Jumat, 05 Juli 2013

Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Apa rahasia kehebatan tauhid, sehingga mampu menghapus segala dosa, sebesar apapun? Seorang Umar bin Khathab misalnya, tokoh yang sebelum masuk Islam terkenal paling menentang ajaran Islam dan terkenal dengan kekafirannya serta pernah mengubur putrinya hidup-hidup. Namun dengan masuk Islam, mentauhidkan peribadatan hanya kepada Allah Ta’ala saja, maka terhapuslah segala dosa dan kesalahannya yang menggunung. Bahkan menjadi tokoh paling mulia di sisi Allah sesudah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
Apalagi jika kesalahan seseorang lebih kecil, tentu akan lebih mudah terhapus dengan tauhid. Bahkan jika kesalahan serta kekufurannya lebih besar dari Umar radhiyallahu ‘anhu sekalipun, tetap semua itu akan hapus dan sirna dengan tauhid.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa Allah Ta’ala berfirman :

Allah Ta’ala berfirman, “… Dan barangsiapa menjumpaiku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Aku, maka Aku akan menjumpainya dengan ampunan yang sepenuh bumi pula”. (HR. Muslim)[1].

Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika engkau datang menghadap kepada-Ku dengan membawa kesalahan-kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau datang kepada-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Ku, maka Aku akan datang kepadanya dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula.[2]

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aal asy-Syaikh rahimahullah (wafat th. 1285 H) menyebutkan bahwa al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan “Barangsiapa yang datang dengan membawa tauhid (kepada Allah), meskipun memiliki kesalahan sepenuh bumi, niscaya Allah akan menemuinya dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula”[3]
Maksudnya hadits diatas menegaskan bahwa siapa yang bertauhid dengan sempurna, maka bisa mendapat ampunan dari dosa-dosanya meskipun dosa-dosa itu memenuhi bumi. Bukan hanya itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan bahwa orang yang sempurna tauhidnya, tidak akan diadzab oleh Allah di akhirat.
Dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu tentang hak dan kewajiban hamba kepada Allah Ta’ala, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Hak Allah yang menjadi kewajiban para hamba ialah agar mereka beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan sesuatupun (syirik) dengan Allah. Sedangkan hak hamba yang akan diperoleh dari Allah ialah bahwa Allah tidak akan mengadzab siapapun yang tidak mempersekutukan (syirik) sesuatu dengan Allah.” Aku (Mu’adz) berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah kabar gembira ini aku sampaikan kepada orang banyak?’ beliau menjawab, “Jangan engkau kabarkan kepada mereka, sebab mereka akan bergantung (dengan mengatakan: yang penting tidak syirik-pen). (HR. Bukhari dan Muslim)[4]

Hadits ini menunjukkan, orang yang sama sekali tidak berbuat syirik dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, ia tidak akan di adzab.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula :

Siapa yang berkata : Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba Allah dan anak hamba (perempuan) Allah, ia adalah manusia yang dicipta dengan kalimat-Nya, lalu dimasukkan ke dalam diri Maryam, dan ia adalah ruh yang dicipta oleh Allah. Juga bersaksi bahwa sorga adalah benar adanya, dan nerakapun benar adanya, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga, melalui pintu mana saja yang dia kehendaki dari pintu-pintunya yang delapan. (Dalam riwayat lain : maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam sorga, sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukannya). (HR. Bukhari dan Muslim)[5]

Masih banyak nash lain yang menceritakan kehebatan tauhid. Apa Rahasianya?
Disini perlu dikaji beberapa hal di antaranya :

