Latar Belakang Munculnya Bid’ah
Oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan ; Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya”. [Al-An'am : 153]. []
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu dalam suatu hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat satu garis untuk kita, lalu bersabda : “Ini adalah jalan Allah”, kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu bersabda : “Dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada syetan yang senantiasa mengajak (manusia) kepada jalan tersebut”.
Maka barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah ; pasti akan selalu terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid’ah.
Jadi latar belakang yang menyebabkan kepada munculnya bid’ah-bid’ah, secara ringkas adalah sebagai berikut : bodoh terhadap hukum-hukum Ad-Dien, mengikuti hawa nafsu, ashabiyah terhadap berbagai pendapat dan orang-orang tertentu, menyerupai dan taqlid terhadap orang-orang kafir. Perinciannya sebagai berikut:
[1]. Bodoh Terhadap Hukum-Hukum Ad-Dien
Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :“Artinya : Barangsiapa dari kamu sekalian yang masih hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan shahih].
Dan dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga :
“Artinya : Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan”.
Tidak akan ada yang bisa meluruskan bid’ah kecuali ilmu dan para ulama ; maka apabila ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi para penganut dan yang melestarikannya.
[2]. Mengikuti Hawa Nafsu
Barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah pasti dia mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah :“Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun”. [Al-Qashshash : 50].
Dan Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesuadh Allah (membiarkannya sesat)”. [Al-Jatsiyah : 23].
Dan bid’ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diikuti.
[3]. Ashabiyah Terhadap Pendapat Orang-Orang Tertentu.
Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq.Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka : ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’. Mereka menajwab : ‘(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti ap yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk”. [Al-Baqarah : 170].
Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka.
[4]. Menyerupai Orang-Orang Kafir
Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Waqid Al-Laitsy berkata.“Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru saja masuk Islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara) sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebut dzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu kami berkata :” Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allahu Akbar ! Sungguh ini adalah kebiasaan buruk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa ‘Alaihi Sallam :
“Artinya : Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. [Al-A'raf : 138]
Lalu Musa bersabda : “Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu”.
Di dalam hadits ini disebutkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntut sesuatu yang buruk, yakni agar mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan dimintai berkatnya selain Allah Ta’ala. Hal ini jugalah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid’ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar-gambar dan patung-patung sebagai pengingat, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka, bid’ah terhadap jenasah, membuat bangunan di atas kuburan dan lain sebagainya.
Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang Harus Dicintai dan Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Evolusi bid’ah dari masa ke masa
Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary
Para pembawa bendera bid’ah dan kesesatan seakan tak pernah sirna mewarnai kehidupan ini, mereka tak henti-hentinya berganti cerita di hadapan ummat yang minim akan pengetahuan agamanya, kaum awam inilah yang kemudian menjadi sasaran empuk gerombolan para penjahat agama itu bak ladang subur yang siap untuk dibombardir pemikiran-pemikiran dan faham yang bukan berasal dari Islam alias tidak jelas asal-usulnya.
Ancaman regenerasi para penjahat agama adalah ancaman yang serius bagi Islam dan muslimin terlebih di era kebodohan ini.
Tidak diragukan bila masa-masa nubuwwah adalah masa kejayaan dan kesempurnaan dimana kebid’ahan dan kesesatan tak lagi ada di hati manusia, bahkan para aktivisnya pun terisolasi tiada daya menahan dahsyatnya gelombang petunjuk yang dibawa oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (QS Al Anbiyaa`: 18).
Semua ini menunjukkan semakin dekatnya satu generasi dari umat ini kepada masa nubuwwah semakin dekat pula kepada kebenaran, sebaliknya semakin jauh dari masa nubuwwah semakin jauh pula generasinya dari kebenaran. Tepatlah bila Imam Malik mengatakan, “Tidak akan menjadi baik generasi umat yang terakhir ini kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik generasi pertamanya.” (Lihat At Tamhid – Ibnu Abdil Bar).
