Jawab
: Pertanyaan
yang Anda sampaikan mengandung beberapa kekeliruan, di antaranya (dan sekaligus
menjawab pertanyaan) :
1.
Pengharaman ziarah
kubur bagi wanita bukan merupakan fatwa aneh. Fatwa tersebut merupakan
bagian dari ijtihad para ulama madzhab yang masuk dalam perselisihan mu’tabar
di kalangan mereka. Berikut penjelasan singkat perselisihan pendapat
tentang hukum ziarah kubur bagi wanita di kalangan ulama madzhab beserta
dalil-dalilnya :
a.
Diperbolehkan.
Pendapat
ini merupakan pendapat jumhur yang dipegang oleh madzhab Hanafiyyah, sebagian
ulama madzhab Maalikiyyah, pendapat paling shahih dari madzhab Syaafi’iyyah
dengan persyaratan aman dari fitnah, dan satu riwayat dari madzhab Hanaabilah.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm rahimahumullah [Raddul-Mukhtar
2/242, Mawaahibul-Jaliil 2/237, Al-Majmuu’ 5/310-311, Al-Mubdi’
2/284, dan Al-Muhallaa 3/388].
Mereka
membawakan beberapa dalil, di antaranya :
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
نُمَيْرٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ وَابْنِ
نُمَيْرٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ
وَهُوَ ضِرَارُ بْنُ مُرَّةَ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ ابْنِ
بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا.....
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Muhammad bin ‘Abdillah bin
Numair, dan Muhammad bin Al-Mutsannaa – lafadh hadits ini adalah milik Abu Bakr
dan Ibnu Numair - , mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Fudlail, dari Abu Sinaan Dliraar bin Murrah, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari
Ibnu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur.
(Sekarang) berziarahlah kalian.....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 977].
Hadits
ini menunjukkan larangan ziarah kubur telah dihapus. Penghapusan larangan
tersebut berlaku pada laki-laki dan wanita, tanpa perkecualian.
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيهُ، أَنْبَأَ أَبُو الْمُثَنَّى
مُعَاذُ بْنُ الْمُثَنَّى، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْمِنْهَالِ الضَّرِيرُ، ثنا
يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، ثنا بِسْطَامُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ
يَزِيدَ بْنِ حُمَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، أَنَّ
عَائِشَةَ أَقْبَلَتْ ذَاتَ يَوْمٍ مِنَ الْمَقَابِرِ فَقُلْتُ لَهَا: يَا أُمَّ
الْمُؤْمِنِينَ، مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتِ؟، قَالَتْ: مِنْ قَبْرِ أَخِي عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، فَقُلْتُ لَهَا: أَلَيْسَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ؟، قَالَتْ: نَعَمْ،
كَانَ قَدْ نَهَى، ثُمَّ أُمرَ بِزِيَارَتِهَا "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq Al-Faqiih : Telah
memberitakan Abul-Mutsannaa Mu’aadz bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Al-Minhaal Adl-Dlariir : Telah menceritakan kepada
kami Yaziid bin Zurai’ : Telah menceritakan kepada kami Bisthaam bin Muslim,
dari Abut-Tayyaah Yaziid bin Humaid, dari ‘Abdullah bin Abi Mulaikah :
Bahwasannya pada suatu hari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa pernah
mendatangi kuburan. Aku (Ibnu Abi Mulaikah) bertanya kepadanya : “Wahai Ummul-Mukminiin,
darimanakah engkau datang ?”. ia menjawab : “dari kubur saudaraku,
‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr”. Aku berkata padanya : “Bukankah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur ?”. Ia menjawab : “Benar, dulu
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Kemudian beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menziarahinya” [Diriwayatkan oleh
Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, 1/376; shahih].
Hadits
ini menjadi penguat dalil sebelumnya tentang mansuukh-nya larang ziarah
kubur bagi laki-laki dan wanita. Hal itu sangat jelas dalam perkataan ‘Aaisyah
: ‘Benar, dulu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Kemudian
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menziarahinya’.
b.
Diharamkan.
