Bismillah,
Melihat perkembangan zaman yang sangat pesat, maka nikmat Allah yang diberikan kepada manusia begitu banyak sehingga mereka pun bisa membuat berbagai macam dan ragam kendaraan. Dahulu mereka cuma mengendarai binatang-binatang berupa keledai, kuda, dan lainnya. Kemudian mereka wujudkan semua itu dalam bentuk kendaraan yang lebih bagus, lebih kuat, lebih indah dan lebih cepat dengan adanya sepeda, motor, mobil, pesawat, dan lainnya. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. (QS. An-Nahl: 8).
Melihat perkembangan zaman yang sangat pesat, maka nikmat Allah yang diberikan kepada manusia begitu banyak sehingga mereka pun bisa membuat berbagai macam dan ragam kendaraan. Dahulu mereka cuma mengendarai binatang-binatang berupa keledai, kuda, dan lainnya. Kemudian mereka wujudkan semua itu dalam bentuk kendaraan yang lebih bagus, lebih kuat, lebih indah dan lebih cepat dengan adanya sepeda, motor, mobil, pesawat, dan lainnya. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. (QS. An-Nahl: 8).
Dengan adanya berbagai macam nikmat
tersebut, hendaklah kita -sebagai orang-orang yang beriman-, senantiasa
mengingat dan mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Bukan hanya mengingat
bagaimana nikmatnya naik kendaraan, cepatnya sampai ke tujuan, dan bukan
pula karena bagusnya kendaraan tersebut. Bahkan seyogyanya kita
mengingat dan mensyukuri nikmat tersebut.
Oleh karena itu, perlu kita
ingat bahwa dalam berkendaraan pun terdapat adab-adab. Nah, sebagai
bukti kesyukuran kita terhadap nikmat-nikmat itu, maka kita dituntut
untuk mengamalkan beberapa adab-adab yang syar’i ketika berkendaraan:
Mengingat Allah dan Berdo’a Saat Berkendaraan
Seorang
dianjurkan ketika awal memulai perjalanan agar membaca do’a naik
kendaraan yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- kepada ummatnya. Hikmahnya agar kita selalu mengingat Allah yang
telah menganugrahkan dan menundukkan bagi kita kendaraan tersebut.
Adapun lafazh do’a naik kendaraan, berikut nashnya:
Ali bin Robi’ah berkata, Aku
menyaksikan Ali -radhiyallahu ‘anhu- ; didatangkan suatu kendaraan
(kepadanya) agar ia mengendarainya. Tatkala ia menginjakkan kakinya pada
kendaraan, ia berkata, “Bismillah”. Tatkala beliau berada di atas
punggungnya, beliau berkata, “Alhamdulillah”. Kemudia beliau berdo’a,
“Subhaanalladzi sakhkharo lanaa haadza wamaa kunna lahu muqriniin”
Kemudian beliau mengucapkan,
“Alhamdulillah” sebanyak tiga kali ; lalu mengucapkan,”Allahuakbar”
sebanyak tiga kali. Lalu berdo’a,
سُبْحَانَكَ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فاَغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لَايَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ
Lalu Ali bin Abi Tholib tertawa.
Beliau ditanya, “Kenapa Anda tertawa?” Beliau menjawab, “Aku telah
melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah melakukan apa
yang aku lakukan, lalu beliau tertawa…”. [HR. Abu Dawud (2602),
At-Tirmidziy (3446), dan An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (8799, 8800, &
10336). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam
Mukhtashor Asy-Syama’il Al-Muhammadiyyah (198)]
Tidak Melanggar Peraturan ketika Berkendaraan
Wajib
bagi kita untuk menaati peraturan-peraturan yang berlaku ketika
berkendaraan, seperti memakai helm pada tempat-tempat yang diwajibkan
memakai helm, mempunyai surat-surat yang diperlukan ketika berkendaraan
(SIM & STNK), berhenti ketika melihat lampu merah, dan lain-lain.
Semua hal tersebut adalah kewajiban kita sebagai pengendara dan sebagai
bentuk ketaatan kepada penguasa. Dalilnya adalah firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisaa’: 56).
