Manusia telah mengenal ihwal akad sejak dahulu kala. Bukan suatu hal
yang aneh, jika ada orang yang mengikat dirinya dengan transaksi yang
harus dilaksanakan saat itu juga atau beberapa waktu berikutnya. Namun
belum diketahui secara pasti bagaimana pemikiran untuk mengadakan
transaksi itu muncul dan faktor dominan yang melatarbelakanginya. Semua
yang diungkap dalam masalah ini hanyalah perkiraan semata.
Sebagian pakar ekonomi memandang bahwa transaksi yang dikenal pertama
kali yaitu barter tunai. Yaitu ketika butuh sesuatu, ia menukar barang
miliknya dengan barang orang lain yang dia butuhkan. Kemudian transaksi
ini mengalami perkembangan sesuai dengan keonsep pemikiran dan agama
yang berkembang pada suatu masyarakat, sampai Islam membawa konsep akad
transaksi yang indah dan istimewa.
Urgensi dan Pengertian Akad Transaksi
Urgensi akad transaksi dalam hubungan antar manusia.
Manusia sebagai makhluk sosial pasti butuh pada orang lain untuk
memenuhi kebutuhannya. Ini berarti, setiap orang pasti butuh untuk hidup
bersama dengan orang disekelilingnya. Allah yang Maha Pengasih dan
Maha Tahu memberikan anugerah kepada manusia dengan menciptakan alam
semesta untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اللهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ
الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن
فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ {12} وَسَخَّرَ لَكُم مَّافِي
السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا مِّنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ .13
“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya
kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu
bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah/45:12-13)
Setiap orang mendapatkan rezeki dan kemudahan yang berbeda-beda. Dan
apa yang sudah menjadi milik orang, maka itu tidak boleh direbut atau
diambil kecuali dengan transaksi yang dibenarkan syari’at. Khususnya
yang terkait dengan pengelolaan dana (harta). Akad atau transaksi itu
teramat penting. Transaksi inilah yang mengatur hubungan antar pihak
yang terlibat. Transaksi itu juga yang mengikat hubungan itu di masa
sekarang dengan hubungan tersebut di masa akan datang. Karena dasar
hubungan itu adalah penampakan sikap ridha dan pelaksanaan semua yang
menjadi orientasi kedua transaktor (orang yang melakukan transaksi),
yang dijelaskan dalam komitmen transaksionalnya, kecuali bila
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, atau mengandung
unsur pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Warisan ilmu fikih yang
kita miliki memuat berbagai rincian dan penetapan dasar-dasar
transaksi-transaksi tersebut sehingga dapat merealisasikan tujuannya,
memenuhi kebutuhan umat pada saat yang sama, serta melahirkan bagi umat
Islam beberapa kaidah dan persepsi untuk digunakan memoles kebutuhan
moderen kita.
Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat transaksi, maka
peluang konflik dan pertentangan yang mungkin timbul di masa mendatang
semakin kecil. Dari sini, seorang muslim mestinya tertantang untuk
serius memperhatikan masalah transaksi, mulai dari menyusun konsep,
managemen dan mensukseskannya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (QS. Al-Maidah/5:1)
Oleh sebab itu, sangat diperlukan penjelasan umum tentang hukum-hukum
yang berkaitan dengan transaksi, terutama saat berbagai transaksi
menggiurkan bermunculan seperti jamur di musim hujan. Antusias
masyarakat luas dan respon positip mereka telah mengecoh banyak kaum
Muslimin untuk ikut andil. Padahal seharusnya sebagai seorang Muslim,
kita harus melihat dan menimbangnya dengan aturan agama kita. Jika tidak
bertentang dengan prinsip agama dan berminat, baru ikut andil. Jika
bertentangan, maka tinggalkanlah meski nafsu sangat menginginkannya.
Definisi Akad (Transaksi)
Secara bahasa, kata “akad” berasal dari bahasa arab al-‘Aqd yang dipergunakan dalam banyak makna, yang keseluruhannya kembali ke makna ikatan atau penggabungan dua hal[1].
