Masalah
ini termasuk masalah yang kejahilan merebak di dalamnya, dan merupakan
maksiat yang sangat jelas karena tuma`ninah adalah rukun yang sholat
tidak teranggap syah tanpanya. Hadits al-musi`u sholatuhu (orang yang
jelek sholatnya) sangat menunjukkan akan hal tersebut. Makna tuma`ninah
adalah orang yang sholat tenang di dalam ruku’nya, i’tidalnya,
sujudnya, dan ketika duduk di antara dua sujud, dengan cara dia tinggal
sejenak sampai setiap tulang menempati tempatnya, dan dia
jangan tergesa-gesa untuk berpindah dari suatu rukun (sholat) sampai dia
tuma`ninah dan setiap persendian telah menempati posisinya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda kepada al-musi`u sholatuhu (orang yang jelek
sholatnya) tatkala dia tergesa-gesa dan tidak tuma`ninah:
اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
”Kembali ulangi sholatmu, karena (tadi) kamu belum sholat”.
Dan dalam hadits Rifa’ah (juga) dalam kisah al-musi`:
ثُمَّ يُكَبِّرَ وَيَرْكَعَ
فَيَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ
وَتَسْتَرْخِي, ثُمَّ يَقُوْلُ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ,
وَيَسْتَوِيَ قَائِمًا حَتَّى يَأْخُذَ كُلُّ عَظْمٍ مَأْخَذَهُ
“Kemudian
dia bertakbir lalu ruku’ dan meletakkan kedua telapak tangannya di
atas kedua lututnya sampai semua tulang-tulangnya tenang dan rileks.
Kemudian dia membaca “Sami’allahu liman hamidah” dan tegak berdiri
sampai semua tulang kembali menempati tempatnya masing-masing”.
2. Sengaja mendahului dan menyelisihi imam.
Ini
membatalkan sholat atau (minimal) membatalkan raka’at. Sehingga
barangsiapa yang ruku’ sebelum imamnya, maka batal raka’atnya kecuali
jika dia ruku’ kembali setelah ruku’nya imam, demikian halnya pada
seluruh rukun-rukun sholat. Maka yang wajib bagi orang yang sholat
adalah mengikuti dan mencontoh imamnya, jangan dia mendahuluinya dan
jangan pula terlambat dalam mengikutinya dalam satu rukun (gerakan) atau
lebih.
Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya dengan sanad yang shohih dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ
لِيُؤْتَمَّ بِهِ: فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا وَلاَ تُكَبِّرُوْا
حَتَّى يُكَبِّرَ, وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا وَلاَ تَرْكَعُوْا حَتَّى
يَرْكَعَ
“Tidaklah seorang
imam dijadikan sebagai imam kecuali untuk diikuti; maka jika dia
bertakbir maka bertakbirlah kalian dan janganlah kalian bertakbir
sampai mereka sudah bertakbir, jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian dan
janganlah kalian ruku’ sampai mereka sudah ruku’ …”. sampai akhir
hadits. Asal haditsnya ada dalam Ash-Shohihain, dan juga diriwayatkan
semisalnya oleh Imam Al-Bukhary dari Anas -radhiyallahu ‘anhu-.
Dimaafkan dalam masalah ini orang yang lupa dan orang yang jahil.
3. Berdiri menyempurnakan raka’at yang tertinggal sebelum imam melakukan salam kedua.
Hal
ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Shohihnya bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لاَ تَسْبِقُوْنِي بِالرُّكُوْعِ وَلاَ السُّجُوْدِ وَلاَ الْاِنْصِرَافِ
“Janganlah kalian mendahuluiku dalam hal ruku’, tidak pula dalam hal sujud, dan juga dalam hal inshorof”.
Para ulama berkata, “Makna inshirof (pergi) adalah salam”.
Salam dikatakan inshirof karena orang yang sholat sudah dibolehkan pergi setelah salam, dan dia (imam) dianggap inshirof setelah salam yang kedua.
Maka orang yang masbuk hendaknya
menunggu sampai imam menyempurnakan sholatnya, kemudian setelah itu
baru dia berdiri lalu menyempurnakan dan mengqodo` raka’at yang luput
darinya, wallahu A’lam.
