Bissmillahirrahmaanirrahiem…
Adalah musibah besar ketika umat kehilangan ulama-ulama robbani-nya.
Musibah ini mengakibatkan sejumlah mafsadat nyata. Yang paling besar di
antaranya ialah: makin beraninya ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu
dalam mendakwahkan bid’ah dan kesesatan mereka. Imam Al Aajurry
mengatakan dalam kitab “Akhlaqul Ulama”: “ Para ulama ibarat pelita
manusia, penerangan negara, dan tonggak kejayaan umat. Mereka ibarat
sumber hikmah yang selalu memancing kemarahan setan. Melalui mereka,
hati pengikut kebenaran akan hidup, dan hati pengikut kesesatan akan
mati. Perumpamaan mereka di bumi ibarat bintang-bintang di langit, yang
menjadi petunjuk di kegelapan malam saat berlayar di tengah lautan. Jika
bintang-bintang itu hilang, bingunglah para pelaut tak karuan; dan
begitu cahayanya terlihat, barulah mereka bisa melihat di kegelapan”.
Salah satu contohnya ialah sebagaimana yg diceritakan oleh Al Hafizh
Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’, dari Yahya bin Aktsam yang
mengisahkan: “Khalifah Al Ma’mun (yg berakidah mu’tazilah dan meyakini
bahwa Al Qur’an adalah makhluk) pernah berkata kepada kami: “Kalaulah
bukan karena posisi Yazid bin Harun (salah seorang tokoh Ahli Sunnah di
zamannya), pastilah kunyatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Ada yg
bertanya: Memangnya siapa itu Yazid sehingga perlu disegani? Jawab Al
Ma’mun: Payah kamu ! Aku menyeganinya bukan karena ia berkuasa, namun
aku khawatir jika kunyatakan masalah ini kemudian ia membantahku,
sehingga terjadi perselisihan di tengah masyarakat dan timbul fitnah”.
Ini menunjukkan bahwa hidupnya para tokoh Ahlussunnah merupakan
benteng bagi syari’at dan manusia secara umum dari pengaruh bid’ah dan
kesesatan. Meskipun kisah ini berkaitan dengan penjagaan terhadap
bid’ahnya penguasa, akan tetapi maknanya juga berlaku dalam menjaga umat
dari kesesatan semua kalangan, baik mereka itu penguasa maupun rakyat
jelata. Sebagian orang yang berjiwa revolusioner cenderung memahami
keberanian hanya dalam skup amar ma’ruf nahi munkar;
dan ketika seseorang berani menyatakan kebenaran di depan penguasa saja;
bukan di depan yg lainnya.
Padahal, realita yang terjadi adalah bahwa keberanian itu lebih luas
cakupannya dari kedua contoh tadi. Bahkan keberanian sesungguhnya ialah
ketika seseorang bisa bersabar demi membela sunnah dan membasmi bid’ah
saat kebanyakan orang menentang sikapnya. Betapa banyak kalangan yang
mendapat dukungan publik dan popularitas karena sikapnya yang
‘anti-pemerintah’… bahkan ada di antara mereka yang sengaja menjadikan
hal itu sebagai wasilah untuk mewujudkan ambisinya… sehingga bila
pengikutnya telah demikian banyak, ia pun akan ‘bernegosiasi’ dengan
pemerintah dengan imbalan materi atau yang semisalnya !
Saat ini, kita telah kehilangan tiga orang ulama top di mata
Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh
Muhammad Nashiruddien Al Albani, dan Syaikh Muhammad bin Shalih al
Utsaimin -rahimahumullah jami’an-.
Pasca wafatnya ketiga ulama tadi, badai fitnah mulai melanda
satu-persatu… berbagai kelompok yang terpengaruh pemikiran harakah mulai
‘unjuk gigi’ dan terang-terangan mendukung demonstrasi, bahkan
menganggapnya sebagai saranya inkarul munkar yang syar’i.
Karena tergiur dengan demonstrasi yang cocok dengan selera mereka,
mereka pun mencari-cari dalil yang sarat dengan ketidakjelasan (baca:
syubhat); demi membantah dalil-dalil nyata yang bersih dari syubhat.
Mereka meyakini terlebih dahulu, baru kemudian mencari dalil mati-matian
untuk membenarkan keyakinannya. Inilah karakter mereka dalam menyikapi
banyak wasilah dakwah yang tergolong bid’ah… seperti yang mereka namakan
nasyid Islami, drama Islami, dan seterusnya…
Berikut ini adalah sebagian syubhat yang penulis temukan dalam
pernyataan mereka, beserta bantahannya. Akan tetapi sebelum mengupas hal
itu secara ilmiah, ada baiknya jika kita mengetahui dalil-dalil mereka
yang mengharamkan demonstrasi, sbb:
Demonstrasi sebenarnya terbagi menjadi dua:
Pertama, demonstrasi demi mewujudkan hal-hal yang bersifat syar’i.
Kedua, demonstrasi demi mewujudkan hal-hal yang bersifat duniawi; dan inipun terbagi menjadi dua:
Pertama, demonstrasi untuk menjatuhkan pemerintahan, yang semata-mata karena motivasi duniawi bukan agama.
Kedua, demonstrasi untuk kepentingan duniawi lainnya.
Adapun jenis pertama, yaitu demonstrasi demi
mewujudkan hal-hal yang bersifat syar’i, maka hukumnya tergolong bid’ah
dalam agama. Sebab ia merupakan perkara baru, sedangkan kaidah syar’i
yang berlaku dalam hal ini, ialah yang dikatakan oleh Nabi, bahwa semua
bid’ah adalah sesat, sebagaimana yg diriwayatkan oleh imam Muslim dalam
Shahihnya, dari Jabir secara marfu’.
Kalau ada yang berkata: “Demonstrasi kan termasuk wasilah (sarana),
dan menggunakan wasilah hukum asalnya boleh selama ia memang mubah?”