Pendapat
ini adalah merupakan satu pendapat dalam madzhab Maalikiyyah, satu pendapat syaadz
dalam madzhab Syaafi’iyyah[1],
dan satu riwayat dalam madzhab Hanaabilah. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahumullah [Raddul-Mukhtaar 2/242, Mawaahibul-Jaliil
2/237, Al-Majmuu’ 5/310, dan Al-Inshaaf 2/561].
Dalil
paling kuat yang mereka jadikan sandaran adalah :
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَعَنَ زَوَّارَتِ الْقُبُورِ ".
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu
‘Awaanah, dari ‘Umar bin Abi Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat para
wanita yang sering berziarah kubur [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1056;
dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”].[2]
Dalam
beberapa jalan riwayat lafadh zawwaaraat (زَوَّارَت) dituliskan dengan zuwwaaraat (زُوَّارَت). Zuwwaaraat menurut sebagaian ulama maknanya wanita
yang berziarah kubur. Mereka berkata :
الدائر
على الألسنة ضم الزاي من زوارات, جمعه زُوار جمع زَائرة سماعاً, وزائر قياساً.
وقيل زُوارات للمبالغة فلا يقتضي وقوع اللعن على وقوع الزيارة إلا نادراً. ونوزع
بأنه إنما قابل المقابلة بجميع القبور, ومن ثم جاء في رواية أبي داود زائرات بلا
مبالغة
“Yang
beredar di lisan-lisan adalah dengan mendlammahkan huruf zaay (ز) dari kata zuwwaaraat (زوارات). Bentuk jamaknya zaairah (زَائرة) secara simaa’iy, dan zaair (زائر) secara qiyaasiy. Dan dikatakan bahwa zuwwaarat adalah
untuk makna mubaalaghah sehingga laknat tersebut tidak mengenai wanita
yang berziarah kubur namun tidak sering (jarang). Dan kita dapat membantahnya
bahwasannya laknat tersebut menimpa semua wanita yang berziarah kubur. Oleh
karena itu, dalam riwayat Abu Daawud dibawakan dengan lafadh zaairaat (زائرات) tanpa mubaalaghah” [Juz’un fii Ziyaaratin-Nisaa’
lil-Qubuur oleh Bakr Abu Zaid].
c.
Dimakruhkan tanpa
pengharaman.
Pendapat
ini dipegang oleh madzhab Syaafi’iyyah dan yang masyhur dalam madzhab
Hanaabilah [Mughnil-Muhtaaj 2/57 dan Al-Inshaaf 2/561].
Mereka
berusaha mengkompromikan antara dalil yang membolehkan dan melarang dengan
menilai pelarangan yang ada dalam hadits tidak bermakna haram, namun makruh
saja. Selain itu mereka juga membawakan dalil :
حَدَّثَنَا
قَبِيصَةُ بْنُ عُقْبَةَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ أُمِّ
الْهُذَيْلِ، عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: نُهِينَا عَنْ
إتباع الجنائز وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا
Telah
menceritakan kepada kami Qabiishah : Telah menceritakan kepada Sufyaan, dari
Khaalid bin Hadzdzaa’, dari Ummul-Hudzail, dari Ummu ‘Athiyyah radliyallaahu
‘anhaa, ia berkata : “Kami dilarang untuk mengikuti jenazah (hingga
kuburan), namun hal itu tidak ditekankan kepada kami” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1277].
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata :
قوله
ولم يعزم علينا أي ولم يؤكد علينا في المنع كما أكد علينا في غيره من المنهيات
فكأنها قالت كره لنا أتباع الجنائز من غير تحريم وقال القرطبي ظاهر سياق أم عطية
أن النهي نهي تنزيه وبه قال جمهور أهل العلم
“Perkataannya
: ‘namun hal itu tidak ditekankan kepada kami’; yaitu tidak dikuatkan
larangan itu kepada kami sebagai dikuatkannya kepada kami dalam hal
larangan-larangan yang lainnya. Dan seakan-akan ia (Ummu ‘Athiyyah) berkata : Dimakruhkan
kepada kami untuk mengikuti jenazah, tanpa keharaman. Al-Qurthubiy berkata : ‘Dhahir
redaksi perkataan Ummu ‘Athiyyah bahwa larangan tersebut merupakan larangan
yang bermakna tanziih. Pendapat itulah yang dikatakan jumhur ulama” [Fathul-Baariy,
3/145].
