Seorang muslim meyakini kesucian dan
keutamaan kalamullah, kalam yang paling utama dan sempurna; tidak ada
cela dan kebatilan sedikitpun padanya. Al-Qur`an merupakan sebaik-baik
dan sebenar-benarnya kalam, barangsiapa yang berhukum dengan Al-Qur`an
pasti ia akan berada di atas keadilan dan jauh dari kezhaliman. Dan
barangsiapa yang berpegang teguh dengan Al-Qur`an (dan Al-Hadits)
sebagai jalan hidupnya dalam segala aspek kehidupanya maka -dengan
idzin Allah Ta’ala- hidupnya akan sukses di dunia hingga di akhirat
kelak. Namun hal itu tidak akan bisa tercapai kecuali jika kita
mempelajari dan melaksakannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka kita
-sebagai seorang muslim- tidaklah pantas melupakan Al-Qur`an dan
mengambil hukum lain dalam menyelesaikan permasalahan hidup. Dengan
tilawah (membaca) dan memahami Al-Qur`an terus menerus, sedikit demi
sedikit, Insya`Allah akan kita dapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan
yang menambah keimanan kita.
Sebelum memasuki pembahasan inti (Tilawah
Al-Qur`an & adab-adabnya) sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu
tentang makna Al-Qur`an, keutamaan – keutamaannya dan
kewajiban-kewajiban yang bertautan dengannya, agar menambah semangat
dalam Tilawah dan menjaga adab-adab terhadapnya.
MAKNA AL-QUR’AN
1. Secara bahasa atau etimologi.
Al-Qur`an (القرآن) adalah bentuk masdar
dari kata ( يقرأ وقرآناً قرأ ) yang memiliki dua makna: (تلا)
“Talaa” atau (جمع) “Jama`a”. Maka ma`nanya:
• (تلا) menjadi Isim maf`ul yang artinya (متلو) “Yang dibaca/ bacaan”.
• (جمع) menjadi mashdar, maka ma`nanya menjadi Isim Fa`il atau Kumpulan dari berbagai macam khabar-khabar dan hukum-hukum.
2. Secara syari`at
Al-Qur`an adalah kalamullah Ta`ala yang
diturunkan kepada rasul-Nya dan penutup para nabi, yaitu Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat An-Nas.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ تَنزِيلاً
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) sebuah Al-Qur`an dengan sebenar-benarnya turun”. [Al-Insaan 23]
Allah Ta’ala telah menjamin Al-Qur`an
yang agung ini dari perubahan; penambahan dan pengurangan ataupun
pergantian. Dia berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr :9]
Telah berlalu masa yang cukup lama
semenjak Al-Qur`an diturunkan ( kurang lebih 15 abad) namun kitab yang
suci ini tidak mengalami perubahan, penambahan, pengurangan atau
penggantian ini semua menunjukan kebenaran janji Allah Ta’ala . [Lihat:
Kitab Al-Ushul fit-Tafsir oleh: Syaikh Al-Utsaimin, hal: 10]
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN TERHADAP AL-QUR’AN
Seorang hamba yang telah menyatakan
dirinya muslim dan beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya
dan rukun iman lainnya, maka ia mempunyai kewajiban terhadap Al-Qur`an,
yang merupakan salah satu dari kitab-kitab Allah Ta’ala.
Kewajiban-kewajiban itu antara lain:
1. Beriman terhadap Al-Qur`an.
Konsekwensi pertama keimanan seorang mu`min terhadap Al-Qur`an adalah
mempelajarinya, membacanya sekaligus mentadabburinya untuk mendapatkan
nasehat dan pelajaran yang ada di dalamnya. Sebagaimana salah satu
sifat Al-Qur`an adalah sebagai mau’izhah (nasehat; pelajaran). Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ
Hai sekalian manusia telah datang kepada kalian mau’izhah dari Rabb kalian. [Yunus : 57]
Demikian juga menjadikan Al-Qur`an
sebagai petunjuk dalam menempuh perjalanan menuju Allah, dan dalam
rangka inilah Al-Qur`an diturunkan. Firman-Nya.
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. [Al-Isra`:9]
2. Setelah diimani dan di ketahui
hukum-hukumnya maka kewajiban kedua adalah menjalankan
perintah-perintah Al-Qur`an sekaligus menjauhi hal-hal yang
dilarangnya, kemudian menda`wahkannya ke seluruh ummat manusia. Hal itu
dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, dan seterusnya. Hal itu
walaupun hanya satu ayat yang diilmu. Sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
بَلِّغُوْا عَنىِّ وَلَوْ آَيَةً… رواه البخارى في الأحاديث:3461)
Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat. [HR.Bukhari]
DIANTARA KEUTAMAAN TILAWAH DAN MEMPELAJARAI AL-QUR’AN
1. Orang yang mempelajari, mengajarkan,
dan mengamalkan Al-Qur`an termasuk insan yang terbaik, bahkan ia akan
menjadi Ahlullah (keluarga Allah). Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa
sallam bersabda.
