Jumat, 14 Februari 2014

Para pembaca yang mulia, menyoal kejujuran adalah suatu topik pembicaraan yang mahal. Tak ubahnya ibarat barang langka, namun banyak konsumen yang mengincarnya. Terasa susah sekali mencari orang yang jujur atau yang bisa dipercaya. Tak urung, orang kepercayaan pun bisa jadi musuh dalam selimut.
Seiring dengan kemajuan media informasi dan tehnologi yang semakin canggih, peran kejujuran merupakan modal yang paling urgen (mendasar). Keakuratan dalam memberikan informasi, berita, data, fakta, dan segala yang terkait dengan pernyataan, sikap dan tindakan, itu tergantung kepada faktor kejujuran.
Demi mengejar persaingan bisnis, persaingan posisi (jabatan), kesenjangan sosial, kesulitan ekonomi atau pun kepentingan lainnya tak jarang dapat membutakan prinsip kejujuran. Tak luput juga dalam dunia pendidikan, adanya persaingan pendidikan yang kurang sehat juga dapat mengugurkan akan kejujuran. kalau dalam dunia pendidikan saja sudah terlepas dari prinsip kejujuran, bagaimana lagi bila meningkat pada jenjang berikutnya?
Demikian pula dalam lembaga kecil rumah tangga sangat perlu ditanamkan dan diterapkan prinsip kejujuran yang mulia ini. Betapa menyesalnya orang tua, bila sang anak sudah tidak bisa dipegang kejujurannya lagi? Betapa retaknya hubungan suami istri bila keduanya tidak saling menaruh kepercayaan? Dalam lembaga yang kecil saja ketidakjujuran itu membawa dampak negatif yang luar biasa, bagaimana lagi dampak yang terjadi dalam lembaga yang lebih besar?
Sangat tragis bila image (praduga) “siapa yang jujur ajur”, “siapa yang polos gak lolos”, ini semakin semarak. Apakah wabah ini bisa terobati? Jawabannya, tentu karena Allah subhanahu wata’ala tidak akan menurunkan sebuah penyakit melainkan pasti ada obatnya. Kembali kepada Islam, mempelajari ajaran-ajarannya dan mengamalkannya adalah obat yang tepat.
Jujur adalah Tanda Orang Yang Beriman
Wahai saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya agama Islam yang dibawa oleh baginda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam adalah agama yang menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Beliau sendiri adalah seorang yang mendapat gelar al amin (orang yang dapat dipercaya) dimasa itu. Karena beliau shalallahu ‘alaihi wasallam melandasi setiap tindakannya diatas prinsip kejujuran.
Dalam beberapa ayat Al Qur’an, Allah subhanahu wata’ala telah menyeru orang-orang yang beriman agar bersikap jujur. Diantara firman-Nya: (artinya):
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (At Taubah: 119)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (diantara perkataan yang benar adalah jujur -pent).” (Al Ahzab: 70)
Kandungan kedua ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala memanggil kepada orang-orang yang beriman, agar mereka bertaqwa dan berjalan bersama orang-orang yang jujur. Mengisyaratkan bahwa konsekuensi orang yang mengikrarkan dirinya beriman kepada Allah subhanahu wata’ala, hendaknya dia bertaqwa. Dan salah satu bentuk taqwa dia kepada Allah subhanahu wata’ala adalah berjalan bersama orang-orang yang jujur. Berpijak diatas pijakan mereka, yaitu melandasi semua perkataan dan perbuatan diatas prinsip kejujuran. Karena kejujuran itu merupakan tanda kesempurnaan iman dan taqwa dia kepada Allah subhanahu wata’ala.
Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan hari kiamat, hendaklah dia berkata baik atau hendaknya dia diam (bila tidak bisa berkata baik).” (HR. Al Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 48)
Diantara perkataan yang baik adalah perkataan yang jujur. Bahkan kejujuran itu adalah sumber segala kebaikan.
Arti Sebuah Kejujuran
Para pembaca, setiap yang menabur biji kebaikan pasti ia akan menuai kebaikan dan demikian pula setiap yang menabur biji kejelekan pasti ia akan menuai kejelekan pula. Ini merupakan sunnatullah (ketetapan Allah subhanahu wata’ala) yang sejalan dengan fitrah yang suci.
Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Sesungguhnya kejujuran itu akan mengantarkan kepada jalan kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan mengantarkan kedalam al jannah (surga), sesungguhnya orang yang benar-benar jujur akan dicacat disisi Allah sebagai ash shidiq (orang yang jujur). Dan sesungguhnya orang yang dusta akan mengantarkan ke jalan kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan itu akan mengantarkan kedalam an naar (neraka), sesungguhnya orang yang benar-benar dusta akan dicatat disisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Al Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2606)
Dalam hadits diatas menunjukkan bahwa jujur merupakan amalan yang amat terpuji. Dari sebuah kejujuran akan tegak kebenaran, keadilan, dan sekian banyak kebaikan dibaliknya. Hati akan menjadi tenang dan tentram. Karena orang yang jujur itu tidak mengurangi atau menzhalimi hak orang lain. Sehingga semakin menambah kepercayaan dari orang lain.
Cobalah perhatikan, bila seseorang berkata atau bertindak jujur, maka orang lain akan merasa dirinya dihormati, diperlakukan adil, tidak dizhalimi atau tidak dikhianati. Sehingga menumbuhkan rasa saling percaya, menambah rajutan ukhuwah (persaudaran), dan mahabbah (kasih sayang). Namun sebaliknya, dari ketidakjujuran akan menyebabkan terjatuh dalam perbuatan zhalim, curang atau berdusta kepada orang lain. Yang berakibat memudarnya sikap saling percaya, bahkan akan timbul kedengkian, permusuhan, dan sikap jelek lainnya.