Bila kita memperhatikan pernyataan dan pendapat Ulama ahli fikih
seputar definisi akad, kita dapati bahwa akad itu memiliki dua makna
yaitu makna umum dan makna khusus. Dalam maknanya yang umum, akad adalah
semua komitmen yang ingin dilaksanakan oleh manusia dan menimbulkan
hukum syar’i.[2]
Pengertian ini mencakup semua jenis komitmen, baik yang berasal dari
dua pihak atau lebih seperti akad jual-beli, sewa-menyewa dan akad nikah
serta yang sejenisnya; ataupun komitmen yang berasal dari satu pihak
saja, seperti akad sumpah, nadzar, talak, akad memberikan hadiah,
shadaqah dan lain-lainnya, termasuk komitmen pribadi untuk melaksanakan
semua kewajiban agama dan meninggalkan semua larangan dalam agama.
Menurut para ahli tafsir, makna inilah yang terkandung dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (QS. al-Maidah/5:1)
Ibnul Arabi rahimahullah menyatakan, “Ikatan transaksi (akad)
terkadang berhubungan dengan Allah, terkadang dengan manusia dan
terkadang dengan lisan serta terkadang dengan perbuatan.”[3]
Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t memasukkan komitmen untuk
membebaskan budak, akad wala’, ketaatan, nadzar dan sumpah dalam
kategori akad. Bahkan beliau juga menyebut kesepakatan damai antara kaum
Muslimin dan orang-orang kafir sebagai akad.[4]
Pengertian akad secara umum ini digunakan para Ulama ahli fikih
ketika menjelaskan hukum-hukum umum yang melekat pada suatu akad.
Sedangkan akad dalam maknanya yang khusus, didefinisikan oleh para
Ulama dengan beragam definisi yang hampir sama. Semua definisi itu
tercakup dalam pengertian berikut, yaitu :
رَبْطُ إِيْجَابِ بِقَبُوْلٍ أَوْ مَا يَقُوْمُ مَقَامَهُمَا عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ
(akad adalah) transaksi yang ditandai dengan îjab[5] dan qabûl[6] atau yang mewakili keduanya yang dilaksanakan sesuai dengan syari’at.[7]
Definisi akad dalam maknanya yang khusus inilah yang langsung terfahami sebagai definisi akad dalam fikih muamalat maliyah.
Rukun-rukun Akad (Transaksi)
Sebelum membahas rukun akad, perlu diketahui bahwa pembahasan ini
berkenaan langsung dengan akad atau transaksi dalam maknanya yang khusus
bukan yang umum.
Dalam maknanya yang khusus, akad memiliki tiga rukun yaitu dua pihak yang melakukan akad (al-aqid), obyek
akad (mahallul ‘aqd), serta pelafalan (shighah) akad. Berikut perinciannya
Pertama: Dua pihak yang melakukan akad (Transaktor).
Maksudnya adalah dua orang yang terlibat langsung dalam transaksi.
Kedua orang ini harus memenuhi syarat sehingga transaksinya dianggap
sah. Syarat-syarat tersebut adalah :
- Rasyîd (mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya). Ini ditandai dengan akil baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap ediot atau bangkrut total, jika melakukan akad maka akadnya tidak sah.
- Sukarela dan tidak terpaksa. Akad yang dilakukan dibawah paksaan tidak sah.
- Akad itu dianggap berlaku dan berkekuatan hukum, apabila tidak memiliki khiyar (hak pilih/opsi). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ‘aib dan sejenisnya. [8]
Kedua : Obyek Akad (Mahallul Aqd/ al-Ma’qûd ‘alaihi).
Sesuatu yang menjadi obyek akad, terkadang berupa harta benda, barang
dan terkadang non barang atau berupa manfaat (jasa). Misalnya barang
yang dijual dalam akad jual beli, atau yang disewakan dalam akad
sewa-menyewa dan sejenisnya.