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkanya” [HR Bukhari]
أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللهِ وَخَاصَّتُهُ ..رواه النسائى وابن ماجة والحاكم بإسناد حسن)
Ahli Al-Qur`an adalah Ahlullah dan merupakan kekhususan baginya [HR. An-Nasa`i, Ibnu Majah, Al-Hakim. Lihat: Kitab Minhajul Muslim. hal. 70]
2. Mendapatkan Syafaat dari Al-Qur`an pada hari kiamat.
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ
Bacalah Al-Qur`an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat memberikan syafaat bagi pembacanya”.[1] [HR. Muslim, dari Abu Umamah Al-Bahili]
3. Shahibul Qur`an akan memperoleh ketinggian derajat disurga.
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا
Dikatakan kepada Shahibul Qur`an (di
akhirat): “Bacalah Al-Qur`an dan naiklah ke surga serta tartilkanlah
(bacaanmu) sebagai mana engkau tartilkan sewaktu di dunia. Sesungguhnya
kedudukan dan tempat tinggalmu (di surga) berdasarkan akhir ayat yang
engkau baca”. [HR. Imam Tirmidzi, Abu Dawud, dari Abdillah bin Amru bin
Ash Radhiyallahu 'anhuma] [2]
4. Orang yang membaca Al-Qur`an akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat.
Firman Allah Azza wa Jalla.
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ . لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ
Sesungguhnya orang-orang yang selalu
membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian
dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan
terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan
merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan
menambah kepada mereka dari karuniaNya. [Al-Fathir:29-30]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Barangsiapa yang membaca satu huruf
dari Kitabullah (Al-Qur`an) maka dia akan memperoleh satu kebaikan dan
satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang semisalnya.
Saya tidak mengatakan (الم) itu satu huruf, akan tetapi (ا) satu huruf
dan (ل) satu huruf seta (م) satu huruf”. [HR. At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan lainya; dari Abdullah bin Mas`ud Radhiyallahu 'anhu] [3].
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
Orang yang Mahir membaca Al-Qur`an
akan bersama para Malaikat yang Mulia, sedangkan orang yang membaca
(Al-Qur`an) dengan terbata-bata dan mengalami kesulitan dalam
membacanya, maka dia akan mendapatkan dua pahala. [HR. Muslim dalam Shahihnya dari `Aisyah Radhiyallahu 'anha]
5. Sakinah (ketenangan) dan rahmat serta keutamaan akan diturunkan kepada orang-orang yang berkumpul untuk membaca Al-Qur`an.
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah suatu kaum berkumpul di
salah satu rumah Allah Azza wa Jalla untuk membaca Kitabullah
(Al-Qur`an) dan mereka saling mempelajarinya kecuali sakinah
(ketenangan) akan turun kepada mereka, majlis mereka penuh dengan
rahmat dan para malaikat akan mengelilingi (majlis) mereka serta Allah
akan menyebutkan mereka (orang yang ada dalam majlis tersebut) di
hadapan para malaikat yang di sisi-Nya. [HR. Muslim]
6. Bacaan Al-Qur`an merupakan “Hilyah” (perhiasan) bagi Ahlul Iman (orang-orang yang beriman).
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ
Perumpamaan orang mu`min yang membaca
Al-Qur`an laksana buah “Al-Utrujah” (semacam jeruk manis) yang rasanya
lezat dan harum aromanya, dan perumpamaan orang mu`min yang tidak
membaca Al-Qur`an ibarat buah “At-Tamr” (kurma) rasanya lezat dan manis
namun tidak ada aromanya, dan perumpamaan orang munafiq yang membaca
Al-Qur`an ibarat “Ar-Raihanah” (sejenis tumbuhan yang harum) semerbak
aromanya (wangi) namun pahit rasanya, dan perumpamaan orang munafiq
yang tidak membaca Al-Qur`an ibarat buah “Al-Handhalah” (nama buah)
rasanya pahit dan baunya tidak sedap”. [HR. Bukhari, Muslim dari Abi Musa Al-Asy`ary Radhiyallahu 'anhu].
Dan diriwayatkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga mengibaratkan bagi orang mukmin yang tidak
pernah membaca Al-Qur`an (tidak ada bacaan Al-Qur`an didadanya) ibarat
rumah yang tak berpenghuni; gelap, kotor, seolah-olah akan roboh.