BID’AH DARI MASA KE MASA
BID’AH ALIRAN KELOMPOK KHOWARIJ
Bid’ah yang pertama kali lahir di tengah-tengah umat adalah bid’ah khawarij. Khawarij adalah bentuk dari kata “khorij” artinya orang yang keluar. Awal mula munculnya bid’ah ini adalah ketika Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam sedang membagi-bagikan harta, tiba-tiba datang seorang laki-laki dari Bani Tamim yang dikenal dengan sebutan Dzul Khuwaisiroh dan berkata, “Berbuat adillah wahai Muhammad!” Kejadian ini menjadi saksi sepanjang sejarah tentang bagaimana pertama keluar dan berpaling dari syariat Islam, dimana Dzul Khuwaisiroh tidak puas dengan keputusan Nabi, akhirnya dia keluar dari ketaatan terhadapnya.Fitnah yang timbul dari bid’ah ini semakin besar, terutama di masa akhir pemerintahan Utsman rodhiyallahu ‘anhu adanya orang-orang yang memberontak dan keluar dari ketaatan terhadapnya, bahkan sampai mengakibatkan beliau terbunuh. Lain lagi ketika Ali rodhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai khalifah setelah Utsman, mereka mengkafirkan Ali dengan bersenandung yel yel “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”. Kalimat yang hak, namun yang diinginkan darinya adalah batil, akhirnya pemerintahan Ali pun memberangus gerakan mereka.
Dari peristiwa-peristiwa ini, maka dikenallah sebutan kelompok Khawarij pengikut Dzul Khuwaisiroh. Pemikiran Khawarij ini terus berkembang selaras dengan berlalunya masa dan bergantinya generasi meski bermetamorfose dalam bentuk dan dalam nama yang lain. Pemikiran Khawarij sampai saat ini ada walau penggagasnya telah tiada.
Yang menjadi ciri khas mewarnai pemikiran Khawarij sepanjang sejarah yang kemudian diusung oleh para reformernya dewasa ini adalah:
1. Takfir – mudah mengkafir-kafirkan kaum muslimin, apalagi yang tidak seideologi dengannya – padahal ini adalah perkara yang berbahaya, pengkafiran adalah hak prerogatif Allah dan RosulNya, tidak bisa mengatakan si fulan kafir kecuali bila terpenuhi syarat-syaratnya dan hilangnya hal-hal yang mencegahnya untuk dikafirkan.
2. Memberontak atau keluar dari ketaatan (secara mutlak) terhadap penguasa muslim yang tidak berhukum dengan hukum Allah, kemudian mengkafirkannya (secara mutlak) dan mengkafirkan orang-orang yang berada di bawah kekuasaan penguasa tersebut.
Pemberontakan yang ditempuhnya melalui dua sektor. Sektor pemikiran yakni teror pemikiran, menyebarkan fikrah Khawarij dengan cara yang diplomatis. Sasaran utamanya adalah para pemuda, karena mereka sangat rentan untuk disulut semangatnya, menumbuhkan kebencian kepada pemerintah yang sah, semangat revolusi, pendirian daulah Islamiyyah, dan lain-lain. Yang keduanya lewat sektor fisik, yakni teror fisik, di antaranya dengan membuat kekacauan dengan gaya-gaya irhabi (terorisme), merusak instalasi-instalasi milik pemerintah, pengeboman di sejumlah tempat – tak peduli meski kaum muslimin yang menjadi korban, memanfaatkan instabilitas pemerintahan, dan seterusnya.
Salah seorang tokoh reformer faham Khawarij adalah Sayyid Qutb, banyak kalangan aktivis Islam saat ini yang terpengaruh dengan fahamnya, lewat doktrin-doktrin yang sangat tajam dari sejumlah karya dan tulisan-tulisannya yang mengarah kepada pengkafiran secara umum (tanpa memerinci) terhadap semua orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, ia mengatakan, “Sesungguhnya siapa yang mentaati manusia dalam undang-undang yang dibuatnya sendiri -biarpun pada sebagian kecilnya- maka dia telah musyrik! Dan kalaupun pada asalnya muslim, jika dia melakukannya (taat terhadap undang-undang itu) maka dia telah keluar dari Islam menuju kesyirikan pula, sekalipun setelah itu ia tetap mengatakan “Asyhadu allaa ilaaha illallaah” (Fi Zhilalil Qur`an: 3/1198).
Yang benar tentu tidak demikian, telah diketahui secara umum bahwa siapa yang mentaati seorang musyrik, yakin dan membenarkan segala ucapannya, maka dia musyrik. Adapun taat dalam hal perbuatan saja sedang keyakinannya / aqidahnya lurus, maka ini kemaksiatan bukan kesyirikan.
Tidak ragu bahwasanya hukum hanyalah milik Allah saja, inilah yang menjadi aqidah dan agama kita. Akan tetapi Allah jadikan waliyyul amri / penguasa bagi kaum muslimin yang akan mengayomi kemaslahatan-kemaslahatannya, mengharuskan taat kepada mereka dalam hal yang ma’ruf. Allah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah (RosulNya) dan ulil amri di antara kamu.” (QS An Nisaa`: 59).