Maka jawabnya: Memang benar. Akan tetapi hukum ini adalah bagi
wasilah-wasilah yang bukan ditujukan untuk ibadah, sebab wasilah apa pun
tidak lepas dari tiga kondisi:
Pertama, wasilah yang dianggap tidak berlaku. Yaitu setiap wasilah
yang dilarang secara khusus oleh suatu dalil. Wasilah semacam ini jelas
merupakan bid’ah bila digunakan. Seperti orang yang menggunakan drama
sebagai sarana berdakwah, ini jelas haram hukumnya, sebab drama
mengandur unsur ‘bohong’ yang jelas-jelas diharamkan.
Kedua, wasilah-wasilah yang dianggap mu’tabar. Yaitu setiap wasilah
yang dibolehkan secara khusus oleh suatu dalil. Contohnya menggunakan
adzan sebagai sarana memberitahukan masuknya waktu shalat. Ini jelas
dibolehkan dan merupakan wasilah yang syar’i.
Ketiga, wasilah yang tidak memiliki dalil khusus yang membolehkan
maupun melarangnya. Nah, wasilah semacam ini hukumnya berada antara
mashalih mursalah dan bid’ah muhdatsah. Kaidah pembeda di antara
keduanya -sebagaimana yg dirumuskan dengan sangat indah oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah- ialah dua poin berikut:
Pertama: kita harus memperhatikan hal yang diklaim sebagai
maslahat dan hendak dilakukan tsb; apakah motivasi terjadinya hal tsb
telah ada di zaman Nabi, dan tidak ada penghalangnya?
- Kalau memang kondisinya seperti itu, maka melakukan hal yg
dianggap maslahat tadi hukumnya adalah bid’ah. Alasannya, kalaulah hal
itu memang baik, maka para sahabat pasti lebih dulu melakukannya, sebab
mereka lah yang lebih mengenal Allah, lebih takut kepada-Nya dan semua
kebaikan ialah dengan mengikuti sikap mereka.
- Namun bila motivasi (atau sebab yang mendorong)
terwujudnya hal tsb belum ada di zaman Nabi; atau sudah ada namun ada
penghalang tertentu yang menghalangi dilakukannya hal yang dianggap
maslahat tersebut; maka hal ini tidak dianggap sebagai bid’ah, bahkan
ialah yang dimaksud dengan maslahat mursalah. Contohnya seperti
pengumpulan Al Qur’an di zaman Rasulullah. Kita tahu para sahabat tidak
memiliki motivasi dlm hal ini, sebab Rasulullah masih hidup di
tengah-tengah mereka dan mereka tidak khawatir Al Qur’an akan hilang
atau dilupakan. Namun setelah beliau wafat, mulailah kekhawatiran
tersebut muncul, sehingga para sahabat terdorong untuk mengumpulkan Al
Qur’an. Contoh lainnya ialah mengumandangkan adzan dengan pengeras
suara, merekam kajian dengan kaset, dan shalat tarawih berjama’ah di
bulan Ramadhan. Semua hal ini terhalang untuk dilakukan di zaman Nabi.
Dua contoh yang pertama tidak bisa dilakukan karena memang sarananya
belum ada di zaman Nabi, sedangkan contoh ketiga ialah karena Nabi
sengaja meninggalkannya supaya tidak diwajibkan, sedangkan pasca
wafatnya Nabi, tidak mungkin ada sesuatu yang tadinya tidak wajib
menjadi diwajibkan.
Kedua, jika motivasi (sebab yang mendorong) dilakukannya hal
tersebut belum ada di zaman Nabi, maka perlu diperhatikan: apakah yang
mendorong dilakukannya hal itu bagi kita adalah dosa sebagian kalangan?
Kalau memang demikian, maka seseorang tidak boleh mengadakan hal baru
yang menurutnya adalah maslahat mursalah. Bahkan kita diperintahkan
untuk kembali kepada dienullah dan berpegang teguh dengannya; sebab
inilah yang dituntut agar dilakukan oleh pihak yang berdosa, sedangkan
pihak yang tidak berdosa hendaknya mengajak pihak yang berdosa agar
segera bertaubat. Contoh tipe kedua ini misalnya mendahulukan khutbah
sebelum shalat hari Raya agar orang-orang mendengarkan khutbah hingga
selesai. Tindakan semacam ini tergolong bid’ah muhdatsah dan bukannya
mashalih mursalah. Berikut ini adalah ucapan Ibnu Taimiyyah yg
menjelaskan kaidah tersebut dlm Iqtidha’ Shiratil Mustaqim (2/59):
“Kaidah dlm hal ini -wallahu a’lam- adalah dengan menyatakan bahwa
orang-orang tidak mungkin mengada-adakan sesuatu, kecuali karena
menganggapnya bermaslahat, sebab jika mereka menganggapnya bermafsadat,
niscaya mereka tidak akan mengada-adakannya. Sebab secara logika maupun
agama, hal itu tidak aka nada manfaatnya. Jadi, berkenaan dengan apa-apa
yang dipandang maslahat oleh masyarakat, kita harus meneliti apakah
sebab yang mendorongnya? Kalau memang sebab tersebut adalah sesuatu yang
baru terjadi di zaman Nabi dan bukan akibat keteledoran kita; maka
dalam kondisi ini bisa saja kita mengadakan apa-apa yang perlu diadakan.
Demikian pula ketika sebab yang mendorongnya telah ada di zaman Nabi,
namun beliau meninggalkannya karena suatu halangan yang kemudian hilang
setelah beliau wafat, maka kita juga boleh melakukan hal tersebut.
Adapun hal-hal yang belum memiliki sebab terjadinya, atau sebab
terjadinya adalah dosa sebagian kalangan; maka ketika ini kita tidak
boleh mengada-adakan suatu. Jadi, segala perkara yang sebab terjadinya
telah ada di zaman Nabi namun tidak dilakukan, maka ia sebenarnya bukan
suatu maslahat. Adapun apa yang penyebabnya baru ada setelah kematian
beliau dan bukan karena maksiat manusia; maka boleh jadi ia termasuk
maslahat bila dilakukan kemudian.
