Minggu, 26 Februari 2012

love

Asuransi adalah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan. Dari penjelasan ini nyata bahwa di dalam perjanjian asuransi itu ada unsur:
1. Bentuk dan jumlah jaminan yang akan diberikan pihak perusahaan asuransi;
2. Bahaya atau musibah yang terjadi;
3. Angsuran atau pembayaran yang dibayar oleh nasabah.

SEJARAH ASURANSI
Asuransi pertama kali muncul dalam bentuk asuransi perjalanan di lautan yang muncul pada abad 14 Masehi. Namun asuransi ini memiliki akar sejarah semenjak sebelum Masehi. Yaitu bahwa seseorang meminjamkan sejumlah harta riba untuk kapal yang akan berlayar, jika kapal itu hancur, maka pinjaman itu hilang. Jika kapal selamat, maka pinjaman itu dikembalikan dengan riba (tambahan) yang disepakati. Kapal itu digadaikan sementara sebagai jaminan pengembalian hutang dan ribanya.
Demikianlah asal muasal perusahaan asuransi merupakan perjanjian yang bersifat riba, berdasarkan unsur perjudian dan menghadang bahaya. Dan asuransi tetap seperti ini sebagaimana muncul pertama kali.
Kemudian muncul asuransi di daratan di kalangan bangsa Inggris pada abad 17 Masehi. Bentuk asuransi yang pertama kali muncul adalah asuransi kebakaran. Hal ini muncul setelah kejadian kebakaran hebat di kota London pada tahun 1666 Masehi. Lebih dari 13 ribu rumah dan sekitar 100 gereja menjadi korban kebakaran. Kemudian asuransi kebakaran ini menyebar di banyak negara di luar Inggris pada abad 18 Masehi, khususnya di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Kemudian asuransi semakin menyebar dan bertambah jenis-jenisnya, khususnya pada abad 20 Masehi.
JENIS-JENIS ASURANSI
Dilihat dari bentuk dan tujuannya, asuransi ada dua jenis:
1) At-Ta’miin at-Tijaariy.
Asuransi yang bertujuan mencari keuntungan, atau asuransi yang dijadikan usaha, asuransi yang memiliki angsuran yang pasti. Angsuran ini otomatis menjadi milik perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi musibah -atau apa yang disepakati. Jika jumlah pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang angsuran, maka itu ditanggung oleh perusahaan, dan merupakan kerugiannya. Jika tidak terjadi musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan tanpa ganti apapun. Dan ini merupakan keuntungannya. Inilah asuransi yang dibacarakan di sini. Dan ini terlarang karena bersifat spekulasi yang merugikan salah satu fihak.
2) At-Ta’miin at-Ta’aawuniy.
Atau juga disebut at-Ta’miin at-Tabaaduliy atau at-Ta’miin al-Islamiy. Yaitu asuransi gotong-royong atau asuransi yang sesuai dengan agama Islam. Ini tidak bertujuan mencari keuntungan, namun hanyalah bentuk tolong menolong di dalam menanggung kesusahan. Contohnya: sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang, dengan uang ini mereka membantu orang yang terkena musibah. Perusahaan asuransi islam ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah. Demikian juga uang yang dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun milik bersama. Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan bantuan.
Selain itu ada jenis asuransi yang lain, yaitu:
3) At-Ta’miin al-Ijtima’iy (jaminan keamanan sosial).
Hal ini juga tidak mencari keuntungan, dan bukan asuransi khusus pada seseorang yang khawatir musibah tertentu. Tetapi ini bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang. Seperti yang dilakukan oleh negara-negara terhadap para pegawainya, yang dikenal dengan istilah peraturan pensiun. Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dengan prosentase tertentu, dan ketika telah sampai masa pensiun, uang tersebut diberikannya dalam bentuk gaji pensiun bulanan, atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk membantu kehidupannya. Bahkan jenis ini sebenarnya tidaklah termasuk asuransi. Hal ini tidak mengapa, asalnya tidak disimpan di bank yang menjalankan riba.
MACAM-MACAM ASURANSI TIJARI
At-Ta’miin at-Tijaariy, asuransi yang bertujuan mencari keuntungan sangat banyak macanya, antara lain:
1) Asuransi Kecelakaan.
Asuransi jenis ini dilakukan pada harta-harta yang dimiliki, seperti asuransi pencurian, asuransi kebakaran, dan semacamnya. Juga dilakukan pada pertanggungan jawab nasabah, seperti asuransi kecelakaan kendaraan, asuransi kecelakaan kerja, dan semacamnya.
2) Asuransi Pribadi.
Yaitu asuransi dari bahaya-bahaya yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, di sisi kehidupannya, kesehatannya, atau keselamatannya. Hal ini meliputi asuransi jiwa dan asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan.
Asuransi jiwa yaitu perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada nasabah atau kepada orang ke tiga, sebagai ganti angsuran-angsuran yang diberikan, ketika matinya nasabah, atau tetap hidupnya nasabah sampai umur tertentu. Hal ini ada beberapa macam:
1. Asuransi untuk keadaan kematian. Yaitu diberikan sejumlah uang pada saat kematian nasabah. Ini ada 3 macam:
a) Asuransi selama hidup. Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diansuransikan pada saat kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Jika asuransi untuk jangka tertentu, seperti 20 tahun misalnya, dan nasabah itu mati sebelum lewat 20 tahun, maka angsurannya gugur, dan orang yang diasuransikan berhak mendapatkan jumlah uang asuransi secara penuh. Ini berarti kerugian bagi perusahaan. Dan jika nasabah itu masih hidup lewat 20 tahun, maka angsurannya berhenti, tetapi uang asuransi tidaklah diberikan kepada orang yang diansuransikan kecuali setelah kematian nasabah.
b) Asuransi selama waktu tertentu. Yaitu nasabah membayar angsuran asuransi, dan perusahaan akan membayar sejumlah uang asuransi untuk orang yang diansuransikan jika nasabah mati di dalam jarak waktu asuransi. Jika nasabah masih hidup melewati jarak waktu asuransi, maka ansuran yang telah dia bayar hilang, dan perusahaan mengambil uang tersebut dengan tanpa imbalan apa-apa. Asuransi jenis ini sangat jelas unsur perjudiannya.
c) Asuransi selama hidupnya orang yang diasuransikan.
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diansuransikan, jika dia tetap hidup setelah kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Tetapi jika orang yang diansuransikan mati sebelum orang yang membayar asuransi (nasabah), maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.
2. Asuransi untuk keadaan tetap hidup.
Yaitu tetap hidupnya nasabah, ini kebalikan dari bentuk 1. a. Yaitu nasabah asuransi membayar sejumlah uang tertentu kepada perusahaan asuransi, dan perusahaan juga akan membayar sejumlah uang tertentu juga -yang lebih banyak- pada waktu yang ditentukan, jika nasabah itu tetap hidup sampai waktu tersebut. Tetapi jika nasabah mati sebelum waktu yang ditetapkan, maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Dan ahli warisnya tidak dapat memanfaatkannya. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.
3. Asuransi Kombinasi.
Yaitu penggabungan dua jenis asuransi di atas. Perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah mati pada selang waktu tertentu, atau membayarkan kepada nasabah jika dia masih hidup setelah selesainya waktu asuransi. Oleh karena itu angsuran angsuransi jenis ini lebih besar dari dua jenis sebelumnya.
Asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan.
Yaitu perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah tertimpa musibah yang berkaitan dengan badannya, selama masa asuransi. Atau diberikan kepada orang tertentu, jika nasabah yang mengikuti asuransi itu mati. Asuransi kesehatan termasuk jenis ini, dan terkadang asuransi kesehatan mencakup seluruh jenis penyakit, atau penyakit tubuh yang tertentu, atau tindakan operasi penyakit, atau sebagian penyakit. Dan dokumen transaksi asuransi menentukan jenis bahaya yang diasuransikan dan itu yang mendapatkan jaminan asuransi dari perusahaan
HUKUM ASURANSI
Asuransi tijari (yang merupakan usaha untuk mencari keuntungan) dengan semua jenisnya hukumnya haram, karena:.
1. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian penggantian harta yang mengandung ketidak pastian dan memuat bahaya yang sangat banyak.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli gharar.” (HR. Muslim, no. 1513)
Jual beli dengan kerikil, seperti seorang penjual mengatakan ”Aku menjual kain yang terkena kerikil yang aku lemparkan”. Atau ”Aku menjual tanah ini mulai sini sampai jarak kerikil yang aku lemparkan”. Atau semacamnya yang tidak ada kejelasan.
Sedang jual beli gharar yaitu jual beli yang mengandung ketidak jelasan, tipu-daya, dan tidak mampu menyerahkan barang, seperti menjual ikan di dalam kolam, menjual burung yang terbang di udara, dan semacamnya. (Lihat Syarh Muslim karya Imam Nawawi)
2. Asuransi termasuk jenis perjudian. Karena padanya terdapat bahaya kerugian di dalam pertukaran harta, kerugian dengan tanpa berbuat kejahatan atau penyebabnya, dan keuntungan dengan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak sepadan. Karena nasabah asuransi terkadang baru menyetor sekali angsuran, lalu terjadi kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi menderita kerugian sejumlah uang asuransi. Atau tidak terjadi kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan angsuran-angsuran asuransi dengan tanpa imbalan. Dengan demikian asuransi masuk di dalam larangan perjudian di dalam firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah/5: 90)
3. Perjanjian asuransi mengandung riba. Karena keuntungan yang didapati oleh perusahaan adalah tanpa imbalan, sedangkan keuntungan nasabah merupakan tambahan dari harta pokoknya yang tidak ada imbalannya. Dan larangan riba sangat keras di dalam Islam. Allah berfirman:
“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah/2: 278-279)
4. Asuransi merupakan perlombaan yang hukumnya haram, karena mengandung ketidak jelasan, bahaya kerugian, dan perjudian. Dan syari’at Islam tidak memperbolehkan perlombaan yang pemenangnya mengambil harta kecuali yang padanya terdapat pembelaan dan kemenangan terhadap Islam untuk meninggikan Islam dengan hujjah atau dengan senjata. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam telah membatasi perlombaan yang pemenangnya mengambil upah dengan tiga macam:
“Tidak boleh mengambil hadiah harta perlombaan kecuali pada onta, kuda, atau anak panah”. (HR. Abu Dawud, no. 2574; Tirmidzi, no. 1700)
Yaitu tidak boleh mengambil harta dengan perlombaan kecuali pada salah satu dari tiga perkara di atas. Karena ketiganya -dan yang semaknanya- termasuk persiapan peperangan dan kekuatan berjihad memerangi musuh. Dan memberikan hadiah padanya merupakan dorongan kepada jihad. (Lihat Tuhfatul Ahawadzi)
5. Perjanjian asuransi, di dalamnya mengandung pengambilan harta orang lain dengan tanpa imbalan, ini merupakan kebatilan. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (QS. An-Nisa’/4: 29).
6. Perjanjian asuransi mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Syari’at. Karena perusahaan asuransi tidak membuat kecelakaan dan tidak melakukan perkara yang menyebabkan kecelakaan, namun ia wajib membayar klaim. Hal itu karena perjanjian dengan nasabah untuk menjamin bahaya jika terjadi dengan imbalan setoran angsuran nasabah.
Berdasarkan keterangan ini, maka banyak sekali fatwa para ulama yang mengharamkan asuransi tijari dengan segala jenisnya.
Dari penjelasan ini nampak bahwa asuransi yang banyak beredar, yang dilakukan sebagai usaha untuk meraih keuntungan termasuk perkara yang dilarang di dalam Syari’at. Adapun asuransi yang dibolehkan adalah At-Ta’miin at Ta’aawuniy (asuransi gotong royong) sebagaimana di atas. Wallahu a’lam.
Artikel UstadzKholid.com
Disusun oleh Ustadz Muslim Atsari
[Makalah ini diringkas dari kitab Mausuu'ah Al-Qadhaayaa Al-Fiqhiyyah Al-Mu'aashirah Wal Iqtishaad Al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. Ali Ahmad As-Saaluus, ustadz fiqh dan ushuul di kuliyah Syari'at Univ. Qathar, hlm; 363-395, penerbit: Dar Ats-Tsaqafah Qathar; dan beberapa tambahan dari rujukan lain]