إِنَّ الَّذِي لَيْسَ فِي جَوْفِهِ شَيْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ كَالْبَيْتِ الْخَرِبِ
Sesungguhnya orang yang di dalam
dadanya (hatinya) tidak ada bacaan Al-Qur`an (yakni tidak memiliki
hafalannya) ibarat sebuah rumah yang hendak roboh. [HR. At-Tirmidzi, dan lainya] [4]
7. Orang yang berhak menjadi imam shalat
adalah orang yang paling banyak hafalan Al-Qur`an dan luas
pengetahuannya terhadap ilmu-ilmu Al-Qur`an.
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
Orang yang paling berhak menjadi imam (dalam shalat) adalah orang yang paling pandai membaca Al-Qur`an. [HR. Muslim]
8. Boleh hasad kepada orang yang ahli Al-Qur`an dan mengamalkannya.
لَا حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ هَذَا الْكِتَابَ فَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَتَصَدَّقَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ
Tidak boleh hasad [5] kecuali kepada
dua orang : (1) Seseorang yang dikaruniai Al-Qur`an oleh Allah Ta’ala,
kemudian ia melaksanakannya, di waktu siang maupun malam. (2) Seseorang
yang dikaruniai harta oleh Allah kemudian ia bershadaqah dengannya di
waktu siang maupun malam. [HR. Muslim]
9. Membaca dan memahami Al-Qur`an tidak bisa disamai oleh kemewahan harta duniawi.
أَفَلَا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمُ أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلَاثٍ وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الْإِبِلِ
Tidakkah salah seorang di antara kamu
berangkat ke masjid untuk mengetahui atau membaca dua ayat dari
Kitabullah lebih baik baginya daripada dua onta, dan tiga (ayat) lebih
baik baginya dari pada tiga (onta), dan empat (ayat) lebih baik baginya
dari pada empat (onta), begitu seterusnya sesuai dengan jumlah (ayat
lebih baik) dari onta. [HR. Muslim dari ‘Uqbah bin Amir]
10. Tilawah Al-Qur`an akan dapat melembutkan hati bagi pembacanya atau orang yang mendengarkanya dengan baik.
11. Kedua orang tua akan dihiasi dengan mahkota pada hari kiamat.
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ضَوْءُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ فِي بُيُوتِ الدُّنْيَا لَوْ كَانَتْ فِيكُمْ فَمَا ظَنُّكُمْ بِالَّذِي عَمِلَ بِهَذَا فيقولان: بم أعطينا هذا؟ فيقال: بأخذ ولد كما للقرآن. (رواه أبو داود في الوتر(1456) وأحمد في مسنده (15218) والحاكم في المستدرك (2086) وقال: صحيح الإسناد ولم يخرجاه).
Barangsiapa membaca Al-Qur`an dan
mengamalkannya, maka -pada hari kiamat- akan dipakaikan kepada kedua
orang tuanya sebuah mahkota yang berkilau, yang sinarnya lebih baik
dari sinar mentari, maka keduanya berkata: “Mengapa kami diberi mahkota
ini? Maka dikatakan: “Karena anakmu mengambil (membaca dan
mengamalkannya) Al-Qur`an”. [HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Al-Hakim] [6]
MACAM-MACAM TILAWAH
Tiwalah Al-Qur`an secara umum terbagi atas dua bagian:
1. Tilawatu Lafdhihi ( تلاوة لفظه ) ya`ni
membaca Al-Qur`an dari segi lafadz-lafadznya; tahapan ini yang mesti
dilalui bagi pemula (orang yang baru mengenal islam) atau pun
anak-anak, yaitu mengenal atau mengetahui makharijul huruf
(tempat-tempat keluarnya huruf melalui lisan) dan shifat-shifat huruf
Al-Qur`an serta mempelajari hukum-hukum tajwid yang semuanya guna
memperbaiki tilawah itu sendiri; Sebagaimana arti tajwid itu sendiri:
a. Tajwid secara bahasa: ( جود – يجود – تجويداً) Ma`nanya “Menata sesuatu dengan baik” atau (التحسين) “Membaguskan”.
b. secara Istilah: (هو
تصحيح التلاوة بالقرآن الكريم) “Yaitu membenarkan bacaan dalam tilawah
Al-Qur`an Al-Karim”. [Al-Halaqatul Qur`an. hal.78]
2. Tilawatu Hukmihi (تلاوة حكمه) ya`ni
membaca Al-Qur`an dari segi hukum-hukumnya ; yaitu menela’ah kandungan
Al-Qur’an itu sendiri dengan mempercayai khabar-khabarnya, mengikuti
hukum-hukum yang telah Allah tetapkan, dengan menjalankan
perintah-perintahnya dan menjauhi seluruh larangan yang telah
disebutkan di dalamnya, dan inilah tujuan utama diturunkanya Al-Qur`an.
