بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعدProlog
Manhaj salaf adalah satu-satunya manhaj yang diakui kebenarannya oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena manhaj ini mengajarkan pemahaman dan pengamalan islam secara lengkap dan menyeluruh, dengan tetap menitikberatkan kepada masalah tauhid dan pokok-pokok keimanan sesuai dengan perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman:
{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Qs. At Taubah: 100)Dalam ayat lain, Allah ta’ala memuji keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam firman-Nya:
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا
“Dan jika mereka beriman seperti keimanan kalian, maka sungguh mereka telah mendapatkan petunjuk (ke jalan yang benar).” (Qs. Al Baqarah: 137)Dalam hadits yang shahih tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semua golongan tersebut akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yaitu Al Jama’ah“. Dalam riwayat lain: “Mereka (yang selamat) adalah orang-orang yang mengikuti petunjukku dan petunjuk para sahabatku.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimy dan imam-imam lainnya, dishahihkan oleh Ibnu Taimiyyah, Asy Syathiby dan Syaikh Al Albany. Lihat “Silsilatul Ahaaditsish Shahihah” no. 204)
Maka mengikuti manhaj salaf adalah satu-satunya cara untuk bisa meraih keselamatan di dunia dan akhirat, sebagaimana hanya dengan mengikuti manhaj inilah kita akan bisa meraih semua keutamaan dan kebaikan yang Allah ta’ala janjikan dalam agama-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para sahabat radhiyallahu ‘anhum), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Berkata Imam Ibnul Qayyim dalam menjelaskan hadits di atas: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan (dalam hadits ini) bahwa generasi yang terbaik secara mutlak adalah generasi di masa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (para sahabat radhiyallahu ‘anhum), dan ini mengandung pengertian keterdepanan mereka dalam seluruh aspek kebaikan (dalam agama ini), karena kalau kebaikan mereka (hanya) dalam beberapa aspek (tidak sempurna dan menyeluruh) maka mereka tidak akan dinamakan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai) generasi yang terbaik secara mutlak”. Maksud terbaik secara mutlak yaitu kebaikan yang ada pada mereka adalah kebaikan yang sempurna dan menyeluruh pada semua aspek kebaikan dalam agama. (Lihat Kitab I’laamul muwaqqi’iin, 4/136- cet. Daarul Jiil, Beirut, 1973)
Untuk lebih jelasnya pembahasan masalah ini, berikut ini kami akan menyebutkan dan menjelaskan beberapa contoh/poin penting yang menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan yang bisa kita capai dengan berusaha memahami dan mengamalkan manhaj salaf dengan baik dan benar, serta mustahilnya mencapai semua itu dengan mengikuti selain manhaj yang benar ini:
1- Keteguhan iman dan keistiqamahan dalam agama di dunia dan akhirat
Allah ta’ala berfirman:
{يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan
yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah
menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia
kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: {Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat}.”. (HR. Al Bukhari dalam Shahih Al Bukhari, no. 4422- cet. Daar Ibni Katsir, Beirut, 1407 H. Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, no. 2871- cet. Daar Ihya-it turats al ‘araby, Beirut)
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa keteguhan iman dan keistiqamahan dalam agama hanyalah Allah ta’ala anugerahkan kepada orang beriman yang memiliki ‘ucapan yang teguh’, yaitu dua kalimat syahadat yang dipahami dan diamalkan dengan baik dan benar.
Maka berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bagi kita salah satu keutamaan dan manfaat besar mengikuti manhaj salaf, karena tidak diragukan lagi hanya manhaj salaf-lah satu-satunya manhaj yang benar-benar memberikan perhatian besar kepada pemahaman dan pengamalan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar, dengan selalu mengutamakan pembahasan tentang kalimat Tauhid (Laa Ilaaha Illallah), keutamaannya, kandungannya, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang membatalkan dan mengurangi kesempurnaannya, disertai peringatan keras untuk menjauhi perbuatan syirik dan semua perbuatan yang bertentangan dengan tauhid.