******************************

Perbedaan Antara Asuransi Ta’awun Dan Asuransi Konvensional

Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi
ASURANSI SECARA UMUM
Kata asuransi, dalam bahasa Inggris disebut insurance, dan dalam bahasa Perancis disebut assurance. Adapun dalam bahasa Arab, disebut at-Ta’min.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata asuransi dijelaskan dengan pertanggungan. Yaitu perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang milikinya, sesuai dengan perjanjian yang dibuat.[1]
Penjelasan ini, sepadan juga dengan yang telah didefinisikan dalam Perundang-Undangan Negara Indonesia, sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[2]
Sedangkan sebagian ulama syariat dan ahli fikih memberikan definisi beragam. di antaranya sebagai berikut.
1. Asuransi, ialah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi) pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan. [3]
2. Asuransi, ialah perjanjian yang mengikat diri penanggung sesuai tuntutan perjanjian untuk membayar kepada pihak tertanggung atau nasabah yang memberikan syarat tanggungan untuk kemaslahatannya sejumlah uang atau upah rutin atau ganti harta lainnya pada waktu terjadinya musibah atau terwujudnya resiko yang telah dijelaskan dalam perjanjian. Hal itu diberikan sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan tertanggung kepada penanggung (perusahaan asuransi).[4]
3. Asuransi, ialah pengikatan diri pihak pertama kepada pihak kedua dengan memberikan ganti berupa uang yang diserahkan kepada pihak kedua atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kerugian yang telah dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan dari yang diserahkan pihak kedua berupa sejumlah uang tertentu dalam bentuk angsuran atau yang lainnya.[5]
Dari ragam definisi di atas, maka dalam asuransi dapat disimpulkan adanya kata sepakat beberapa hal berikut ini.
1). Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu`ammin) dan tertanggung (al-Mu`ammin lahu).
2). Obyek yang dituju oleh asuransi.
3). Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (perusahaan asuransi) sejumlah uang, baik secara cash maupun dengan angsuran sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yang dinamakan premi.
4). Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya.
Demikian asuransi yang umumnya berlaku, dan dikenal dengan asuransi konvensional (at-Ta’min at-Tijaari) yang dilarang mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Larangan ini juga menjadi ketetapan Majlis Hai`ah Kibar ‘Ulama (Majlis Ulama Besar, Saudi Arabia) no. 55, tanggal 4/4/1397 H, dan ketetapan no. 9 Majlis Majma’ al-Fiqh dibawah Munazhamah al-Mu’tamar al-Islami (OKI) [6]. Juga diharamkan dalam keputusan al-Mu’tamar al-’Alami al-Awal lil-Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396 H [7]. Kemudian, para ulama memberikan solusi dalam masalah asuranis ini. Yaitu dengan merumuskan satu jenis asuransi syariat yang didasarkan kepada akad tabarru’at [8], yang dinamakan at-Ta’min at-Ta’awuni (asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien at-Tabaaduli.
PENGERTIAN ASURANSI TA’AWUN ATAU AT-TA’MIEN AT-TA’AWUNI
Para ulama kontemporer mendefinisikan at-Ta’mien at-Ta’awuni sebagai berikut.
1. Asuransi ta’awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki resiko bahaya tertentu. Mereka mengumpulkan sejumlah uang secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk mengganti kerugian yang sepantasnya kepada orang yang tertimpa kerugian di antara mereka.
Apabila premi yang terkumpul tidak mencukupi untuk biaya pertanggungan, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut. Sebaliknya, apabila terdapat kelebihan dari yang dikeluarkan untuk pertanggungan, maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan tersebut. Setiap anggota asuransi ini sebagai penanggung dan tertanggung sekaligus. Asuransi ini dikelola oleh sebagian anggotanya.
Gambaran secara jelas jenis asuransi ini, yaitu seperti halnya bentuk usaha kerjasama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari keuntungan, akan tetapi hanya untuk mengganti kerugian yang menimpa sebagian anggotanya di antara mereka. Mereka membaginya sesuai tata cara yang telah dijelaskan dan disepakati.[9]
2. Asuransi ta’awun, ialah kerjasama sejumlah orang yang memiliki kesamaan resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari anggotanya dengan cara mengumpulkan sejumlah uang, untuk kemudian menunaikan ganti rugi (pertanggungan) ketika terjadi resiko bahaya, sebagaimana yang sudah ditetapkan.[10]
3. Asuransi ta’awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang membuat shunduq (tempat mengumpulkan dana), yang mereka danai dengan angsuran tertentu yang dibayarkan dari setiap anggotanya. Masing-masing anggota mengambil dari shunduq tersebut bagian tertentu (sebagai gantinya, pertanggungan) apabila tertimpa kerugian (bahaya, resiko) tertentu.
4. Asuransi ta’awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang yang menanggung resiko bahaya serupa, dan masing-masing memiliki bagian tertentu yang dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas bagi yang terkena bahaya (resiko).
Apabila bagian yang terkumpul (secara syarikat) tersebut melebihi yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi (pertanggungan), maka anggota memiliki hak untuk meminta kembali. Dan apabila terjadi kekurangan, maka para anggota diminta untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi kekurangannya atau ganti rugi yang seharusnya dikurangi sesuai ketidakmampuan tersebut.