Firman Allah Azza wa Jalla.
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
pikiran. [Shad: 29]
Demikianlah jalan yang ditempuh oleh para
salafus Shalih, dan atas dasar inilah mereka mempelajari Al-Qur`an
kemudian mereka mempercayai beritanya dan menerapkan hukum-hukumnya.
Abu Abdur Rahman As-Sulami rahimahullah
berkata: “Telah berkata kepada kami orang-orang yang
membacakan/mengajarkan Al-Qur`an kepada kami, yaitu Utsman bin Affan,
Abdullah bin Mas`ud serta yang lainya: “Sesungguhnya mereka (para
sahabat) apabila mempelajari 10 ayat (Al-Qur`an) dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka tidak menambahnya sehingga mereka mengetahui
ilmu dan mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya. Mereka berkata:
“Maka kami mempelajari Al-Qur`an, ilmu dan amal semuanya”. (Ini adalah
atsar yang shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya
(1/80-Syakir) dan beliau berkata: “Ini adalah sanad yang shahih,
bersambung”.
Dan beliau menyatakan:
فتعلمنا القرآن والعمل جميعاً بدون لفظٍ “العلم”
Maka kami mempelajari Al-Qur`an dan mengamalkan semua (kandungannya)”, tanpa ada lafadz “Al-Ilmu”
Dan di antara hikmah tilawah adalah
sebagai sarana untuk memahami Al-Qur’an sehingga bisa meyakini
beritanya dan mengamalkan kandungannya, kemudian akan menghantarkan
kepada kebahagiaan dan keselamatan:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَيَشْقَى {123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى {124} قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا {125} قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى {126} وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِن بِئَايَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ اْلأَخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى
Maka jika datang kepadamu petunjuk
daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan
sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan
Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.
Berkatalah ia:”Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam
keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat”. Allah
berfirman:”Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan”. Dan
demikanlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya
terhadap ayat-ayat Rabbnya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih
berat dan lebih kekal. [Thaha:123-127].
Sesungguhnya tilawah al-Qur’an adalah
lebih afdhal (utama) daripada dzikir, dan dzikir lebih afdhal daripada
do`a, hal ini dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi di dalam kitabnya
“Al-Adzkar” halaman: 101, beliau menyebutkan: “Seseungguhnya tilawah
al-Qur’an itu lebih afdhal daripada dzikir-dzikir, dan di dalam qira’ah
(tilawah) mempunyai adab-adab dan tujuan-tujuan.”
Oleh sebab itu, hendaknya kita (semua)
sebagai thalibul ilmi, memperhatikan adab-adab dan menetapkan tujuan
ketika hendak membaca Al-Qur’an; karena memang sesungguhnya al-Qur’an
ini (adalah) yang kita baca, kita dengar, kita hafalkan dan kita tulis
adalah kalam Rabb kita, Rabb semesta alam yang Maha Awal dan Maha
Akhir. Al-Qur’an ini merupakan tali Allah yang sangat kuat, dan
jalan-Nya yang lurus, serta merupakan dzikir yang penuh berkah dan
cahaya yang terang. Inilah di antara sifat-sifat agung al-Qur’an, maka
wajiblah kita mengagungkan dan memuliakannya. Apabila seorang hamba
hendak membacanya maka janganlah dia meremehkannya dan janganlah sambil
bermain-main.
DIANTARA ADAB-ADAB TILAWAH
1. Mengikhlaskan niat untuk Allah semata.
Karena tilawah al-Qur’an termasuk ibadah, sebagaimana telah disebutkan
pada keutamaan tilawah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung pada niatnya. [HR. Bukhari-Muslim]
2. Menghadirkan hati (konsentrasi) ketika
membaca, khusyu’, tenang dan sopan, berusaha terpengaruh (terkesan)
dengan yang sedang dibaca, dengan memahami (menghayati) atau memikirkan
(tafakkur-tadabbur) sebagaimana tujuan utama dalam tilawah.