Obyek ini juga harus memenuhi syarat, baru dikatakan akadnya sah. Syarat-syarat itu adalah :
1. Obyek akad adalah suatu yang bisa ditransaksikan sesuai syariat. Syarat ini disepakati para Ulama fikih. Penulis Bidayatul Mujtahid
(2/166), Ibnu Rusyd t mengatakan, “(Jika obyek akad itu) barang, maka
(syaratnya adalah) boleh diperjual-belikan. … sedangkan (jika obyek akad
itu adalah) manfaat (jasa) maka harus dari sesuatu yang tidak dilarang
syari’at. Dalam masalah ini, ada beberapa masalah yang telah disepakati
dan ada yang masih diperselisihkan. Diantara yang sudah disepakati (oleh
para Ulama’) adalah batalnya akad sewa-menyewa atas semua manfaat
(jasa) yang digunakan untuk sesuatu yang zatnya haram. Demikian juga
semua manfaat (jasa) yang diharamkan oleh syariat, seperti upah
menangisi jenazah dan upah para penyanyi. Berdasarkan ini, apabila obyek
akad itu tidak bisa ditransasikan secara syariat, maka akadnya tidak
sah. Misalnya pada akad Mu’awadhah (transaksi bisnis), maka
yang menjadi obyek haruslah barang yang bernilai, sepenuhnya milik
transaktor dan tidak terkait dengan hak orang lain. Berdasarkan ini,
para Ulama ahli fiqih melarang beberapa bentuk transaksi berikut:
- Jika obyek akadnya adalah manusia yang merdeka (non budak), karena orang yang merdeka bukan harta, sehingga tidak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh dijadikan jaminan hutang.
- Jika obyek akadnya adalah sesuatu yang najis, seperti bangkai, anjing dan babi. Juga semua barang yang suci yang berubah menjadi najis yang tidak mungkin disucikan lagi, seperti cuka, susu dan benca cair lainnya yang terkena najis. Namun jika bisa dibersihkan, maka itu boleh dijadikan sebagai obyek akad.
- Jika obyeknya adalah barang yang tidak dapat dimanfaatkan, baik yang tidak dapat dimanfaatkan dalam bentuk nyata, seperti serangga atau tidak dapat dimanfaatkan karena dilarang syariat, seperti alat musik.[9] Karena fungsi legal dari suatu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Komoditi yang tidak berguna ibarat barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat jadikan obyek akad.[10]
2. Obyek akad itu ada ketika akad dilakukan.
3. Obyek transaksi bisa diserahterimakan. Barang
yang tidak ada atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan, tidak sah
dijadikan sebagai obyek akad.
4. Jika obyeknya adalah barang yang diperjualbelikan
secara langsung, maka traksaktor harus mengetahui wujudnya. Dan harus
diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, apabila barang-barang itu
berada dalam kepemilikan transaktor namun barang tersebut tidak ada di
lokasi transaksi, seperti dalam jual beli as-Salam, berdasarkan sabda Nabi n ,”Barangsiapa yang melakukan jual beli As-Salm, hendaknya ia menjual barangnya dalam satu takaran yang jelas atau timbangan yang jelas, dalam batas waktu yang jelas..”
Ketiga: Kalimat Transaksi (shighat al-Akad)
Yang dimaksudkan adalah ungkapan atau yang mewakilinya yang bersumber
dari transaktor untuk menunjukkan keinginannya terhadap keberlangsungan
transaksi dan sekaligus mengisyaratkan keridhaannya terhadap akad
tersebut. Para Ulama ahli fiqih membahasakannya dengan îjab dan qabûl (serah terima) [11],
namun mereka berbeda pendapat tentang definisi ijab dan qabûl. Menurut
madzhab hanafiyyah, ijab adalah kalimat transaksi yang diucapkan sebelum
qabûl, baik bersumber dari pihak pemilik barang (dalam akad jual-beli,
sewa-menyewa) ataupun bersumber dari pembeli (jika dalam akad jual
beli).
Sementara menurut jumhur Ulama, îjab adalah statemen penyerahan dan qabûl adalah statemen penerimaan. Sehingga menurut jumhur Ulama, ijab
itu mestinya diucapkan oleh orang pemilik barang pertama, seperti
penjual, pemberi sewaan, wali calon isteri dan lain sebagainya. Dan qabûl
karena dia adalah penerimaan, maka msertinya berasal dari orang yang
akan menjadi pemilik kedua, seperti pembeli, penyewa, calon suami dan
lain sebagainya. Jadi, pemilik pertama yang mengucapkan ijab sementara
calon pemilik kedua yang mengucapkan qabûl.
Pada dasarnya ketika seseorang hendak mengungkapkan keinginannya,
maka yang dia pergunakan adalah untaian kata-kata. Sehingga lafazh dan
untaian kata-kata adalah cara utama dalam mengungkapkan keinginan. Namun
ini terkadang bisa diwakili dengan yang lainnya seperti isyarat,
tulisan, surat dan saling memberi dan lain sebagainya. Oleh karena itu shighat (kalimat transaksi) ini dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Dengan shighat qauliyah (ucapan lisan). Ini yang dinamakan îjab Qabûl. Ijab qabûl
ini dapat diwujudkan dengan tulisan atau utusan perwakilan. Apabila
seorang menulis kepada pihak kedua lalu mengirimnya dengan faks atau
mengirim orang untuk membawa faktur penjualan lalu pihak kedua
menerimanya di majlis akad maka akad jual beli itu sah.