Anggota asuransi ta’awun ini tidak bertujuan untuk menggali keuntungan, namun hanya berusaha mengurangi kerugian yang dihadapi sebagian anggotanya, sehingga mereka melakukan akad transaksi untuk saling membantu menanggung musibah yang menimpa sebagian anggotanya.[11]
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi ta’awun adalah bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu, dan itu diambil dari iuran, yang setiap dari mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru’ yang bertujuan saling membantu, dan bukan bertujuan untuk perniagaan ataupun mencari keuntungan. Sebagaimana juga bahwa akad ini tidak mengandung riba, tidak bersifat spekulasi, gharar dan perjudian.
Gambaran secara mudah, misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang membuat shunduq, lalu mereka menyerahkan sejumlah uang, yang nantinya, dari sejumlah uang yang terkumpul itu digunakan untuk ganti rugi (sebagai pertanggungan) kepada anggotanya yang mendapatkan musibah (bahaya, resiko).
Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka menambahkan iuran menutupi kekurangannya. Apabila berlebih setelah ditunaikan ganti rugi (pertanggungan) tersebut, maka dikembalikan lagi kepada masing-masing anggotanya, atau dijadikan modal untuk masa yang akan datang.
Hal ini, mungkin dapat diperluas menjadi sebuah lembaga atau yayasan dengan memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan menyimpan uang-uang tersebut, serta mengeluarkannya. Lembaga ini, juga boleh memiliki pengelola yang membuat rencana kerja dan pengaturannya. Semua pekerja, petugas, dan berikut pengelolanya mendapatkan gaji tertentu, atau mereka melakukannya dengan sukarela. Namun semua harus berdasarkan bukan untuk mencari keuntungan (bisnis), dan seluruh sisinya bertujuan untuk ta’awun (saling tolong-menolong).[12]
Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi ta’awun sebagai berikut:
1). Tujuan asuransi ta’awun, ialah murni takaful dan ta’awun (saling tolong-menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
2). Akad asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Sebagaimana nampak dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), jika dana yang tersedia kurang, maka mereka menambah. Dan bila lebih, mereka pun memiliki hak untuk meminta kembali sisanya.
3). Landasan pemikiran asuransi ta’awun, ialah berdasarkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang. Setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut di antara mereka. Sehingga seseorang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya di antara mereka.
4). Pada umumnya, asuransi ta’awun berkembang pada kelompok yang mempunyai ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
5). Pemberian ganti rugi (pertanggungan) atas resiko bahaya yang diambil dari shunduq (simpanan) asuransi yang ada, jika tidak mencukupi maka adakalanya meminta tambahan dari anggota, atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja.[13]
PERBEDAAN ANTARA ASURANSI TA’AWUN DAN ASURANSI KONVENSIONAL[14]
Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang asuransi ta’awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan yang konvensional. Diantaranya:
1). Asuransi ta’awun termasuk akad tabarru yang tujuannya murni takaful dan ta’awun (saling tolong-menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru).
Ini berbeda dengan asuransi konvensional yang memiliki maksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-mu’awwadhah al-ihtimaliyah (bisnis oriented dan bersifat spekulatif).
2). Pemberian ganti rugi atas (pertanggungan) resiko bahaya dalam asuransi ta’awun, diambil dari jumlah premi yang ada di dalam shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak mencukupi, maka adakalanya meminta tambahan dari anggotanya, atau mencukupkan hanya dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya.
Adapun dalam asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri untuk menanggung semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah lainnya. Oleh karena itu, tujuan akadnya ialah mencari keuntungan, namun keuntungannya tidak bisa untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila perusahaan asuransi tersebut memperoleh keuntungan, maka nasabah (tertanggung) merugi. Begitu pula sebaliknya, bila nasabah (tertanggung) memperoleh keuntungan, maka perusahaan (pihak penanggung) itulah yang merugi. Yang demikian ini termasuk dalam kategori memakan harta dengan cara batil, karena keuntungan yang diperoleh oleh salah satu pihak berada di atas kerugian pihak lainnya.
3). Dalam asuransi ta’awun, seluruh nasabah tolong-menolong menunaikan ganti rugi yang harus dikeluarkan, dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan dana yang tersedia, dan juga dari peran para anggotanya.
Adapun menurut asuransi konvensional, bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu membayar ganti rugi (pertanggungan) kepada nasabahnya apabila melewati batas ukuran (jumlah) yang telah ditetapkan perusahaan untuk dirinya.
4). Asuransi ta’awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim, maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung). Sedangkan dalam perusahaan asuransi konvensional, sisa tersebut menjadi milik perusahaan asuransi (penanggung).
5). Penanggung (al-Mu`ammin) dalam asuransi ta’awun adalah tertanggung (al-Mu`ammin lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung (al-Mu`ammin) adalah pihak luar.
6). Dalam asuransi ta’awun, premi yang dibayarkan tertanggung digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuan asuransi ta’awun bukan untuk mencari keuntungan, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasinol perusahaan asuransi saja.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan dan mendapatkan keuntungan. Karena tujuan dari usaha asuransi ini untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari pembayaran premi para nasabahnya.