PENGERTIAN TAUHID:
Tauhid ialah meng-Esakan Allah Ta’ala dengan hanya memberikan peribadatan kepada-Nya saja.[6] Artinya, agar orang beribadah (menyembah) hanya kepada Allah Ta’ala saja serta tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya (tidak syirik kepada-Nya). Dia beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dengan mencurahkan kecintaan, pengagungan, harapan dan rasa cemas.[7]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa kata tauhid merupakan mashdar dari wahhada, yuwahhidu, artinya menjadikan sesuatu menjadi satu-satunya. Dan ini tidak akan terjadi kecuali dengan menggabungkan antara nafi (peniadaan) dan itsbat (penetapan). Meniadakan (peribadatan) dari selain yang di Esakan, serta menetapkan (peribadatan) hanya pada yang di Esakan.[8]
Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ”Tauhid yang di bawa Rasul Allah sebagai ajarannya tidak lain berisi penetapan bahwa sifat Uluhiyah (berhak disembah) hanyalah milik Allah Ta’ala saja. Yaitu, ikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah Ta’ala, tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia, tidak diserahkan sikap tawakal kecuali hanya kepada-Nya, tidak ada kecintaan kecuali karena-Nya, tidak dilakukan permusuhan kecuali karena-Nya dan tidak dilakukan amal perbuatan kecuali dalam rangka ridha-Nya. Dan itu semua mencakup penetapan nama-nama serta sifat-sifat-Nya sesuai dengan apa yang telah Dia tetapkannya sendiri bagi diri-Nya”.[9]
Selanjutnya beliau rahimahullah mengatakan, ”Bukanlah tauhid yang dimaksud sekedar Tauhid Rububiyah. Yaitu meyakini bahwa Allah adalah pencipta alam semesta  satu-satunya”.[10]
Itulah hakikat tauhid yang menjadi intisari dakwah serta ajaran setiap Rasul Allah, yaitu yang berisi dua hal pokok: Pertama, penolakan terhadap setiap sesembahan selain Allah, dan kedua, penetapan bahwa sesembahan yang benar hanyalah Allah Ta’ala saja.
Allah Ta’ala berfirman :

Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada setiap umat untuk menyeru kepada umat masing-masing, ”Beribadahlah kalian kepada Allah saja, dan jauhilah thaghut. (QS. An-Nahl / 16 : 36)

Dan banyak firman Allah Ta’ala yang senada dengan ayat ini.

TUJUAN DICIPTAKANNYA MANUSIA
Adalah sangat naif dan dangkal jika orang berprasangka bahwa hidup di dunia ini hanyalah untuk tujuan dunia, untuk membangun dunia dengan segala gebyar serta teknologinya, dan untuk melakukan kebaikan-kebaikan duniawi hanya demi kebaikan serta kesejahteraan dunia.
Orang hidup pasti akan mati dan meninggalkan dunia fana ini menuju kehidupan lain. Dan pasti akan ada pertanggung jawaban dalam kehidupan lain itu. Karenanya Allah Ta’ala menjelaskan, bahwa hidup di dunia ini memiliki tujuan agung  yang bukan sekedar hidup, kemudian mati, lalu selesai. Tujuan agung itu adalah peribadatan kepada Allah Ta’ala. Firman-Nya :

Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepadaKu. (QS. Adz-Dzariyat / 51 :56).

Ibadah yang dimaksud adalah ibadan murni yang tidak terkotori dengan peribadatan kepada selain Allah Ta’ala. Jika seseorang dalam peribadatannya melakukan perbuatan syirik, mempersekutukan makhluk dengan Allah, maka pasti Allah Ta’ala akan murka dan tidak akan ridha.[11]
Diantara dalilnya ialah, firman Allah Ta’ala :

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan) kepadaNya, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah mengadakan dosa yang sangat besar. (QS. An-Nisa / 4 : 48).



Juga firman-Nya :

Sesungguhnya (dosa) syirik (mempersekutukan Allah), benar-benar merupakan kezaliman yang sangat besar. (QS.Luqman / 31:13).

Demikian pula firman-Nya :

Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah, maka janganlah kamu memohon di dalamnya kepada siapapun, di samping kepada Allah. (QS. Al-Jin / 72:18).

Jadi, bagaimana mungkin Allah Ta’ala tidak murka jika Dia Yang Maha Perkasa dan Sempurna disejajarkan dengan makhluk-Nya yang serba lemah dan kurang. Karena itulah, larangan terbesar dalam Islam adalah syirik. Allah Ta’ala berfirman :

Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS. An-Nisa / 4:36).