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ
Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an?! [An-Nisa’:82, Muhammad:24]
Sopan, sebagai upaya memuliakan Kalam
Allah Azza wa Jalla. Khusyu’ atau memusatkan hati dan pikiran
(konsentrasi) sebagai upaya mengambil hikmah yang terkandung pada ayat
yang kita baca; menampakkan kesedihan dan menangis, (ketika membaca
ayat-ayat yang menceritakan adzab (siksa) neraka. Dan apabila tidak
bisa maka berusahalah untuk bisa menangis. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا
Sesungguhnya al-Qur’an ini turun dengan
kesedihan, maka jika kamu membacanya hendaklah kamu menangis, jika kamu
tidak (bisa) menagis, maka berusahalah untuk menangis. [HR. Ibnu
Majah] [7]
Allah berfirman:
وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’. [Al-Israa : 109]
Ibnu Mas’ud berkata.
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ ( فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا ) رَفَعْتُ رَأْسِي أَوْ غَمَزَنِي رَجُلٌ إِلَى جَنْبِي فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ دُمُوعَهُ تَسِيلُ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm
berkata kepadaku: “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku!” saya pun berkata: Ya
Rasulullah, apakah saya harus membacakan al-Qur’an kepadamu, sedangkan
al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Maka beliau menjawab: “Benar, akan
tetapi saya senang (ingin) mendengarkan bacaan dari orang lain”.
Kemudian sayapun membaca surat an-Nisa’ sampai: “Maka bagaimanakah
(halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang
saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad)
sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. (ayat 41). Maka
beliaupun berkata: “Cukup-cukup, maka tatkala saya melirik kepada
beliau, beliau meneteskan air mata. [HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan
lainnya]
3. Tilawah al-Qur’an, hendaknya di tempat
yang suci (haram atau dilarang di WC) atau tempat-tempat yang tidak
pantas untuk tilawah al-Qur’an yang suci. Terutama di masjid sebagai
upaya memakmurkan masjid
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ
Hanyalah yang memakmurkan
mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak
takut (kepada siapapun) sela in kepada Allah. [At-Taubah : 18]
Selain di tempat yang suci, kitapun
sebaiknya dalam keadaan suci (tidak dalam keadaan hadast besar dan
hadats kecil) untuk memuliakan kalam Allah Ta’ala
4. Membaca do`a Isti`adzah (berlindungan kepada Allah Ta’ala dari godaan setan) ketika hendak membaca al-Qur’an.
Allah berfirman
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. [An-Nahl :98]
Membaca basmalah apabila membaca
al-Qur’an dari awal surat, kecuali surat at-Taubah. Berlindung kepada
Allah Ta’ala, yakni membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
hukumnya wajib menurut sebagian ulama’ . [Lihat Mabahits fi Ulumil Qur’an]
Dan diantara bentuk membersihkan jasmani
(selain mandi) ialah bersiwak atau memakai sikat dan pasta gigi dalam
rangka membersihkan sisa makanan yang terdapat pada sela-sela gigi yang
dapat membusuk, yang membuat mulut kita tidak enak baunya. Bersiwak
merupakan salah satu bentuk ittiba` kepada sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang bisa mendapat 2 kebaikan, bersih di mulut dan
mendapat keridhaan Allah Ta’ala:
مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
Bersih dimulut dan mendapatkan ridha dari Tuhan (Allah Ta’ala )”. [HR. Bukhari dalam bab Shaum.1831].
5. Menghadap kiblat hal ini juga sebagai upaya menghidupkan sunnah dalam bermajlis.
خَيرُْ المجالس ما استقبل القبلة (رواه الطبرانى فى الأوسط من حديث ابن عمر
Sebaik-baik Majlis adalah yang menghadap kearah qiblat. [HR. Thabrani dalan Al-Ausath hadits dari Ibnu Umar]. [8]
6. Membaguskan suara dengan tidak ghuluw
(melewati batas), riya` (agar dilihat orang) , sum`ah (agar didengar
orang) atau ujub (mengagumi diri sendiri).
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ ..رواه أحمد وابن ماجة والنسائى والحاكم وصححه
Perindahlah (bacaan) Al-Qur`an dengan suara kalian. (HR. Ahmad, Ibnu Majah Nasa`i dan Hakim menshahihkannya] [9].
Tetapi jangan sampai seseorang
mengeraskan bacaannya di dalam mushalla (masjid) sementara orang lain
dalam keadaan shalat, sedangkan hal yang demikian itu telang dilarang.
خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah keluar pada suatu kaum, sedang mereka sementara dalam keadaan
shalat dan mengeraskan bacaannya, maka Nabi n bersabda: “Setiap
kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabbnya, maka janganlah
kalian mengeraskan bacaan (Al-Qur`an) kalian atas sebagian yang lain.