Pada halaman lainnya ia (Sayyid Qutb) berkata, “Semoga engkau jelas dari apa yang telah kami sisipkan tadi, bahwa jihad yang utama di dalam Islam adalah menghancurkan sistem undang-undang yang bertentangan dengan sumbernya, kemudian menegakkan hukum yang dibangun di atas kaidah Islam pada tempatnya. Inilah tugas utama mengadakan revolusi Islam secara umum / serempak.” (Zhilaalul Qur`an: 3/1451).
Ucapannya ini jelas-jelas provokasi yang mengarah kepada pemberontakan dan penggulingan suatu pemerintahan, tentu bagi orang yang berakal tidak akan luput apa akibat dari ini semua?! Sejarah Islam menjadi bukti dan apa yang ada / terlihat di sekitar kita ikut pula menjadi bukti, bahwa akhir dari sebuah revolusi pemberontakan adalah fitnah, fitnah yang semakin besar.
Makanya para ulama dari dulu telah mewanti-wanti akan bahayanya pemberontakan ini, Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Tidak dihalalkan memerangi penguasa tidak pula memberontak padanya karena seruan seseorang, siapa yang melakukan hal itu, maka ia seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) tidak berjalan di atas sunnah dan petunjuk.” (Syarh Ushul I’tiqod Ahlussunnah wal Jama’ah 1/181). Al Imam Nawawi berkata, “Adapun memberontak dan memerangi mereka (penguasa), maka haram dengan kesepakatan kaum muslimin, meskipun mereka fasiq, zhalim. Telah banyak hadits-hadits yang semakna dengan apa yang kusebutkan, serta ahlus sunnah bersepakat tentang tidak bolehnya melepaskan ketaatan kepada penguasa karena kefasikan.” (Syarh Shohih Muslim: 12/229).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hampir setiap orang yang memberontak kepada pemimpin yang memiliki kekuasaan, melainkan hasil dari pemberontakannya itu adalah kerusakan yang lebih besar daripada kebaikannya, seperti pemberontakan yang terjadi pada pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah di Madinah (dimana bala tentaranya Yazid menyikat habis para pemberontaknya, membunuh kaum laki-lakinya dan merenggut kehormatan wanita-wanitanya… dan seterusnya), pemberontakan Ibnul Asy’ats pada pemerintahan Abdul Malik di Irak (dan sejumlah pemberontakan-pemberontakan lainnya, -pent.) (Lihat Minhajus Sunnah: 4/527-528).
Berkata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, “Sesungguhnya kejelekan tidak akan mendatangkan kebaikan dan wasilah yang jelek tidak akan pernah menjadi jalan perbaikan selama-lamanya…” (Dari At Tahdzir minat Tasarru’ fit Takfir: 48).
Para pembaca, demikian itulah selayang pandang ikhwal Khawarij kelompok pertama yang menyimpang dari Islam, bahaya gerakannya akan terus mengancam kaum muslimin, sangat sedikit pemerintahan yang muslim yang selamat dari pengkafirannya.
BID’AH ALIRAN KELOMPOK QODARIYYAH
Kemudian di masa-masa akhir generasi para shahabat, muncullah bid’ah yang baru setelah Khawarij, yakni bid’ah indeterminisme (Qodariyyah) yang dijuluki dengan Majusi umat ini. Abdullah ibnu Umar, Ubadah bin Shamit, Jabir bin Abdillah, Abdullah ibnu Abi Aufa dan sejumlah sahabat lainnya menjumpai mereka.Orang yang mula-mula berbicara dengan bid’ah Qodariyyah ini adalah Ma’bad Al Juhaniy. Diriwayatkan dari Muhammad bin Syu’aib dari Al Auza’i bahwa yang pertama kali membawa bid’ah Qodariyyah ini adalah seorang laki-laki dari penduduk Irak yang dipanggil dengan nama “Susan”, ia seorang Nasrani lalu masuk Islam kemudian kembali jadi Nasrani. Ma’bad Al Juhaniy mengambil bid’ah ini darinya.
Ia (Ma’bad Al Juhaniy) dan para dedengkotnya mengatakan perbuatan-perbuatan hamba tidak diketahui oleh Allah, tidak tertulis di Lauhul Mahfuzh dan Allah tidak mengetahui apa yang akan diperbuat hamba kecuali bila telah terjadi perbuatan itu. Adapun para pengikut-pengikutnya yang muncul belakangan ini, menjadi aktor gerakannya, mereka mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mentakdirkan perbuatan-perbuatan hamba dan tidak di bawah kehendakNya, tidak pula perbuatan hamba diciptakan oleh Allah. (Lihat Al Farqu bainal Firaq: 19, Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah: 448).
