Sabtu, 22 Februari 2014

Oleh : al Ustadz Saifudin Zuhri, Lc
الْحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ اْلقَهَّارِ اْلقَوِيِّ اْلعَزِيْزِ الْجَبَّارِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَه ذُوْ الْعَظَمَةِ وَاْلمَجْدِ وَالاِقْتِدَارِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اْلمُخْتَارُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا. أما بعد: أيها الناس اِتَّقُوْا اللهَ وَتَقَرَّبُوْا إِلَى اللهِ بِمَا أَمَرَكُمْ بِهِ مِنْ طَاعَةِ وُلاَةِ الأُمُوْرِ فِي غَيْرِ مَعْصِيَةِ اللهِ ، وَمِنَ الدُّعَاءِ لَهُمْ ، وَالتَّعَاوُنُ مَعَهُمْ عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى ، وَالصَّبْرِ عَلَيْهِمْ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala, sesembahan yang Mahaperkasa yang menguasai alam semesta. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wata’ala semata dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada sayyidul-anbiya’i wal mursalin, nabi kita Muhammad dan keluarganya, para sahabatnya, serta seluruh kaum muslimin yang senantiasa mengikuti petunjuknya.
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dan senantiasa mengingat bahwa Allah Subhanahu wata’ala telah mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya agama yang mulia dan sempurna. Telah datang di hadapan kita syariat Allah Subhanahu wata’ala yang berisi aturan yang sempurna dan mengajak kepada kemuliaan. Oleh karena itu, barang siapa yang menginginkan aturan yang sempurna namun tidak mau mengikuti syariat Allah Subhanahu wata’ala, tidaklah yang dia dapat selain aturan yang penuh kekurangan. Barang siapa menginginkan kemuliaan namun berpaling dari syariat Allah Subhanahu wata’ala, tidaklah yang dia dapat selain kehinaan.
Hadirin rahimakumullah,
Di antara syariat yang Allah Subhanahu wata’ala turunkan melalui Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia tersebut adalah petunjuk yang mengatur kewajiban rakyat terhadap penguasanya dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya.
Adapun kewajiban rakyat terhadap penguasanya, di antaranya adalah mendengar dan menaatinya. Artinya, wajib bagi masyarakat untuk menjalankan apa yang diperintahkan atau meninggalkan apa yang dilarang oleh penguasa muslim selama tidak bermaksiat terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga, apa saja yang diwajibkan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah dari berbagai aturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, harus didengar dan ditaati selama tidak bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun jika aturan tersebut melanggar syariat Allah Subhanahu wata’ala, maka tidak ada kewajiban untuk menaatinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَي الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan menaati (penguasa), baik dalam perkara yang disukai maupun dibenci kecuali jika diperintah untuk berbuat maksiat. Apabila diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar dan taat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadirin rahimakumullah,
Perlu diketahui bahwa ketaatan kepada penguasa ini meliputi ketaatan pada peraturan-peraturan yang mengatur kemaslahatan masyarakat baik yang berkaitan dengan perizinan, peraturan lalu lintas, maupun kependudukan, dan sebagainya, selama tidak bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wata’ala.
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk kewajiban masyarakat terhadap penguasa adalah memberikan nasihat kepada penguasa. Yang dimaukan dari nasihat ini adalah demi semakin baiknya keadaan suatu negeri dan bukan untuk menjatuhkan wibawa atau menyebarkan kejelekannya sehingga tersiar dan diketahui oleh semua orang. Jika yang dilakukan justru menjatuhkan dan menyebarkan kejelekan-kejelekannya, maka hal itu bukanlah nasihat. Bahkan itu adalah cercaan yang akan menyulut kebencian rakyat kepada pemerintah dalam seluruh kebijakan dan upaya yang dilakukannya, meskipun hal tersebut (kebijakan atau upaya pemerintah itu) adalah sesuatu yang baik dan benar. Masyarakat tidak lagi percaya, mendengar, dan taat kepada penguasanya yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya kekacauan, pertikaian, bahkan pertumpahan darah di tengah-tengah masyarakat.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Tidaklah dimungkiri bahwa penguasa sebagaimana manusia lainnya tentu tidak akan terlepas dari kesalahan. Begitu pula telah dimaklumi bahwa kesalahan tidaklah boleh didiamkan. Namun, yang mesti dilakukan bagi orang yang ingin memberi nasihat, lebih-lebih kepada penguasa adalah agar melakukannya dengan hikmah. Dia menasihatinya tidak di hadapan khalayak, sebagaimana yang diatur dalam petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ السُّلْطَانَ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa hendak menasihati penguasa dalam suatu perkara, janganlah dia melakukannya di depan khalayak. Akan tetapi, lakukanlah bersendirian dengannya. Jika (nasihat tersebut) diterima, itulah yang diinginkan. Jika tidak, dia telah menjalankan kewajiban terhadapnya.” (HR. Ahmad danyang lainnya. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dengan berbagai jalannya)
Kaum muslimin rahimakumullah,
Menasihati penguasa dengan menyebutkan kekurangan dan aib mereka di depan khalayak dan  memprovokasi masyarakat untuk turun ke jalan-jalan dengan membawa spanduk yang bertuliskan hujatan-hujatan kepada penguasa bukanlah cara yang hikmah dan tidak sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Jangan sampai kaum muslimin terpancing oleh orang-orang yang menggunakan cara yang tidak hikmah, yaitu tidak menggunakan aturan yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wata’ala serta tidak melihat dampak/akibat dari perbuatannya.