Demikian juga maksud diturunkannya kitab-kitab Allah Ta’ala serta diutusnya para rasul ialah agar para manusia beribadah hanya kepada Allah Ta’ala saja.[12] Dalilnya sangat banyak, di antaranya firman Allah Ta’ala :

Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya, ”Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang baik) melainkan aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”. (QS. Al-Anbiya’/21:25)

Nah, agar orang tidak kecewa kelak dalam kehidupan di alam lain, ia harus tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh Penciptanya. Dan Penciptanya ini telah menunjuk utusan kepercayaan-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya. Ia adalah Rasulullah, utusan-Nya.

BAGAIMANA CARA BERTAUHID?
Adalah jelas bahwa Islam dibangun berdasarkan pondasi tauhid.[13]
Allah Ta’ala berfirman :

Katakanlah (Muhammad), ”Sesungguhnya apa yang diwahyukan kepadaku ialah bahwasanya sesembahan kamu adalah sesembahan yang Esa, maka apakah kamu telah Islam (berserah diri) kepada-Nya”? (QS. Al-Anbiya/21:108).

Maka agar keislaman seseorang itu benar dan diterima di sisi Allah Ta’ala, ia harus bertauhid dengan benar, yaitu hanya memberikan peribadatan kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas dan tidak memberikan sedikitpun dari macam-macam ibadah kepada selain Allah Ta’ala. Tidak berdoa dan tidak memohon kepada selain Allah Ta’ala, hal-hal yang hanya menjadi kekuasaan Allah untuk memberiknya; tidak kepada malaikat, tidak kepada Nabi, tidak kepada wali, tidak kepada ‘orang pintar’, tidak kepada pohon, batu, matahari, bulan, kuburan dan lain sebagainya.[14]
Jadi dalam bertauhid, orang harus menolak dan menyingkiri segala yang disembah selain Allah Ta’ala, dan hanya mengakui, menetapkan  serta menjalankan bahwa peribadatan hanya merupakan hak Allah saja, Pencipta alam semesta.
Bertauhid bukan sekedar mengikrarkan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemberi rizki, Pengatur serta Pemilik alam semesta. Sebab tauhid semacam ini telah diikrarkan pula oleh kaum musyirin Arab pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[15] Tetapi bertauhid harus direalisasikan dengan memberikan peribadatan hanya kepada Allah Ta’ala, permohonan, doa dan kegiatan-kegiatan lain yang semakna, hanya kepada Allah saja.
Dengan demikian, agar tauhid berfungsi menghapus segala dosa dan menghalangi masuk neraka, maka seseorang harus memurnikan tauhidnya kepada Allah Ta’ala serta berupaya menyempurnakannya. Ia harus memenuhi syarat-syarat tauhid, baik dengan hati, lidah maupun anggota badannya. Atau –minimal- dengan hati dan lidahnya pada saat meninggal dunia.[16]
Intinya, menyerahkan peribadatan, kehidupan dan kematian hanya kepada Allah, meninggalkan segala bentuk kemusyrikan serta segala pintu yang dapat menjerumuskan ke dalam kemusyrikan, sebagaimana telah diterangkan dalam ayat-ayat atau hadits-hadits di atas.
Demikian secara sangat ringkas gambaran tentang kehebatan tauhid yang memiliki daya hapus luar biasa terhadap dosa-dosa. Karena itu mengapa orang tidak tertarik memanfaatkan kesempatan ini? Yaitu dengan bertaubat, kembali bertauhid serta memurnikan tauhidnya kepada Allah Ta’ala? Dan mengapa tidak takut kepada Allah Ta’ala.
Perlu disadari oleh setiap insan, bahwa kelak masing-masing akan datang sendiri dan mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dihadapan Allah Ta’ala yang Maha adil keputusan hukumNya.

Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allah sendiri-sendiri pada hari Kiamat (QS. Maryam/19:95).