Dalam ijab qabûl disyaratkan beberapa syarat diantaranya :
a. Ada relevansi antara qabûl dan îjab[12]
dalam masalah ukuran, kriteria, pembayaran dan tempo. Jika tidak
relevan, maka akad itu tidak sah. Misalnya, penjual menyatakan, “Saya
jual rumah ini seharga 300 juta.”, lalu pembeli menjawab, “Saya terima
rumah ini seharga 250 juta.” , maka akad seperti ini tidak sah.
Apabila qabûl menyelisihi kandungan îjab maka akad atau transaksinya tidak sah.
Namun bila qabûl menyelisihi îjab demi kebaikan orang yang mengucapkan îjab maka para Ulama menyatakannya sebagai akad yang sah. Misalnya, seorang wali mengucapkan îjab
dengan menyatakan, “Saya nikahkan engkau dengan anak saya dengan mahar
50 ribu dolar”. lalu sang mempelai lelaki menjawab dalam qabulnya, “Saya
terima nikahnya dengan mahar 100 ribu dolar”. Akad ini bisa diterima
dan sah karena isinya mendatangkan kemaslahatan bagi pengijab. Bahkan
ini semakin menunjukkan keridhaan pihak penerima.
b. Ijab dan qabûl bersambung dan ini terwujud dalam satu majlis atau dalam satu lokasi. Karena îjab itu hanya bisa dianggap bagian dari transaksi bila ia bersambung dengan qabûl.
Perlu dicatat, bahwa kesamaan lokasi tersebut disesuaikan dengan
kondisi jaman. Transaksi itu bisa berlangsung melalui pesawat telpon.
Dalam kondisi demikian, lokasi tersebut adalah masa berlangsungnya
percakapan via telpon. (bagaimana dengan akad nikah) Selama percakapan
itu masih berlangsung, dan line telpon masing tersambung, berarti kedua
belah pihak masih berada dalam lokasi transaksi. Ada pengecualian atas
syarat ini, karena adanya sebagian transaksi tidak bisa dan tidak
menjadi syarat terjadinya qabul di satu majlis, diantaranya:
- Akad wasiat (transaksi wasiat). Ijab dalam akad ini dilakukan saat pemberi wasiat masih hidup dan qabûl dari pihak penerima wasiat tidak akan dianggap kecuali setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Akad wasiat menjadi tidak sah apabila serah terima barang yang diwasiatkan dilakukan di majlis îjab atau setelahnya selama pemberi wasiat masih hidup.[13]
- Akad Washayah yaitu akad penyerahan wewenang setelah kematian orang yang memiliki kewenangan tersebut. Seperti untuk melunasi hutang, mengembalikan barang titipan. Orang yang diberi wewenang dinamakan washiy dan seseorang tidak anggap washiy kecuali setelah yang memberikan wewenang itu meninggal. Karena dalam akad washayah tidak disyaratkan îjab dan qabûl itu dalam satu majlis.[14]
- Akad Wakalah.
c. Antara îjab dan qabûl tidak diselingi jeda waktu lama yang mengisyaratkan ketidakinginan salah satu pihak.
Tidak ada indikasi yang menunjukkan penolakan atau pengunduran diri
dari pihak kedua merupakan syarat, karena jika indikasi itu ada, maka
bisa membatalkan îjab. Kalau beberapa saat setelah ada indikasi penolakan itu baru ada qabûl, maka qabû itu sudah tidak berguna lagi. Karena tidak terkait lagi dengan îjab sebelumnya secara tegas.
d. Kedua belah pihak mendengar ucapan îjab qabûl. Apabila jual beli menggunakan saksi maka pendengaran saksi cukup untuk mengesahkan jual beli tersebut.
e. Ijab masih berlaku sampai ada qabûl dari pihak kedua. Kalau pihak pertama telah menarik îjabnya, lalu setalah itu ada qabûl, maka qabûl seperti ini dianggap qabûl tanpa îjab dan tidak diperhitungkan.