[HR. Imam Malik dalam kitabnya “Al-Muwatha`”[1/80]), Ibnu Abdil Barr
berkata: “Ini adalah hadits shahih] [10]. [Lihat: Majaalis Syahrur
Ramadhan; Syaikh Al-Utsaimin]
7. Hendaknya membaca dengan sirri
(pelan) apabila dikhawatirkan dapat menimbulkan riya` atau sum`ah pada
dirinya atau dapat mengganggu ketenangan dalam Masjid sebagaimana telah
disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm.
الجْاَهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرُ بِالصَّدَقَةِ .
Mengeraskan (dalam membaca) Al-Qur`an sama dengan menampakan dalam bershadaqah. [Minhajul Muslim, hal.71] [11]
Dan telah diketahui bahwa shadaqah yang
dicintai adalah yang sembunyi-sembunyi, kecuali dalam keadaan tertentu
yang berfaidah. Misalnya: untuk mendorong orang lain agar melakukan
seperti yang kita lakukan.
8. Hendaknya membaca Al-Qur`an dengan tartil.
وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلا
Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. [Al-Muzammil : 4]
Ali bin Abi Thalib menjelaskan ma`na
tartil dalam ayat tersebut diatas adalah: ”Mentajwidkan huruf-hurufnya
dengan mengetahui tempat-tempat berhentinya”. [Syarh Mandhumah
Al-Jazariyah, hl. 13]
Maka seyogyanya bagi kita bersabar,
jangan terburu ingin segera selesai (khatam) dalam membaca Al-Qur`an
atau terburu nafsu ingin segera menguasai (memahami) Al-Qur`an sehingga
lalai memperhatikan kaidah-kaidah dalam tilawah.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah melarang dalam tilawah, menamatkan al-Qur’an kurang dari 3
malam, sebab tidak akan bisa memahami maknanya. Sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ
Barangsiapa membaca al-Qur’an kurang dari 3 hari maka tidak akan dapat memahaminya. [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah]
Demikian pula Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma
supaya mengkhatamkan al-Qur’an setiap 7 hari (sekali). [HR. Mutafaq
Alaih]
Adapun beberapa riwayat dari Salafus
Shalih yang menyatakan bahwa di antara mereka ada yang mengkhatamkan
al-Qur’an sehari semalam sekali, atau 2 kali khatam, atau 3 kali dan
bahkan ada juga yang 8 kali khatam, maka semua itu tidak bisa menjadi
hujjah karena bertentangan dengan hadits di atas. Demikian juga
sekelompok Salaf tidak menyukai mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari
semalam. Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits di atas
dengan perkataan: “Inilah yang benar dan sesuai dengan Sunnah. [Lihat
At-Tibyan Fi Adab Hamalatil Qur’an, tahqiq: Syeikh Abdul Qadir
Al-Arnauth, hal: 49]
Bacaan dengan perlahan-perlahan (tartil),
bukan dengan cepat-cepat, hal yang demikian itu akan membantu dalam
tadabbur (memahami) maknanya dan menghindari dari kesalahan dalam
melafadzkan atau mengeluarkan huruf-hurufnya. Di dalam Shahih Bukhari
disebutkan.
سُئِلَ أَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ
Dari anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu,
bahwa ketika ditanya tentang qira’ah (bacaan) Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam maka ia berkata: “Bahwa bacaannya panjang-panjang, kemudian
membaca: ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ memanjangkan
(بِبِسْمِ اللَّهِ ) kemudian (الرَّحْمَنِ) kemudian
(الرَّحِيمِ ) [HR. Bukhari, 5046].
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا ذَكَرَتْ أَوْ كَلِمَةً غَيْرَهَا قِرَاءَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha,
bahwa dia menyebutkan bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu (beliau) memutus-mutus bacaannya ayat per ayat (satu ayat-satu
ayat). [HR. Ahmad (6/3020, Abu Dawud (4001) Tirmidzi (2927) dan
Dishahihkan An-Nawawi, dalam “Al-Majmu’” 3/333 ]
Dalam kitab Majalis Fi Syahri Ramadhan
karya Syaikh Utsaimin dijelaskan, bahwa tidak mengapa dengan (bacaan)
cepat yang tidak sampai merubah lafadz, dan tidak meninggalkan sebagian
huruf atau idghamnya. Tetapi apabila tidak benar dalam pengucapan
idghamnya, sampai salah dalam lafadznya, maka hal itu haram, karena
yang demikian berarti mengganti lafadz al-Qur’an”.
9. Hendaknya sujud, ketika membaca
ayat-ayat yang mengisyaratkan sujud, hal ini dilakukan dalam keadaan
berwudhu’, di waktu siang maupun malam, dengan takbir dan mengucapkan:
سبحان ربي الأعلى( Suci Rabbku yang Maha Tinggi) dan hendaklah
berdoa, kemudian bangun dari sujud tanpa takbir dan tanpa salam.
