tidak terhina dikarenakan mencari ilmu, sehingga berkeliling ke negeri-negeri untuk mencari belas kasih orang lain. Aku merasa kecukupan, Allah berfirman: ”Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar dan member rizki dengan cara yang tidak disangka-sangka”.
Lalu beliau mengatakan, ”Maka, bersungguh-sungguhlah wahai anakku untuk tetap menjaga kehormatanmu, hingga tidak mencari-cari dunia yang akan menghinakan pemiliknya. Ada yang mengatakan bahwa, barang siapa qona’ah terhadap roti, maka ia tidak akan menjadi hamba bagi manusia”.
Ibnu Al Jauzi berani menempuh kesusahan di saat beliau mencari ilmu, antara lain kesusahan dalam rezeki, akan tetapi beliau tetap bersabar. Hingga ketika ilmu yang beliau peroleh sudah amat banyak, maka rezekilah yang mendatanginya (Lihat biografi beliau dalam Tadzkirah Huffadz, Imam ad Dzahabi, 4/1347).
- Yahya bin Ma’in (233 H) juga tidak kalah hebatnya, guru Imam Bukhari ini mendapatkan warisan dari ayahnya sebesar 1 juta dirham dan 50 ribu dinar. Semua itu dihabiskan Yahya untuk mencari hadits, sehingga sandalpun ia tidak memilikinya. Dari harta itu, Yahya memiliki 114 rak yang penuh buku (lihat, Tahdzib At Tahdzib, Al Atsqalani, 11/282).
- Begitu juga Imam As Syaibani Al Kufi (189 H), salah satu murid Imam Abi Hanifah, beliau pernah mengatakan:”Ayahku mewariskan kepadaku 30 ribu dirham. Aku gunakan 15 ribu untuk ilmu nahwu dan syair, dan sisanya untuk hadits dan fiqih (lihat, Tarikh Al Bagdad, Khotib, 2/173).
- Begitu pula yang dialami Hisham bin Ammar At Tsulami (245 H), guru dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan yang lain. Ayahnya rela menjual rumah mereka seharga 20 dinar, untuk ongkos ke Madinah, dalam rangka mendengar hadits dari Imam Malik (lihat, Tahdzib Al Kamal, Al Mizzi, 3/1144).
- Tidak jauh beda dengan pengorbanan orang tua dari Ali Bin Ashim Al Wasithi (201 H), salah seorang Hafidz Baghdad, yang juga menjadi syeikh Imam Ahmad dan Yahya Ad Duhli (guru Imam Al Bukhari). Dimana suatu saat, ayahnya mengatakan kepadanya,”Telah aku berikan uang sebesar 100 ribu dinar, dan aku tidak mau melihat wajahmu, kecuali setelah kamu mendapatkan 100 ribu hadits!” (lihat, Tadzkirah Al Huffadz, Ad Dzahabi, 1/317).
- Tidak jauh beda antara ulama klasik dan ulama kontemporer, Syeikh Badru Al Alim, Muhadits India, yang ikut memberi ta’liq (komentar) kepada Faidhu Al Bari, syarah (penjelasan) dari Shohih Al Bukhari, yang ditulis oleh Al Muhadits Anwar Syah Al Kashmiri, juga mempersiapkan pendidikan anak-anaknya dengan baik. Saat awal-awal ia bermukim di Madinah, beliau membeli kitab Al Ajwibah Al Fadhilah, yang ditulis oleh Imam Laknawi, padahal usia beliau sudah tua, dan tidak mampu lagi membaca. Akhirnya beliau menyatakan kepada Syeikh Abu Ghuddah, muridnya, ”Kamu tahu bahwa aku tidak mampu lagi membacanya, akan tetapi, aku membelinya untuk kuwariskan kepada keluarga dan anak-anakku, itu lebih baik bagi mereka daripada warisan yang berupa harta”. (Lihat, Shofhat min Shabri Al Ulama, 300).
Memilih Rezeki Halal, untuk Pendidikan Anak.
Para ulama tidak hanya mewariskan harta untuk pendidikan anak-anak mereka, akan mereka juga menjaga agar harta yang diberikan kepada anak-anak mereka adalah harta yang bersih syubhat dan halal. Karena, bersih tidaknya harta juga mempengaruhi bersih tidaknya ilmu yang diperoleh.
- Adalah Kamal Al Ambari (513 H), penulis Nuzhah Al Auliya, yang juga seorang ulama nahwu, yang memiliki harta pas-pasan. Mendapat rumah dari warisan ayahnya, dan hanya mengandalkan sewa kedai, yang dalam sebulan cuma menghasilkan setengah dinar.
Suatu saat khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan membawa uang 500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al Ambari menolak. Akan tetapi utusan tersebut mengatakan, ”Kalau engkau tidak mau, berikanlah harta ini kepada anakmu”. Al Ambari menjawab,”Jika aku yang menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki.”
Perkataan Al Ambari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki anaknya, hingga ia tidak perlu menerima memberikan hadiyah itu kepada anaknya, yang mana ia sendiri enggan menerima harta pemberian penguasai, karena wara’ (hati-hati).
Guru dan Sahabat Anaknya dalam Mencari Ilmu.
Hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendidik anak adalah keteladanan. Jika orang tua menginginkan anaknya mencintai ilmu, maka ia sendiri juga harus mencintai ilmu, hingga bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya.
- Para ulama sendiri mengajak anak-anaknya untuk bersama-sama melakukan perjalanan dan belajar dengan para ulama lain. Semisal Asad bin Al Furat (213 H), seorang murid Imam Malik, yang sudah diajak ayahnya “menjelajah” sejak ia berumur 2 tahun, untuk mencari ilmu, bersama-sama dengan pasukan Arab, menuju Qairawan, Tunis, dan belajar Al Qur’an di negeri itu, lalu meriwayatkan Al Muwatha’ dari Ibnu Ziyad. (lihat, Syajarah An Nura Az Zakiyah, 62).
- Begitu pula Imam As Suyuthi (991 H), sejak berumur 3 tahun sudah dibawah ayahnya menghadiri majelis Ibnu Hajar Al Atsqalani. Wafatnya sang ayah tidak berarti pendidikan si anak harus dilalaikan. Ayah Suyuthi sebelum wafat sudah berwasiyat kepada Kamaluddin bin Hammam, ulama masa itu untuk mendidik As Suyuthi.
- Hal yang sama dilakukan oleh ayah dari Ibnu Mulaqqin, guru dari Ibnu Hajar Al Atsqalani dari Mesir. Sebelum menjadi yatim, ayahnya telah menitipkan pendidikannya kepada seorang ulama yang bernama Syeikh Isa Al Maghribi, seorang yang biasa mentalqin (membacakan) Al Qur’an, kepada para penuntut ilmu, hingga ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Mulaqqin (anak pentalqin). Beliau adalah ulama yang paling banyak karyanya di zaman itu.