Cara seperti itu tidak akan memperbaiki, bahkan terkadang perbuatan tersebut disusupi oleh orang-orang yang memang punya maksud jahat dan tidak menginginkan kebaikan untuk negeri ini sama sekali. Sekali lagi, kaum muslimin harus berhati-hati untuk tidak ikut dan terprovokasi mengikuti cara-cara yang tidak hikmah tersebut.
Hadirin rahimakumullah,
Adapun kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, semestinya orang yang dikaruniai kekuasaan memahami bahwa dirinya sedang memikul tugas dan amanat yang besar. Seorang penguasa haruslah meluruskan niatnya dalam mengemban tugasnya. Yaitu, agar semua kebijakan dan aturan yang dibuat adalah demi menegakkan agama Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi serta untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan kezaliman sekuat kemampuannya.
Wajib bagi penguasa untuk berbuat adil dalam menghukumi rakyatnya. Tidak membeda-bedakan rakyatnya dengan melebihkan atau membela yang berbuat salah, dan yang semisalnya.
Begitu pula wajib bagi penguasa untuk tidak menyakiti rakyatnya, baik yang berkaitan dengan darah, harta, maupun kehormatan mereka.
Tidak boleh pula memanfaatkan kekuasaan untuk meluluskan dan menuruti semua keinginan hawa nafsunya. Bahkan seorang penguasa harus mengingat bahwa kekuasaan yang sedang diembannya bisa saja seketika akan hilang darinya.
Apabila dia semena-mena terhadap rakyatnya, maka sangat mungkin dia pun akan dihinakan oleh masyarakat disaat dirinya tidak lagi berkuasa.
Lebih dari itu, seorang penguasa harus memahami bahwa akan datang saatnya hari di saat dirinya akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍ لِرَعِيَّتِهِ، إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba, yang Allah Subhanahu wata’ala berikan padanya kekuasaan untuk memimpin rakyat dan meninggal dunia dalam keadaan meninggalnya berbuat curang terhadap rakyatnya, melainkan Allah Subhanahu wata’ala haramkan baginya jannah/ surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sudah semestinya bagi masyarakat dan penguasa untuk menunaikan kewajibannya sehingga akan terwujud keadaan yang aman, damai, serta jauh dari kerusuhan dan pertikaian.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ، وَالْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الْخَلْقَ لِيَعْبُدُوْهُ، وَأَبَانَ آيَاتِهِ لِيَعْرِفُوْهُ، وَسَهَّلَ لَهُمْ طَرِيْقَ اْلوُصُوْلِ إِلَيْهِ لِيَصِلُوْهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا وَإِمَامَنَا وَقُدْوَتُنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ اللهُ بِاْلهُدَى وَدِيْنِ اْلحَقِّ لِيَكُوْنَ لِلْعَالَمِيْنَ نَذِيْرًا، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Telah kita ketahui sebagian kewajiban masyarakat kepada penguasanya dan sebaliknya. Apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang menganggap tidak wajibnya taat kepada penguasa dan boleh keluar dari kewajiban mendengar dan taat, bahkan menganggap bolehnya memberontak kepada penguasa muslim yang sah, adalah kekeliruan besar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَد أَطَاعِني، وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa menaatiku maka dia telah menaati Allah Subhanahu wata’ala, barang siapa yang bermaksiat kepadaku maka dia telah bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala, barangsiapa menaati penguasaku maka dia telah menaati aku, dan barang siapa yang bermaksiat terhadap penguasaku, maka dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Di antara hal yang juga perlu diketahui, termasuk amal saleh yang dianjurkan untuk dilakukan oleh rakyat terhadap penguasanya adalah mendoakan kebaikan untuk mereka. Yaitu memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala agar memberikan hidayah dan menunjuki mereka kepada jalan yang diridhai-Nya serta istiqamah di atasnya.
Dengan mendoakan kebaikan untuk pemerintah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala mengaruniakan kepada kaum muslimin sebaik-baik pemimpin sebagaimana disebutkan dalam hadits,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَ يُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَ شِرَا رُ أ ئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُو نَهُمْ وَ يُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونكُمْ
“Sebaik-baik penguasa kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan merekapun mencintai kalian, begitu pula yang mereka mendoakan (kebaikan) untuk kalian dan kalian mendoakan (kebaikan). Sejelek-jelek penguasa kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian serta kalian mencaci-maki mereka dan mereka pun mencaci-maki kalian.” (HR.Muslim)
Sebuah kesalahan yang nyata apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang justru menjadikan kesibukannya untuk menjelek-jelekkan penguasa dan mencaci maki mereka. Sebaliknya, keberuntungan yang besar bagi seorang muslim yang bersabar dengan kejelekan penguasanya dengan  menahan lisannya dari mencaci maki mereka. Bahkan dengan kelapangan dadanya, dia justru mendoakan kebaikan untuk penguasanya. Diharapkan dengan sikap itu, dia pun akan mendapatkan kebaikan yang setimpal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُوْلِأَخِيْهِ بِظَهْرِ اْلغَيْبِ إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ:آمين وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Tidaklah seorang hamba muslim yang mendoakan (kebaikan) untuk saudaranya dengan tanpa sepengetahuannya kecuali malaikat akan mengatakan, ‘Amin,’ dan untukmu seperti (yang engkau doakan untuk saudaramu).” (HR. Muslim)
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk memperbaiki diri-diri kita dan seluruh kaum muslimin.

Sumber artikel : asysyariah.com

0 komentar :

Posting Komentar