4. Melafadzkan niat saat hendak sholat.
Ini
adalah bid’ah, dan telah berlalu dalil-dalil akan haramnya berbuat
bid’ah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sama sekali tidak pernah
melafadzkan niat untuk sholat, Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata
dalam Zadul Ma’ad atau dalam Al-Hadyun Nabawy, “Kebiasaan beliau (Nabi)
jika berdiri untuk sholat, beliau mengucapkan, ["Allahu Akbar"] dan
tidak membaca apapun sebelumnya dan beliau juga tidak melafadzkan niat
sama sekali. Beliau juga tidak pernah mengucapkan, ["Usholli lillahi
sholata kadza mustaqbilal qiblati arba'a raka'atin imaman aw ma`muman"
(Saya berniat melakukan sholat ini karena Allah dengan menghadap
kiblat, 4 raka'at, sebagai imam atau sebagai ma`mum)]. Dan beliau juga
tidak mengucapkan, ["ada-an"], tidak pula ["qodho-an"], dan tidak pula
["fardhol waqti"]. Ini adalah 10 bid’ah, yang sama sekali tidak pernah
dinukil dari beliau dalam sanad yang shohih, tidak pula yang dho’if
(lemah), tidak secara musnad (bersambung) dan tidak pula mursal
(terputus) satupun lafadz darinya. Bahkan tidak pernah dinukil dari
seorangpun dari para sahabat, tidak dianggap baik oleh seorangpun dari
tabi’in dan tidak pula oleh Imam Empat”. Selesai ucapan beliau.
(Pembahasan tentang Melafadzkan Niat bisa dibaca disini)
5. Mengangkat pandangan ke atas dalam sholat atau berpaling ke kanan dan ke kiri tanpa ada keperluan.
Adapun
mengangkat pandangan ke atas, maka hal ini adalah terlarang dan telah
datang ancaman bagi pelakunya. Jabir bin Samuroh telah meriwayatkan
hadits, beliau berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلّيْهِمْ
”Hendaknya
orang-orang yang mengangkat penglihatan mereka ke langit dalam sholat,
berhenti dari perbuatan mereka itu. Atau pandangan mereka tidak akan
kembali lagi kepada mereka”. Riwayat Muslim.
Adapun berpaling tanpa ada
keperluan, maka hal ini mengurangi (nilai) sholat seorang hamba
sepanjang tubuhnya tidak seluruhnya berubah arah, jika tubuhnya sudah
berubah arah maka sholatnya batal. Dari ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha-
beliau berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- perihal berpaling dalam sholat, maka beliau bersabda:
هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ
“Itu adalah curian yang setan curi dari sholat seorang hamba”. Riwayat Al-Bukhary.
Dan dalam riwayat At-Tirmidzy dan beliau menshohihkannya:
إِيَّاكَ وَالْاِلْتِفَاتِ فِي الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ هَلَكَةٌ
“Hati-hati kalian dari menoleh dalam sholat, karena sesungguhnya itu adalah kebinasaan”. sampai akhir hadits.
Dan masih ada hadits-hadits yang lain berkenaan dengan masalah berpaling (dalam sholat).
6. Tidak mengangkat khimar ke atas kepala dalam sholat bagi wanita atau tidak menutup kedua kakinya.
Aurat
wanita dalam sholat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya, tapi
tidak mengapa baginya untuk menutup wajahnya jika ada lelaki yang lewat
dan semisalnya. Maka yang wajib atasnya adalah memakai khimar, yaitu
kain yang menutupi kepala dan dada, hal ini berdasarkan sabda Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima sholat wanita (yang sudah) haid (baca: balig) kecuali dengan memakai khimar”. Riwayat Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`i dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan selainnya
Dan juga wajib menutup kedua kaki berdasarkan hadits:
اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
“Wanita adalah ‘aurat”. Riwayat At-Tirmidzy dengan sanad yang shohih.
Dan semakna dengannya hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Abu Daud, dan selain keduanya dari
Muhammad bin Zaid bin Qonfadz dari ibunya bahwa dia bertanya kepada
Ummu Salamah, istri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Pakaian
apakah yang dipakai oleh seorang wanita dalam sholat?”, maka beliau
menjawab:
تُصَلِّي فِي الْخِمَارِ وَالدِّرْعِ السَّابِغِ إِذَا غَيَّبَ ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“Dia sholat dengan memakai khimar dan pakaian yang luas sampai kedua kakinya tertutupi”.
Dan semakna dengannya juga dalam
hadits Ummu Salamah, “Hendaknya dia (wanita tersebut) menurunkannya
(pakaiannya) sepanjang satu dziro’ (dari mata kaki)”.