- Imam Sam’ani (562 H), sejak berumur 4 tahun, ayahnya, Imam Abu Bakar menghadirkannya ke beberapa ulama, seperti Ali Abdu Al Ghaffar As Sairazi, Abu ‘Ala Al Qushairi, dan beberapa ulama. Lalu saat ia berumur 9 tahun, ayahnya membawanya ke Naisabur. Tidak hanya itu, setelah ia pulang ke Marwa pada umur 38 dan menikah, anaknya yang bernama Abu Mudhafar yang masih berumur 3 tahun pun ia bawa bersamanya kembali ke Naisabur dalam rangka berguru kepada beberapa ulama di sana. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 7/180).
- Imam Abu Al Waqt As Sijzi (553 H), yang disebut Imam Ad Dzahabi sebagai Syeikh Al Islam, yang juga merupakan guru Ibnu Al jauzi, sudah melakukan perjalanan mencari ilmu sejak umur 7 tahun. Ia memiliki kisah yang amat dahsyat, tatkala melakukan perjalanan mencari ilmu bersama ayahnya.
Suatu saat ia bertutur kepada salah satu muridnya Yusuf bin Ahmad As Syairazi: ”Wahai anakku, aku telah melakukan perjalanan untuk menyimak As Shahih dengan berjalan bersama ayahku, dari Harat menuju Dawudi. Umurku belum ada 10 tahun. Saat melakukan perjalanan, ayahku memberiku dua batu, jika aku terlihat lelah, maka ia menyuruhku untuk melempar satu batu, lalu aku melanjutkan perjalanan. Kadang ia bertanya,”engkau sudah lelah?”, maka aku menjawab,”belum”. “Kenapa jalanmu lamban?”. Maka aku cepatkan langkahku, hingga aku tidak mempu lagi, lalu ia menggendongku”.
Suatu saat mereka berpapasan dengan rombongan petani. Dan mereka menyeru kepada ayah As Sijzi, wahai Syeikh Isa, biarkan anak ini naik kendaraan bersama kami, kita bersama-sama menuju Bushanj. Maka ayahnya mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah, dari naik kendaraan ketika mencari hadits, akan tetapi kami memilih jalan”.
Ketika bertemu dengan Abdul Baqi Al Harawi, ia menawariku manisan, aku menjawab,”Wahai tuan, saya lebih mencintai satu juz dari Abu Jahm lebih baik daripada makan manisan”. Ia tersenyum dan mengatakan,”jika yang masuk makanan, yang keluar adalah omongan”.
Lihat, bagaimana ayah As Sijzi dalam mendidik anaknya, hingga anak yang masih kecil itu sudah memiliki kecintaan yang tinggi terhadap hadits. Dan bagaimana ayah As Sijzi, mengajari anaknya menjaga azzam, guna melawan rasa capek selama melakukan perjalanan dengan menggunakan sarana batu.
Kisah lengkapnya bisa dilihat disini: http://gizanherbal.wordpress.com/2011/06/02/ketika-seorang-ulama-mendidik-anaknya/
- Begitu pula banyak para ulama, disamping menjadi ayah, juga menjadi guru bagi anak-anaknya, semisal Kamal Al Ambari memperolah hadits dari ayahnya, Tajuddin As Subki (771 H), mengambil ilmu dari ayahnya, Taqiyuddin As Subki. Bagitu pula Abu Zur’ah Al Iraqi mendapatkan ilmu dari ayahnya Hafidz Al Iraqi, hingga ia meneruskan syarah Tharhu At Tasrib yang telah disyarah Hafidz Al Iraqi sebelum wafat. Juga amat banyak periwayat hadits yang mengambil dari ayah, kakek dan seterusnya.
- Begitu juga Imam As Syaukani penulis Nail Al Authar, telah membaca kitab Al Azhar, fiqih madzhab Zaidiyah dari ayahnya. Ada kisah menarik dalam hal ini, yang mencerminkan kekritisan Imam As Syaukani. Di sela-sela proses belajar dengan ayahnya, ia bertanya: “Ayah mengatakan, ini madzhab Hanafi, ini madzhab Fulani, mana yang benar dari pendapat-pendapat ini?” Ayahnya menjawab: “yang benar adalah pendapat yang dirajihkan Imam Al Hadi”. Imam As Syaukani pun menanggapi:”Tidak mungkin ijtihad Imam Al Hadi benar semua, pasti ada yang salah. Maka, bagaimana kita tahu pendapat itu benar?” Akhirnya ayah Syaukani membawanya berguru kepada beberapa ulama di Yaman.
Selalu memantau hasil belajar anak.
Tidak hanya mengajar atau memilih guru yang baik. Akan tetapi para ulama juga memantau hasil belajar si anak. Simak penuturan Tajuddin As Subki (771H):”Aku jika datang dari seorang syeikh, maka ayahku (Taqiyuddin As Subki) berkata kepadaku,”tunjukkan apa yang telah kamu peroleh, yang kamu baca dan yang kamu dengar”. Maka, aku menerangkan tentang hal-hal yang telah kuperoleh dalam majelis. Jika aku pulang dari Ad Dzahabi, ia berkata,”tunjukkan yang telah engkau dapat dari syeikhmu”. Jika aku pulang dari Syeikh Najmuddin Al Qahfazi, ia mengatakan,”yang kau dapat dari masjid Thingkiz”. Jika aku pulang dari Syeikh Syamsuddin Ibnu Naqib, maka ia mengatakan,”yang kamu dapati dari Syamiyah”. Jika aku pulang dari Syeikh Abu Abbas Al Andarsy, ia mengatakan, ”yang kau dapati dari masjid”. Jika aku pulang dari Hafidz Al Mizzi, ia mengatakan,”yang kamu peroleh dari As Syeikh”. Ia melafadzkan kata As Syeikh dengan fashih, dan meninggikan suaranya. Aku mengerti, bahwa itu bertujuan agar aku juga ikut merasakan kebesaran nama Al Mizzi, hingga aku lebih banyak mendatangi majelisnya”. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 10/399).
Hasilnya, tidak diragukan lagi. Tajuddin As Subki menjadi ulama yang cukup diperhitungkan, khususnya di kalangan muhaditsin dan madzhab As Syafi’i. Sehingga Al Mizzi menginginkan murid-muridnya mencatat As Subki dalam kelompok ulama thabaqat ulya (tingkatan tertinggi), begitu juga Imam Ad Dzahabi, menginginkan hal yang sama, walau usia As Subki masih relatif muda, Ad Dzahabi menilainya sebagai muhadits jayyid (baik). Akan tetapi orang tuanya, Taqiyuddin memprotes, cukup thabaqat pemula. Akan tetapi para gurunya juga tidak terima. Akhirnya As Subki dimasukkan thabaqat wustha (tingkatan pertengahan).