2. Dengan shighatul fi’liyah (dengan perbuatan) dinamakan juga al-mu’athah
yaitu serah terima tanpa ucapan. Seperti orang yang membeli barang yang
sudah jelas harganya lalu ia ambil barang dan menyerahkan uang
pembayaran. Ini sering terjadi di supermarket dan toko-toko zaman ini.
Demikian juga aktifitas jual beli via bursa efek, dimana akad transaksi
terjadi dalam hitungan menit bahkan detik dengan aturan dan sisitem yang
telah disepakati perusahan dan orang-orang yang bertransaksi untuk
menunjukkan keridhaan. Maka ini semua sah apabila sudah ada nota
kesepakatan antara perusahaan yang terkait dengan penjual dan pembeli
atas satu sistem yang mengungkapkan keridhaan semua pihak. Seperti nomor
kartu visa via internet.
Demikian sebagian pembahasan tentang transaksi dan rukunnya dalam islam semoga bermanfaat.
Referensi :
- Al-Mughni karya Ibnu Quddamah.
- Raudhatuth Thalibîn karya Imam an-Nawawi
- Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab karya imam an-Nawawi
- Aqsamul Uqûd fil Fiqhil Islami, karya Hanan bintu Muhammad Husein Jastaniyah
- Dll.
****
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, L.c.
Artikel www.UstadzKholid.com
[1] Ikatan itu sendiri bisa bermakna kongkrit. Itulah makna sebenarnya. Seperti dalam bahasa Arab, “aqadtu al-habl“ yakni saya buhul dan saya hubungkan antara dua ujungnya. Namun ikatan juga bisa bermakna abstrak seperti ikatan jual-beli.
[2]Aqsâmul Uqûd 1/43
[3]Ahkâmul Qur`ân, 2/526
[4] Lihat al-Qawâ’idun Nûrâniyah, hlm. 73.
[5] Ungkapan penyerahan dari pihak pertama, misalnya, “Saya menjual barang ini kepada anda”
[6] Ungkapan penerimaan dari pihak kedua, misalnya, “Saya beli barang anda”
[7] Lihat at-Ta’rîfât karya al-Jurjâni, hlm. 166
[8] Tentang khiyaar telah kami sampaikan dalam rubrik fikih majalah Assunnah edisi / / dan edisi / / /
[9] Lihat al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab karya imam an-Nawawi, 9/238-240.
[10] Yang perlu diingat di sini, bahwa satu barang dikatakan bermanfaat atau tidak, itu bisa berubah melalui perkembangan jaman. Sampah misalnya, dahulu dianggap sebagai barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Namun dalam kehidupan modern sekarang ini, sampah dapat digunakan dalam produksi pupuk dan sejenisnya. Maka komoditi ini tidak lagi dianggap sebagai barang rongsokan.
[11]Aqsâmul Uqûd 1/59
[12] Lihat Raudhatuth Thâlibîn karya Imam an-Nawawi, 3/342
[13] Lihat al-Mughni 6/444
[14] Lihat al-Mughni 6/467
[2]Aqsâmul Uqûd 1/43
[3]Ahkâmul Qur`ân, 2/526
[4] Lihat al-Qawâ’idun Nûrâniyah, hlm. 73.
[5] Ungkapan penyerahan dari pihak pertama, misalnya, “Saya menjual barang ini kepada anda”
[6] Ungkapan penerimaan dari pihak kedua, misalnya, “Saya beli barang anda”
[7] Lihat at-Ta’rîfât karya al-Jurjâni, hlm. 166
[8] Tentang khiyaar telah kami sampaikan dalam rubrik fikih majalah Assunnah edisi / / dan edisi / / /
[9] Lihat al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab karya imam an-Nawawi, 9/238-240.
[10] Yang perlu diingat di sini, bahwa satu barang dikatakan bermanfaat atau tidak, itu bisa berubah melalui perkembangan jaman. Sampah misalnya, dahulu dianggap sebagai barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Namun dalam kehidupan modern sekarang ini, sampah dapat digunakan dalam produksi pupuk dan sejenisnya. Maka komoditi ini tidak lagi dianggap sebagai barang rongsokan.
[11]Aqsâmul Uqûd 1/59
[12] Lihat Raudhatuth Thâlibîn karya Imam an-Nawawi, 3/342
[13] Lihat al-Mughni 6/444
[14] Lihat al-Mughni 6/467