(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Ingar-bingar kehidupan remaja kita yang tercermin dari tata
pergaulannya sudah sampai pada taraf yang sangat memprihatinkan. Rasa
malu seakan memunah sementara ‘keberanian’ merambati perilaku mereka.
Di sudut sebuah sekolah, seorang gadis kecil berseragam sekolah
melenggang, diiringi langkahnya dengan sejumlah teman laki-lakinya. Tak
canggung dia melempar senyum, tertawa, dan bercanda dengan mereka. Di
dalam kelas, suatu yang lazim murid laki-laki duduk bersama dan
berdiskusi dengan murid perempuan. Justru suatu pemandangan yang ‘aneh’
bila ada seorang murid yang merasa malu melakukan semua itu. Gelaran
‘kuper’, ‘kutu buku’, ‘sok alim’, ‘anak kampungan’, atau yang lainnya
bakal segera menghampirinya.
Belum lagi di tempat lainnya yang lazim dikunjungi anak-anak ‘baru
gede’ seusai sekolah atau di waktu senggang mereka. Dengan sedikit
memoles bibir dengan lipstik, disertai busana yang sedikit ‘berani’,
mereka pun menjelajahi mal-mal. Entah benar-benar untuk berbelanja atau
sekedar nampang. Tak sedikit pun rasa canggung menghampiri hati mereka.
Allahul musta’an … Hanya kepada Allah l sajalah kita mengadukan
segala kepahitan ini. Di kala rasa malu dalam jiwa anak-anak sudah
terkikis. Mereka tak sungkan lagi melakukan segala sesuatu yang dianggap
aib oleh syariat. Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah n
yang disampaikan pada kita oleh Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amir z:
“Sesungguhnya di antara apa yang didapati manusia dari ucapan
nabi-nabi yang terdahulu adalah ‘Apabila engkau tidak malu, maka lakukan
apa pun yang engkau mau’.” (HR. Al-Bukhari no. 6120)
Al-Imam Al-Khaththabi v mengatakan –sebagaimana dinukil oleh
Al-Hafizh Ibnu Hajar v–, “Yang dapat mencegah seseorang terjatuh dalam
kejelekan adalah rasa malu.Sehingga bila dia tinggalkan rasa malu itu,
seolah-olah dia diperintah secara tabiat untuk melakukan segala macam
kejelekan.” (Fathul Bari, 10/643)
Sebenarnya apa malu itu? Para ulama menjelaskan, malu hakikatnya
adalah akhlak yang dapat membawa seseorang untuk meninggalkan perbuatan
tercela dan mencegahnya dari mengurangi hak yang lainnya. Demikian
dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi t dalam kitab beliau Riyadhush
Shalihin, Kitabul Adab Bab Al-Haya` wa Fadhluhu wal Hatstsu ‘alat
Takhalluqi bihi.
Malu yang ada pada diri manusia ada dua macam:
Pertama, malu yang berasal dari tabiat dasar seseorang. Ada sebagian
orang yang Allah k anugerahi sifat malu, sehingga kita dapati orang itu
pemalu sejak kecil. Tidak berbicara kecuali pada sesuatu yang penting,
dan tidak melakukan suatu perbuatan kecuali ketika ada kepentingan,
karena dia pemalu.
Kedua, malu yang diupayakan dari latihan, bukan pembawaan. Artinya,
seseorang tadinya bukan seorang pemalu. Dia cakap dalam berbicara dan
tangkas berbuat apa pun. Lalu dia bergaul dengan orang-orang yang
memiliki sifat malu dan baik sehingga dia memperoleh sifat itu dari
mereka. Malu yang bersifat pembawaan itu lebih utama daripada yang kedua
ini. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, Ibnu ‘Utsaimin , hal. 234)
Al-Hafizh v menukilkan dari Ar-Raghib bahwa malu adalah menahan diri
dari perbuatan jelek. Dan ini merupakan kekhususan yang dimiliki manusia
agar dia dapat berhenti dari berbuat apa saja yang dia inginkan,
sehingga dia tidak akan seperti hewan. (Fathul Bari, 1/102)
Sifat malu ini mendapatkan pujian dalam syariat Islam. Rasulullah n
menyatakan demikian dalam sabdanya yang disampaikan oleh ‘Imran bin
Hushain z:
“Malu itu tidaklah datang kecuali dengan membawa kebaikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37)
Bahkan beliau n melarang seorang sahabat yang mencela temannya karena
rasa malu yang dimilikinya. Dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Umar c:
Nabi n pernah menjumpai seseorang yang sedang mencela saudaranya
karena malu. Dia mengatakan, “Kamu ini merasa malu,” sampai dia katakan,
“Rasa malu itu telah memudaratkanmu!” Maka Rasulullah n pun berkata,
“Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al-Bukhari no.