Beliau lantas mengatakan: Adapun apa-apa yang sebabnya telah ada di
zaman beliau -dan dianggap maslahat-, namun beliau tetap tidak
mensyari’atkannya; maka bila hal tersebut tetap dilakukan, berarti
mengadakan perubahan dalam agama Allah. Para penguasa, ulama, dan ahli
ibadah yang dianggap terjerumus dalam tindakan merubah agama Allah tadi,
biasanya karena hasil ijtihad. Hal ini telah diperingatkan oleh Nabi
sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, yang
berbunyi:
إن أخوف ما أخاف عليكم: زلَّة عالِم, وجدال منافقٍ بالقرآن, وأئمةٌ مضلُّون
“Termasuk hal yang paling kutakutkan atas kalian ialah:
tergelincirnya seorang alim, orang munafik yang pandai berdebat dalam Al
Qur’an, dan pemimpin-pemimpin yang menyesatkan”.
Contoh dari tipe ini ialah mengumandangkan adzan sebelum shalat hari
raya. Ketika ada sebagian penguasa yang mengadakan hal tersebut, kaum
muslimin segera mengingkarinya karena merupakan bid’ah.
Setelah menyimak penjelasan yang memukau dari Syaikhul Islam tadi,
kita jadi tahu bahwa perbuatan sahabat dan salaf menunjukkan bahwa
memang bid’ah bisa saja masuk ke hal-hal yang bersifat wasilah,
sebagaimana masuk ke hal-hal yg bersifat ghaayah (tujuan).
Siapa yang menentang hal tersebut, berarti menentang para salaf dan
menjadi rival mereka. Agar lebih jelasnya, coba perhatikan contoh
berikut:
Dalam kasus pengumpulan Al Qur’an, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa
Umar bin Khatthab ra mengusulkan kepada Abu Bakar agar mengumpulkan Al
Qur’an. Maka jawab Abu Bakar: “Bagaimana kamu hendak melakukan sesuatu
yang belum pernah dilakukan Rasulullah?”. Jawaban ini pula yang
diucapkan Zaid bin Tsabit kepada Abu Bakar ketika ditawari untuk
mengumpulkan Al Qur’an.
Ini jelas menunjukkan bahwa bid’ah pun bisa masuk ke hal-hal yang
sifatnya wasilah (sarana), sebagaimana masuk ke ibadah itu sendiri.
Sebab, mengumpulkan Al Qur’an sebetulnya merupakan sarana, pun demikian,
mereka berdalih bahwa Rasulullah tidak melakukannya.
Lantas, mengapa kok akhirnya mereka kumpulkan juga? Jawabnya: Karena
alasannya baru ada di zaman Abu Bakar, mengingat dahulu ketika Nabi
masih hidup, mereka tidak khawatir Al Qur’an akan terlupakan karena Nabi
ada di tengah mereka.
Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Ad Darimi dan Ibnu
Wadhdhah bahwa Ibnu Mas’ud mengingkari orang-orang yg membikin
halaqah-halaqah dzikir dan menghitung lafazh takbir, tasbih, dan tahlil
mereka dengan kerikil. Beliau berdalil bahwa Rasulullah dan para
sahabatnya tidak melakukan hal itu, padahal menghitung tasbih tak lebih
dari sarana saja.
Setelah mengetahui bahwa demonstrasi demi mewujudkan hal-hal yang
syar’i adalah bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan
para sahabat -padahal mereka bisa saja melakukannya-, maka tidak lagi
dibenarkan bila seseorang memrotes hal ini karena menganggap bahwa hukum
asal demonstrasi adalah ‘mubah’ dan tidak boleh dilarang kecuali dengan
dalil. Mengapa demikian? Karena dalam kasus ini, demonstrasi menjadi
ibadah, dan hukum asal ibadah adalah ‘haram’. Mereka yang memrotes hal
tersebut sama dengan mereka yang memrotes pelarangan merayakan maulid
Nabi, dengan dalih bahwa hal tersebut tidaklah dilarang.
Maka sanggahannya: yang menjadi dalil bahwa hal tersebut dilarang,
ialah karena ia merupakan ibadah yang tidak memiliki dalil yang
mensyariatkannya, sehingga jadilah ia bid’ah. Karena hukum asal setiap
bentuk ibadah adalah ‘terlarang’ dan ‘tidak boleh’.
Adapun demonstrasi (unjuk rasa) tipe kedua yang tujuannya hal-hal
duniawi, juga ada dua macam. Pertama, unjuk rasa untuk menjatuhkan
pemerintah karena alasan duniawi murni. Hal ini diharamkan jika ditilik
dari nas-nas yang mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada pemerintah,
meskipun dia seorang fasik dan zhalim. Selain dalil yang demikian
banyak dalam hal ini, para salaf juga telah ijma’ akan haramnya hal
tersebut. Mereka menganggap pihak yang menyelisihi dalam hal ini sebagai
orang yg keliru (baca: tersesat). Silakan anda teliti sendiri di
berbagai kitab yang memuat akidah para salaf.
Siapa yang berusaha menentangnya, maka ucapannya tertolak, dan ia
tersesat karena menyelisihi dalil-dalil sunnah dan atsar para salaf.
Dengan alasan seperti inilah para salaf menganggap sesat berbagai
kelompok.
Haramnya unjuk rasa macam ini semakin besar jika dilakukan demi
agama, sebab selain haram, dia juga dianggap bid’ah. Di samping itu,
dalil-dalil yang akan kami sebutkan berkenaan dengan unjuk rasa tipe
kedua, juga bisa menjadi dalil bagi tipe pertama.
Adapun tipe kedua, yaitu unjuk rasa untuk kepentingan duniawi lain
selain menjatuhkan pemerintah; maka hukumnya haram dari berbagai sisi:
Pertama; meskipun unjuk rasanya bersifat damai,
tetap saja ia bertentangan dengan perintah Rasulullah agar bersabar
terhadap kezhaliman penguasa yang merampas hak-hak rakyatnya.
Sebagaimana yg diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud,
bahwa Rasulullah bersabda:
ستكون أثَرَةٌ وأمور تنكرونها، قالوا يا رسول الله فما تأمرنا ؟ قال: تؤدون الحق الذي عليكم، وتسألون الله الذي لكم
Kelak akan terjadi sikap mementingkan diri sendiri dan perkara-perkara yang kalian ingkari[1].
Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, lantas apa yang engkau
perintahkan kepada kami?”. Kata beliau: “Tunaikanlah haknya atas kalian,
dan mintalah hak kalian kepada Allah”.
Dalam Shahihain, Usaid bin Hudhair meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:
ستلقون بعدي أثرة، فاصبروا حتى تلقوني على الحوض
Sepeninggalku nanti, kalian akan mendapati sikap mementingkan diri
(pada para penguasa). Maka bersabarlah ! Hingga kalian bersua denganku
di Telaga” (yakni telaga beliau di hari Kiamat).
Jadi, kita diperintah agar bersabar… bukan berunjuk rasa untuk
menekan pemerintah. Para imam dan ulama ahlussunnah juga memerintahkan
agar kita bersabar. Mereka mengatakan: (حتى يستريح بر، أو يستراح من
فاجر) “(Tunggu saja) sampai orang yang baik istirahat (wafat) atau yang
bejat diistirahatkan (diwafatkan)”.
Kedua; melalui unjuk rasa, roda pemerintahan akan
berpindah ke tangan rakyat, dan ini merupakan pintu kerusakan. Tiap kali
rakyat menginginkan sesuatu, mereka lantas berunjuk rasa menuntutnya.
Kalaulah para pemuja hawa nafsu menghendaki agar syahwat mereka
terpuaskan dengan cara haram, mereka akan terus berunjuk rasa hingga
tuntutan mereka dipenuhi. Kemudian jika kaum sekuler dan liberal
menginginkan sesuatu, mereka juga tinggal berunjuk rasa hingga
tuntutannya dikabulkan… demikian seterusnya.
Padahal kita semua memaklumi bahwa kalangan yang baik dan agamis
jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang lainnya dalam komunitas kaum
muslimin. Allah berfirman:
فَمِنْهُمْ مُهْتَدٍ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُون
Di antara mereka ada yang mendapat petunjuk, namun kebanyakan dari mereka adalah orang fasik (Al Hadid: 26).
Ketiga; sebagian besar aksi unjuk rasa -kalau tidak
bisa dibilang seluruhnya- pasti mengandung campur baur antara laki-laki
dan perempuan (ikhtilat) dalam bentuk yang diharamkan. Unjuk rasa tanpa
ikhtilat sangat jarang terjadi dan tidak bisa dijadikan tolok ukur.
Bukti terkuat akan hal ini adalah kenyataan di lapangan.
Keempat; kezhaliman penguasa penyebabnya adalah dosa
rakyatnya. Sedangkan dosa tidak akan diampuni kecuali dengan taubat dan
tunduk kepada Allah. Bukan dengan unjuk rasa. Dalam Minhajus Sunnah
(4/315), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Hasan Al Bashri
sering berkata: Hajjaj (bin Yusuf) adalah siksa Allah, maka janganlah
kalian lawan siksa Allah dengan kekuatan, namun kalian harus tunduk dan
bersimpuh di hadapan Allah; sebab Allah berfirman: (وَلَقَدْ
أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا
يَتَضَرَّعُونَ) “Sebelumnya kami pernah menimpakan azab kepada mereka,
akan tetapi mereka tidak menjadi tunduk dan bersimpuh di hadapan Rabb
mereka” (Al Mukminun: 76). Thalq bin Habib (seorang tabi’in) juga sering
berkata: “Waspadailah fitnah dengan bertakwa…” [.]
Keempat sisi ini berkaitan dengan unjuk rasa yang dianggap ‘damai’.
Adapun unjuk rasa yang disertai kekerasan, maka selain mengandung
berbagai mudharat tadi, ia juga mengakibatkan pertumpahan darah,
perusakan harta benda, pelanggaran kehormatan, dll.
Setelah semua penjelasan ini, marilah kita kupas syubhat-syubhat
mereka yang membolehkan unjuk rasa (pendukung demonstrasi) beserta
sanggahannya. Dan sekali lagi perlu saya tegaskan, bahwa sebenarnya
mereka meyakini terlebih dahulu baru mencari-cari dalil dengan penuh takalluf (pemaksaan) dan pemelintiran nas-nas syari’at.
Syubhat ke-1. Pendukung demonstrasi mengklaim bahwa perbuatan unjuk
rasa telah disinggung dalam hadits, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/40), bahwa pasca masuk Islamnya Umar bin
Khatthab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah keluar memimpin dua
barisan yang berisi sahabatnya. Barisan pertama dikepalai oleh Umar, dan
barisan kedua oleh Hamzah. Beliau melakukan hal tersebut demi
menunjukkan kekuatan kaum muslimin, sehingga kaum Quraisy tahu bahwa
kaum muslimin memiliki kekuatan.
Sanggahannya: Ini sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan unjuk rasa bila ditinjau dari dua sisi; yaitu sisi riwayah dan dirayah.
Secara riwayah (verifikasi riwayat): sanadnya tergolong
dha’if, sebab ada perawi yang bernama Ishaq bin Abi Farwah. Imam Ahmad
mengatakan: “Menurutku, meriwayatkan hadits darinya adalah tidak halal”.
Beliau juga mengatakan: “Ia tidak pantas diterima riwayatnya”.
Sedangkan Ibnu Ma’ien mengatakan bahwa ia itu kadzdzab (pendusta) (lihat biografinya di tahdzibut tahdzib).
Adapun secara dirayah (pemahaman hadits), kota Makkah
sebenarnya tidak memiliki kekuasaan yang syar’i, sebab musuh kaum
muslimin di sana adalah kafir harbi. Maka setelah kaum muslimin makin
kuat, merekapun memakai kekuatan sesuai kemampuan. Lantas dimanakah
letak persamaannya antara kejadian ini dengan para demonstran yang
berkumpul melawan pemerintah mereka, dalam rangka menunjukkan kemarahan
mereka atas suatu kebijakan tertentu??!!
Syubhat ke-2: Pendukung demonstrasi mengklaim bahwa alasan bolehnya
berdemonstrasi ialah karena ia merupakan sarana yang mujarab, dan
terbukti bermanfaat untuk mencapai tujuan.
