Pahami Tiga Macam Nash
Perlu dipahami bahwa makanan itu ada tiga macam, yaitu:
- Yang terdapat dalil yang menunjukkan halalnya.
- Yang terdapat dalil yang menunjukkan haramnya.
- Yang didiamkan oleh syari’at. Sesuatu yang tidak disebutkan (didiamkan) halal ataukah haram adalah sesuatu yang dimaafkan oleh Allah Ta’ala. Dan asalnya, hukumnya halal.
Larangan Memakan Binatang Buas Bertaring
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)
Dari Abi Tsa’labah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ
مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan setiap
binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai
kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)
Pandangan Ulama Madzhab Mengenai Hukum Binatang Buas
Pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah, “Dimakruhkan
memakan hewan buas (pemangsa) baik hewan piaraan seperti kucing dan
anjing atau hewan liar seperti serigala dan singa. Sedangkan mengenai
monyet dan kera, ulama Malikiyah berpendapat boleh memakannya.” Ulama
Malikiyah bisa berpendapat makruh karena mereka menganggap hewan yang
diharamkan hanyalah yang disebut dalam Al Qur’an, surat Al An’am ayat
145. Adapun hewan buas tidak tercakup dalam ayat tersebut. Sedangkan
larangan memakan hewan setiap hewan yang bertaring dibawa ke hukum
makruh menurut mereka.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bolehnya memakan sebagian binatang buas seperti “الضّبع” (adh dhobu’, mirip serigala atau anjing hutan disebut hyena), “الثّعلب” (tsa’lab, anjing hutan disebut rubah)
tupai, “الفنك” (sejenis serigala), “السّمّور” karena taring
binatang-binatang tersebut tidaklah kuat. Ulama Syafi’iyah –menurut
pendapat lebih kuat- berpendapat bahwa kucing rumah maupun kucing liar,
serigala, dan luwak adalah haram.
Ulama Hambali hanya membolehkan memakan adh dhobu’ (“الضّبع”, sejenis
anjing hutan) dari hewan buas yang ada. Salah satu pendapat Imam Ahmad,
menyatakan halalnya rubah dan kucing jinak.
Halalnya Adh Dhobu’ (الضّبع = hyena)
Hewan yang kami maksudkan ini hanyalah mirip serigala, namun berbeda. Kami dapati penyebutan adh dhobu’ dalam bahasa Inggris adalah hyena. Hewan ini halal karena terdapat nash atau dalil sebagai pendukung.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,
سَأَلْتُ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الضَّبُعِ فَقَالَ « هُوَ
صَيْدٌ وَيُجْعَلُ فِيهِ كَبْشٌ إِذَا صَادَهُ الْمُحْرِمُ ».
“Aku berkata pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
‘hyena’. Beliau bersabda, ‘Binatang tersebut termasuk binatang buruan.
Jika orang yang sedang berihrom memburunya, maka ada kewajiban
sembelihan domba jantan’.” (HR. Abu Daud no. 3801. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)
Dari Ibnu ‘Abi ‘Ammar, ia berkata,
سَأَلْتُ
جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ الضَّبُعِ فَأَمَرَنِي بِأَكْلِهَا
فَقُلْتُ أَصَيْدٌ هِيَ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ أَسَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ
“Aku bertanya pada Jabir bin ‘Abdillah mengenai hukum ‘hyena’. Aku
pun dibolehkan untuk memakannya. Aku pun bertanya, “Apakah binatang
tersebut termasuk hewan buruan?” “Iya”, jawab Jabir. Aku berkata,
“Apakah engkau mendengar hukum binatang tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” “Iya betul”, jawab Jabir.” (HR. An Nasai nol. 4323. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Ada seseorang yang
mengabari Ibnu ‘Umar bahwa Sa’ad bin Abi Waqqosh memakan ‘hyena’.” Nafi’
berkata, “Ibnu ‘Umar tidaklah mengingkari perbuatan Sa’ad.” (HR. Abdur
Rozaq, 4: 513)
Dalil-dalil di atas mendukung hyena atau “الضّبع” termasuk binatang buas yang dikecualikan dan hukumnya halal.
Yang Dimaksud Memiliki Taring
Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat, “Dalil di atas (yang menyatakan haramnya memakan hewan buas yang memiliki taring) menunjukkan akan halalnya hewan buas yang tidak memiliki taring.”[1]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan
memiliki taring–menurut ulama Syafi’iyah- adalah taring tersebut
digunakan untuk berburu (memangsa).”[2]
Nukilan dari Islamweb.net:
Yang dimaksud memiliki taring di sini adalah taring tersebut
digunakan untuk menyerang manusia dan harta mereka, seperti singa,
macan, macan tutul dan serigala. Inilah yang dimaksud memiliki taring di
sini menurut jumhur (mayoritas ulama). Sedangkan Imam Abu Hanifah
berpandangan bahwa setiap pemakan daging (karnivora) disebut “سبع”
(binatang buas). Yang termasuk binatang buas menurut beliau yaitu gajah,
hyena, yarbu’ (hewan pengerat semacam tikus). Hewan-hewan
tersebut haram untuk dimakan. Adapun Imam Syafi’i berpendapat bahwa
binatang buas yang haram dimakan adalah yang menyerang manusia seperti
singa, serigala dan macam. Sedangkan Imam Malik dalam Muwatho’nya
berpendapat setelah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Memakam setiap hewan buas yang memiliki taring, hukumnya haram.” Kata beliau, “Kami berpendapat secara tekstual dari hadits tersebut.”[3]
Kesimpulan
Pendapat terkuat mengenai hukum binatang buas adalah haram berdasarkan dalil Abu Hurairah dalam riwayat Muslim, kecuali hyena (الضّبع)
karena terdapat dalil khusus yang membolehkannya. Sedangkan binatang
buas yang bertaring adalah yang taringnya digunakan untuk memangsa atau
menerkam musuhnya.
Ralat: Sebelumnya penulis menyebutkan adh dhobu’ sama dengan rubah. Yang lebih tepat, adh dhobu’ adalah hyena, sedangkan tsa’lab adalah rubah (fox).

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 5 Muharram 1433 H
Sumber: rumaysho.com