6118 dan Muslim no. 36)
Abu Hurairah z pernah pula mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:
“Iman itu
ada tujuh puluh sekian1 cabang. Cabang yang paling utama adalah ucapan
‘tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah’, yang paling rendah
menghilangkan gangguan dari jalan, dan malu itu salah satu cabang
keimanan.” (HR. Al-Bukhari no. 48 dan Muslim no. 35)
Al-Qadhi ‘Iyadh v dan ulama yang lain menjelaskan, “Sesungguhnya malu
termasuk keimanan walaupun malu itu berupa sifat pembawaan. Karena,
malu itu terkadang merupakan akhlak yang disandang atau hasil usaha
seseorang seperti halnya amalan kebaikan lainnya, dan terkadang pula
merupakan sifat pembawaan. Namun pelaksanaannya di atas aturan syariat
membutuhkan upaya, niat, dan ilmu. Dengan ini, malu termasuk keimanan.
Juga karena malu dapat mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan dan
mencegahnya dari kemaksiatan.” (Syarh Shahih Muslim, 2/4)
Abdullah bin ‘Umar c pernah mengatakan:
“Malu dan iman itu senantiasa ada bersama-sama. Bila hilang salah
satu dari keduanya, hilang pula yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari dalam
Al-Adabul Mufrad no. 1313, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam
Shahih Al-Adabil Mufrad: shahih)
Rasulullah n sendiri adalah seorang yang memiliki sifat sangat
pemalu. Digambarkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri z sifat malu beliau n:
“Rasulullah n lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitannya.
Bila beliau tidak menyukai sesuatu, kami bisa mengetahuinya pada wajah
beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 6119 dan Muslim no. 2320)
‘Utsman bin ‘Affan z adalah seorang sahabat yang terkenal memiliki
sifat pemalu, hingga Rasulullah n pun malu kepadanya. Dikisahkan oleh
Aisyah x:
“Suatu ketika, Rasulullah n pernah berbaring di rumahku dalam keadaan
tersingkap dua paha atau dua betis beliau. Kemudian Abu Bakr meminta
izin menemui beliau. Beliau mengizinkannya masuk, sementara beliau masih
dalam keadaannya. Lalu Abu Bakr bercakap-cakap dengan beliau. Kemudian
‘Umar datang meminta izin untuk masuk. Beliau mengizinkannya masuk,
sementara beliau tetap demikian keadaannya. Mereka pun
berbincang-bincang. Kemudian ‘Utsman datang minta izin untuk menemui
beliau. Beliau pun langsung duduk dan membenahi pakaiannya –Muhammad2
berkata: Aku tidak mengatakan bahwa hal ini terjadi dalam satu hari–
‘Utsman pun masuk dan berbincang-bincang. Ketika ‘Utsman pulang, Aisyah
bertanya, “Abu Bakr masuk menemuimu, namun engkau tidak bersiap
menyambut dan tidak memedulikannya. Begitu pula ‘Umar masuk menemuimu,
engkau juga tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya pula.
Kemudian ketika ‘Utsman masuk, engkau segera duduk dan membenahi
pakaianmu!” Rasulullah menjawab, “Tidakkah aku merasa malu kepada
seseorang yang malaikat pun merasa malu kepadanya?” (HR. Muslim no.
2401)
Dalam riwayat yang lainnya dari ‘Aisyah dan ‘Utsman c, Rasulullah n mengatakan:
“Sesungguhnya ‘Utsman itu orang yang pemalu. Aku khawatir, jika aku
mengizinkan dia masuk dalam keadaan seperti tadi, dia tidak akan bisa
menyampaikan keperluannya kepadaku.” (HR. Muslim no. 2402)
Ini menunjukkan bahwa malu adalah sifat yang terpuji dan termasuk
sifat yang dimiliki oleh para malaikat. (Syarh Shahih Muslim, 15/168)
Tetapi, ke mana perginya rasa malu yang dipuji oleh Allah v dan Rasul-Nya itu dari jiwa sebagian kaum muslimin sekarang ini?
Anak-anak kita tidak lagi merasa malu menonton tayangan yang tidak layak dilihat.
Anak-anak gadis kita sekarang tidak lagi merasa malu bertemu dengan laki-laki yang tak seharusnya ditemui.
Begitu pula anak laki-laki kita, tidak merasa malu pergi bermain
dengan memakai celana pendek. Dia justru merasa malu bila harus berlatih
memakai celana yang menutupi auratnya, karena akan berbeda dengan
teman-teman sepermainannya.