[Majaalis Syahrur Ramadhan; Syaikh Al-Utsaimin]
Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthany, menyebutkan bahwa do’a sujud tilawah yang dibaca, berbunyi:
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَ قُوَّتِهِ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Wajahku bersujud kepada Tuhan yang telah
menciptakanku, yang memberi pendengaran dan penglihatanku, dengan daya
dan upayaNya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. [HR. At-Tirmidzi
2/474, Ahmad 6/30 dan Hakim dan disetujui Ad-Dzahabi 1/220]
Ada beberapa ayat yang disunahkan sujud
ketika membacanya, yaitu: Dalam surat al-A’raf: 206, Ar-Ra’d: 15,
An-Nahl: 50, Al-Isra’:109, Al-Furqan: 60, Al-Hajj: 18 dan 77,
Al-Furqan: 60, An-Naml:26, As-Sajdah:15, Shaad:24, An-Najm:62,
Al-Isyiqaq:21, Fushilat:38, Al-Alaq:19
WAKTU-WAKTU TEPAT UNTUK TILAWAH AL-QUR’AN
Ketahuilah bahwa sebaik-baik bacaan
adalah di waktu shalat. Dan madzab Imam Asy-Syafi’i dan yang lain
rahimahullah, berpendapat memanjangkan bacaan (al-Qur’an) di dalam
shalat lebih baik daripada (memanjangkan) sujud dan lainnya. Adapun
bacaan selain di dalam shalat (yang afdhal) adalah bacaan di malam
hari, dan pertengahan terakhir di malam hari lebih baik daripada di
permulaan malam, bacaan yang dicintai (bacaan) di antara maghrib dan
isya’, dan bacaan siang hari yang afdhal setelah shalat subuh. Dan
bacaan diwaktu-waktu lain bukanlah waktu yang tercela untuk membaca
al-Qur’an di dalam atau di luar shalat.
Adapun tatkala Ibnu Abi Dawud
rahimahullah dari Mu’adz bin Rifa’ah dari para syeikh bahwasanya mereka
membenci (tidak suka) bacaan setelah shalat ashar, dan mereka berkata:
Sesungguhnya itu adalah waktu yang dipergunakan belajar oleh
orang-orang Yahudi, maka (yang demikian) itu tidak dapat diterima,
karena tidak ada dasarnya. [Dinukil dari kitab “Al-Adzkar” An-Nawawi]
Demikianlah, maka kami mengajak seluruh
pembaca untuk bersama-sama memanfaatkan waktu kita masing-masing untuk
membuka lembaran demi lembaran kitab Allah, dengan penuh kecintaan dan
tidak bosan-bosan, sesuai kesanggupan kita masing-masing. Kemudian kita
dakwahkan kepada keluarga kita, saudara-saudara kita dan seluruh umat
manusia, perlu diketahui bahwa membaca dan mengkhatamkan (menamatkan)
al-Qur’an adalah merupakan aktifitas atau amalan yang terbaik.
Ikhwani fiddin…
Kita pelihara al-Qur’an, agar terjaga dari berbagai penyimpangan atau perubahan. Kita berdoa kepada-Nya, semoga Allah memperkenankannya. Semoga menjadi saksi bagi kita, kita bersyukur kepada-Nya, semoga kita diberikan rahmat dan petunjuk dari padaNya.
Kita pelihara al-Qur’an, agar terjaga dari berbagai penyimpangan atau perubahan. Kita berdoa kepada-Nya, semoga Allah memperkenankannya. Semoga menjadi saksi bagi kita, kita bersyukur kepada-Nya, semoga kita diberikan rahmat dan petunjuk dari padaNya.
Akhirnya kita berdo’Allah Ta’ala dengan doa:
Ya Allah! Anugerahkan kepada kami dari bacaan Kitab-Mu agar (bacaan kami) menjadi sebenar-benarnya bacaan, dan jadikanlah kami, tergolong orang-orang yang mendapatkan kebaikan dan kebahagian.
Ya Allah! Anugerahkan kepada kami dari bacaan Kitab-Mu agar (bacaan kami) menjadi sebenar-benarnya bacaan, dan jadikanlah kami, tergolong orang-orang yang mendapatkan kebaikan dan kebahagian.