Secara tidak langsung, Taqiyuddin mengajari anaknya, Tajuddin, agar senantiasa rendah hati, walau ilmunya sudah hampir setara dengan para gurunya.
Cara Asy-Syaikh Muqbil Mendidik Putri Beliau.
Pernah membaca buku Nasehati lin Nisa? Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Nasehatku bagi Para Wanita ini ditulis oleh seorang aalimah (ulama wanita) dari negeri Yaman yang bernama Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah. Beliau hafizhahallah adalah putri dari ulama ahlul hadits di masa kita, yaitu Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’i rahimahullah.
Ummu Abdillah adalah seorang aalimah yang memiliki banyak keutamaan. Menurut Al-Ustadz Muhammad Barmim dalam biografi Syaikh Muqbil, Ummu Abdillah mengajar di madrasah nisa’ (khusus wanita) dan memiliki beragam karya tulis ilmiyah. Di antaranya:
- Shahihul Musnad fis Syamail Muhammadiyah (tentang kesempurnaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dicetak dalam dua jilid)
- Jamius Shahih fi ilmi wa Fadhlihi (tentang keutamaan ilmu)
- Tahqiq kitab As-Sunnah Ibnu Abi Ashim
- Nasehati lin Nisa
- dan sekarang beliau masih mengerjakan Shahihul Musnad min Sirah Nabawiyah
Yang ingin saya angkat dalam artikel ini adalah bagaimana cara Syaikh mendidik putrinya sehingga tumbuh menjadi seorang aalimah. Tema ini mungkin jarang diangkat karena biasanya yang dipersiapkan sebagai seorang alim atau ulama adalah anak laki-laki saja. Pernahkah kita bercita-cita putri kita menjadi seorang aalimah? Kalau memang ada keinginan tersebut, mungkin kita bisa bercermin terlebih dahulu dengan metodologi Asy-Syaikh dalam mendidik putrinya.
Ummu Abdillah berkisah tentang bagaimana ayahanda beliau –Syaikh Muqbil- mendidik putri-putrinya,
… Ayahanda tidak pernah menyia-nyiakan kami, betapa pun sibuknya beliau. Oleh karena itulah beliau sangat perhatian terhadap kami dalam mempelajari Al-Quran. Beliau selalu menuntun kami dalam membaca Al-Quran. Kadang beliau rekam agar hapalan kami semakin kokoh. Suatu ketika saudari saya menghapal, dan ayahanda sedang berada di perpustakaan. Saudariku tadi mencari beliau, ingin direkamkan hapalannya. Beliau pun meninggalkan risetnya, merekam hapalan saudariku lalu kembali lagi ke perpustakaan.
Begitu kami mengetahui qiraah yang baik, beliau membeli kaset qiraah Syaikh Al-Husari untuk kami. Beliau juga membelikan untuk masing-masing putrinya satu tape recorder tanpa radio. Ini bentuk penjagaan beliau agar kami tidak mendengar nyanyian.
Setelah kami mengerti lebih banyak, kami dibelikan masing-masing sebuah tape recorder dengan radionya, namun beliau tetap memperingatkan kami terhadap nyanyian dengan keras. Dan alhamdulillah, kami menerima peringatan tersebut. Kami tidak mendengarkan nyanyian sama sekali, seiring dengan rasa tidak senang terhadap nyanyian.
Dalam menghapal, beliau memerintahkan kami untuk hanya menggunakan satu mushaf dari satu penerbit karena itu akan membantu memperkokoh hapalan. Kalau beliau melihat di tangan kami ada mushaf yang berbeda, beliau akan memberi peringatan keras dan sangat marah.
Di antara murid beliau ada orang-orang Sudan dan Mesir yang datang beserta istri-istrinya. Di antara istri-istri mereka ada yang mengajar kami dengan diberi imbalan jasa oleh ayah sebagai bentuk perhatian beliau terhadap pendidikan. Dan apabila di buku-buku yang dipergunakan oleh para guru wanita tersebut ada gambar makhluk bernyawanya, beliau memerintahkan kami untuk menghapusnya. Kami pun menghapus gambar-gambar tersebut disertai dengan kebencian yang sangat terhadap gambar-gambar itu.
Lalu setelah itu kami pun diajari ilmu-ilmu syar’i Al Kitab dan As-Sunnah, sehingga kami pun menghafal bersama para guru tersebut dan kami pun hapal beberapa hadits walhamdulillah.
Beliau rahimahullah terkadang bersenang-senang dan bergurau bersama kami, dalam perkara yang diizinkan oleh Allah. Berbeda dengan kebanyakan kaum muslimin –kecuali yang dirahmati oleh Allah- yang bersenang-senang bersama anak-anak mereka dengan televisi, nyanyian, permainan-permainan gila, serta kerusakan lainnya. Padahal nabi kita bersabda, “Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang dipimpinnya.”
Beliau selalu melarang kami terlalu banyak keluar, dan beliau selalu mengharuskan kami untuk tidak keluar kecuali seizin beliau.
Ini apa yang dijalankan beliau semasa kami kecil.
Ada pun tentang pendidikan kami, beliau sangat ingin kami mendalami agama Allah dan mencari bekal ilmu syar’i. Sebab itulah, beliau mencurahkan kemampuan beliau untuk membantu kami menuntut ilmu dan membuat kami menggunakan kesempatan kami dengan sebaik-baiknya. Beliau selalu menyediakan waktu khusus untuk mendidik kami. Setiap hari kedua, beliau menanyakan pelajaran yang telah lalu. Jika pelajaran itu terlalu berat, maka beliau berikan dengan cara yang jauh lebih ringan.
Di antara pelajaran yang khusus kami pelajari di rumah adalah:
- Qatrun Nada sampai dua kali
- Syarh Ibnu Aqil sampai dua kali juga
- Tadribur Rawi
- Mushilut Thullabi ila Qowaidil I’rab (namun tidak selesai karena beliau sakit)
Majelis beliau senantiasa penuh dengan kebaikan, diskusi, dan pengarahan, sampai pun di atas hidangan makan atau via telepon.
Ketika beliau di Saudi sebelum berangkat ke Jerman, ayahanda mengucapkan salam lewat telepon kepada saya, “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Saya menjawab tanpa mengucapkan, “Wabarakatuh”. Beliau bertanya (menegur), “Mengapa tidak engkau balas dengan yang lebih utama?” sebagai isyarat pengamalan ayat ke 86 dari surat An-Nisa.
Terkadang beliau sengaja salah memberikan pertanyaan untuk menguji pemahaman kami, sebagaimana itu beliau lakukan juga kepada murid laki-laki. Kadang beliau bertanya tentang soal yang cukup berat, untuk memberikan faedah namun disuguhkan dengan pertanyaan terlebih dahulu. Metode ini pun diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana di dalam hadits Muadz.