Sanggahan atas syubhat ini dalam dua sisi:
Pertama, terbukti pula dalam sangat banyak kejadian bahwa demonstrasi
tidak mendatangkan manfaat. Jadi, ia merupakan sarana yang tidak pasti.
Belum lama ini kita menyaksikan demonstrasi di Prancis melawan
kebijakan pelarangan cadar, tapi toh tidak ada manfaatnya. Dan masih
banyak contoh lain. Nah, bila kenyataannya seperti ini, maka ini tidak
bisa menjadikan apa yang haram menjadi boleh, dan sebelumnya telah kita
paparkan dalil-dalil yang mengharamkan demonstrasi.
Kedua, kalaupun akhirnya sarana ini berhasil membuahkan, maka tetap
saja ia tidak bisa menjadi tolok ukur halal dan sahnya perbuatan itu
sama sekali. Alasannya karena tujuan tidaklah menghalalkan segala cara.
Syubhat ke-3: Pendukung demonstrasi juga berdalil bahwa Rasulullah
pernah didatangi oleh seorang lelaki yang mengeluhkan tetangganya.
Nabipun berkata: “Sabarlah” (tiga kali), lalu keempat kalinya beliau
berkata: “Buanglah barang-barangmu di jalan”, dan lelaki itupun
menurutinya. Orang-orang yang lewat di sampingnya lantas bertanya: “Ada
apa denganmu?” maka katanya: “Ia diganggu oleh tetangganya”, sehingga
merekapun melaknat tetangganya. Si tetangga kemudian mendatanginya dan
berkata: “Ambillah kembali barang-barangmu. Demi Allah, aku takkan
mengganggumu lagi selamanya!”. Dalam riwayat lain disebutkan: Tetangga
yang mengganggu tadi lantas datang kepada Rasulullah seraya mengeluh:
“Ya Rasulullah, tahukah apa yang kuterima dari orang-orang?” “Apa yang
kau terima dari mereka?” tanya beliau. “Mereka melaknatiku”, katanya.
Maka jawab beliau: “Allah telah melaknatmu sebelum mereka”. “Aku takkan
mengulanginya” kata orang itu. Lalu datanglah lelaki yang tadi
mengeluhkannya kepada Nabi, maka Nabi bersabda kepadanya: “Ambil kembali
barang-barangmu, Karena masalahmu telah ditanggulangi”. Dalam riwayat
lain disebutkan bahwa orang-orang ‘berkumpul menentangnya’.
Sanggahannya: Istidlal (cara berdalil) mereka dengan hadits ini
semakin menguatkan asumsi bahwa mereka telah meyakini terlebih dahulu
baru mencari-cari dalil, walaupun dengan sesuatu yang tidak bisa
dijadikan dalil. Contohnya hadits ini.
Mereka mengatakan bahwa dalam hadits ini disebutkan bahwa orang-orang
berkumpul untuk mengingkari perbuatan tersebut. Maka bantahannya adalah
dari beberapa sisi:
Pertama, riwayat yang mengatakan ‘maka orang-orang berkumpul
menentangnya’, disebutkan dalam Al Adabul Mufrad, dan tergolong riwayat
yang lemah, karena dari jalur Muhammad bin ‘Ajlan yang meriwayatkan dari
ayahnya.
Kedua, perkumpulan mereka ini terjadi secara kebetulan, bukan
disengaja untuk menekan dan mengingkari pemerintah. Ini jelas beda
dengan unjuk rasa yang kita bahas.
Ketiga, kalaulah riwayat ini kita anggap shahih dan perkumpulan
tersebut memang disengaja, maka di manakah letak kesamaannya dengan
berkumpulnya sejumlah orang untuk menekan pemerintah, sebagaimana yang
dilakukan para demonstran??
Keempat, kalaupun riwayat ini kita anggap shahih dan perkumpulan
mereka memang disengaja; maka istidlal mereka paling-paling dengan
mengqiyaskannya dengan unjuk rasa. Padahal telah menjadi ketetapan di
antara seluruh ulama, bahwa bila suatu qiyas bertabrakan dengan dalil,
jadilah ia qiyas yang fasid (rusak), sehingga tidak bisa dijadikan
dalil. Dan dalil-dalil yang menunjukkan haramnya unjuk rasa telah kita
bahas.
Kelima, instruksi Rasulullah tersebut tujuannya agar yang
bersangkutan sadar akan bahayanya mengganggu tetangga, dan beliau adalah
orang yang memiliki kekuasaan untuk mengingkari dengan ‘tangan’nya.
Syubhat ke-4: Mereka berdalil dengan anjuran syari’at kepada
laki-laki, perempuan, bahkan gadis pingitan dan wanita haidh; untuk
hadir di tempat shalat ‘ied. Ini menunjukkan dianjurkannya
‘demonstrasi’, sebab perbuatan tersebut mengandung unsur menunjukkan
kekuatan kaum muslimin; sama halnya dengan demonstrasi.
Sanggahan atas hal ini adalah sbb;
Pertama, anjuran shalat ‘ied di lapangan bukanlah dalam rangka
menunjukkan kekuatan kaum muslimin, namun dalam rangka menampakkan
syi’ar ini yang mengandung beberapa hikmah. Di antaranya: menunjukkan
kerukunan kaum muslimin, berkumpul di satu tempat, dan menampakkan rasa
bahagia atas hari raya tersebut. Bukankah hal ini juga terjadi di zaman
Rasulullah ketika kaum muslimin dalam kondisi kuat? Demikian pula di
zaman Umar bin Khatthab dan Utsman bin ‘Affan, dan itu juga zaman-zaman
keemasan Islam? Apalagi jika mengingat bahwa shalat tersebut dilakukan
di Madinah, yang merupakan ibukota daulah Islam. Jadi, mereka hendak
unjuk kekuatan kepada siapa di Madinah??
Kedua, kalaupun dalil ini kita terima, ujung-ujungnya adalah qiyas.
Dan bila qiyas bertabrakan dengan dalil-dalil syar’i, maka rusaklah dia.
Ketiga, di manakah letak persamaannya antara berkumpulnya kaum
muslimin untuk menghadiri shalat ‘ied, dengan berkumpulnya para
demonstran untuk memrotes kebijakan pemerintah?