7. Tidak takbiratul ihram bagi masbuk yang mendapati imam sedang ruku’.
Ini adalah kesalahan besar karena takbiratul ihram adalah rukun sholat,
maka wajib baginya melakukan takbiratul ihram dalam keadaan dia
berdiri, kemudian setelah itu baru boleh baginya untuk ruku’ bersama
imam. Dan takbiratul ihram sudah mencukupi takbir untuk ruku’ (takbir
intiqol), tapi jika dia bertakbir untuk ihram (takbiratul ihram) lalu
bertakbir juga untuk ruku’ maka maka itu yang lebih sempurna dan lebih
berhati-hati. Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- meriwayatkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُ حِيْنَ
يَقُوْمُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِيْنَ يَرْكَعُ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- jika sholat, selalu bertakbir ketika berdiri kemudian bertakbir ketika ruku’”.
8. Bermain-main dengan menggunakan pakaian, jam tangan, atau yang lainnya.
Amalan
ini menafikan kekhusyukan, dan telah berlalu dalil-dalil (akan
disyari’atkannya) khusyu’ dalam masalah ke-5. Dan sungguh Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah melarang untuk menyentuh batu
kerikil dalam sholat karena bisa menafikan kekhusyukan, beliau bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ فَلاَ يَمْسَحِ الْحَصَى فَإِنَّ الرَّحْمَةَ تُوَاجِهُهُ
“Jika
salah seorang di antara kalian berdiri dalam sholat, maka janganlah
dia menyapu kerikil (di tempat sujudnya), karena rahmat (Allah) berada
di depannya”. Riwayat Ahmad dan Ashhabus Sunan dengan sanad yang shohih.
Dan tidak jarang perbuatan
sia-sia itu bertambah sampai menjadi gerakan yang banyak yang
mengeluarkan sholat dari gerakan asalnya, sehingga sholat bisa menjadi
batal.
9. Memejamkan kedua mata dalam sholat tanpa ada keperluan.
Ini
adalah perkara yang makruh, Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata,
“Bukan termasuk tuntunan beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
memejamkan kedua mata dalam sholat”. Beliau (juga) berkata, “Para ahli
fiqhi berselisih pendapat tentang makruhnya, Imam Ahmad dan selain
beliau memakruhkannya, mereka berkata, ["Ini adalah perbuatan
orang-orang Yahudi (dalam sholat mereka)"] dan sebagian lain
membolehkannya dan tidak memakruhkannya, mereka berkata, ["Perbuatan ini
lebih cepat menghasilkan kekhusyukan yang merupakan mana dia merupakan
ruh, rahasia, dan maksud dari sholat.
Yang benarnya adalah dikatakan,
["Jika membuka mata tidak menghilangkan kekhusyukan maka ini yang
paling afdhol. Tapi jika dengannya (membuka mata) akan menghalangi dia
untuk khusyu' karena di kiblatnya ada semacam hiasan, at-tazrawiq, atau
yang semacamnya dari hal-hal yang bisa mengganggu hatinya, maka ketika
itu tentunya tidak dimakrukan untuk menutup mata"]. Dan pendapat yang
menyatakan disunnahkannya dalam keadaan di atas lebih mendekati ushul
dan maksud syari’at dibandingkan pendapat yang menyatakan makruhnya,
wallahu A’lam”. Selesai ucapan Ibnul Qoyyim -rahimahullah-.
10. Tidak meluruskan dan merapatkan (arab: taswiyah) shof-shof.
Allah telah memerintahkan untuk menegakkan (arab: iqomah) sholat:
وَأَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ
“Tegakkanlah shalat”. (QS. An-Nur: 56, Ar-Rum: 31, dan Al-Muzzammil: 20)
Dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ, فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ
“Luruskanlah shof-shof kalian, karena sesungguhnya pelurusan shof termasuk menegakkan sholat”. Riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari Anas.
Dan Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dari An-Nu’man bin Basyir -radhiallahu ‘anhu-:
لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Demi
Allah, kalian harus benar-benar meluruskan shof-shof kalian atau
Allah betul-betul akan membuat hati-hati kalian saling berselisih”.
Dan telah datang perintah untuk meluruskan dan merapatkan shaf-shaf dan anjuran terhadapnya dalam beberapa hadits.
(Selebihnya bisa dibaca disini: Wajibnya Merapatkan dan Meluruskan Shaf )
11. Kurang perhatian untuk
sujud di atas tujuh tulang, yakni: Jidad bersama hidung, kedua telapak
tangan, kedua lutut dan jari-jari kedua kaki.