Kadang ketika kami menemui kesulitan dalam pelajaran atau riset kami, beliau memerintahkan kami untuk meneruskan riset tersebut, atau beliau mengikuti kami ke perpustakaan dan membantu kami. Inilah yang menyebabkan kami begitu berduka karena kehilangan beliau rahimahullah. Siapa yang akan memperhatikan kami sepeninggal ayahanda?
Beliau selalu mendidik dan mengarahkan kami dengan lemah lembut. Dan dengan karunia Allah, kami tidak terdorong sedikit pun untuk menentang beliau, karena semua itu adalah demi kemaslahatan dan keuntungan kami juga. Semuanya adalah mutiara yang diuntai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Di antara yang mengagumkan pada diri beliau adalah tidak pernah memaksakan kepada kami dalam perkara ijtihad kami yang memiliki sisi pandang lain. Kalau kami sudah memahami suatu masalah yang berbeda dengan pemahaman beliau maka beliau tidak memaksa kami, seperti juga kebiasaan beliau bersama murid-muridnya yang laki-laki. Beliau tidak pernah menekan mereka untuk memahami sesuatu yang masih perlu dipertimbangkan. Ini, sebagaimana para pembaca lihat, adalah kemuliaan yang sangat jarang ditemukan.
Beliau rahimahullah juga memperingatkan kami dari masyarakat, karena masyarakat kami adalah masyarakat yang rusak, bersegera dalam kesesatan dan hal-hal yang tidak berguna, kecuali yang dirahmati Allah.
Beliau juga memperingatkan kami dari sikap sombong. Beliau sangat benci kepada wanita yang sombong terhadap suaminya, beliau mengatakan, “Tidak ada kebaikan wanita yang seperti ini.”
Beliau mendorong kami untuk bersikap zuhud terhadap dunia yang rendah ini. Beliau bimbing kami untuk meniatkan apa yang kami makan dan minum untuk menguatkan kami dalam bertakwa, agar memperoleh pahala dari Allah. Beliau katakan, “Janganlah kamu sibukkan dirimu menyiapkan berbagai hidangan makanan. Apa yang mudah diolah, kita makan.”
Beliau bangkitkan semangat kami. Beliau bukan termasuk orang yang suka meruntuhkan semangat keluarga dan anak-anak perempuannya. Beliau membentuk kami dengan sebaik-baiknya, agar kami mudah dan bersemangat untuk bersungguh-sungguh dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Di antara ucapan beliau kepada saya, “Saya berharap agar kamu menjadi wanita yang faqih.” Ya Allah, wujudkanlah harapan ayahanda, duhai Zat yang tidak diharap kecuali kepada-Nya, tempatkanlah beliau di surga firdaus yang tinggi.
(Diringkas dari buku “Secercah Nasehat dan Kehidupan Indah Ayahanda Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I”, terbitan pustaka Al-Haura Jogjakarta).
Referensi:
- http://almanar.wordpress.com/2008/12/05/mendidik-anak-ala-ulama/
- www.wiramandiri.wordpress.com
- http://jejakjejakjejak.wordpress.com/2010/05/08/siapakah-luqmanul-hakim-dalam-qs-al-luqman/
- http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2011/03/24/wasiat-wasiat-terakhir-para-nabi-dan-orang-shaleh/
- http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/05/bagaimana-asy-syaikh-muqbil-mendidik-putri-beliau/
Sumber: gizanherbal.wordpress.com
Tentang perkara ini, Allah azza wa jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6).
Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban.”
Untuk itu -tidak bisa tidak-, seorang guru atau orang tua harus tahu apa saja yang harus diajarkan kepada seorang anak serta bagaimana metode yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa tuntunan tersebut antara lain:
- Menanamkan Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak.
- Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah.
- Mengajarkan Al-Quran, Hadits serta Doa dan Dzikir yang Ringan kepada Anak-anak.
- Mendidik Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlaq yang Mulia.
- Melarang Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan.
- Menanamkan Cinta Jihad serta Keberanian.
- Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar’i.
Pendidikan Luqman al Hakim kepada anaknya.
Wasiat Luqmanul Hakim kepada anaknya sebagaimana Allah telah berfirman:
يا بني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
“Wahai anakku, janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah karena sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang besar” (QS. Luqman :13).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan : Luqman adalah seorang hamba sholeh, berkulit hitam yang Allah telah anugrahkan padanya hikmah (pemahaman ilmu dan ta’bir). Dia telah memberikan wasiat kepada anaknya yang sangat disayangi dan dicintai dengan sesuatu wasiat yang paling afdhol dari perkara yang diketahuinya. Oleh karenanya, dia memberikan nasehat kepada anaknya yang pertama adalah agar dia menyembah Allah saja dan tidak mensyarikatkan sedikitpun dengan-Nya. Kemudian dia menjelaskan bahwa kesyirikan itu adalah sebesar-besar kezaliman. [Tafsir Ibnu Katsir III / 453].
Luqman yang dimaksud dalam ayat-ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah Luqman bin Anqa’ bin Sadun.
Dalam Tarikh nya, Ibnu Ishak menuturkan, bahwa Luqman bernama Luqman bin Bau’raa bin Nahur bin Tareh, dan Tareh bin Nahur merupakan nama dari Azar, ayah Nabi Ibrahim alaihis salam.
Wahab bin Munabbih mengatakan bahwa Luqman adalah putra dari saudari kandung Nabi Ayyub alaihis salam.
Muqatil menuturkan, Luqman adalah putra dari bibinya Nabi Ayyub alaihis salam.
Imam Zamakhsyari menguatkan dengan mengatakan: Dia adalah Luqman bin Bau’raa putra saudari perempuan Nabi Ayyub atau putra bibinya.
Riwayat lain mengatakan, Luqman adalah cicit Azar, ayahnya Nabi Ibrahim alaihis salam. Luqman hidup selama 1000 tahun, ia sezaman bahkan gurunya Nabi Daud. Sebelum Nabi Daud diangkat menjadi Nabi, Luqman sudah menjadi mufti saat itu, tempat konsultasi dan bertanya Nabi Daud alaihis salam. Wallahu a’lam.
Yang menarik disini bahwa ternyata sosok Luqman bukanlah seorang yang terpandang atau memiliki pengaruh. Ia hanya seorang hamba Habasyah yang berkulit hitam dan tidak punya kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat. Namun hikmah yang diterimanya menjadikan ucapannya dalam bentuk pesan dan nasehat layak untuk diikuti oleh seluruh orang tua tanpa terkecuali. Dalam banyak riwayat dikatakan, ia seorang budak belian, berkulit hitam, berparas pas-pasan, hidung pesek, kulit hitam legam. Namun demikian, namanya diabadikan oleh Allah menjadi nama salah satu surat dalam al-Qur’an, surat Luqman. Penyebutan ini tentu bukan tanpa maksud. Luqman diabadikan namanya oleh Allah, karena memang orang shaleh yang patut diteladani. Bahwa Allah tidak menilai seseorang dari gagah tidaknya, juga tidak dari statusnya, jabatannya, warna kulitnya dan lainnya. Akan tetapi Allah menilai dari ketakwaaan dan kesalehannnya. Luqman merupakan sosok budak hina, hitam, akan tetapi Allah abadikan karena ketakwaan dan kesalehannya.
