Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala.
Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting.
Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa
membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di tengah umat ini
sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja
orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun
Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya
melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula
yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat
Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan
melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan
Idul Adha saja.
Memang sungguh prihatin dengan kondisi
umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya
semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan
mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah
memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca
tulisan ini.
Para Ulama Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang Lebih Besar dari Dosa Besar Lainnya
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar
dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain,
berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya
akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di
dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga
mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya
termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara
keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang
berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya
termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai
berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat.
Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi,
celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)
Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Kafir Alias Bukan Muslim?
Dalam point sebelumnya telah dijelaskan,
para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar
bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak
berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi masalah
selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah
telah kafir?
Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya.
Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini
shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum
muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).
Mengenai meninggalkan shalat karena
malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di
antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama
mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena
dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat
Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu
‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq
bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat
sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan
oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah,
dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua
mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman
had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan
salah salah satu pendapat Imam Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)
Jadi, intinya ada perbedaan pendapat
dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula ulama madzhab.
Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah?
Silakan simak pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Al Qur’an
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.
Allah Ta’ala berfirman,
َخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat
ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan
shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang
meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia
akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang
berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
َإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala
mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika
shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang
yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu
bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah antara seorang hamba dengan
kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka
dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi).
Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah
seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa
roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan Islam, bisa
ambruk dengan hilangnya shalat.
Para Sahabat Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir
Umar mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar berkata,
ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang
yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga
diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman.
Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu
’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani
dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan
di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat
pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan
shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa
orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana
dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan
menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At
Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim
mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di
dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)
Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah
seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan
oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)
Berbagai Kasus Orang yang Meninggalkan Shalat
[Kasus Pertama] Kasus
ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya
sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat
oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak
apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya
shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di
antara para ulama.
[Kasus Kedua] Kasus
kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak
pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya,
malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah
pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan
tabi’in.
[Kasus Ketiga] Kasus
ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam
melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih
dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan
tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap
lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan
yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan
meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang
dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada
seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian
besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu
menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total.
Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti
pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku
bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang
kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
[Kasus Keempat] Kasus
ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui
bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang
semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah
dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai
faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima] Kasus
ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya.
Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar
waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan
perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
Penutup
Sudah sepatutnya kita menjaga shalat
lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga
agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan
lainnya akan lebih disia-siakan lagi.
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu-
mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian
adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga
agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya
akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang
yang meninggalkan shalat.“
Imam Ahmad –rahimahullah- juga
mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara
shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam
Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu.
Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang
betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai
hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan
engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu,
sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat Ash Sholah, hal. 12)
Oleh karena itu, seseorang bukanlah
hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib. Namun
haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq)
saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi
yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini
hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka
semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“
Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah
hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun iman adalah sesuatu
yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.“ (Lihat Ash Sholah, 35-36)
Semoga tulisan yang singkat ini
bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan kerabat,
saudara dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima waktu.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
[Muhammad Abduh Tuasikal]
Sumber : buletin.muslim.or.id