Aneh sekali cara mereka berdalil… tidakkah mereka berfikir?
Ketiga sanggahan tadi juga ditujukan kepada mereka yang berdalil
dengan shalat jum’at, shalat berjama’ah di mesjid-mesjid, dan even-even
ibadah semisal.
Syubhat ke-5: Mereka berdalih bahwa syari’at memerintahkan kita untuk
mengingkari kemungkaran, dan demonstrasi ini juga demi mengingkari
kemungkaran.
Sanggahannya adalah sebagai berikut:
Pertama, dalih tersebut tidak bisa diterima begitu saja. Sebab
bolehnya mengingkari kemungkaran tidak berarti membolehkan cara tersebut
-dengan mengingat kembali dalil-dalil yg mengharamkan demonstrasi-.
Jadi, kebatilan tidak boleh diingkari dengan kebatilan juga. Cara untuk
memperbaiki kondisi yang sesuai dengan syar’i masih banyak, bagi yang
ingin melakukannya.
Kedua, tercapainya kemaslahatan melalui demonstrasi hanya bersifat
dugaan, dan dalam berbagai kasus demonstrasi terbukti tidak bermanfaat.
Kalau kenyataannya seperti itu, maka yang haram tidaklah menjadi boleh
karenanya. Apalagi jika mengingat bahwa demonstrasi seringkali
menyebabkan kemungkaran yang lebih besar.
Ketiga, syari’at telah mengajarkan berbagai cara untuk mengingkari
kemungkaran. Jika seseorang menerapkannya dan ia berhasil, maka
Alhamdulillah. Namun jika tidak berhasil, maka ia telah bebas dari
tanggung jawab dan melaksanakan kewajibannya.
Syubhat ke-6: mereka berdalil bahwa Izzuddien bin Abdussalaam dan ulama lainnya pernah melakukan semisal demonstrasi.
Sanggahannya adalah sbb:
Pertama, kalaupun benar bahwa para ulama tadi melakukan hal tersebut,
toh perkataan dan perbuatan ulama hanya bersifat menguatkan dalil
sekaligus membutuhkan dalil (yuhtajju laha), dan bukan sebagai dalil (yuhtajju biha).
Jadi, perbuatan dan perkataan ulama bukanlah hujjah (dalil) menurut
ijma’ ulama. Apalagi jika ada sejumlah dalil yang mengarah kepada tidak
dianjurkannya demonstrasi, sebagaimana yg telah dibahas.
Kedua, kebanyakan sikap ulama yang mereka nukil dalam masalah ini,
tidak bisa dianggap sebagai demonstrasi sama sekali. Mereka hanya
‘memperluas’ pengertiannya dan menggunakan qiyas yang fasid, untuk
menyamakannya dengan demonstrasi.
Ketiga, banyak perbuatan bid’ah yang juga dilakukan oleh mereka yang
dijuluki ulama tersebut. Izzuddien bin Abdussalaam misalnya, ia
menganggap bahwa para wali bisa saja mengetahui apa yang tertulis di
lauhul mahfuzh (lihat kitab beliau yg berjudul ‘Qowa’idul Ahkam 1/140).
Beliau juga termasuk orang yang menghujat para salaf dalam meyakini
sifat-sifat Allah; dan kekeliruan (baca: kesesatan) beliau ini telah
dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa-nya.
Syubhat ke-7: mereka yang merekayasa dalil, berdalih bahwa para ulama melarang demonstrasi hanya sebagai tindakan preventif (saddud dzarie’ah),
karena bisa menimbulkan berbagai kerusakan. Nah, bila ada suatu
demonstrasi yang diperhitungkan tidak akan menimbulkan
kerusakan-kerusakan tadi, maka ia boleh dilakukan.
Untuk menyanggahnya, kita katakana bahwa tidak semua yang dilarang
oleh para ulama sebagai tindak preventif (saddud dzarie’ah) berarti haru
berakibat seperti itu. Akan tetapi maksudnya bahwa biasanya akan
berakibat seperti itu, sehingga mereka melarangnya walaupun tidak
berakibat seperti itu kadang-kadang. Inilah makna dari saddud dzarie’ah
yang dalil-dalilnya dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau
yang berjudul ‘Bayaanud daliel ‘ala Buthlaanit Tahliel’. Di sana beliau
menyebutkan lebih dari 30 dalil yang mengarah kepada saddud dzarie’ah.
Kemudian ditambahkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab I’laamul Muwaqqi’ien
hingga menjadi 99 dalil.
Salah satu dalil bahwa saddud dzarie’ah dapat dipakai sebagai hujjah,
adalah aturan syari’at yang mengharamkan seorang lelaki berduaan dengan
wanita ajnabiyah. Alasannya ialah agar tidak terjerumus dalam hal-hal
yang diharamkan Allah. Padahal mungkin saja terjadi dua-duaan tanpa
melakukan hal-hal yang diharamkan. Pun demikian, hal ini tetap dilarang
dan diharamkan. Nah, seperti itu pula lah setiap hal yang dilarang dalam
rangka saddud dzarie’ah; karena syari’at tidak membeda-bedakan kasus
yang sejenis.
Syubhat ke-8: Ada sebagian kalangan yang menisbatkan demonstrasi
kepada para salaf dan sahabat Nabi; dan menganggapnya sebagai metode
yang ‘salafi’ karena dilakukan oleh para sahabat. Dalil mereka ialah
bahwa Ummul Mukminin Aisyah ك , Thalhah bin ‘Ubeidillah, dan Az Zubeir
bin ‘Awwam م , telah berkumpul dalam Perang Jamal dan ini merupakan
fenomena demonstrasi. Sebab mereka bermaksud menekan dan memrotes Ali
bin Abi Thalib ط .
Cara berdalil seperti ini juga menguatkan asumsi yang lalu, bahwa
para pendukung demonstrasi memang telah meyakini terlebih dahulu, baru
kemudian mencari-cari dalil secara paksa untuk membenarkan keinginan
mereka. Kejadian Perang Jamal ini tidak sah dijadikan dalil karena
beberapa alasan:
Pertama, berkumpulnya mereka saat itu bukan dalam rangka menekan Ali
bin Abi Thalib agar melakukan sesuatu. Mereka hanya berkumpul untuk
menuntut darahnya Utsman bin Affan. Jadi, Az Zubeir bin ‘Awwam dan
Thalhah bin ‘Ubeidillah terjun dalam rangka menuntut darah ‘Utsman.
