Syekh Shalih Alu Syaikh, Menteri Agama KSA saat ini, mengatakan, “Di
antara permasalahan yang disinggung oleh para ulama ketika membahas
hadits keenam dalam kitab Arbain An-Nawawiyyah (yaitu hadits yang berisi
perintah untuk menjauhi sesuatu yang belum jelas kehalalannya, pent.)
adalah permasalahan memakan harta orang yang pendapatannya bercampur
antara sumber yang halal dengan sumber yang haram. Misalnya: Tetangga
yang kita ketahui memiliki sumber pendapatan yang haram, berupa menerima
uang suap, memakan riba, atau semisalnya, namun di sisi lain dia
memiliki sumber pendapatan yang halal. Apa hukum harta orang semisal
ini?
Dalam masalah ini, ada beberapa pendapat ulama:
Pertama: Ada ulama yang memasukkan kasus di atas ke dalam hadits keenam Arbain An-Nawawiyyah. Sehingga, bentuk sikap wara’ (baca:
hati-hati, pent.) untuk masalah ini adalah menjauhi harta (misalnya:
hadiah, jamuan ketika bertamu ke rumahnya, dan sebagainya, pent.) orang
tersebut. Namun, hukum sikap ini adalah dianjurkan, tidak wajib, karena
dengan sikap ini, kita menjadi lebih bersih dari kemungkinan yang
tidak diharapkan.
Kedua: Sejumlah (ulama lain) berpendapat bahwa yang menjadi tolak ukur adalah jenis harta yang paling dominan. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang haram maka kita jauhi harta tersebut. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang halal maka kita boleh memakannya, selama kita tidak mengetahui secara pasti bahwa harta yang dia suguhkan atau dia hadiahkan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram.
Kedua: Sejumlah (ulama lain) berpendapat bahwa yang menjadi tolak ukur adalah jenis harta yang paling dominan. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang haram maka kita jauhi harta tersebut. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang halal maka kita boleh memakannya, selama kita tidak mengetahui secara pasti bahwa harta yang dia suguhkan atau dia hadiahkan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram.
Ketiga: Ulama yang lain, semisal Ibnu Mas’ud,
mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut, sedangkan
tentang jalan haram--yang ditempuh orang tersebut dalam memperoleh
hartanya--itu menjadi tanggung jawabnya, karena cara mendapatkan harta
itu antara kita dengan dia berbeda. Orang tersebut mendapatkan harta
itu melalui profesi yang haram, namun ketika dia memberikan harta
tersebut kepada kita, dia memberikannya sebagai hadiah, hibah, jamuan
tamu, atau semisalnya kepada kita.
Perbedaan cara mendapatkan harta menyebabkan berbedanya status hukum
harta tersebut. Sebagaimana dalam kisah Barirah. Barirah mendapatkan
sedekah berupa daging, lalu daging tersebut dia hadiahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah diperkenankan untuk memakan harta sedekah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Daging tersebut adalah sedekah untuk Barirah, namun hadiah untuk kami.' (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)
Meski daging yang dihadiahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam itu
adalah daging yang disedekahkan kepada Barirah, tetapi status hukumnya
berbeda karena terdapat perbedaan cara mendapatkannya. Berdasarkan
pertimbangan ini, sejumlah shahabat dan ulama mengatakan bahwa kita
boleh memakan harta orang tersebut, sedangkan tentang adanya dosa, maka
itu menjadi tanggungan orang yang memberikan harta tersebut kepada
kita. Alasannya, kita mendapatkan harta tersebut dengan status hadiah,
sehingga tidak ada masalah jika kita memakannya.
Keempat: Sejumlah ulama yang lain mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut selama kita tidak mengetahui bahwa harta tertentu yang dia berikan kepada kita adalah harta yang haram. Jika kita mengetahui bahwa harta yang dia berikan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram, kita tidak boleh memakan harta tersebut saja, sedangkan hartanya yang lain tetap boleh kita makan. Dalilnya adalah orang-orang Yahudi yang memberi makanan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal mereka adalah para rentenir. Meski demikian, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memakan makanan yang diberi oleh orang-orang Yahudi itu.