Setelah mengetahui
perselisihan di atas, tepatkah salah satu di antara tiga pendapat tersebut kita
anggap sebagai pendapat/fatwa yang aneh karena – barangkali – bertentangan
dengan perajihan yang kita ambil ?.
Bahkan An-Nawawiy rahimahullah
– salah satu pembesar ulama madzhab Syaafi’iyyah – menerangkan perselisihan
pendapat yang ada dalam madzhabnya :
وَفِيهِ
: دَلِيل لِمَنْ جَوَّزَ لِلنِّسَاءِ زِيَارَة الْقُبُور , وَفِيهَا خِلَاف
لِلْعُلَمَاءِ وَهِيَ ثَلَاثَة أَوْجُه لِأَصْحَابِنَا : أَحَدهَا : تَحْرِيمهَا
عَلَيْهِنَّ لِحَدِيثِ : " لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور "
وَالثَّانِي : يُكْرَه . وَالثَّالِث : يُبَاح , وَيُسْتَدَلّ لَهُ بِهَذَا
الْحَدِيث وَبِحَدِيثِ " كُنْت نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَة الْقُبُور
فَزُورُوهَا "......
“Dalam hadits ini
terdapat dalil bagi orang yang membolehkan wanita berziarah kubur. Dan dalam
permasalahan ziarah kubur ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama,
dimana ada tiga sisi pendapat yang beredar di kalangan shahabat-shahabat kami
(ulama madzhab Asy-Syaafi’iyyah). Pertama, mengharamkannya berdasarkan
hadits : ‘Allah melarang para wanita yang sering berziarah kubur’. Kedua,
memakruhkannya. Ketiga, membolehkannya denga berdalil dengan hadits
(dalam bab) ini dan hadits : ‘Dulu aku melarang kalian berziarah kubur.
(Sekarang) berziarahlah......” [Syarh Shahiih Muslim, 2/683].
2.
Terkait dengan
nomor 1 di atas, fatwa pengharaman ziarah kubur bagi wanita bukanlah baru dikatakan
oleh ‘Wahabi’, akan tetapi ratusan tahun sebelum ‘Wahabi’ lahir.[3]
3.
Tidak semua ulama ‘Wahabi’
mengikuti pendapat yang mengharamkan wanita berziarah kubur. Mereka berbeda
pendapat sebagaimana para ulama sebelum mereka telah berbeda pendapat, karena mereka
tidak terbelenggu dengan kejumudan, ketaqlidan, dan kefanatikan. Di antara
ulama ‘Wahabi’ yang mengikuti pendapat pengharaman adalah mayoritas ulama
Saudi. Adapun ulama yang berlainan pendapat dengan mereka adalah Asy-Syaikh
Al-Albaaniy[4] dan
mayoritas murid-muridnya.
Jika demikian,
bagaimana bisa dimutlakkan perkataan bahwa ‘Wahabi’ mengharamkan ziarah kubur
bagi wanita ?.
Di
sini, kami lebih mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan wanita berziarah
kubur - selama aman dari fitnah – karena dalil-dalil yang ada sangat jelas
menunjukkan kebolehannya. Bahkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
dengan tegas memerintahkan secara umum – baik laki-laki maupun wanita – untuk berziarah
kubur (lihat hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa).
Adapun
larangan yang terdapat dalam hadits laknat, maka para ulama memahaminya :
a.
Berlaku sebelum
penghapusan hukum.