Dari
Al-’Abbas bin ‘Abdil Muththolib -radhiallahu ‘anhu- bahwa beliau
pernah mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا سَجَدَ الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ سَبْعَةُ آرَابٍ: وَجْهُهُ وَكَفَّاهُ وَرُكْبَتَاهُ وَقَدَمَاهُ
“Jika
seorang hamba bersujud, maka ikut pula sujud bersamanya tujuh tulang:
Wajahnya, kedua telapak tangannya, kedua lututnya, dan kedua kakinya”.
Riwayat Muslim sebagaimana yang disandarkan oleh Al-Majd dalam
Al-Muntaqo dan Al-Mizzy, dan (hadits ini) juga diriwayatkan oleh
selainnya (Muslim).
Adapun mengangkat kedua kaki
dalam sujud, maka ini menyelisihi apa yang diperintahkan, berdasarkan
hadits yang tsabit dalam Ash-Shohihain dari Ibnu ‘Abbas -radhiallahu
‘anhuma-:
أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْضَاءِ, وَلاَ
يَكُفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا: اَلْجَبْهَةِ, وَالْيَدَيْنِ,
وَالرُّكْبَتَيْنِ, وَالرِّجْلَيْنِ
“Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk bersujud di atas tujuh tulang, dan memerintahkan agar jangan mengikat rambut dan menggulung pakaian. (Ketujuh tulang itu adalah) Dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua kaki”.
Maka orang yang sholat
diperintahkan untuk sujud di atas kedua kaki, dan bentuk sempurnanya
adalah dengan menjadikan jari-jari kedua kakinya mengarah ke kiblat.
Dan bentuk cukupnya adalah dengan meletakkan (merapatkan) bagian dari
masing-masing kaki di atas bumi. Jika dia mengangkat salah satunya maka
tidak syah sujudnya jika terangkatnya kaki terus-menerus sepanjang
sujudnya.
Di antara manusia ada juga yang
tidak meletakkan jidad dan hidungnya dengan baik ke bumi ketika dia
sujud, atau dia mengangkat kedua kakinya atau tidak meletakkan kedua
telapak tangannya dengan baik, dan semua ini menyelisihi apa yang
diperintahkan.
12. Membunyikan jari-jemari.
Hal
ini termasuk perkara-perkara yang dibenci dan dilarang dalam sholat.
Adapun membunyikan (jari-jemari) maka Ibnu Abi Syaibah telah
meriwayatkan dari Syu’bah maula Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang hasan,
bahwa dia berkata, “Saya pernah sholat di samping Ibnu ‘Abbas lalu saya
membunyikan jari-jemariku. Maka tatkala sholat sudah selesai, beliau
berkata, ["Tidak ada ibu bagimu!, apakah kamu membunyikan jari-jemarimu
sedangkan engkau dalam keadaan sholat?!"]“.
Dan telah diriwayatkan secara
marfu’ tentang larangan membunyikan jari-jemari dari hadits ‘Ali
riwayat Ibnu Majah akan tetapi haditsnya lemah dan tidak bisa
dikuatkan.
13. Menyilangkan jari-jemari (arab: Tasybik) dalam sholat dan sebelum sholat.
Ini
termasuk perkara yang dimakruhkan. Dari Ka’ab bin ‘Ujroh beliau
berkata, saya mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda:
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الصَّلاَةِ, فَلاَ يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي الصَّلاَةِ
“Jika
salah seorang di antara kalian berwudhu kemudian dia sengaja keluar
untuk sholat, maka janganlah sekali-kali dia menyilangkan antara kedua
tangannya, karena sesungguhnya dia sedang dalam sholat”. Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzy sedang dalam sanadnya ada perselisihan.
Dan Imam Ad-Darimy, Al-Hakim, dan selainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’:
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فِي
بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ, كَانَ فِي صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ,
فَلاَ يَفْعَلْ هَكَذَا -وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ-
“Jika
salah seorang di antara kalian berwudhu di rumahnya kemudian dia
mendatangi masjid, maka dia terus-menerus dalam keadaan sholat sampai
dia pulang. Karenanya, janganlah dia berbuat seperti ini -beliau
menyilangkan antara jari-jari beliau-”. Zhohir sanadnya adalah shohih.
Dan dalam masalah tasybik ada hadits-hadits lain yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya.