Qatadah pernah menuturkan dari Abdullah bin Zubair bahwasannya ia pernah bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang Luqman. Jabir menjawab: “Dia berbadan pendek dan berhidung pesek, orang Nubi, Mesir”.
Sa’id bin al-Musayyib juga menuturkan bahwa Luqman termasuk orang berkulit hitam dari Mesir, akan tetapi sangat mulia, dan Allah memberikan hikmah kepadanya, juga Luqman menolak untuk diangkat sebagai Nabi.
Seorang laki-laki berkulit hitam datang mengadu kepada Said bin al-Musayyib. Sa’id kemudian berkata: “Janganlah bersedih lantaran kulit kamu hitam, karena di antara manusia pilihan itu, ada tiga orang semuanya berkulit hitam: Bilal, Mihja’ budak Umar bin Khatab dan Luqmanul Hakim”.
Mewariskan Harta dan Buku, untuk Pendidikan Anak.
- Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Syafi’i, bahwa ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan 6 perkara, salah satunya adalah harta atau materi. Oleh karena itu, para ulama tidak tanggung-tanggung merogoh kocek, guna kelangsungan pendidikan anak-anak mereka.
- Siapa yang tidak mengenal Imam As Suyuthi (991 H),seorang ulama besar yang memiliki lebih dari 600 karya. Menguasai berbagai macam disiplin keilmuan dalam Islam, hafal lebih dari 200 ribu hadits. Bahkan ia mengakui bahwa parangkat ijtihad sudah ia miliki. Dan waktu berumur 21 sudah menghasilkan karya. Salah satu karya yang amat populer bagi masyarakat muslim Indonesia adalah Tafsir al Jalalain. Kehebatan beliau tidak lepas dari pendidikan dan jerih payah ayahnya dalam mempersiapkan pendidikannya. Ayahnya telah mempersiapkan sebuah perpustakaan yang lengkap dengan berbagai macam kitab, sebelum As Suyuthi lahir, sehingga ulama Syafi’iyah ini dijuluki sebagai Ibnu Al Kutub (anak buku), karena beliau terlahir di sela-sela tumpukan buku. Maka tidaklah heran, jika semasa mudah As Suyuthi sudah menguasai banyak rujukan.
- Ibnu Al Jauzi (510 H), seorang ulama ternama dalam madzhab Hambali juga banyak mendapatkan warisan dari sang ayah, guna menopang pendidikannya. Hal ini terungkap, tatkala ia memberi nasehat kepada anak-anaknya, agar senantiasa bersabar dalam mencari ilmu, dan senantiasa menjaga kehormatan diri. Beliau menulis dalam Laftah Al Kabid, fi Nashihati Al Walad, tentang nasehatnya kepada anaknya, sewaktu mereka masih kecil: ”Ketahuilah wahai anakku, bahwa ayahku adalah seorang yang kaya, dan telah meninggalkan ribuan harta. Ketika aku baligh, ia memberiku 20 dinar dan 2 rumah. Lalu aku mengambi dinar untuk kubelanjakan buku, lalu aku jual rumah dan aku gunakan uangnya unyuk mencari ilmu, hingga harta itu habis tidak tersisa. Ayahmu tidak terhina dikarenakan mencari ilmu, sehingga berkeliling ke negeri-negeri untuk mencari belas kasih orang lain. Aku merasa kecukupan, Allah berfirman: ”Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar dan member rizki dengan cara yang tidak disangka-sangka”.
Lalu beliau mengatakan, ”Maka, bersungguh-sungguhlah wahai anakku untuk tetap menjaga kehormatanmu, hingga tidak mencari-cari dunia yang akan menghinakan pemiliknya. Ada yang mengatakan bahwa, barang siapa qona’ah terhadap roti, maka ia tidak akan menjadi hamba bagi manusia”.
Ibnu Al Jauzi berani menempuh kesusahan di saat beliau mencari ilmu, antara lain kesusahan dalam rezeki, akan tetapi beliau tetap bersabar. Hingga ketika ilmu yang beliau peroleh sudah amat banyak, maka rezekilah yang mendatanginya (Lihat biografi beliau dalam Tadzkirah Huffadz, Imam ad Dzahabi, 4/1347).
- Yahya bin Ma’in (233 H) juga tidak kalah hebatnya, guru Imam Bukhari ini mendapatkan warisan dari ayahnya sebesar 1 juta dirham dan 50 ribu dinar. Semua itu dihabiskan Yahya untuk mencari hadits, sehingga sandalpun ia tidak memilikinya. Dari harta itu, Yahya memiliki 114 rak yang penuh buku (lihat, Tahdzib At Tahdzib, Al Atsqalani, 11/282).
- Begitu juga Imam As Syaibani Al Kufi (189 H), salah satu murid Imam Abi Hanifah, beliau pernah mengatakan:”Ayahku mewariskan kepadaku 30 ribu dirham. Aku gunakan 15 ribu untuk ilmu nahwu dan syair, dan sisanya untuk hadits dan fiqih (lihat, Tarikh Al Bagdad, Khotib, 2/173).
- Begitu pula yang dialami Hisham bin Ammar At Tsulami (245 H), guru dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan yang lain. Ayahnya rela menjual rumah mereka seharga 20 dinar, untuk ongkos ke Madinah, dalam rangka mendengar hadits dari Imam Malik (lihat, Tahdzib Al Kamal, Al Mizzi, 3/1144).
- Tidak jauh beda dengan pengorbanan orang tua dari Ali Bin Ashim Al Wasithi (201 H), salah seorang Hafidz Baghdad, yang juga menjadi syeikh Imam Ahmad dan Yahya Ad Duhli (guru Imam Al Bukhari). Dimana suatu saat, ayahnya mengatakan kepadanya,”Telah aku berikan uang sebesar 100 ribu dinar, dan aku tidak mau melihat wajahmu, kecuali setelah kamu mendapatkan 100 ribu hadits!” (lihat, Tadzkirah Al Huffadz, Ad Dzahabi, 1/317).
