Utang piutang seakan telah menjadi menu sehari-hari di tengah
hiruk-pikuk kehidupan manusia. Karena sudah niscaya ada pihak yang
kekurangan dan ada pihak yang berlebih dalam hartanya. Ada pihak yang
tengah diberi ujian dengan mengalami kesempitan dalam memenuhi
kebutuhannya, ada pihak lain yang tengah dilapangkan rezekinya. Namun
itu semua adalah roda yang berputar. Yang kemarin sebagai pihak
pengutang, hari ini bisa berstatus sebagai pemberi pinjaman. Semuanya
saling mengisi dan berganti peran dalam sebuah panggung bernama dunia.
Begitupun jual beli. Ada manusia yang melakonkan diri sebagai
penyedia barang atau jasa dan ada pula pihak yang membutuhkan. Mereka
saling bertukar kebutuhan dan saling memberi.
Namun demikian, watak manusia yang cenderung cinta dunia dan tidak amanah,
menjadikan aktivitas bernama utang piutang dan jual beli itu kerap
ternoda. Sesuatu yang lazim dalam kehidupan anak manusia ini pun menjadi
sesuatu yang zalim manakala adab atau akhlak tidak dijunjung tinggi.
Dalam masalah utang piutang, kasus yang sering dijumpai adalah
seringnya pengutang mengulur-ulur waktu jatuh tempo tanpa ada itikad
baik untuk bersegera melunasinya. Atau ada yang sama sekali tidak
meminta tangguh atau udzur kepada pihak yang meminjamkan. Bertemu
saudaranya yang meminjamkan, hanya diam seribu bahasa atau bahkan
mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Seakan-akan ia lupa bahwa dirinya
masih memiliki tanggungan atau kewajiban.
Sudah menjadi gejala umum, keadaan ini tentu bertolak belakang
ketika peminjam menyampaikan hajatnya. Dengan beragam tutur, calon
peminjam akan berusaha meyakinkan bahwa dirinya akan melunasi tepat
waktu. Tergambar, ia demikian membutuhkan pinjaman detik itu juga.
Ucapan “segera” atau “insya Allah” pun begitu ringannya dilontarkan.
Namun giliran jatuh tempo, dengan entengnya pula kata “maaf…”
diucapkan. Bahkan tak jarang sampai ada yang dibumbui kedustaan,
melontarkan segala alasan yang intinya mengarah pada dusta. Kalau sudah
begini, tak peduli kerabat, teman, bahkan sahabat karib sekalipun. Tak
ada kamus tenggang rasa, tak ada kesadaran bahwa ia tengah mempermainkan
bahkan menzalimi saudaranya.
Cara lain, adalah dengan mengajak menanam modal dalam sebuah usaha
yang dilukiskan demikian mudah dalam memetik untung. Namun setelah hal
itu berjalan, jangankan untung, modal saja lenyap tak berbekas. Usut
punya usut, ternyata modal itu bukan diputar, namun justru digunakan
untuk keperluan pribadi pengelola modal atau hal-hal lain di luar akad.
Demikian pula dalam praktik jual beli. Tipu-menipu dan unsur
pemaksaan, demikian kental mewarnai. Beras oplosan, bensin oplosan, dan
“oplosan-oplosan” lain di tengah masyarakat setidaknya menjadi cermin
kecil minimnya adab dalam praktik jual beli. Ini belum termasuk maraknya
penjualan daging ayam tiren (mati kemaren), daging sapi glonggongan,
makanan berbahan kimia berbahaya, dan yang semacamnya.
Demikian juga soal mengurangi takaran atau timbangan, telah menjadi
hal yang demikian biasa. Tak cuma di pasar, di SPBU dan di pangkalan
minyak tanah, juga kita jumpai praktik serupa. Serta beragam
penyimpangan lain yang nyata jauh dari adab Islam.
Yang disayangkan, akad utang piutang atau jual beli selama ini
lebih banyak berfungsi sebagai “pemanis”. Lebih-lebih jika akad itu
hanya berujud lisan, bukan perjanjian di atas kertas. Alhasil, lebih
sering dilanggar ketimbang untuk ditaati. Bahkan kadang sering
berubah-ubah tergantung kepentingan salah satu pihak.
Tak ayal jika perkara ini sampai ada yang menyeret pada pertikaian
fisik yang berujung maut. Nyawa tak lagi berharga bukan semata karena
nilai uang atau materi yang tak seberapa namun sudah dikait-kaitkan
dengan harga diri. Ini tak lain dikarenakan terkandung kezaliman antara
kedua belah pihak. Lantas apa akar dari semua itu? Jawabnya tentu,
jauhnya umat dari adab utang piutang dan jual beli yang diajarkan Islam.
0 komentar :
Posting Komentar