Demikian pula perhatian besar manhaj salaf terhadap kalimat syahadat (Muhammadur Rasulullah), dengan selalu mengutamakan pembahasan tentang keindahan dan kesempurnaan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, disertai peringatan keras untuk menjauhi perbuatan bid’ah dan semua perbuatan yang bertentangan dengan Sunnah.
Berkata Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu: “Al Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat dari ancaman azab Allah ta’ala / orang-orang yang mengikuti manhaj salaf) adalah orang-orang yang (sangat) mengutamakan Tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah, seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon keselamatan dalam keadaan susah maupun senang, berkurban, bernazar, dan ibadah-ibadah lainnya, serta keharusan menjauhi syirik dan fenomena-fenomenanya yang terlihat nyata di kebanyakan negara Islam… Dan mereka adalah orang-orang yang selalu menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ibadah, tingkah laku dan (semua sisi) kehidupan mereka, sehingga jadilah mereka sebagai orang-orang yang asing di tengah masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menggambarkan keadaan mereka: “Sesungguhnya islam awalnya datang dalam keadaan asing, dan nantinya pun (di akhir jaman) akan kembali asing, maka beruntunglah (akan mendapatkan surga) orang-orang yang asing (karena berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain: “… Mereka adalah orang-orang yang berbuat kebaikan ketika manusia dalam keadaan rusak”. Berkata Syaikh Al Albani: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu ‘Amr Ad Daani dengan sanad yang shahih.” (Minhaajul Firqatin Naajiyah, hal. 7-8 – cet. Daarush Shami’i, Riyadh)
2- Meraih Kenikmatan tertinggi di Surga, yaitu Melihat Wajah Allah ta’ala yang Maha Mulia dan Maha Tinggi
Dalam hadits shahih dari seorang sahabat yang mulia Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah ta’ala Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allah ta’ala”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat berikut:
للذين أحسنوا الحسنى وزيادة
“Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)” (QS Yunus: 26). (HR. Muslim dalam Shahih Muslim, no. 181)Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab beliau “Ighaatsatul lahafaan” (Hal. 70-71, Mawaaridul amaan, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad Dammaam, 1415 H) menjelaskan bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah ta’ala) adalah balasan yang Allah ta’ala berikan kepada orang yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya. Untuk lebih jelas pembahasan masalah ini, silakan baca tulisan kami yang berjudul “Indahnya Islam Manisnya Iman”. Dalam sebuah ucapannya yang tersohor Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti.” (Al Waabilush Shayyib, 1/69)
Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih: “Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)…” (HR. An Nasa-i dalam “As Sunan” (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam “Al Musnad” (4/264), Ibnu Hibban dalam “Shahihnya” (no. 1971) dan Al Hakim dalam “Al Mustadrak” (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan Sykh Al Albani dalam “Zhilaalul Jannah Fii Takhriijis Sunnah” (no. 424))
Dari keterangan di atas juga terlihat jelas besarnya keutamaan dan manfaat mengikuti manhaj salaf. Karena kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan Allah ta’ala merupakan buah yang paling utama dari ma’rifatullah (pengenalan/pengetahuan yang benar dan sempurna tentang Allah ta’ala dan sifat-sifat-Nya), yang mana ma’rifatullah yang benar dan sempurna tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan mempelajari dan memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala dalam Al Qur-an dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan metode pemahaman yang benar, yang ini semua hanya didapatkan dalam manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah/manhaj Salaf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ini adalah ideologi golongan yang selamat dan selalu mendapatkan pertolongan dari Allah ta’ala sampai hari kiamat, (yang mereka adalah) Ahlus Sunnah wal jama’ah (orang-orang yang mengikuti manhaj salaf), yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, (hari) kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.