Ya Allah!…jadikanlah kami termasuk
orang-orang yang mendalam ilmunya, orang-orang yang beriman dengan
(ayat-ayat) yang muhkam (tetap, pasti dan jelas maknanya) dan
mutasyabih (ayat-ayat yang sulit dipahami), meyakini berita-beritanya,
dan dapat mengambil manfaat dari hukum-hukumnya, dan ampunilah kami dan
kedua orang tua kami dan seluruh kaum muslimin, dengan Rahmat-Mu Yang
Maha Pemurah dan Pengasih, dan semoga shalawat dan salam atas Nabi kita
Muhammad dan keluarganya, para sahabatnya dan seluruh kaum muslimin
yang setia mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Disusun
oleh Abdul Wahid).
Maraji’:
1. Kitab Al-Adzkar, An-Nawawiyah, (Nawawi)
2. Minhaajul Muslim, Abu Bakar Jaabir Al-Jazaairi
3. Tafsir Ibnu Katsir
4. Majaalis Syahru Ramadhan, Muhammad bin Shalih bin Utsaimin
5. Hisnul Muslim, Said bin Wahfi Al-Qhahthany
6. Riyadhus Shalihin, Imam Nawawy
1. Kitab Al-Adzkar, An-Nawawiyah, (Nawawi)
2. Minhaajul Muslim, Abu Bakar Jaabir Al-Jazaairi
3. Tafsir Ibnu Katsir
4. Majaalis Syahru Ramadhan, Muhammad bin Shalih bin Utsaimin
5. Hisnul Muslim, Said bin Wahfi Al-Qhahthany
6. Riyadhus Shalihin, Imam Nawawy
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Ahlul Qur’an atau Shahibul Qur’an adalah orang yang membaca (mempelajari) Al- Qur’an dan mengamalkan hukum-hukumnya serta beradab dengan adab-adabnya. Lihat Bahjatun Nazhirin II/225, 230 -Red
[2]. Hadits ini dihasankan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/230, no:1001-Red
[3]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/229, no:999-Red
[4]. Tetapi hadits ini didha’ifkan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/230, no:1000, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. -Red
[5]. Yang dimaksud adalah ghibthah, yaitu: menginginkan kebaikan seorang tanpa menginginkan hilangnya dari orang tersebut-Red
[6]. Tetapi Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits ini di dalam tahqiq kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal:16: “Isnadnya dha’if”. Demikian juga didha’ifkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Dha’if Jami’ush Shaghir no:5762; Al-Misykat no:2139 dan Dha’if Abi Dawud no:239. Maka tidak bisa dijadikan hujjah -Red
[7]. Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits ini di dalam tahqiq kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal:68: “Isnadnya dha’if”. Tetapi menangis ketika membaca Al-Qur’an merupakan kebiasaan Salafus Shalih-Red
[8]. Tetapi hadits ini didha’ifkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Dha’if Jami’ush Shaghir no:1124 dan Adh- Dha’ifah no:1486. Maka tidak bisa dijadikan hujjah -Red
[9]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Jami’ush Shaghir no: 3580, 3581-Red
[10]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Jami’ush Shaghir no: 1951-Red
[11]. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih al-Jami’us Shagir no. 3105 -Red
________
Footnote
[1]. Ahlul Qur’an atau Shahibul Qur’an adalah orang yang membaca (mempelajari) Al- Qur’an dan mengamalkan hukum-hukumnya serta beradab dengan adab-adabnya. Lihat Bahjatun Nazhirin II/225, 230 -Red
[2]. Hadits ini dihasankan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/230, no:1001-Red
[3]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/229, no:999-Red
[4]. Tetapi hadits ini didha’ifkan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/230, no:1000, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. -Red
[5]. Yang dimaksud adalah ghibthah, yaitu: menginginkan kebaikan seorang tanpa menginginkan hilangnya dari orang tersebut-Red
[6]. Tetapi Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits ini di dalam tahqiq kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal:16: “Isnadnya dha’if”. Demikian juga didha’ifkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Dha’if Jami’ush Shaghir no:5762; Al-Misykat no:2139 dan Dha’if Abi Dawud no:239. Maka tidak bisa dijadikan hujjah -Red
[7]. Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits ini di dalam tahqiq kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal:68: “Isnadnya dha’if”. Tetapi menangis ketika membaca Al-Qur’an merupakan kebiasaan Salafus Shalih-Red
[8]. Tetapi hadits ini didha’ifkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Dha’if Jami’ush Shaghir no:1124 dan Adh- Dha’ifah no:1486. Maka tidak bisa dijadikan hujjah -Red
[9]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Jami’ush Shaghir no: 3580, 3581-Red
[10]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Jami’ush Shaghir no: 1951-Red
[11]. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih al-Jami’us Shagir no. 3105 -Red
Sumber : abangdani.wordpress.com
12.09
Karimun 08 Makassar
Posted in


0 komentar :
Posting Komentar