Sehingga jujur itu benar-benar akan mendatangkan kebaikan dan sebaliknya dibalik ketidakjujuran itu terdapat sekian malapetaka. Demikianlah janji Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya (artinya):
“… Tetapi jikalau mereka jujur terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (Muhammad: 21)
Sebenarnya segala perbuatan itu bisa dinilai sendiri, apakah perbuatan itu didasari dengan jujur ataukah tidak? Bila perbuatan itu didasari dengan kejujuran maka hati itu akan menjadi tentram dan tenang. Berbeda dengan perbuatan yang didasari dengan ketidakjujuran maka hati itu akan selalu gundah gulana dan bimbang. Maka sesuatu yang masih ragu atau bimbang hendaknya ditinggalkan. Sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رَيبَةٌ
“Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah sesuatu yang menenangkan sedangkan dusta itu adalah sesuatu yang membimbangkan.” (HR. At Tirmidzi no. 2518, An Nasa’i 8/327-328, dan Ahmad 1/200, dari shahabat Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib)
Para pembaca, sehingga image bahwa “jujur itu ajur” itu tidaklah benar. Bahkan sikap jujur itu pasti berakibat “mujur” (baik) dan “ma’jur” (mendapat pahala dari Allah subhanahu wata’ala). Diantara dampak yang baik dari perbutan jujur adalah:
1. Sebab mendapat barakah dari Allah subhanahu wata’ala.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli itu memiliki hak untuk meneruskan atau membatalkan akad jual belinya selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur menjelaskan keadaan barangnya maka akan diberkahi jual belinya dan jika keduanya dusta maka akan dihapus keberkahan dalam jual belinya.”
Ini adalah suatu gambaran dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tentang usaha dagang (bisnis) yang didasari dengan prinsip kejujuran. Jujur dalam memberikan sifat barang, jujur dalam timbangan, atau jujur dalam segala hal yang terkait dengan jual beli. Maka bisnis itu akan diberkahi oleh Allah subhanahu wata’ala. Sebaliknya bila berlaku culas (menipu) dalam bisnisnya maka akan menjauhkan dia dari barakah-Nya ?, bahkan Allah subhanahu wata’ala akan mendatangkan siksaan baginya. Seperti curang dalam timbangan maka Allah subhanahu wata’ala mengancam dengan ancaman yang keras, sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu curang dalam menakar dan menimbang).” (Al Muthaffifin: 1)
2. Jujur sebagai sebab akan diperbaiki dan diterima amalan-amalan lainnya oleh Allah subhanahu wata’ala.
3. Jujur sebagai sebab datangnya maghfirah (ampunan) Allah subhanahu wata’ala.
Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (jujur), niscaya Allah akan memperbaiki amalan-amalanmu dan akan mengampuni dosa-dosamu, …” (Al Ahzab: 70-71)
4. Mendapat pahala yang besar.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “(Sesungguhnya), … laki-laki dan perempuan yang benar (jujur), … maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab: 35)
Diantara pahala yang besar yang Allah subhanahu wata’ala janjikan, yaitu barangsiapa yang memohon derajat syahid disisi Allah subhanahu wata’ala dengan jujur, niscaya Allah subhanahu wata’ala akan memenuhi permohanannya, meskipun ia mati diatas ranjangnya. Sebagaiamana hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
“Barangsiapa memohon kepada Allah derajat syahid dengan jujur niscaya Allah akan menyampaikannya ke derajat para syuhada’, meskipun ia meninggal diatas ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1909)
Demikian pula, pedagang (bisnisman) yang jujur akan diberikan pahala tinggal bersama para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada’ (orang-orang yang mati di medan jihad). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Pedagang yang jujur lagi dapat dipercaya bersama para nabi, ash shiddiqi, dan asy syuhada’.” (At Tiermidzi: 1130)
Akhir kata, semoga kajian yang ringkas ini sebagai koreksi bagi kita semua. Tiada seorang pun yang bersih dari noda dosa dan kesalahan. Namun seyogyanya kita selalu berusaha untuk berjalan diatas prinsip kejujuran, bila ada kelalain dari kita, hendaknya segera kita bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Semoga Allah subhanahu wata’ala menggolongkan kita termasuk hamba-hambanya yang jujur. Amien, ya Rabbal ‘alamin.
MUTIARA HADITS
Do’a Berlindung Dari Empat Perkara Sebelum Salam
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bila salah seorang diantara kalian selesai dari tasyahud akhir hendaklah berlindung kepada Allah dari empat perkara:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Ya, Allah sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari adzab neraka jahannam, adzab kubur, fitnah kehidupan dan kematian, dari jeleknya fitnah Dajjal.” (HR. Al Bukhari no. 1377, Muslim no. 588, Abu Dawud no. 833, At Tirmidzi no. 3528, An Nasa’i no. 1293, Ibnu Majah no. 899, Ahmad no. 7110, dan Ad Darimi no. 1310)
Sumber: www.mahadassalafy.net

Sumber artikel : ahlussunnahkendari.com

0 komentar :

Posting Komentar