- Tidak jauh beda antara ulama klasik dan ulama kontemporer, Syeikh Badru Al Alim, Muhadits India, yang ikut memberi ta’liq (komentar) kepada Faidhu Al Bari, syarah (penjelasan) dari Shohih Al Bukhari, yang ditulis oleh Al Muhadits Anwar Syah Al Kashmiri, juga mempersiapkan pendidikan anak-anaknya dengan baik. Saat awal-awal ia bermukim di Madinah, beliau membeli kitab Al Ajwibah Al Fadhilah, yang ditulis oleh Imam Laknawi, padahal usia beliau sudah tua, dan tidak mampu lagi membaca. Akhirnya beliau menyatakan kepada Syeikh Abu Ghuddah, muridnya, ”Kamu tahu bahwa aku tidak mampu lagi membacanya, akan tetapi, aku membelinya untuk kuwariskan kepada keluarga dan anak-anakku, itu lebih baik bagi mereka daripada warisan yang berupa harta”. (Lihat, Shofhat min Shabri Al Ulama, 300).
Memilih Rezeki Halal, untuk Pendidikan Anak.
Para ulama tidak hanya mewariskan harta untuk pendidikan anak-anak mereka, akan mereka juga menjaga agar harta yang diberikan kepada anak-anak mereka adalah harta yang bersih syubhat dan halal. Karena, bersih tidaknya harta juga mempengaruhi bersih tidaknya ilmu yang diperoleh.
- Adalah Kamal Al Ambari (513 H), penulis Nuzhah Al Auliya, yang juga seorang ulama nahwu, yang memiliki harta pas-pasan. Mendapat rumah dari warisan ayahnya, dan hanya mengandalkan sewa kedai, yang dalam sebulan cuma menghasilkan setengah dinar.
Suatu saat khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan membawa uang 500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al Ambari menolak. Akan tetapi utusan tersebut mengatakan, ”Kalau engkau tidak mau, berikanlah harta ini kepada anakmu”. Al Ambari menjawab,”Jika aku yang menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki.”
Perkataan Al Ambari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki anaknya, hingga ia tidak perlu menerima memberikan hadiyah itu kepada anaknya, yang mana ia sendiri enggan menerima harta pemberian penguasai, karena wara’ (hati-hati).
Guru dan Sahabat Anaknya dalam Mencari Ilmu.
Hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendidik anak adalah keteladanan. Jika orang tua menginginkan anaknya mencintai ilmu, maka ia sendiri juga harus mencintai ilmu, hingga bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya.
- Para ulama sendiri mengajak anak-anaknya untuk bersama-sama melakukan perjalanan dan belajar dengan para ulama lain. Semisal Asad bin Al Furat (213 H), seorang murid Imam Malik, yang sudah diajak ayahnya “menjelajah” sejak ia berumur 2 tahun, untuk mencari ilmu, bersama-sama dengan pasukan Arab, menuju Qairawan, Tunis, dan belajar Al Qur’an di negeri itu, lalu meriwayatkan Al Muwatha’ dari Ibnu Ziyad. (lihat, Syajarah An Nura Az Zakiyah, 62).
- Begitu pula Imam As Suyuthi (991 H), sejak berumur 3 tahun sudah dibawah ayahnya menghadiri majelis Ibnu Hajar Al Atsqalani. Wafatnya sang ayah tidak berarti pendidikan si anak harus dilalaikan. Ayah Suyuthi sebelum wafat sudah berwasiyat kepada Kamaluddin bin Hammam, ulama masa itu untuk mendidik As Suyuthi.
- Hal yang sama dilakukan oleh ayah dari Ibnu Mulaqqin, guru dari Ibnu Hajar Al Atsqalani dari Mesir. Sebelum menjadi yatim, ayahnya telah menitipkan pendidikannya kepada seorang ulama yang bernama Syeikh Isa Al Maghribi, seorang yang biasa mentalqin (membacakan) Al Qur’an, kepada para penuntut ilmu, hingga ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Mulaqqin (anak pentalqin). Beliau adalah ulama yang paling banyak karyanya di zaman itu.
- Imam Sam’ani (562 H), sejak berumur 4 tahun, ayahnya, Imam Abu Bakar menghadirkannya ke beberapa ulama, seperti Ali Abdu Al Ghaffar As Sairazi, Abu ‘Ala Al Qushairi, dan beberapa ulama. Lalu saat ia berumur 9 tahun, ayahnya membawanya ke Naisabur. Tidak hanya itu, setelah ia pulang ke Marwa pada umur 38 dan menikah, anaknya yang bernama Abu Mudhafar yang masih berumur 3 tahun pun ia bawa bersamanya kembali ke Naisabur dalam rangka berguru kepada beberapa ulama di sana. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 7/180).
- Imam Abu Al Waqt As Sijzi (553 H), yang disebut Imam Ad Dzahabi sebagai Syeikh Al Islam, yang juga merupakan guru Ibnu Al jauzi, sudah melakukan perjalanan mencari ilmu sejak umur 7 tahun. Ia memiliki kisah yang amat dahsyat, tatkala melakukan perjalanan mencari ilmu bersama ayahnya.
Suatu saat ia bertutur kepada salah satu muridnya Yusuf bin Ahmad As Syairazi: ”Wahai anakku, aku telah melakukan perjalanan untuk menyimak As Shahih dengan berjalan bersama ayahku, dari Harat menuju Dawudi. Umurku belum ada 10 tahun. Saat melakukan perjalanan, ayahku memberiku dua batu, jika aku terlihat lelah, maka ia menyuruhku untuk melempar satu batu, lalu aku melanjutkan perjalanan. Kadang ia bertanya,”engkau sudah lelah?”, maka aku menjawab,”belum”. “Kenapa jalanmu lamban?”. Maka aku cepatkan langkahku, hingga aku tidak mempu lagi, lalu ia menggendongku”.
Suatu saat mereka berpapasan dengan rombongan petani. Dan mereka menyeru kepada ayah As Sijzi, wahai Syeikh Isa, biarkan anak ini naik kendaraan bersama kami, kita bersama-sama menuju Bushanj. Maka ayahnya mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah, dari naik kendaraan ketika mencari hadits, akan tetapi kami memilih jalan”.
Ketika bertemu dengan Abdul Baqi Al Harawi, ia menawariku manisan, aku menjawab,”Wahai tuan, saya lebih mencintai satu juz dari Abu Jahm lebih baik daripada makan manisan”. Ia tersenyum dan mengatakan,”jika yang masuk makanan, yang keluar adalah omongan”.
Lihat, bagaimana ayah As Sijzi dalam mendidik anaknya, hingga anak yang masih kecil itu sudah memiliki kecintaan yang tinggi terhadap hadits. Dan bagaimana ayah As Sijzi, mengajari anaknya menjaga azzam, guna melawan rasa capek selama melakukan perjalanan dengan menggunakan sarana batu.
Kisah lengkapnya bisa dilihat disini: http://gizanherbal.wordpress.com/2011/06/02/ketika-seorang-ulama-mendidik-anaknya/
- Begitu pula banyak para ulama, disamping menjadi ayah, juga menjadi guru bagi anak-anaknya, semisal Kamal Al Ambari memperolah hadits dari ayahnya, Tajuddin As Subki (771 H), mengambil ilmu dari ayahnya, Taqiyuddin As Subki. Bagitu pula Abu Zur’ah Al Iraqi mendapatkan ilmu dari ayahnya Hafidz Al Iraqi, hingga ia meneruskan syarah Tharhu At Tasrib yang telah disyarah Hafidz Al Iraqi sebelum wafat. Juga amat banyak periwayat hadits yang mengambil dari ayah, kakek dan seterusnya.