Termasuk iman kepada Allah (yang diyakini Ahlus Sunnah wal jama’ah) adalah mengimani sifat-sifat Allah ta’ala yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur-an dan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits-hadits yang shahih), tanpa tahriif (menyelewengkan maknanya), tanpa ta’thiil (menolaknya), tanpa takyiif (membagaimanakan/menanyakan bentuknya), dan tanpa tamtsiil (menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk). Ahlus Sunnah wal jama’ah mengimani bahwa Allah ta’ala:
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Asy Syuura:11)Maka Ahlus Sunnah wal jama’ah tidak menolak sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya, tidak menyelewengkan makna firman Allah dari arti yang sebenarnya, tidak menyimpang (dari kebenaran) dalam (menetapkan) nama-nama Allah (yang maha indah) dan dalam (memahami) ayat-ayat-Nya. Mereka tidak membagaimanakan /menanyakan bentuk sifat Allah dan tidak menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk. Karena Allah ta’ala tiada yang serupa, setara dan sebanding dengan-Nya, Dia ta’ala tidak boleh dianalogikan dengan makhluk-Nya, dan Dia-lah yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang makhluk-Nya, serta Dia-lah yang paling benar dan baik perkataan-Nya dibanding (semua) makhluk-Nya. Kemudian (setelah itu) para Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang yang benar (ucapannya) dan dibenarkan, berbeda dengan orang-orang yang berkata tentang Allah ta’ala tanpa pengetahuan. Oleh karena itulah Allah ta’ala Berfirman:
{سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين}
“Maha Suci Rabbmu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka
katakan, Dan keselamatan dilimpahkan kepada para Rasul, Dan segala
puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” (Qs. Ash Shaaffaat: 180-182)Maka (dalam ayat ini) Allah menyucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan orang-orang yang menyelisihi (petunjuk) para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah menyampaikan salam (keselamatan) kepada para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam karena selamat (suci)nya ucapan yang mereka sampaikan dari kekurangan dan celaan. Allah ta’ala telah menghimpun antara an nafyu (meniadakan sifat-sifat buruk) dan al itsbat (menetapkan sifat-sifat yang maha baik dan sempurna) dalam semua nama dan sifat yang Dia tetapkan bagi diri-Nya, maka Ahlus Sunnah wal jama’ah sama sekali tidak menyimpang dari petunjuk yang dibawa oleh para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itulah jalan yang lurus; jalannya orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah ta’ala, yaitu para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh.” (Kitab “Al ‘Aqiidatul Waasithiyyah” (hal. 6-8))
3- Menggapai taufik dari Allah ta’ala yang merupakan kunci pokok segala kebaikan
Berkata Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: “Kunci pokok segala kebaikan adalah dengan kita mengetahui (meyakini) bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi. Karena pada saat itulah kita yakin bahwa semua kebaikan (amal shaleh yang kita lakukan) adalah termasuk nikmat Allah (karena Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk bisa melakukannya), sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut dan bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah agar Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana (kita yakin) bahwa semua keburukan (amal jelek yang kita lakukan) adalah karena hukuman dan berpalingnya Allah dari kita, sehingga kita akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan diri kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia tidak menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan kepada diri kita sendiri.
Telah bersepakat al ‘Aarifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya) bahwa asal semua kebaikan adalah taufik dari Allah ta’ala kepada hamba-Nya, sebagaimana asal semua keburukan adalah khidzlaan (berpalingnya) Allah ta’ala dari hamba-Nya. Mereka juga bersepakat bahwa (arti) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al khidzlaan (berpalingnya Allah ta’ala dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah ta’ala)…”
Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari hal ini dalam doa beliau yang terkenal dan termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang: “… (Ya Allah!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata.” (HR. An Nasa-i dalam “As Sunan” (6/147) dan Al Hakim dalam “Al Mustadrak” (no. 2000), dishahihkan oleh Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahihah (1/449, no. 227)) (Kitab Al Fawa-id (hal. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H))
Dari keterangan Imam Ibnul Qayyim di atas jelaslah bagi kita bahwa kunci pokok segala kebaikan adalah memahami dan mengimani bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi, yang ini merupakan kesimpulan makna iman kepada takdir Allah ta’ala yang baik maupun yang buruk. Dan sekali lagi ini menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mengikuti manhaj salaf, karena pemahaman yang benar terhadap masalah takdir Allah ta’ala hanya ada pada manhaj salaf. Untuk lebih jelasnya, baca keterangan Ibnu Taimiyyah dalam Al ‘Aqiidatul waasithiyyah (hal. 22) tentang lurusnya pemahaman Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam masalah iman kepada takdir Allah dan sesatnya pemahaman-pemahaman lain yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal jama’ah.