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
عَلَى
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ
إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا
سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib Bagi seorang muslim untuk
mendengar dan mentaati (penguasa) dalam perkara yang ia cintai dan ia
benci selama ia tidak diperintahkan (melakukan) suatu maksiat. Jika ia
diperintahkan bermaksiat, maka tak boleh mendengar dan taat (kepada
penguasa)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Ahkam (4/no. 6725) &
Kitab Al-Jihad (107/no. 2796), Muslim (1839)]
Al-Imam Abul ‘Ula
Al-Mubarokfuriy-rahimahullah- berkata, “Di dalam hadits ini terdapat
dalil yang menunjukkan bahwa jika penguasa memerintahkan perkara yang
mandub (sunnah), dan mubah (boleh), maka wajib (ditaati). Al-Muthohhar
berkata, “Maksudnya, mendengarkan dan mentaati ucapan penguasa adalah
perkara wajib atas setiap muslim, sama saja apakah penguasa
memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya
ataukah tidak. Tapi dengan syarat penguasa tidak memerintahkannya untuk
berbuat maksiat. Jika ia diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak
boleh taat kepadanya (saat itu, –pent). Namun tak boleh baginya
memerangi penguasa”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (5/298)]
Jika penguasa memerintahkan
pakai helm atau SIM dan STNK, maka wajib bagi seorang muslim untuk
mentaatinya, walaupun memakai helm, membuat SIM, dan STNK pada asalnya
adalah mubah. Namun ketika penguasa memerintahkannya, maka hukumnya
berubah menjadi wajib. Jadi, memakai helm, atau SIM dan STNK saat
berkendaraan adalah perkara yang wajib.
Seorang ulama kota Madinah dan
mantan Rektor Islamic University of Madinah, Syaikh Abdul Muhsin
Al-Abbad -hafizhahullah- dalam suatu majelisnya pernah menjelaskan bahwa
mentaati lampu merah dan rambu-rambu yang dibuat oleh pemerintah di
jalan-jalan adalah wajib, sekalipun hukum asalnya adalah mubah. Tapi
hukumnya berubah karena ada perintah dari penguasa. Sedang jika penguasa
memerintahkan sesuatu yang mubah atau sunnah, maka hukum perkara itu
jadi wajib berdasarkan ayat dan hadits di atas !!
Tidak Ugal-ugalan di Jalan Raya
Seseorang
hendaklah memperhatikan keselamatan dirinya dan keselamatan orang lain
ketika berkendara. Jangan sampai kita menjadi sebab tertumpahnya darah
seseorang serta rusaknya harta saudara kita. Padahal Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- bersabda,
إِنَّ دِمَاؤَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا فِيْ بَلَدِكُمْ
“Sesungguhnya darah dan harta
kalian adalah haram (mulia) atas kalian seperti haramnya hari kalian
ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini”. [HR. Muslim dalam
Shohih-nya (1218)]
Jadi, darah dan harta seorang
muslim adalah haram kita ganggu, apalagi ditumpahkan dan dirusak, karena
harta dan darah seorang muslim memiliki kemuliaan di sisi Allah.
Ada kebiasaan buruk menimpa
sebagian tempat di Indonesia Raya, adanya sebagian pemuda yang
ugal-ugalan memamerkan “kelincahan” (baca: kenakalan) mereka dalam
mengendarai motor atau mobil di jalan raya. Ulah ugal-ugalan seperti ini
bisa mengganggu, dan membuat takut bagi kaum muslimin yang
berseliweran, dan berada dekat dengan TKP (tempat kejadian peristiwa).
Bahkan terkadang mereka menabrak sebagian orang sehingga orang-orang
merasa kaget dan takut lewat, karena mendengar suara dentuman knalpot
mereka yang dirancang bagaikan suara meriam. Padahal di dalam Islam,
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang kita mengagetkan seorang
muslim.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda ketika menegur sebagian sahabat yang menyembunyikan
tongkat saudaranya sehingga ia panik,
لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal bagi seorang muslim
untuk membuat takut seorang muslim”. [HR. Abu Dawud (5004).
Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah Al-Maram (447)]
Kagetnya sahabat yang tertidur
ini akibat ulah temannya, jika dibanding dengan kaget, dan takutnya kaum
muslimin yang lewat atau berada di lokasi balapan, maka kita bisa
pastikan bahwa balapan liar seperti ini, hukumnya haram. Apalagi
pemerintah sendiri melarang hal tersebut, karena menelurkan bahaya bagi
diri mereka, dan masyarakat !!
Merawat Kendaraan dan tidak Membebani Melebihi Kapasitasnya
Kendaraan
adalah nikmat dari Allah, maka hendaklah kita merawatnya dengan baik
dan bukan sekedar hanya memakainya sesuka hati. Sebagaimana binatang
ternak yang kita miliki, kita tak boleh membebaninya lebih dari
kemampuannya. Diantara wujud kesyukuran kita kepada Allah, kita harus
menyayangi kendaraan –apakah berupa hewan atau bukan-, dan tidak
membebaninya lebih kemampuannya.