- Begitu juga Imam As Syaukani penulis Nail Al Authar, telah membaca kitab Al Azhar, fiqih madzhab Zaidiyah dari ayahnya. Ada kisah menarik dalam hal ini, yang mencerminkan kekritisan Imam As Syaukani. Di sela-sela proses belajar dengan ayahnya, ia bertanya: “Ayah mengatakan, ini madzhab Hanafi, ini madzhab Fulani, mana yang benar dari pendapat-pendapat ini?” Ayahnya menjawab: “yang benar adalah pendapat yang dirajihkan Imam Al Hadi”. Imam As Syaukani pun menanggapi:”Tidak mungkin ijtihad Imam Al Hadi benar semua, pasti ada yang salah. Maka, bagaimana kita tahu pendapat itu benar?” Akhirnya ayah Syaukani membawanya berguru kepada beberapa ulama di Yaman.
Selalu memantau hasil belajar anak.
Tidak hanya mengajar atau memilih guru yang baik. Akan tetapi para ulama juga memantau hasil belajar si anak. Simak penuturan Tajuddin As Subki (771H):”Aku jika datang dari seorang syeikh, maka ayahku (Taqiyuddin As Subki) berkata kepadaku,”tunjukkan apa yang telah kamu peroleh, yang kamu baca dan yang kamu dengar”. Maka, aku menerangkan tentang hal-hal yang telah kuperoleh dalam majelis. Jika aku pulang dari Ad Dzahabi, ia berkata,”tunjukkan yang telah engkau dapat dari syeikhmu”. Jika aku pulang dari Syeikh Najmuddin Al Qahfazi, ia mengatakan,”yang kau dapat dari masjid Thingkiz”. Jika aku pulang dari Syeikh Syamsuddin Ibnu Naqib, maka ia mengatakan,”yang kamu dapati dari Syamiyah”. Jika aku pulang dari Syeikh Abu Abbas Al Andarsy, ia mengatakan, ”yang kau dapati dari masjid”. Jika aku pulang dari Hafidz Al Mizzi, ia mengatakan,”yang kamu peroleh dari As Syeikh”. Ia melafadzkan kata As Syeikh dengan fashih, dan meninggikan suaranya. Aku mengerti, bahwa itu bertujuan agar aku juga ikut merasakan kebesaran nama Al Mizzi, hingga aku lebih banyak mendatangi majelisnya”. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 10/399).
Hasilnya, tidak diragukan lagi. Tajuddin As Subki menjadi ulama yang cukup diperhitungkan, khususnya di kalangan muhaditsin dan madzhab As Syafi’i. Sehingga Al Mizzi menginginkan murid-muridnya mencatat As Subki dalam kelompok ulama thabaqat ulya (tingkatan tertinggi), begitu juga Imam Ad Dzahabi, menginginkan hal yang sama, walau usia As Subki masih relatif muda, Ad Dzahabi menilainya sebagai muhadits jayyid (baik). Akan tetapi orang tuanya, Taqiyuddin memprotes, cukup thabaqat pemula. Akan tetapi para gurunya juga tidak terima. Akhirnya As Subki dimasukkan thabaqat wustha (tingkatan pertengahan).
Secara tidak langsung, Taqiyuddin mengajari anaknya, Tajuddin, agar senantiasa rendah hati, walau ilmunya sudah hampir setara dengan para gurunya.
Cara Asy-Syaikh Muqbil Mendidik Putri Beliau.
Pernah membaca buku Nasehati lin Nisa? Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Nasehatku bagi Para Wanita ini ditulis oleh seorang aalimah (ulama wanita) dari negeri Yaman yang bernama Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah. Beliau hafizhahallah adalah putri dari ulama ahlul hadits di masa kita, yaitu Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’i rahimahullah.
Ummu Abdillah adalah seorang aalimah yang memiliki banyak keutamaan. Menurut Al-Ustadz Muhammad Barmim dalam biografi Syaikh Muqbil, Ummu Abdillah mengajar di madrasah nisa’ (khusus wanita) dan memiliki beragam karya tulis ilmiyah. Di antaranya:
- Shahihul Musnad fis Syamail Muhammadiyah (tentang kesempurnaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dicetak dalam dua jilid)
- Jamius Shahih fi ilmi wa Fadhlihi (tentang keutamaan ilmu)
- Tahqiq kitab As-Sunnah Ibnu Abi Ashim
- Nasehati lin Nisa
- dan sekarang beliau masih mengerjakan Shahihul Musnad min Sirah Nabawiyah
Yang ingin saya angkat dalam artikel ini adalah bagaimana cara Syaikh mendidik putrinya sehingga tumbuh menjadi seorang aalimah. Tema ini mungkin jarang diangkat karena biasanya yang dipersiapkan sebagai seorang alim atau ulama adalah anak laki-laki saja. Pernahkah kita bercita-cita putri kita menjadi seorang aalimah? Kalau memang ada keinginan tersebut, mungkin kita bisa bercermin terlebih dahulu dengan metodologi Asy-Syaikh dalam mendidik putrinya.
Ummu Abdillah berkisah tentang bagaimana ayahanda beliau –Syaikh Muqbil- mendidik putri-putrinya,
… Ayahanda tidak pernah menyia-nyiakan kami, betapa pun sibuknya beliau. Oleh karena itulah beliau sangat perhatian terhadap kami dalam mempelajari Al-Quran. Beliau selalu menuntun kami dalam membaca Al-Quran. Kadang beliau rekam agar hapalan kami semakin kokoh. Suatu ketika saudari saya menghapal, dan ayahanda sedang berada di perpustakaan. Saudariku tadi mencari beliau, ingin direkamkan hapalannya. Beliau pun meninggalkan risetnya, merekam hapalan saudariku lalu kembali lagi ke perpustakaan.
Begitu kami mengetahui qiraah yang baik, beliau membeli kaset qiraah Syaikh Al-Husari untuk kami. Beliau juga membelikan untuk masing-masing putrinya satu tape recorder tanpa radio. Ini bentuk penjagaan beliau agar kami tidak mendengar nyanyian.
Setelah kami mengerti lebih banyak, kami dibelikan masing-masing sebuah tape recorder dengan radionya, namun beliau tetap memperingatkan kami terhadap nyanyian dengan keras. Dan alhamdulillah, kami menerima peringatan tersebut. Kami tidak mendengarkan nyanyian sama sekali, seiring dengan rasa tidak senang terhadap nyanyian.