Sedangkan Aisyah terjun dalam rangka ishlah (mendamaikan), sebagaimana
dalam sebuah riwayat shahih dari beliau sendiri, yang disebutkan oleh
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (6/236).
Jadi, mereka tidak berkumpul di Perang Jamal dalam rangka apa yang
disebut: unjuk rasa untuk menekan pemerintah agar melakukan sesuatu.
Sebab mereka sebenarnya ingin terjun langsung dalam menuntut balas
kematian Utsman.
Kedua, apa yang dilakukan oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubeir tadi
merupakan suatu kesalahan yang akhirnya mereka sesali. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Minhajus Sunnah
(6/129) berdasarkan nukilan dari mereka. Beliau mengatakan: “Aisyah juga
menyesal karena ikut berangkat ke Basrah, dan tiap kali ia mengingat
kejadian tersebut, ia menangis hingga air matanya membasahi kerudungnya.
Demikian pula Thalhah yang menyesal karena mengira bahwa dirinya kurang
maksimal dalam membela Utsman dan Ali, selain dengan cara itu. Zubeir
pun juga menyesal karena berangkat pada saat Perang Jamal”.
Beliau juga mengatakan (4/170): “Aisyah sebenarnya tidak ikut perang,
dan tidak berangkat untuk berperang. Ia hanya berangkat dengan maksud
mendamaikan kaum muslimin, dan mengira bahwa keikutsertaannya akan
mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin. Akan tetapi kemudian ia sadar
bahwa yang lebih baik ialah bila dirinya tidak berangkat; sehingga tiap
kali ia mengingat keberangkatannya ke Perang Jamal, iapun menangis
hingga kerudungnya basah oleh air mata. Demikian pula seluruh sahabat
yang tergolong assaabiquunal awwaluun. Mereka menyesali keterlibatan
mereka dalam perang saudara… Thalhah, Zubeir, dan Ali semuanya menyesali
hal tersebut. Tragedi Perang Jamal benar-benar diluar dugaan mereka,
dan mereka sama sekali tidak punya niat untuk berperang”.
Telah dimaklumi pula, bahwa para sahabat secara personal tidaklah
ma’sum. Mereka bisa saja keliru, dan bila mereka keliru maka hanya
mendapat satu pahala, dan kedudukan mereka tetap terjaga. Namun bila
mereka benar akan mendapat dua pahala, berdasarkan keumuman hadits Abu
Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim, dan hadits Amru bin Ash dalam
Shahihain; bahwa Nabi bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران. وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Jika seorang hakim berijtihad dalam membikin keputusan dan keputusan
tadi ternyata benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun bila
keputusannya salah maka ia mendapat satu pahala.
Nah, keputusan mereka dalam kasus ini adalah keliru; dan kekeliruan
yang telah disesali oleh mereka tidak sah untuk dijadikan dalil. Barang
siapa tetap mengikutinya, berarti dia mengikuti hawa nafsu.
Ketiga, ada sejumlah banyak sahabat yang menyelisihi mereka yang
berangkat untuk menuntut darah ‘Utsman. Di antara yang paling keras
menyelisihinya ialah Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar, bahkan
mayoritas sahabat juga menyelisihi hal ini dengan tidak terlibat dalam
fitnah tersebut; kecuali hanya beberapa gelintir saja di antara mereka
yang terlibat.
Dalam Al Bidayah wan Nihayah (7/261), Ibnu Katsir mengatakan: Asy
Sya’bi berkata: Tidak ada peserta perang Badar yang ikut membela Ali
dalam hal ini kecuali hanya enam orang, tidak ada yang ketujuh.
Sedangkan selain Asy Sya’bi mengatakan hanya empat orang. Ibnu Jarir dan
yang lainnya mengatakan bahwa di antara tokoh sahabat yang menerima
ajakan Ali adalah: Abul Haitsam ibnut Tiehan, Abu Qatadah Al Anshari,
Ziyad bin Hanzhalah, dan Khuzaimah bin Tsabit”.
Jika memang demikian kenyataannya, maka kejadian Perang Jamal tidak
sah untuk dijadikan dalil karena alasan tadi. Ini juga semakin
menguatkan pernyataan para ulama, bahwa demonstrasi adalah cara bid’ah
yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi maupun para sahabat.
Berikut ini adalah fatwa sejumlah ulama Ahlussunnah kontemporer yang
mengharamkan demonstrasi, agar kita bisa membandingkannya dengan
pernyataan sebagian kalangan yang hanya mengandalkan semangat dan emosi
dalam masalah ini.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
“Cara yang baik adalah faktor paling dominan yang menyebabkan
diterimanya kebenaran. Sedangkan cara yang jelek adalah faktor paling
berbahaya yang menyebabkan ditolaknya kebenaran, terjadinya kekacauan,
kezhaliman, permusuhan, dan ketidak stabilan. Termasuk di dalamnya apa
yang dilakukan sebagian kalangan dengan berunjuk rasa yang mengakibatkan
kerugian besar atas para da’i. Mengadakan konvoi di jalan-jalan dan
meneriakkan yel-yel bukanlah metode dakwah dan islah (memperbaiki
kondisi). Metode yang benar ialah dengan mengadakan kunjungan dan
menyurati dengan cara yang paling baik. Dengan cara inilah kita
menasehati kepala negara, gubernur, dan pemuka kabilah (kelompok). Bukan
dengan cara kekerasan dan demonstrasi. Karena Nabi selama 13 tahun
tinggal di Mekkah tidak pernah memakai cara demonstrasi dan konvoi.
Beliau juga tidak pernah mengancam orang-orang dengan tindak pengrusakan
dan pembunuhan. Tidak diragukan lagi bahwa cara-cara semacam ini justru
merugikan dakwah dan para da’i, serta menghalangi penyebaran dakwah.