7). Asuransi ta’awun terbebas dari riba, spekulasi, dan perjudian serta gharar yang terlarang.
Adapun asuransi konvensional, usaha yang dilakukannya tidak lepas dari hal-hal tersebut.
8). Dalam asuransi ta’awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta’awun memiliki asas-asas berikut.
a. Pengelola perusahaan asuransi ta’awun melaksanakan managemen operasional asuransi, berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya. Dari pengelolaannya itu, ia mendapatkan gaji tertentu secara jelas. Karena, mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas jumlah gajinya tersebut.
b. Pengelola perusahaan diijinkan untuk membentuk perusahaan, dan juga memiliki kewenangan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan ketentuan, mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta asuransi itu sebagai mudhârib (pengelola pengembangan modal dengan mudhârabah).
c. Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama, dalam hal pengembangan modal perusahaan asuransi. Kedua, perhitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi yang murni menjadi milik nasabah (pembayar premi).
d. Pengelola perusahaan bertanggung jawab sebagai mudhârib dalam pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian keuntungan mudharabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan gaji pengelolaan yang menjadi haknya.[15]
Adapun menurut asuransi konvesional, hubungan antara nasabah dengan perusahan asuransi dalam hal pengelolaan harta nasabah, bahwa semua premi yang dibayar nasabah (tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan yang terpisah.
9). Nasabah dalam perusahaan asuransi ta’awun dianggap sebagai anggota syarikat yang memiliki hak terhadap keuntungan dari usaha pengembangan modal mereka.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak dianggap sebagai syarikat, sehingga sama sekali tidak berhak memperoleh keuntungan pengembangan modal mereka, dan perusahan sendirilah yang mengambil seluruh keuntungan yang ada.
10). Perusahaan asuransi ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang diharamkan.
Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal dan haram dalam pengembangan hartanya.
Demikianlah beberapa perbedaan yang ada. Mudah-mudahan semakin memperjelas permasalahan asuransi ta’awun ini.
Wabillahit-taufiq.
Maraji’ (sumber rujukan).
1. Abhats Hai’ah Kibar Ulama, disusun oleh al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ`, KSA.
2. Al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu’amalat, Prof. Dr. ‘Abdullah bin Muhammad ath-Thayâr, Prof. Dr. ‘Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alumusa, Madar al-Wathani lin-Nasyr, Riyadh, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1425H.
3. Al-’Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdillah al-’Imrâni, Dar Kunûz Isybiliyâ, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 2006M.
4. Fiqhun-Nawâzil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, Dr. Muhammad bin Husain al-Jizâni, Dar Ibnul-Juazi, Cetakan Pertama, Tahun 1426H.
5. Ru’yat Syar’iyah fî Syarikat at-Ta’mîn at-Ta’âwuniyah, makalah Dr. Khalid bin Ibrahim al-Du’aijî. Lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Cetakan Balai Pustaka, 2005, hlm. 73. Lihat juga Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S. Purwodarminto, Balai Pustaka, Cetakan ke-8, Tahun 1984, hlm. 63.
[2]. Lihat Undang-Undang No. 2, Tahun 1992, tentang usaha perasuransian.
[3]. Lihat tulisan Ustadz Muslim, dalam Rubrik Mabhats, XXX, edisi ini, halaman …
[4]. Abhats Hai’at Kibar Ulama, al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ` (4/36).
[5]. At-Ta’mîn wa Ahkamuhu, oleh al-Tsanayân (hlm. 40). Dinukil dari kitab al-’Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdillah al-’Imrâni, hlm. 288.
[6]. Al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu’amalat, hlm. 255.
[7]. Fiqhun-Nawâzil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat (3/267).
[8]. Akad tabarru`, adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan mencari keuntungan (profit). Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No. 21/DSN-MUI/X/2001, tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9]. Abhats Hai’at Kibar Ulama, oleh al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ`. Saudi Arabiya, 4/38.
[10]. Nidzam at-Ta’mîn, Musthafa al-Zarqa`, hlm. 42. Dinukil dari al-’Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 289.
[11]. Al-Gharar wa Atsaruhu fil-’Uqûd, Dr. Adh-Dharîr, Mathbu’ât Majmu’ah Dalah al-Barakah, Cetakan Kedua, hlm. 638. Dinukil dari makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Du’aijî berjudul Ru’yat Syar’iyah fî Syarikat at-Ta’mîn at-Ta’âwuniyah, hlm. 2. Lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net
[12]. Lihat pembahasannya dalam al-’Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 291-311.
[13]. Kelima karekteristik ini dapat dilihat dalam kitab al-’Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 290-291
[14]. Lihat makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Du’aijî berjudul Ru’yat Syar’iyah fî Syarikat at-Ta’mîn at-Ta’âwuniyah (hlm 2-3), al-’Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat (hlm. 290-291), dan al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu’amalat (hlm. 255-256).
[15]. Keputusan Nadwah al-Barkah ke-12 dalam sebuah forum simposium untuk ekonomi Islam. Lihat Qararat wa Taushiyat Nadwah al-Barkah lil-Iqtishad al-Islami, Tahun 1422H, hlm. 212.