At-Tirmidziy rahimahullah
berkata :
وَقَدْ
رَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ: أَنَّ هَذَا كَانَ قَبْلَ أَنْ يُرَخِّصَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَلَمَّا
رَخَّصَ دَخَلَ فِي رُخْصَتِهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ، وقَالَ بَعْضُهُمْ:
إِنَّمَا كُرِهَ زِيَارَةُ الْقُبُورِ لِلنِّسَاءِ لِقِلَّةِ صَبْرِهِنَّ
وَكَثْرَةِ جَزَعِهِنّ
“Sebagian ulama
berpendapat bahwa larangan dalam hadits ini sebelum diberikannya rukhshah
(keringanan) oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam ziarah
kubur. Namun ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhshah,
maka masuk dalam rukhshah tersebut laki-laki dan wanita. Sebagian ulama
lain berkata : Dimakruhkannya ziarah kubur bagi wanita hanyalah karena
sedikitnya kesabaran mereka dan banyaknya keluh-kesah mereka” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 1056].
b.
Berlaku untuk
wanita yang sering berziarah kubur.
Ini sesuai dengan lafadh
yang dibawakan pada sebagian riwayat dengan zawwaaraat yang bermakna mubalaghah.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قال
القرطبي هذا اللعن إنما هو للمكثرات من الزيارة لما تقتضيه الصفة من المبالغة ولعل
السبب ما يفضي إليه ذلك من تضييع حق الزوج والتبرج وما ينشأ منهن من الصياح ونحو
ذلك فقد يقال إذا أمن جميع ذلك فلا مانع من الإذن لأن تذكر الموت يحتاج إليه
الرجال والنساء
“Al-Qurthubiy
berkata : Laknat ini hanyalah berlaku untuk wanita yang sering berziarah kubur,
sesuai dengan konsekuensi shighah mubalaghah dalam hadits. Dan barangkali
yang menyebabkan hal tersebut adalah adanya penyia-nyiaan hak suami, tabarruj,
ratapan, dan yang lainnya. Dan dikatakan juga : Apabila telah aman dari semua
hal tersebut, maka tidak ada halangan diijinkannya ziarah kubur, karena mengingat
kematian itu dibutuhkan oleh laki-laki dan wanita” [Fathul-Baariy,
3/149].
Catatan : Lafadh
zaairah (زَائِرَات) (= wanita yang berziarah kubur) dalam sebagian jalan riwayat,
maka dla’iif [lihat : Irwaaul-Ghaliil, no. 761].
Wallaahu
a’lam.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perum ciomas permai, ciomas, 17112012, 01:36].
[1] Diantara ulama madzhab Syaafi’iyyah yang
berpendapat haramnya ziarah kubur bagi wanita adalah Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahullah.
Beliau berkata :
الكبيرة
الحادية والثانية والثالثة والعشرون بعد المائة اتخاذ المساجد أو السرج على القبور
وزيارة النساء لها، وتشييعهن الجنائز
“Dosa besar
ke-121, 122, dan 123 adalah menjadikan kubur sebagai masjid, menyalakan
lampu/pelita di atas kubur dan ziarahnya wanita ke kuburan, dan para wanita
yang mengiringi jenazah....” [Az-Zawaajir oleh Ibnu Hajar Al-Haitsamiy,
bisa dibaca di sini].
[2] Diriwayatkan pula oleh Ahmad 2/337, Ibnu
Maajah no. 1576, Abu Ya’laa no. 5908, Ath-Thayaalisiy no. 2478, Al-‘Uqailiy
dalam Al-Kaamil 6/81, Al-Baihaqiy 4/77, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid
3/234, dan Ibnu Syaahim dalam Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuhu no. 304;
semuanya berasal dari jalan Abu ‘Awaanah, dari ‘Umar bin Abi Salamah, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’.
Sanad
riwayat ini lemah dikarenakan ‘Umar bin Abi Salamah.
‘Umar
bin Abi Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy Al-Madaniy
Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya (yukhthi’).
Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 132 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy
secara mu’allaq, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 720 no. 4944].