REFERENSI :
  1. Fathul bari Syar Shahih al-Bukhari
  2. Shahih Muslim Bisyarhi an-Nawawi, Tahqiq wa Takhrij : Isham ash-Shababithi Hazim Muhammad dan Imad Amir. Daar al-Hadits, Kairo, cet. III,, 1419 H /1998 M.
  3. Shahih Muslim Syarh an-Nawawi, Tahqiq : Khalil Ma’mun Syiha.
  4. Shahih Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albani rahimahullah, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, cet. I dari terbitan terbaru,
  5. Dar’u Ta’arudh al-Aql wa an-Naql, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Tahqiq : Iyad bin Abdul Lathif bin Ibrahim al-Qaisy, Maktabah ar-Rusyd, cet. I, 1427 H /2006 M.
  6. Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid, Tahqiq : Dr. Al-Walid bin Abdur Rahman Aal Fariyyan, Dar ‘Alam al-Fawa’id, cet. Vi, 1420 H.
  7. Taqrib at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, I’dad & takhrij : Sayyid Abbas bin Ali al-Julaimi, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet I, 1413 H /1992 M.
  8. Syarh Kasyfi asy-Syubuhat wa yalihi Syarh al-Ushul as-Sittah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, I’dad : Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Dar ats-Tsurayya, cet. IV, 1426 H / 2005 M.
Syarh Tsalatsati al-Ushul, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin  rahimahullah, I’dad : Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Daar ats-Tsurayya, cet. III, 1417 H / 1997 M.
Artikel: www.ibnuabbaskendari.wordpress.com
Sumber: diketik ulang oleh admin dari Majalah As-Sunnah edisi: 07/THN XV/ Dzulhijjah 1432H/November 2011M

[1]   Lihat Shahih Muslim Bisyarhi an-Nawawi, Tahqiq w Takhrij: Isham ash-Shababithi, Hazim Muhammad dan Imad Amir. Dar al-Hadits, Kairo, cet. III, 1419 H/1998 M, IX/16, no. 2687 Atau Tahqiq : Khalil Ma’mun Syiha : XVIII/15, no. 6774.
[2]   Lihat Shahih_Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albani rahimahullah, Maktabah al-Ma’arif, Riyard, cet. I dari terbitan terbaru, 1420 H/2000 M, III.455, no. 3540
[3]   Lihat Fathu al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, Tahqiq : Dr. Al-Walid bin Abdurrahman Aal Fariyyan, Dar ‘Alam al-Fawa’id, cet. VI, 1420 H. I / 151
[4]   Lihat Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari I/226-227, no. 128, 129 dll, juga Shahih Muslim Syarh an-Nawawi, Khalil Ma’mun Syiha, I/177-178, no. 143.
[5]   Lihat Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari VI/474, no. 3435 dan Shahih Muslim Syarh an-Nawawi, Khalil Ma’mun Syiha, I/173-174, no. 139, 140.
[6]   Demikian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memberikan definisi kaitannya dengan Tauhid Uluhiyah. Lihat Syarh Kasyfisy Syubuhat wa yalihi Syarh al-Ushulis Sittah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, I’dad : Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Dar ats-Tsurayya, cet. IV, 1426 H/2005 H, hlm. 20, matan.
[7]   Ibid. Pada bagian penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
[8]   Ibid. Syarah.
[9]   Lihat Dar’u Ta’arudh al-Aql wa an-Naql, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Tahqiq : Iyad bin Abdul Lathif bin Ibrahim al-Qaisy, Maktabah ar-Rusyd, cet. I, 1427 H/2006 M. I/186.
[10]  Ibid. hlm. 187.
[11] Lihat perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah dalam al-Ushul ats Tsalatsah. Dalam Syarh Tsalatsati al-Ushul, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, terdapat pada hlm. 33. I’dad : Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Daar ats-Tsurayya, cet. III, 1417 H/1997 H.
[12] Lihat Taqrib at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, I’dad & takhrij : Sayyid Abbas bin Ali al-Julaimi, Maktabah as-Sunnah, Kairo, ct I, 1413 H /1992, hlm. 119.
[13] Ibid, hlm. 10
[14] Ibid. 112.
[15] Ibid. 110
[16] Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid, op.cit. I/151

0 komentar :

Posting Komentar