Dalam menghapal, beliau memerintahkan kami untuk hanya menggunakan satu mushaf dari satu penerbit karena itu akan membantu memperkokoh hapalan. Kalau beliau melihat di tangan kami ada mushaf yang berbeda, beliau akan memberi peringatan keras dan sangat marah.
Di antara murid beliau ada orang-orang Sudan dan Mesir yang datang beserta istri-istrinya. Di antara istri-istri mereka ada yang mengajar kami dengan diberi imbalan jasa oleh ayah sebagai bentuk perhatian beliau terhadap pendidikan. Dan apabila di buku-buku yang dipergunakan oleh para guru wanita tersebut ada gambar makhluk bernyawanya, beliau memerintahkan kami untuk menghapusnya. Kami pun menghapus gambar-gambar tersebut disertai dengan kebencian yang sangat terhadap gambar-gambar itu.
Lalu setelah itu kami pun diajari ilmu-ilmu syar’i Al Kitab dan As-Sunnah, sehingga kami pun menghafal bersama para guru tersebut dan kami pun hapal beberapa hadits walhamdulillah.
Beliau rahimahullah terkadang bersenang-senang dan bergurau bersama kami, dalam perkara yang diizinkan oleh Allah. Berbeda dengan kebanyakan kaum muslimin –kecuali yang dirahmati oleh Allah- yang bersenang-senang bersama anak-anak mereka dengan televisi, nyanyian, permainan-permainan gila, serta kerusakan lainnya. Padahal nabi kita bersabda, “Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang dipimpinnya.”
Beliau selalu melarang kami terlalu banyak keluar, dan beliau selalu mengharuskan kami untuk tidak keluar kecuali seizin beliau.
Ini apa yang dijalankan beliau semasa kami kecil.
Ada pun tentang pendidikan kami, beliau sangat ingin kami mendalami agama Allah dan mencari bekal ilmu syar’i. Sebab itulah, beliau mencurahkan kemampuan beliau untuk membantu kami menuntut ilmu dan membuat kami menggunakan kesempatan kami dengan sebaik-baiknya. Beliau selalu menyediakan waktu khusus untuk mendidik kami. Setiap hari kedua, beliau menanyakan pelajaran yang telah lalu. Jika pelajaran itu terlalu berat, maka beliau berikan dengan cara yang jauh lebih ringan.
Di antara pelajaran yang khusus kami pelajari di rumah adalah:
- Qatrun Nada sampai dua kali
- Syarh Ibnu Aqil sampai dua kali juga
- Tadribur Rawi
- Mushilut Thullabi ila Qowaidil I’rab (namun tidak selesai karena beliau sakit)
Majelis beliau senantiasa penuh dengan kebaikan, diskusi, dan pengarahan, sampai pun di atas hidangan makan atau via telepon.
Ketika beliau di Saudi sebelum berangkat ke Jerman, ayahanda mengucapkan salam lewat telepon kepada saya, “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Saya menjawab tanpa mengucapkan, “Wabarakatuh”. Beliau bertanya (menegur), “Mengapa tidak engkau balas dengan yang lebih utama?” sebagai isyarat pengamalan ayat ke 86 dari surat An-Nisa.
Terkadang beliau sengaja salah memberikan pertanyaan untuk menguji pemahaman kami, sebagaimana itu beliau lakukan juga kepada murid laki-laki. Kadang beliau bertanya tentang soal yang cukup berat, untuk memberikan faedah namun disuguhkan dengan pertanyaan terlebih dahulu. Metode ini pun diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana di dalam hadits Muadz.
Kadang ketika kami menemui kesulitan dalam pelajaran atau riset kami, beliau memerintahkan kami untuk meneruskan riset tersebut, atau beliau mengikuti kami ke perpustakaan dan membantu kami. Inilah yang menyebabkan kami begitu berduka karena kehilangan beliau rahimahullah. Siapa yang akan memperhatikan kami sepeninggal ayahanda?
Beliau selalu mendidik dan mengarahkan kami dengan lemah lembut. Dan dengan karunia Allah, kami tidak terdorong sedikit pun untuk menentang beliau, karena semua itu adalah demi kemaslahatan dan keuntungan kami juga. Semuanya adalah mutiara yang diuntai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Di antara yang mengagumkan pada diri beliau adalah tidak pernah memaksakan kepada kami dalam perkara ijtihad kami yang memiliki sisi pandang lain. Kalau kami sudah memahami suatu masalah yang berbeda dengan pemahaman beliau maka beliau tidak memaksa kami, seperti juga kebiasaan beliau bersama murid-muridnya yang laki-laki. Beliau tidak pernah menekan mereka untuk memahami sesuatu yang masih perlu dipertimbangkan. Ini, sebagaimana para pembaca lihat, adalah kemuliaan yang sangat jarang ditemukan.
Beliau rahimahullah juga memperingatkan kami dari masyarakat, karena masyarakat kami adalah masyarakat yang rusak, bersegera dalam kesesatan dan hal-hal yang tidak berguna, kecuali yang dirahmati Allah.
Beliau juga memperingatkan kami dari sikap sombong. Beliau sangat benci kepada wanita yang sombong terhadap suaminya, beliau mengatakan, “Tidak ada kebaikan wanita yang seperti ini.”
Beliau mendorong kami untuk bersikap zuhud terhadap dunia yang rendah ini. Beliau bimbing kami untuk meniatkan apa yang kami makan dan minum untuk menguatkan kami dalam bertakwa, agar memperoleh pahala dari Allah. Beliau katakan, “Janganlah kamu sibukkan dirimu menyiapkan berbagai hidangan makanan. Apa yang mudah diolah, kita makan.”
Beliau bangkitkan semangat kami. Beliau bukan termasuk orang yang suka meruntuhkan semangat keluarga dan anak-anak perempuannya. Beliau membentuk kami dengan sebaik-baiknya, agar kami mudah dan bersemangat untuk bersungguh-sungguh dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Di antara ucapan beliau kepada saya, “Saya berharap agar kamu menjadi wanita yang faqih.” Ya Allah, wujudkanlah harapan ayahanda, duhai Zat yang tidak diharap kecuali kepada-Nya, tempatkanlah beliau di surga firdaus yang tinggi.
(Diringkas dari buku “Secercah Nasehat dan Kehidupan Indah Ayahanda Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I”, terbitan pustaka Al-Haura Jogjakarta).
Referensi:
- http://almanar.wordpress.com/2008/12/05/mendidik-anak-ala-ulama/
- www.wiramandiri.wordpress.com
- http://jejakjejakjejak.wordpress.com/2010/05/08/siapakah-luqmanul-hakim-dalam-qs-al-luqman/
- http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2011/03/24/wasiat-wasiat-terakhir-para-nabi-dan-orang-shaleh/
- http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/05/bagaimana-asy-syaikh-muqbil-mendidik-putri-beliau/
Sumber: gizanherbal.wordpress.com
0 komentar :
Posting Komentar