4- Mendapatkan semua kemuliaan yang Allah Ta’ala sediakan di akhirat
Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan kewajiban mengimani keberadaan Al Haudh (telaga milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat nanti) yang merupakan bagian dari iman kepada hari akhir, beliau berkata: “Penjelasan tentang telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –semoga Allah Memudahkan kita meminum dari telaga tersebut pada hari kiamat– (yang disebutkan) dalam hadits-hadits yang telah dikenal dan (diriwayatkan) dari banyak jalur yang kuat, meskipun ini tidak disukai oleh orang-orang ahlul bid’ah yang bersikeras kepala menolak dan mengingkari keberadaan telaga ini. Mereka inilah yang paling terancam untuk dihalangi (diusir) dari telaga tersebut (pada hari kiamat) (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.), sebagaimana ucapan salah seorang ulama salaf: “Barangsiapa yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan tersebut…” (Kitab An Nihayah Fiil Fitani Wal Malaahim (hal. 127))
Ucapan yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir ini menunjukkan bahwa semua kemuliaan yang Allah ta’ala sediakan di akhirat, seperti kenikmatan di alam kubur, meminum dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendapatkan Syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang diizinkan Allah ta’ala untuk memberikan syafaat bahkan termasuk kenikmatan di dalam surga, hanyalah Allah ta’ala anugerahkan kepada orang-orang yang tidak mengingkari dan mengimaninya dengan benar. Ini juga menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mengikuti manhaj salaf, karena hanya dengan mengikuti manhaj salaflah kita bisa memahami dan mengimani hal-hal tersebut dengan baik dan benar, sehingga orang-orang yang memahami dan mengimani hal-hal tersebut berdasarkan manhaj salaf merekalah yang paling diutamakan untuk meraih semua kemuliaan tersebut dengan sempurna. Adapun orang-orang yang tidak memahami dan mengimani hal-hal tersebut dengan benar karena tidak mengikuti manhaj salaf, maka mereka sangat terancam untuk terhalangi dari mendapatkan kemuliaan-kemuliaan tersebut, minimal akan berkurang kesempurnaannya, tergantung dari jauh dekat pemahaman tersebut dari pemahaman salaf.
Penutup
Contoh-contoh di atas jelas sekali menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan yang bisa kita raih di dunia dan akhirat dengan mengikuti manhaj salaf, masih banyak contoh lain yang tidak mungkin kami sebutkan semua. Semoga dengan contoh-contoh ini kita semakin termotivasi untuk lebih giat mengkaji dan mengamalkan petunjuk para ulama salaf dalam beragama, agar kita semakin sempurna mendapatkan manfaat dan kebaikan yang Allah ta’ala sediakan bagi hamba-hambanya yang menjalankan agamanya dengan baik dan benar.
Sebagai penutup, alangkah indahnya ucapan seorang penyair yang berkata:
Semua kebaikan (hanya dapat dicapai) dengan mengikuti (manhaj) salaf
Dan semua keburukan ada pada perbuatan bid’ah orang-orang khalaf
Khalaf adalah orang-orang yang menyelisihi manhaj salaf.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 5 Dzulqa’dah 1429 H***
Penulis: Abdullah bin Taslim Al Buthoni
Sumber: muslim.or.id
0 komentar :
Posting Komentar