-{@@@@@@@@@@@@@@@@@}-

Hukum Asuransi Bagi Pegawai

Pertanyaan:
Ustadz, Saya mau bertanya tentang asuransi yang sekarang ini sedang marak-maraknya. Saya mengetahui bahwa hukum mengikuti asuransi adalah haram dikarenakan ada sifat gharar (tolong betulkan jika salah).
Namun, yang menjadi pertanyaan, bagaimana kalau kita diikutsertakan ke dalam asuransi kesehatan oleh perusahaan dimana kita bekerja? Dan perlu diketahui, bahwa yang membayar preminya adalah perusahaan itu sendiri. Apakah kita boleh
menggunakan asuransi tersebut?
Begitu juga dengan asuransi jamsostek atau jaminan hari tua yang biasanya setiap pegawai diikutsertakan oleh perusahaan. Dan perlu ustadz ketahui bahwa gaji kita dipotong sekian persen untuk itu. Apakah kita boleh mengikuti asuransi tersebut? Lalu apakah kita boleh untuk mengambil hanya sebatas pokoknya saja yang sudah dipotong gaji kita untuk itu kalau sudah tiba waktunya (biasanya boleh diambil pada tahun ke-5 atau pada saat kita pensiun)? Atau sama sekali tidak boleh diambil uang hasil jamsostek itu?
Arief Firdaus
Jawaban:
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Menanggapi pertanyaan saudara tetang menyikapi asuransi yang telah diatur oleh perusahaan atau instansi pemerintah tempat saudara kerja, maka berikut saya nukilkan jawaban dari Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:

[pertanyaan]
Si jago merah telah melumat habis toko seorang muslim, dan menghanguskan hampir seluruh isinya. Dan dikarenakan sejak beberapa tahun lalu ia telah mengasuransikan tokonya tersebut, maka perusahaan asuransi membayarkan kepadanya seluruh jumlah kerugiannya. Apa hukum Allah tentang uang yang ia terima tersebut, terlebih-lebih iuran yang pernah ia setorkan selama beberapa tahun tersebut tidak sebanding, walau hanya separuh dari uang asuransi yang ia terima. Sedangkan anda telah mengetahui bahwa sebagian negara mewajibkan asuransi?
[jawaban]
Asuransi jenis ini adalah asuransi komersial, dan itu diharamkan; dikarenakan pada asuransi itu terdapat unsur riba, ghoror (ketidak jelasan), dan praktek memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan. Dan pemilik toko yang anda sebutkan, dibolehkan untuk mengambil sejumlah uang setoran yang pernah ia bayarkan ke perusahaan asuransi. Sedangkan sisanya, hendaknya ia sedekahkan kepada orang-orang fakir, atau digunakan dalam kegiatan sosial lainnya. Dan hendaknya ia segera menghentikan diri dari menjadi nasabah perusahaan asuransi tersebut.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.” (Majmu’ Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 14/259, fatwa no: 4862)

Dengan demikian, bila terjadi klaim, maka saudara dapat mengambil sejumlah fee yang telah dipotong dari gaji saudara dan oleh perusahaan dibayarkan ke perusahaan asuransi. Sedangkan selebihnya, saudara salurkan ke jalur-jalur sosial bukan dengan niat bersedekah akan tetapi berlepas diri dari harta haram. Dan bila tidak terjadi klaim, maka anda dapat mengambil kembali fee yang telah dibayarkan oleh perusahaan sejumlah total potongan gaji saudara selama 5 tahun atau pada saat saudara pensiun. Wallahu a’alam bisshowab.
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Sumber: www.pengusahamuslim.com