Adapun bedanya antara para penggagasnya, pendahulunya dengan para reformisnya dewasa ini adalah kalau pendahulunya mereka mengingkari ilmu Allah dan penulisan taqdir di Lauhul Mahfuzh, sedang para reformisnya mengakui ilmu Allah dan penulisan taqdir, namun mengingkari kehendak bagi Allah dan mengingkari kalau perbuatan hamba itu diciptakan Allah -alias makhluk bagi Allah- demikian itulah kelompok Qodariyyah dulu dan sekarang, dulu di kandang singa sekarang terperangkap di kandang serigala.
Abdullah ibnu Umar dan para sahabat lainnya yang menyaksikan dan mengetahui bid’ahnya Qodariyyah, mereka berlepas diri darinya dan memperingatkan ummat dari kesesatannya, mewasiatkan agar jangan menyolati jenazah seorang pun dari mereka, dan jangan menjenguk yang sakitnya dari kalangan mereka. (Al Farqu bainal Firaq: 18-20).
Sikap tegas para sahabat dalam membendung lajunya gerakan bid’ah Qodariyyah ini sangat nampak, mereka para pionir dalam membela Al Haq dan melumatkan kebatilan untuk kemudian menjadi contoh bagi generasi kita dalam hal ini, mereka tak mengenal basa-basi dalam menegakkan Al Haq, sepatutnya menjadi teladan generasi kita yang kebanyakan terbawa perasaan dan suka yang basi-basi.
Nampaknya nilai sikap tegas dari setiap kebatilan itu menjadi ideologi yang baku.
Inilah beliau Ibnu Umar, tatkala beliau mendengar adanya sekelompok orang yang berpemahaman Qodariyyah, dengan lugasnya ia berkata, “Sampaikan kepada mereka, bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Allah, jika salah seorang dari mereka berinfaq dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak bermanfaat bagi mereka hingga beriman dengan taqdir.” (HR Muslim Abu Daud dan lainnya).
BID’AH ALIRAN KELOMPOK MURJI’AH
Generasi mayoritas para sahabat telah berlalu, namun kebid’ahan masih menyisakan babak yang baru. Bid’ah yang muncul di kurun kedua ini adalah bid’ah Al Irja` yang kemudian para pelakunya lebih dikenal dengan kelompok Murji`ah. Mayoritas kalangan para tabi’in dan sebagian kecil dari kalangan para sahabat yang masih ada menjumpai mereka.Al Murji`ah adalah isim fa’il (dalam bahasa Arab) dari kata “arja`a” yang bermakna “akhara” (mengakhirkan). Orang-orang yang dicap berpemahaman Murji`ah titik tolak pemikirannya adalah melebihkan perhatiannya terhadap dalil-dalil yang berisikan harapan (roja`) hingga pada akhirnya seolah-olah menganggap tidak ada dalil-dalil yang memuat ancaman (wa’iid).
Selain daripada itu, mereka yang dicap sebagai Murji`ah adalah karena prinsipnya yang aneh dan nyeleneh, dimana mereka mengakhirkan amalan dari definisi iman, artinya bahwa amalan tidak ada sangkut pautnya dengan keimanan, iman adalah pengakuan dalam hati saja. Walhasil, para pelaku dosa besar seperti pezina, pencuri, pemabuk, perampok, menurut mereka, tidak berhak untuk masuk neraka baik untuk selama-lamanya ataupun sementara waktu, semua kemaksiatannya besar atau kecil tidak akan membahayakan iman, selama tidak sampai kepada kekufuran, yang taat dan maksiat keimanan mereka sama, wal ‘iyadzubillah. (Lihat Al Farqu bainal Firaq halaman 202, Syarh Aqidah Al Wasithiyyah 365).
Tentu saja pemahaman dan cara berpikir mereka keliru, menyelisihi nash-nash Kitab dan Sunnah yang sarat dengan penyebutan bahwa iman meliputi ucapan, keyakinan, dan amalan atau disimpelkan oleh istilah para ulama iman adalah ucapan dan amalan bertambah dan berkurang, lagi pula faham mereka tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dikenal oleh seluruh para sahabat.
Berkata Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah: “Adalah ijma’ (kesepakatan) dari kalangan para sahabat dan tabi’in setelahnya serta orang-orang yang telah kami jumpai, semua mengatakan “Iman adalah ucapan, amalan, dan niat” (Majmu’ul Fatawa: 7/209 dari Taisirul Wushul: 76-77).
Berkata Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid 9/237, “Ahlul fiqh dan hadits bersepakat bahwa iman adalah ucapan dan amalan, dan tidak ada amalan kecuali dengan niat, serta iman bertambah dan berkurang.” (Dari Taisirul Wushul: 77).