Abu
Hurairah mempunyai syawaahid dari :
a. Hassaan
bin Tsaabit Al-Khazrajiy radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan
oleh Ahmad no. 3/442, Ibnu Maajah no. 1574, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Musnad
no. 617, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kubraa no. 3591-3592, Ibnu Abi
‘Aashim dalam Al-Ahaadul-Matsaaniy no. 2071, Ibnul-‘Arabiy dalam Mu’jam-nya
no. 1633, Al-Haakim 1/374, Al-Baihaqiy 4/78, As-Sariy bin Yahyaa dalam Hadiits-nya
no. 13, Ibnu Syaahin dalam Naasikhul-Hadiits
wa Mansuukhuhu no. 306, Ibnu Qaani’ dalam Mu’jamush-Shahaabah no. 410,
Ibnul-Atsiir dalam Usudul-Ghaabah 2/9, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal
17/65; semuanya dari jalan Sufyaan (Ats-Tsauriy), dari ‘Abdurrahmaan bin
‘Utsmaan bin Khutsaim, dari ‘Abdurrahmaan bin Bahmaan, dari ‘Abdurrahmaan bin
Hassaan bin Tsaabit, dari ayahnya secara marfuu’.
Sanad
riwayat ini lemah dengan sebab ‘Abdurrahmaan bin Bahmaan.
‘Abdurrahmaan bin Bahmaan
Al-Hijaaziy Al-Madaniy; seorang yang maqbuul. Termasuk thabaqah ke-4.
Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 572 no. 3841].
b. Ibnu
‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Maajah no. 1575, Ath-Thayaalisiy no. 2856, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid
3/232, dan Ibnu Syaahin dalam Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuhu no.
305; semuanya dari jalan Muhammad bin Juhaadah, dari Abu Shaalih, dari Ibnu
‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa secara marfuu’.
Sanad
riwayat ini lemah dengan sebab Abu Shaalih, namanya adalah : Baadzaam.
سَأَلْتُ
أَبِي عَنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو صَالِحٍ،
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ
زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ. قُلْتُ لِأَبِي: مَنْ أَبُو صَالِحٍ هَذَا؟ قَالَ أَبِي:
أَبُو صَالِحٍ بَاذَامٌ
“Aku
pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits Muhammad bin Juhaadah, ia berkata
: Telah menceritakan kepadaku Abu Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata :
‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang sering
berziarah ke kubur’. Aku bertanya kepada ayahku : ‘Siapakah Abu Shaalih ini ?’.
Ia menjawab : ‘Abu Shaalih adalah Baadzaam” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin
Ahmad dalam Al-‘Ilal, no. 1946].
Baadzaam atau Baadzaan, Abu
Shaalih maulaa Ummu Haani’ binti Abi Thaalib; seorang yang dla’iif lagi mudallis.
Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 163 no. 639].
Ibnu
Hibbaan rahimahullah berkata bahwa ia tidak pernah mendengar riwayat
dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
c. Mursal
‘Ikrimah maulaa Ibnu ‘Abbaas rahimahullah.
Diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzaaq no. 6704 dari jalan Ma’mar, dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah.
Selain
mursal, sanad riwayat ini lemah karena periwayatan Ma’mar dari penduduk
Bashrah diperbincangkan sebagian muhadditsiin, dan Ayyuub termasuk ulama
penduduk Bashrah.
Secara
keseluruhan, riwayat ini shahih sebagaimana dishahihkan oleh At-Tirmidziy rahimahullah.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menshahihkannya dalam Irwaaul-Ghaliil
3/232-233 no. 774.
[3] Ini adalah satu tanda membabi-butanya
kebencian mereka terhadap dakwah Ahlus-Sunnah, Salafiyyah. Mereka telah
kehilangan cita rasa kritikan, sehingga kritikan mereka terasa hambar, tak
berkualitas. Akibatnya, pendapat-pendapat yang bertentangan dengan madzhab
mereka dan kebetulan dipegang oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab,
Ibnu Baaz, Al-Albaaniy, atau yang semisalnya; diklaim sebagai pendapat Wahabiy –
meskipun pendapat itu masyhur di kalangan fuqahaa dan ahli hadits sebelum
mereka.
Sumber: abul-jauzaa.blogspot.com
0 komentar :
Posting Komentar