Anak-anak merasa malu jika tak mengenal mode atau tren terkini.
Atau, justru orangtualah yang merasa malu jika anak-anaknya harus
menghabiskan waktu untuk menghafal Al-Qur’an atau menempuh pendidikan
agama. Tidak ada sederet gelar yang akan melekat di depan nama bila
hanya belajar agama, begitu yang ada dalam pikiran.
Mereka pun akan malu jika anak mereka ‘kuper’ karena tidak mau
bergaul dengan lawan jenisnya. Allahul musta’an …. Keadaan telah
berbalik.
Malu merupakan sifat yang terpuji, kecuali bila justru mencegah
pemiliknya dari melaksanakan kewajiban atau menjatuhkannya pada
keharaman. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 234)
Jika rasa malu pada diri seseorang menghalanginya melakukan kebaikan
atau mendorongnya berbuat kemaksiatan, atau menghalanginya untuk
menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang dia hormati atau dia
cintai, maka pada hakikatnya ini bukanlah malu, melainkan sikap lemah.
Ibnu Rajab Al-Hambali v ketika menjelaskan hadits ‘Imran bin Hushain z
tentang malu, mengatakan bahwa malu yang dipuji dalam ucapan Rasulullah
n adalah akhlak yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan
meninggalkan kejelekan. Sedangkan rasa lemah yang menyebabkan seseorang
mengurangi hak Allah l ataupun hak hamba-Nya bukan termasuk malu. Tetapi
ini adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan. (Jami’ul ‘Ulum wal
Hikam, 1/502)
Di antara perkara yang tidak pantas malu padanya adalah menuntut ilmu.
Demikian yang ada dalam kehidupan para sahabat g. Jadi, belajar agama
yang benar tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang ‘tidak bergengsi’
sehingga orang harus malu melakukannya.
Tidak layak pula malu bertanya tentang sesuatu hal yang penting untuk
diamalkan dalam agama ini, walaupun nampaknya hal itu adalah sesuatu
yang ‘tabu’. Seperti Ummu Sulaim x yang bertanya kepada Rasulullah n
tentang mandi janabah bagi wanita yang ihtilam. Ummu Sulaim memulai pertanyaannya dengan ucapan yang begitu bermakna:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu pada perkara yang benar…” (HR. Al-Bukhari no. 6121)
Abdullah bin ‘Umar c pernah merasa malu dalam suatu majelis ilmu,
ketika Nabi n melontarkan pertanyaan kepada para sahabat yang ada di
majelis itu. Abdullah bin ‘Umar c ingin memberikan jawaban, namun rasa
malu begitu menguasainya. Ketika mengetahui hal itu, ‘Umar ibnul
Khaththab z pun mencela perbuatan putranya. Berikut kisahnya:
Nabi n pernah bersabda, “Perumpamaan seorang mukmin itu seperti
sebuah pohon yang hijau yang tak pernah berguguran daunnya.” Para
sahabat pun menjawab, “Itu adalah pohon ini, pohon itu.” Aku ingin
mengatakan bahwa itu adalah pohon kurma, sementara aku ini anak kecil
sehingga aku pun merasa malu. Lalu beliau n mengatakan, “Itu pohon
kurma.”
Di dalam riwayat yang lain ada tambahan:
Kuceritakan kejadian itu kepada ayahku, ‘Umar, maka dia berkata,
“Seandainya engkau tadi menjawab, itu lebih kusukai daripada memiliki
ini dan itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6122)
Betapa jauh keadaan kita dengan para sahabat. Mereka berhias dengan
rasa malu yang hakiki, yang dapat menahan diri mereka dari kehinaan.
Mereka buang jauh-jauh sifat lemah yang menyebabkan seseorang segan
melakukan kebaikan. Mulai sekarang mestinya, kita berbenah diri dan
membenahi anak-anak kita agar memiliki rasa malu.
Rasa malu itu akan menuntun kita dan anak-anak kita menuju kebaikan
sehingga kelak akan sampai di surga. Benarlah sabda Rasulullah n yang
dinukilkan oleh Abu Hurairah z:
“Malu itu termasuk keimanan, dan keimanan itu tempatnya di surga,
sementara kekejian3 itu termasuk kekerasan4, dan kekerasan itu tempatnya
di neraka.” (HR. At-Tirmidzi no. 2009, dishahihkan Syaikh Al-Albani v
dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
1 Al-bidh’u adalah hitungan antara tiga sampai sembilan.
2 Salah seorang perawi hadits ini.
Sumber: asysyariah.com
17.39
Karimun 08 Makassar
Posted in


0 komentar :
Posting Komentar