Al Imam Al Barbahary berkata, “Siapa yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, maka ia telah terbebas dari faham Irja` (Murji`ah) secara total, awalnya dan akhirnya.” (Syarhus Sunnah no. 159 halaman 128-129).
Kelompok Murji`ah tak jauh beda dengan ahlul bid’ah lainnya, yang pasti ciri khasnya berpecah belah. Allah berfirman,
Åöäøó ÇáøóÐöíäó ÝóÑøóÞõæÇ Ïöíäóåõãú æóßóÇäõæÇ ÔöíóÚðÇ áóÓúÊó ãöäúåõãú Ýöí ÔóíúÁò
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (QS Al An’aam: 159).
Setidaknya ada dua aliran besar yang mengibarkan faham Murji`ah, satu di antaranya disebut dengan Murji`ah Qodariyyah yang dikampanyekan oleh tokoh-tokoh kondangnya seperti Abu Syamr, Muhammad ibnu Syabib, Ghailan, dan Shalih Qubbah. Kelompok ini adalah kelompok yang paling kufur di antara aliran yang berhaluan Murji`ah karena menyatukan antara dua kesesatan yakni Qodar dan Irja`.
Aliran lainnya terpecah menjadi lima, lain ladang lain belalang, lain pimpinan lain pula pemahaman, di antara lima aliran itu adalah:
1. Kelompok Yunusiyyah, pimpinan Yunus bin ‘Aun yang menyatakan bahwa iman ada di dalam hati dan lisan, yakni ma’rifat kepada Allah. Kelompok ini berpendapat bahwa sifat atau ciri-ciri keimanan, tidaklah dikatakan iman tidak pula dikatakan sebagian daripada iman.
2. Kelompok Ghosaniyyah, pimpinan Ghosan Al Murji` yang berpendapat bahwa iman adalah ikrar atau kecintaan kepada Allah, mengagungkanNya serta meninggalkan bersikap sombong terhadapNya. Menurutnya pula iman akan bertambah dan tidak akan berkurang.
3. At Tumaniyyah, pengikut Abu Mu’adz At Tumani yang menyatakan bahwa iman itu yang memelihara dari kekufuran, iman adalah sebuah nama bagi sifat-sifat atau ciri keimanan dimana siapa yang meninggalkan salah satu ciri darinya, maka telah kafir.
4. Ats Tsaubaniyyah, kelompok ini dipimpin oleh Abu Tsauban Al Murji`, pemahamannya adalah bahwa iman itu ikrar, ma’rifat kepada Allah dan RosulNya dan kepada setiap apa yang dituntut oleh akal untuk mengerjakannya, bila akal tidak menuntut untuk mengerjakan maka ma’rifat dengannya bukan bagian dari iman.
5. Kelompok Al Mirisiyyah, kelompok yang berhaluan Murji`ah dari negeri Baghdad pengikut Bisyr bin Ghiyats Al Mirisi, yang mengatakan bahwa Al Qur`an adalah makhluk. Dia juga mengatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan lisan. (Lihat Al Farqu bainal Firaq 202-207).
Para pembaca, wali-wali Allah yang tampil sebagai pembela agamaNya tidak akan pernah surut dan lenyap, meski gempuran para wali syaithan datang bertubi-tubi dengan beragam senjata kesesatan dan kebid’ahan. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al Hijr: 9). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan tetap ada sekelompok dari umatku mereka nampak di atas kebenaran.” (HR Muslim dari Tsauban).
Para tabi’in dan sebagian sahabat yang masih ada, mereka membantah habis syubhat-syubhat yang dibawa kaum Murji`ah. Ancaman regenerasi bid’ah ini sangat serius, terlebih di saat para pengusungnya berganti busana sehingga tak mudah untuk dikenali, tetapi perubahan busana ataupun nama tidak akan merubah hakikatnya.
BID’AH ALIRAN KELOMPOK MU’TAZILAH
Bid’ah-bid’ah yang telah lewat penyebutannya ternyata berbuntut, hingga setelah bid’ah Murji`ah, lahirlah bid’ah I’tizal. Bermula dari sebuah majlis ilmu yang dipimpin oleh Imam Al Hasan bin Yasar Al Bashri, didapati adanya dua orang yang membawa pemahaman menyimpang. Kedua orang itu adalah Washil bin ‘Atha` Al Bashri yang memproklamirkan faham baru, bahwa adanya satu kedudukan di antara dua kedudukan (al manzilah baina manzilatain), menurutnya orang yang fasiq menempati kedudukan tersendiri, bukan mu`min bukan pula seorang yang kafir.Adapun keduanya adalah Amr bin Ubaid Al Bashri, ia berhaluan faham Qodariyyah, masing-masing menyimpang dari nash dan menuju akal.