Seorang sahabat yang bernama
Abdullah bin Ja’far -radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata, “Beliau masuk
kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan
bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan
tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda,
“Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah
seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai
Rasulullah”. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أَفَلَا
تَتَّقِي اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهِيْمَةِ الَّتِى مَلَكَّكَ اللهُ
إِيَّاهَا فَإِنَّهُ شَكَى إِلَيَّ أَنَّكَ تُجِيْعُهُ وَتُدْئِبُهُ
“Tidakkah engkau bertakwa kepada
Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh
Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau
telah membuatnya letih dan lapar”. [HR.Muslim dalam Shohih-nya (342),dan
Abu Dawud dalam As-Sunan ( 2549 ).
Jadi, seorang muslim tidak boleh
membebani kendaraan lebih dari kemampuannya, sehingga ia letih atau
rusak. Kita juga harus memperhatikan bensinnya, dan olie-nya sebagaimana
halnya jika kendaraan berupa hewan, maka kita harus memperhatikan
makanan, dan perawatannya. Kendaraan yang kita miliki harus kita rawat
dengan baik; jangan dibiarkan terparkir di bawah terik matahari, tapi
carilah naungan baginya. Jangan kalian bebani melebihi kapasitas
kemampuan yang telah ditetapkan baginya.
Memperlambat Laju Kendaraan ketika Berjalan di Jalan yang Sempit (Lorong) dan Mempercepat ketika Berjalan di Jalan yang Lapang
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda ketika menegur seorang sahabat yang cepat dan
tergesa-gesa dalam menuntun perjalanan para wanita yang menyertai Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berhaji,
وَيْحَكَ يَا أَنْجَشَةُ رُوَيْدَكَ سَوْقَكَ بِالْقَوَارِيْرِ
"Wahai Anjasyah, celaka engkau !
Pelanlah engkau dalam menuntun para wanita". [HR. Al-Bukhoriy (6149,
6161, 6202, & 6209), dan Muslim (2323)]
Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah-
berkata saat menyebutkan penafsiran ulama tentang makna hadits ini,
“Sesungguhnya yang dimaksudkan hadits ini adalah pelan dalam berjalan,
karena jika onta mendengar al-hida’ (nyanyian hewan), maka ia akan cepat
dalam berjalan; onta akan merasa senang, dan membuat penumpangnya
kaget, dan penat. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarangnya
dari hal itu (al-hida’), karena para wanita akan lemah saat kerasnya
gerakan, dan beliau khawatir tersakitinya para wanita dan jatuhnya
mereka”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (15/81)]
Maka sepantasnya ketika
berkendaraan, kita tenang dan tidak terburu-buru, karena terburu-buru
itu datangnya dari setan. Boleh mempercepat kendaraan jika tidak
melampaui batas sehingga ia dianggap terburu-buru, jika ada
kemaslahatan, dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya.
Memberi Hak kepada Jalanan
Jalanan
juga mempunyai hak-hak untuk kita penuhi. Karena itu, Rasulullah
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- berwasiat kepada para sahabatnya ketika
seseorang duduk di pinggir jalan, “Waspadalah kalian ketika duduk di
jalan-jalan”. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami harus
berbicara di jalan-jalan. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda, “Jika kalian enggan, kecuali harus duduk, maka berikanlah
haknya jalan”. Mereka bertanya, “Apa haknya jalan?” Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
“(Haknya jalan adalah)
menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam,
memerintahkan yang ma’ruf, dan mencegah yang mugkar”. [HR. Al-Bukhoriy
(6229), dan Muslim (2121)]
Jadi, haknya jalanan ada 5:
menundukkan pandangan dari melihat perkara haram (seperti melihat
kecantikan wanita yang bukan mahram), menghilangkan gangguan apa saja
(misalnya, tidak buang sampah & kotoran di jalan, tidak menggoda
wanita, tidak menyakiti orang lain, dan lainnya); demikian pula menjawab
salam orang yang mengucapkan salam kepada kita dari kalangan kaum
muslimin; memerintahkan yang ma’ruf (misalnya, mengingatkan waktu
sholat, mengajak bersedekah, dan lainnya); mencegah yang mungkar
(misalnya, melarang para pemuda balapan liar, melarang orang bermaksiat
di jalan, dan lainnya)
Wallahu a'lam.
[Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 59 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel]
Sumber : http://almakassari.com/?p=258
0 komentar :
Posting Komentar