Keempat: Sejumlah ulama yang lain mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut selama kita tidak mengetahui bahwa harta tertentu yang dia berikan kepada kita adalah harta yang haram. Jika kita mengetahui bahwa harta yang dia berikan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram, kita tidak boleh memakan harta tersebut saja, sedangkan hartanya yang lain tetap boleh kita makan. Dalilnya adalah orang-orang Yahudi yang memberi makanan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal mereka adalah para rentenir. Meski demikian, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memakan makanan yang diberi oleh orang-orang Yahudi itu.
Inti kasus ini adalah: apakah contoh masalah yang diperselisihkan para ulama termasuk dalam hadits keenam Arbain Nawawiyyah ataukah tidak? Sebagian ulama mengatakan bahwa kasus di atas termasuk dalam hadits keenam Arbain Nawawiyyah,
sebagai bentuk kehati-hatian, bukan karena orang yang memakan harta
orang yang sumber pendapatannya bercampur itu berarti telah memakan
harta yang haram. Meski demikian, sejumlah ulama peneliti menguatkan
pendapat Ibnu Mas’ud.
Dari sisi dalil, pendapat Ibnu Mas’ud adalah pilihan yang tepat. Di
antara ulama yang menguatkan pendapat Ibnu Mas’ud adalah Ibnu Abdil Bar
Al-Maliki, dalam kitabnya 'At-Tamhid'.” (Syarah Arbain Nawawiyyah karya Syekh Shalih Alu Syekh, hlm. 153--155, terbitan Dar Al-‘Ashimah, Riyadh, cetakan pertama, 1431 H)
عن ذر بن عبد الله عن ابن
مسعود قال : جاء إليه رجل فقال : إن لي جارا يأكل الربا ، وإنه لا يزال
يدعوني ، فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه
Dari Dzar bin Abdullah, dia berkata, “Ada seseorang yang menemui
Ibnu Mas’ud lalu orang tersebut mengatakan, 'Sesungguhnya, aku memiliki
tetangga yang membungakan utang, namun dia sering mengundangku untuk
makan di rumahnya.' Ibnu Mas’ud mengatakan, 'Untukmu enaknya
(makanannya) sedangkan dosa adalah tanggungannya.'” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no. 14675)
عن سلمان الفارسي قال: إذا كان
لك صديق عامل، أو جار عامل أو ذو قرابة عامل، فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى
طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمه عليه.
Dari Salman Al-Farisi, beliau mengatakan, “Jika Anda memiliki
kawan, tetangga, atau kerabat yang profesinya haram, lalu dia memberi
hadiah kepada Anda atau mengajak Anda makan di rumahnya, terimalah!
Sesungguhnya, rasa enaknya adalah hak Anda, sedangkan dosanya adalah
tanggung jawabnya.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no. 14677)
Ringkasnya, harta haram itu ada dua macam:
Pertama: Haram karena bendanya. Misalnya: Babi dan
khamar; mengonsumsinya adalah haram atas orang yang mendapatkannya
maupun atas orang lain yang diberi hadiah oleh orang yang
mendapatkannya.
Kedua: Haram karena cara mendapatkannya. Misalnya:
Uang suap, gaji pegawai bank, dan penghasilan pelacur; harta tersebut
hanyalah haram bagi orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Akan
tetapi, jika orang yang mendapatkannya dengan cara haram tersebut
menghadiahkan uang yang dia dapatkan kepada orang lain, atau dia
gunakan uang tersebut untuk membeli makanan lalu makanan tadi dia
sajikan kepada orang lain yang bertamu ke rumahnya, maka harta tadi
berubah menjadi halal untuk orang lain tadi, karena adanya perbedaan
cara mendapatkannya antara orang yang memberi dengan orang yang diberi.
Inilah pendapat ulama yang paling kuat dalam masalah ini, sebagaimana
pendapat ini adalah pendapat dua shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu Ibnu Mas’ud dan Salman Al-Farisi.
Sumber: pengusahamuslim.com
23.13
Karimun 08 Makassar
Posted in


0 komentar :
Posting Komentar