Mereka berdua kemudian diusir dari majlisnya Hasan Al Bashri, akhirnya merekapun memisahkan diri bersama kebid’ahannya dari jalan Al Haq. Washil bin Atha` lalu menjadi pimpinan utama bid’ah I’tizal ini, dari peristiwa-peristiwa inilah maka lahir sebutan Mu’tazilah bagi gerakan Washil bin Atha` dan para pengikutnya. (Al Farqu bainal Firaq 20-21, lihat juga halaman 118-120).
Bid’ah ini terus merangsek dan berkembang di kalangan para adzkiyaa`, cendekiawan, dan ilmuwan, sampai akhirnya muncul sekumpulan kaum yang pinter namun keblinger, mereka mengelukan bahwa akal mempunyai peran yang independen di samping wahyu bahkan akal dinomorwahidkan di atas segalanya. Bila dibahasakan keadaan mereka di saat sekarang, mereka itu adalah kaum rasionalis sebuah pergeseran nama dari yang dulunya, yakni Mu’tazilah.
Kaum itu menyatakan pelaku dosa besar, ia bukan seorang mu`min -persis seperti ucapan Khawarij- namun bukan pula kafir, -mirip dengan ucapan Murji`ah- akan tetapi ia berada di manzilah baina manzilatain (di satu kedudukan di antara dua kedudukan), ibarat seorang yang mengadakan satu perjalanan dari kotanya menuju kota lainnya, maka ia berada di tengah jalan yang bukan di kotanya bukan juga di kota yang ia tuju tetapi ia berada di manzilah baina manzilatain.
Pada tahun 1869, pemikiran Mu’tazilah semakin mendapatkan tempat di benak para pemuda yang hanya bermodalkan semangat, kala itu bendera Mu’tazilah kembali diangkat oleh seorang reformernya Jamaluddin Al Ironiy Al Afghoni. Kedatangannya ke Mesir benar-benar merusak aqidah para pemudanya, terlebih mahasiswa-mahasiswa Al Azhar di Kairo.
Muhammad Abduh bin Hasan At Turkumaniy, ia lahir di Mesir pada tahun 1849 yang juga salah seorang siswa Al-Azhar. Kegemarannya membaca buku-buku filsafat dan mendalami jalan pikiran kaum rasionalis (Mu’tazilah) membuatnya sangat klop dan cocok dengan Al Afghoni. Dia begitu tertarik dengan pemikiran-pemikirannya. Kemudian setelah menamatkan kuliahnya di Al Azhar tahun 1877 dengan hasil yang “agak” lumayan, dia dan Jamaluddin Al Afghoni yang telah menjadi gurunya serta tokoh-tokoh lainnya seperti Muhammad Rasyid Ridho, Muhammad Musthofa Al Maroghi, Muhammad Farid Al Wajdi, Mahmud Syaltut, dan Abdul Aziz Jawisy serta Ahmad Musthofa Al Maroghi, menjadi corong utama gerakan kaum rasionalis yang kemudian tulisan-tulisannya banyak diadopsi kaum muslimin dewasa ini. Wallahul Musta’an. (Lihat Rududu Ahlil Ilmi: 9-10).
Yang melekat sepanjang sejarah mewarnai gerakan sesat Mu’tazilah ini hingga kemudian nampak di masa sekarang adalah pengagungannya terhadap akal mengalahkan kedudukan naql, tak heran bila kemudian para ahli filsafat, ahli kalam, dan ahli mantiq banyak bercokol dalam gerakan ini, di antara pernyataan-pernyataannya:
1. Akal adalah dalil yang paling pokok dan pondasinya.
2. Akal mesti didahulukan di atas syariat (naql).
3. Dalil-dalil akal bersifat yakiniyyah, pasti, melalui proses pengkajian yang dalam sehingga melahirkan pesan-pesan yang argumentatif, sedangkan nash-nash syar’i hanyalah bersifat sangkaan dan doktrinisasi belaka.
4. Pahala dan siksa tergantung pada hukum akal.
5. Penilaian terhadap suatu perbuatan, baik atau buruk kembali pada akal.
(Lihat Al Madkhal lid Dirosatil Aqidah Al Islamiyyah: 43).