^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Menyoal ASKES pegawai

Assalamu’alaykum. Afwan ustadz ada yg ingin ana tanyakan  bagaimana hukum Askes yg ada di lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS)?
Dimana setiap pegawai dipotong gajinya tiap bulan untuk iuran tersebut dan mau tidak mau harus dipotong karena sudah termasuk dalam perhitungan gaji PNS. Oleh karena itu, setiap PNS dapat mengurus pembuatan Kartu Askes yg nantinya bisa digunakan dalam pelayanan jasa kesehatan yg diselenggarakan oleh rumah sakit pemerintah atau swasta (yg ditunjuk) untuk mendapatkan keringanan biaya (bahkan ada yg gratis,tergantung pelayanan jasa keshatan yg digunakan). Dan Askes  ini adalah program pemerintah untuk kesejahteraan PNS.
Gambarannya seperti ini Misalkan Istri ana hamil, dan persalinannya dilakukan di rumah sakit pemerintah. Biaya persalinan mencapai 6 juta rupiah (misal lahir dg operasi cesar).  Karena ana sebagai suami memiliki kartu Askes, maka biaya persalinan td ana hanya membayar 3 juta saja.
Apakah ini termasuk asuransi yg dilarang? dan bagamana asuransi yg diperbolehkan dalam Islam?
kemudian bagaimana potongan Askes yg ada dalam daftar gaji kita, karena mau tidak mau itu sudah termasuk dlm perhitungan gaji dan kita tidak bisa menolaknya. Afwan ustadz kalo kata-kata ana di atas ada yang salah dan terlalu panjang semoga Allah Subhana wa Ta’ala membalas kebaikan antum dan selalu menjaga antum.  Jazakallahu Khoir
From: Joko Sembodo
Jawaban Al-Ustadz Dzulqornain Abu Muhammad
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabaraktuh
Asuransi kesehatan dengan bentuk disebutkan adalah hal yang tidak diperbolehkan dalam ketentuan syari’at kita. Sandaran pelarangan karena terdapat dalam asuransi tersebut sejumlah pelanggaran syari’at, yaitu :
  1. Terdapat didalam perbuatan riba dengan dua jenisnya. Karena orang yang membayar asuransi akan mendapatkan jasa atau bayaran melebihi apa yang dia bayar. Dan ini disebut riba fadhal. Kemudian pembayaran atau tanggungan dari pihak asuransi didapatkan pada masa mendatang tatkala anggota asuransi memerlukannya. Dan ini disebut dengan nama riba nashi’ah.
  2. Terdapat didalam perbuatan qimar yang diharamkan dalam syari’at kita. Karena orang yang membayar asuransi mungkin mendapat keuntungan dari keanggotaannya dan mungkin tidak mendapatnya. Itulah hakikat qimar yang diharamkan dimana seorang masuk dalam sebuah transaksi yang mungkin dia untung dan mungkin dia rugi, dengan memberi bayaran.
  3. Terdapat didalamnya bentuk ghoror (ketidakjelasan). Sedang ghoror adalah yang terlarang dalam transaksi muamalat.
  4. Terdapat didalamnya bentuk memakan harta manusia dengan kebatilan. Karena orang memakai jasa asuransi ketika mendapat bayaran yang lebih dari biaya keanggotaan yang dia keluarkan maka kelebihan biaya tersebut diambil dari bayaran anggota lainnya, sehingga kapan dia mengambilnya berarti dia telah memakan harta manusia tanpa haq.
Dan ada beberapa pelanggaran lainnya disebutkan oleh sejumlah ulama besar di masa ini sehingga mereka menfatwakan haramnya segala jenis asuransi kesehatan dan asuransi komersial.
Yang saya nesahatkan kepada seluruh kaum muslimin dan muslimat yang tidak bisa terlepas dari kewajiban membayar asuransi agar senantiasa bertakwa kepada Allah dan hanya menggunakan sesuatu yang dihalalkan.
Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Wallahu A’lam.

SUMBER : milinglist nashihah@yahoogroups.com versi offline dikumpulkan kembali oleh dr.Abu Hana untuk http://kaahil.wordpress.com

Sumber : http://roihan.wordpress.com

0 komentar :

Posting Komentar