[Diterjemah dari Al-Minzhar hal. 24-40, karya Asy-Syaikh Saleh Alu Asy-Syaikh, dengan sedikit perubahan]
Sumber: http://al-atsariyyah.com/
Tambahan dibawah dari: http://buletin.muslim.or.id/ dan http://muslim.or.id/
14. Tidak Membaca dengan Lisan ketika Takbir, Membaca Surat, dan Dzikir
Tidak
membaca dengan lisan ketika takbir, membaca surat, dan dzikir-dzikir
sholat yang lain dan mencukupkan diri dengan membaca dalam hati
merupakan sebuah kekeliruan. Orang yang melakukannya seolah-olah
menganggap bahwa shalat hanyalah perbuatan anggota badan yang tidak ada
ucapan lisan maupun dzikir sama sekali. Padahal membaca dengan lisan
merupakan sebuah hal yang wajib dalam shalat menurut para ulama dan
para shahabat Nabi radhiallahu‘anhum.
Seandainya
membaca dalam hati adalah sah dalam sholat, maka Nabi tidak mungkin
akan bersabda kepada seseorang yang praktek sholatnya belum benar, “…
kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu.” Karena yang namanya
“al qira’ah” (bacaan) bukanlah bacaan dalam hati. Dan diantara konsekuensi dari “al qira’ah”
– ditinjau dari sisi bahasa Arab dan sisi syari’at- adalah
menggerakkan lisan sebagaimana yang telah diketahui. Diantara hal yang
menunjukkan hal ini adalah firman Allah ta’ala, ”Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya.” (QS. Al Qiyamah 16)
Oleh karena itulah para ulama yang berpendapat
bahwa orang yang junub dilarang membaca Al Qur’an, mereka membolehkan
membaca ayat dalam hati ketika junub, karena membaca dalam hati
bukanlah “al qira’ah” (bacaan).
15. Sibuk Dengan Shalat Sunnah Padahal Telah Iqamah
Terkadang kita jumpai seseorang yang malah sibuk dengan shalat nafilah/sunnah ketika iqamat telah dikumandangkan atau yang lebih parah malah memulai shalat sunnah baru dan tidak bergabung dengan shalat wajib. Hal ini menyelisihi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya: “Apabila iqamah sudah dikumandangkan, maka tidak ada sholat kecuali sholat wajib.” (HR. Muslim)
16. Memakai Pakaian yang Tidak Bagus Ketika Sholat
Kaum Muslimin yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, Alloh tidak hanya memerintahkan kita untuk sekedar memakai pakaian yang menutup aurat, akan tetapi memerintahkan kita pula untuk memperbagus pakaian apalagi ketika ke masjid. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Qs. Al A’raf: 31). Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya bahwa dari ayat ini dapat diambil pelajaran bahwa kita disunnahkan berhias ketika sholat, lebih-lebih ketika hari jumat dan hari raya. Dan termasuk perhiasan adalah siwak dan parfum.
Namun sekarang banyak kita jumpai kaum muslimin yang ketika pergi ke masjid hanya mengenakan pakaian seadanya padahal ia memiliki pakaian yang bagus. Bahkan tidak sedikit yang mengenakan pakaian yang penuh gambar atau berisi tulisan-tulisan jahil. Akibatnya, mau tidak mau orang yang ada dibelakangnya akan melihat dan membaca sehingga rusaklah konsentrasinya.
15. Sibuk Dengan Shalat Sunnah Padahal Telah Iqamah
Terkadang kita jumpai seseorang yang malah sibuk dengan shalat nafilah/sunnah ketika iqamat telah dikumandangkan atau yang lebih parah malah memulai shalat sunnah baru dan tidak bergabung dengan shalat wajib. Hal ini menyelisihi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya: “Apabila iqamah sudah dikumandangkan, maka tidak ada sholat kecuali sholat wajib.” (HR. Muslim)
16. Memakai Pakaian yang Tidak Bagus Ketika Sholat
Kaum Muslimin yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, Alloh tidak hanya memerintahkan kita untuk sekedar memakai pakaian yang menutup aurat, akan tetapi memerintahkan kita pula untuk memperbagus pakaian apalagi ketika ke masjid. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Qs. Al A’raf: 31). Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya bahwa dari ayat ini dapat diambil pelajaran bahwa kita disunnahkan berhias ketika sholat, lebih-lebih ketika hari jumat dan hari raya. Dan termasuk perhiasan adalah siwak dan parfum.
Namun sekarang banyak kita jumpai kaum muslimin yang ketika pergi ke masjid hanya mengenakan pakaian seadanya padahal ia memiliki pakaian yang bagus. Bahkan tidak sedikit yang mengenakan pakaian yang penuh gambar atau berisi tulisan-tulisan jahil. Akibatnya, mau tidak mau orang yang ada dibelakangnya akan melihat dan membaca sehingga rusaklah konsentrasinya.
Sumber: artikelassunnah.blogspot.com
0 komentar :
Posting Komentar