Itulah sebagian langkah-langkah mereka dalam mengagungkan akal, ditambah lagi dengan adanya pemilahan terhadap hadits-hadits Nabi yang shohih, antara yang ahad dan mutawatir guna menolak sebagian hadits Nabi terutama yang berkaitan dengan aqidah, hanya yang dianggap mutawatir yang diterima.
Namun, pada kenyataannya tak jarang terjadi kekeliruan, dimana yang mutawatir dianggap ahad atau sebaliknya yang ahad dikatakan mutawatir, akhirnya kebingungan sendiri, sebab pada dasarnya acuan utama mereka adalah akal, sehingga yang bertolak belakang dengan ketentuan akal meski mutawatir, ujung-ujungnya dinyatakan ahad.
Sebagai contoh konkritnya, dalam tafsir Al Manar 3/316, penulisnya mengatakan, “Tentang hadits diangkat dan turunnya Isa di akhir zaman, adalah hadits ahad yang berkaitan dengan perkara i’tiqod karena bagian dari perkara-perkara gaib, sementara perkara i’tiqod tidak boleh diambil kecuali dengan dalil yang qoth’i (pasti) sebab yang dituntut di dalamnya adalah keyakinan, namun tidak ada dalam bab ini hadits yang mutawatir.” Tentu saja ini kekeliruan yang fatal dimana hadits-hadits tentang turunnya Isa bagi para ahlul ilmi, ahlul hadits adalah mutawatir. (Lihat Rududu Ahlil Ilmi: 22-25).
BID’AH ALIRAN KELOMPOK JAHMIYYAH
Para pembaca, tak lama kemudian angin berhembus begitu kencang dari arah Turmudz, tepatnya di negeri Khurosan, membawa bid’ah baru di sela-sela guncangan bid’ah Mu’tazilah. Jahmiyyah, itulah bid’ah berikutnya yang mengoyak keutuhan ajaran Islam yang telah dijalani dan diperagakan manusia-manusia terbaik dari umat ini, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.Berkat kiprah dan ulah sang jagoan debat dan ahli kalam Al Jahm bin Shafwan bid’ah ini tersebar, bahkan ia tercatat sebagai tokoh utamanya. Faham yang mencolok dari gerakan bid’ah ini di antaranya, bahwa Allah tidak berbicara kepada Musa, Al Qur`an adalah makhluk, Allah tidak dapat berbicara tidak pula dapat dilihat, dan Allah AWJ tidak beristiwa di atas arsyNya.
Faham ini terus diumbar ke berbagai tempat oleh Jahm bin Shafwan, ia mengadopsi ideologi sampah ini pertama kalinya dari gurunya Al Ja’ad bin Dirham. Dikatakan oleh para ahlil ilmi bahwa Ja’ad bin Dirham mengambilnya dari Abaan bin Sam’an, kemudian Abaan mengambilnya dari Tholuut anak Sauda perempuan Labid bin Al A’shom dan Tholuut mengambilnya dari Labid bin Al A’shom sang penyihir, yang telah menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Mauqif Ahlis Sunnah min Ahlil Ahwa wal Bida’: 153-154, Al Farqu bainal Firoq: 211, tahqiq Muhammad Muhyidin Abdul Hamid).
Agaknya gambaran radikalisme begitu melekat pada gerakan bid’ah ini, pimpinannya Jahm bin Shafwan pun dicap sebagai gembong pelaku kejahatan dan kerusakan, ia menyatukan tiga kebid’ahan di antara bid’ah-bid’ah lainnya.
Pertama: Ta’thil, meniadakan sifat-sifat bagi Allah, dan baginya Allah tidak boleh disifati dengan sifat apapun, karena menurutnya akan terjadi kesamaan dengan makhlukNya.
Kedua: Al Jabr, menurutnya manusia tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apapun, tidak disifati dengan sifat kemampuan, akan tetapi manusia dipaksa dalam perbuatan-perbuatannya, tidak diberikan kemampuan, keinginan, dan ikhtiyar / pilihan.
Ketiga: Al Irja`, menurutnya iman adalah ma’rifat, tidak akan berkurang dan tidak bertingkat-tingkat. (Al Milal wan Nihal: 1/86-88, Al Farqu bainal Firaq: 211).