Bahkan menjadikan para penguasa dan pembesar semakin memusuhinya dengan
segala kekuatan. Mereka menghendaki kebaikan dengan cara tersebut, namun
yang terjadi justru sebaliknya. Jadi, bila seorang da’i mengikuti jalan
para Rasul dan pengikutnya; maka meskipun lama, cara ini lebih utama
daripada melakukan hal-hal yang merugikan dakwah dan mempersempit
gerakannya, atau bahkan menumpasnya. Laa haula walaa quwwata illa
billaah (majalah buhuts al islamiyyah, no 210 hal 38).
Syaikh Al Albani dalam kasetnya yg berjudul ‘Silsilah al huda wan
nuur’ (no 210) mengatakan: “Memang benar, bahwa wasilah yang tidak
bertentangan dengan syari’at hukum asalnya adalah mubah. Ini tidak
masalah. Akan tetapi jika wasilah tersebut berupa meniru cara-cara yang
tidak islami; maka wasilah tersebut menjadi wasilah yang tidak syari’i.
Ikut serta dalam demonstrasi atau unjuk rasa untuk menampakkan kesukaan
atau ketidak sukaan, dan menunjukkan dukungan atau protes terhadap suatu
kebijakan atau undang-undang tertentu; cara semacam ini hanya klop
dengan model pemerintahan yang mengatakan: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Namun ketika masyarakatnya bersifat islami, tidak perlu ada
demonstrasi. Yang perlu dilakukan ialah menyampaikan hujjah kepada
pemerintah yang menyelisihi syari’at.
Beliau kemudian berkata: “Aku menilai demonstrasi seperti ini bukan
merupakan wasilah islami dalam menunjukkan sikap setuju atau tidak
setuju dari rakyat. Sebab masih banyak cara lain yang bisa mereka
tempuh…”
Kemudian beliau berkata: “Akhirnya, apakah benar bahwa
demonstrasi-demonstrasi tadi bisa merubah kebijakan pemerintah jika para
demonstran bersikukuh dengan tuntutannya? Kita tidak tahu sudah berapa
banyak terjadi demonstrasi, dan berapa banyak korban jiwa yang jatuh di
dalamnya; akan tetapi kondisinya tetap seperti sebelum terjadinya
demonstrasi. Karenanya, kami tidak menganggap cara semacam ini dalam
pengertian ‘bahwa hukum asal sesuatu adalah dibolehkan’, karena ia
termasuk taklid kepada masyarakat barat”.
Dalam kitab Silsilah al Ahadiets al Maudhu’ah (14/74), beliau
mengatakan: “Masih saja ada sejumlah kelompok Islam yang berunjuk rasa.
Mereka lupa bahwa cara tersebut adalah kebudayaan dan metode orang
kafir, yang hanya cocok dengan ideologi mereka bahwa pemerintahan itu
milik rakyat; dan bertentangan dengan sabda Nabi yang mengatakan bahwa
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ع ”.
Syaikh Muhammad bin Utsaimin pernah ditanya: “Apakah demonstrasi termasuk wasilah dakwah yang syar’i?”.
Jawab beliau: “Demonstrasi adalah perkara baru yang tidak dikenal di
zaman Nabi ع, di zaman khulafa’ur rasyidin, maupun para sahabat
radhiyallahu ‘anhum. Di samping itu, demonstrasi mengandung kekacauan
dan kerusuhan yang menjadikannya terlarang… yaitu dengan pemecahan kaca,
perusakan pintu, dan lain-lain. Dalam demonstrasi juga terjadi
ikhtilat (campur-baur) antara laki-laki dengan perempuan, antara kawula
muda dan orang tua, dan berbagai kemungkaran lainnya. Adapun masalah
menekan pemerintah, kalaupun ini kita terima, maka cukuplah Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah sebagai penasehat baginya. Inilah tawaran terbaik
yang ditujukan kepada seorang muslim. Adapun bila ia seorang kafir, maka
ia tidak akan mempedulikan para demonstran. Ia paling-paling hanya
bermuka manis di hadapan mereka dan menyembunyikan niat jahat dalam
hatinya. Karenanya, kami memandang bahwa demonstrasi adalah perkara
munkar.
Adapun mereka yang mengatakan bahwa demonstrasi ini bersifat ‘damai’,
maka boleh jadi ia memang damai awalnya atau pertama kalinya; namun
kemudian menjadi tindak pengrusakan. Kunasehatkan agar para pemuda
mengikuti ajaran para salaf, sebab Allah ta’ala telah memuji para
muhajirin dan anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”
(lihat: Al Jawabul Abhar hal 75).
Syaikh Shalih Al Fauzan pernah ditanya: “Apakah melakukan demonstrasi
termasuk wasilah dakwah dalam memecahkan problematika umat Islam?”
Jawab beliau: “Agama kita bukanlah agama yang kacau. Agama kita
adalah agama yang teratur, agama yang tertib dan tenang. Demonstrasi
tidak termasuk prilaku kaum muslimin, dan tidak dikenal oleh kaum
muslimin zaman dahulu. Agama Islam agama agama yang tenang, penuh
rahmat, dan jauh dari kekacauan, gangguan, serta tidak menyulut fitnah.
Inilah agama Islam. Hak-hak bisa diperjuangkan tanpa cara seperti ini,
namun dengan menuntutnya secara syar’i dan dengan cara yang syar’i.
Demonstrasi-demonstrasi seperti ini hanya menimbulkan berbagai macam
fitnah, mengakibatkan pertumpahan darah, dan pengrusakan harta benda.
Maka perkara ini hukumnya tidak boleh” (lihat: Al Ijaabaatil Muhimmah
fil Masyaakil Al Mulimmah, oleh Muhammad al Hushain hal 100).
Wallaahu ta’ala a’lam.
(disadur dengan sedikit perubahan dari artikel berjudul: كشف شبهات مجوزي المظاهرات oleh Syaikh Abdul Aziz ar Rayyis).
Sumber: ibnuabbaskendari.wordpress.com
[1] Artinya: Akan ada penguasa yang mementingkan diri sendiri dan merampas hak-hak rakyatnya, serta banyak berbuat maksiat.
0 komentar :
Posting Komentar