Para salaf mengkategorikan pernyataan Jahm ini sebagai pernyataan-pernyataan kufur, sampai-sampai Salim bin Abi Mu’thi berkata, “Al Jahmiyyah kuffar, tidak boleh sholat di belakang mereka.” Sufyan Ats Tsauri berkata, “Siapa yang mengira bahwa firman Allah AWJ kepada Musa, yang artinya: “(Allah berfirman) Hai Musa, sesungguhnya Akulah Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS An Naml: 9) adalah makhluk, maka dia kafir, zindiq, halal darahnya.” Demikian juga dengan Al Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berkata, “Siapa yang mengatakan Al Qur`an adalah makhluk, maka bagi kami dia kafir, karena Al Qur`an adalah ilmunya Allah AWJ dan di dalamnya terdapat nama-nama Allah AWJ.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah beliau menghikayatkan pengkafiran mayoritas ahlul ilmi terhadap mereka, katanya, “Yang masyhur dari madzhab Ahmad dan mayoritas para aimmah sunnah pengkafiran terhadap Jahmiyyah, mereka orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Rahman, sesungguhnya ucapan mereka jelas-jelas bertentangan dengan apa yang telah dibawa oleh para rosul dari Al Kitab.” Ibnul Qoyyim juga menukil pengkafiran terhadap mereka dari lima ratus ulama salaf, dalam Nuniyah-nya: 1/115. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah: 155-156).
Para pembaca, Al Jahm bin Shafwan, di samping kesesatan-kesesatannya yang telah kita sebutkan, ia juga seorang tokoh pemberontak. Ketika Hisyam bin Abdul Malik mengangkat Nasher bin Sayaar sebagai pemimpin di Khurosan, maka dia (Al Jahm) bersama Suraij bin Harits (atau Harits bin Suraij) memberontak pemerintahannya, kemudian Nasher bin Sayaar memerintahkan Salim bin Ahwaz sebagai panglima perangnya berikut beberapa pasukan untuk menghadangnya. Akhirnya Salim bin Ahwaz berhasil membunuhnya di akhir masa Bani Marwan. (Al Farqu bainal Firaq: 36 dan 212).
ADAKAH JAHMIYYAH DI MASA SEKARANG?
Al Allamah Jamaluddin Al Qosimi, mengatakan, “Terkadang telah dikira bahwa Jahmiyyah telah lenyap ditelan masa, padahal Mu’tazilah adalah cabang dari (bid’ahnya) Jahmiyyah, dan Mu’tazilah sangatlah banyak (sekarang ini), lagi pula orang-orang yang menisbatkan kepada faham asy’ariyah pun dalam banyak permasalahan merujuk kepada madzhab Jahmiyyah.” (Tarikh Jahmiyyah wal Mu’tazilah: 6, dari Mauqif Ahlissunnah: 156).
Memang benar apa yang dikatakan beliau Al Allamah Jamaluddin Al Qosimi kalau Mu’tazilah cabang dari Jahmiyyah, karena Jahmiyyah di dalam meniadakan sifat-sifat Allah bertolak dari akal. (Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah: 21). Ini semua menunjukkan bahwa model-model pemikiran Jahmiyyah masih tetap ada hingga hari ini di zaman kita ini.
Demikian itulah bid’ah demi bid’ah muncul bertahap dari yang parah hingga yang terparah bermuara pada pembicaraan tentang dzat Allah. Wal ‘iyadzubillah. Maka, sudah sepatutnya bagi kita untuk selalu memohon ketetapan dan kekokohan di atas al haq kepada Allah ta’ala dan agar tidak memalingkan hati-hati kita setelah mendapat petunjuk, karena ini adalah perkara yang berbahaya, sementara syaithon masuk kepada Bani Adam dari segala arah, membuat keragu-raguan dalam aqidahnya, dienNya dan terhadap kitabNya (Al Qur`an) serta sunnah rosulNya. Inilah pada hakekatnya kebid’ahan yang merebak di tengah-tengah umat Islam.
Para pelaku bid’ah itu tidak melakukan suatu kebid’ahan kecuali karena sedikit ilmunya, atau dangkal pemahamannya atau juga karena didorong dengan tujuan-tujuan yang jelek, dengan bid’ahnya itu mereka merusak dunia.
Akan tetapi -segala puji bagi Allah- tak ada seorang pun yang membuat suatu kebid’ahan, melainkan telah Allah siapkan dengan hikmahNya dan karuniaNya orang-orang yang menerangkan kebid’ahan itu, membongkar kedok para pelakunya, dan menghancurkannya dengan al haq. Allah berfirman, “Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya).” (QS Al Anbiyaa: 18).
Ini merupakan kesempurnaan firman Allah, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al Hijr: 9). Innahu Waliyyu dzalika wal Qodir ‘alaih. Wal ‘ilmu ‘indallah.
Ditulis oleh Abu Hamzah Al Atsary.
(Sumber : Bulletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi 33 & 34 Tahun ke 2. URL http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=33&th=2 dan http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=34&th=2.)
Sumber artikel: kaahil.wordpress.com
0 komentar :
Posting Komentar