Selasa, 03 Januari 2012

“Termasuk pengetahuan yang penting, yakni seorang muslim memahami kewajiban, bagaimana cara bersikap kepada penguasa yang ada di negerinya. Apabila orang-orang tidak memahami cara bersikap kepada penguasa muslim, niscaya akan menimbulkan keburukan dan kerusakan.”
Pembaca budiman,
Kutipan di atas merupakan penggalan dari muhadharah yang disampaikan Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah ar Ruhaili –hafizhahullah- dosen Universitas Madinah, pada kajian Tabligh Akbar yang diselenggarakan oleh Yayasan Minhajus Sunnah dan Tasjilat at Taqwa al Islamiyah Bogor. Muhadharah Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah ar Ruhaili, yang diselenggarakan pada hari Ahad 20 Jumadil Tsani 1427H bertepatan dengan 16 Juli 2006M di Masjid Istiqlal ini, ditranskip dan diterjemahkan oleh Muhammad Ashim Mustofa. Secara lengkap kami hadirkan ke hadapan pembaca. Selamat menyimak dan semoga bermanfaat. (Redaksi).
Saya datang dari kota Rasulullah, kota kaum Anshar. Saya datang dengan membawa perasaan mahabbah (cinta) kepada penduduk negeri ini. Semoga Allah memberi berkah dan memberi pertolongan kepada orang-orang yang ada di dalamnya dan konsisten dengan Islam, yang tiada kemuliaan, ketinggian dan kharisma kecuali dengan Islam. Semoga Allah menyatukan hati kita di atas tauhid dan Sunnah, dan merapikan barisan kita dengan perkara yang agung ini.
Dahulu, keadaan bumi sebelum di utusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berada dalam keadaan gelap gulita, dan kejahiliyahan yang parah. Kebodohan mendominasi. Sementara itu, ilmu tidak bernilai. Akal-akal manusia menjadi begitu dungu, sampai-sampai manusia menyembah bebatuan. Salah satu dari mereka sampai membuat tuhan sendiri dari kurma atau makanan. Apabila merasa lapar, maka ia makan dan akan membuat tuhan lagi.
Cara hidup mereka pun berada di atas titik nadir. Salah seorang dari mereka akan tega membunuh anak perempuannya lantaran rasa malu. Kegelapan begitu merata dan kuat. Di saat itulah, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak mengutus seorang rasul. Maka, bumi pun terang benderang dengan cahaya kebenaran. Bumi menjadi baik dengannya. Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan dakwah dengan sebenar-benarnya. Beliau tidak meninggalkan kebaikan, kecuali telah disampaikan kepada umatnya. Dan tidaklah beliau meninggalkan keburukan, kecuali telah memperingatkan umat darinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ لَيْسَ شَيْئٌ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى الْجَنَّةِ إِلاَّ أَمَرْتُكُمْ بِِهِ وَلَيْسَ شَيْئٌ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى النَّارِ إِلاَّ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ

“Tidak ada sesuatu yang mendekatkan diri kalian kepada surga, kecuali telah aku perintahkan. Dan tidak ada sesuatu yang mendekatkan diri kalian ke neraka, kecuali telah aku larang darinya.”
Ada seorang lelaki dari kalangan kaum Musyrikin -dalam riwayat lain- seorang dari Yahudi berkata kepada Salman al Farisi:

قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَة قَالَ أَجَل

“Apakah Nabi kalian mengajarkan segala sesuatu kepada kalian, termasuk adab di kamar mandi?” Ia (Salman al Farisi, Red) menjawab,”Ya.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajari umatnya segala sesuatu. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Tinggi, maka para sahabat yang terpercaya lagi bertakwa menyampaikan amanah dengan sebaik-baiknya. Mereka menyerukan din (agama) Allah sesuai dengan petunjuk Nabi Subhanahu wa Ta’ala, dalam keadaan suci dan murni, menyebarkannya ke seluruh pelosok bumi, serta berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya.
Demikianlah, umat akan senantiasa berada dalam kebaikan selama konsisten dengan Sunnah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi, setan melakukan penyusupan kepada umat dengan memunculkan fitnah yang terjadi di akhir masa sahabat. Maka, kerusakan pun mulai merasuki tubuh umat. Namun, umat ini akan senantiasa dekat dengan kebaikan, selama mendekat dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang murni. Dan sebaliknya, akan semakin jauh dari kebaikan, apabila kian menjauh dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kewajiban atas setiap muslim, harus meyakini dengan teguh, bahwa Allah telah menyempurnakan agama ini, dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikannya dengan cara yang sangat jelas dan menyeluruh. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman kepada kaum mukmin :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” [Al Maidah/5 : 3].
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengada-ngadakan sebuah bid’ah dan memandang itu (sebagai) bagian dari agama, sungguh ia telah menganggap Muhammad n berkhianat terhadap risalah”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyariatkan semua perkara yang bermanfaat dan mencegah perkara yang berbahaya. Termasuk di dalamnya, perkara yang dikandung oleh nash-nash syariat tentang mu’amalah dengan para penguasa. Nash-nash itu memaparkan masalah ini dengan sangat jelas. Dan telah diketahui oleh para cendekia, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, dan menjadikannya mempunyai kecenderungan untuk suka bergabung dengan orang lain. Sudah diketahui pula, yang namanya kelompok, pasti membutuhkan pemimpin. Kepentingan rakyat tidak akan lurus sampai terwujud eksistensi seorang pemimpin yang akan mewujudkan maslahat dan menolak bahaya melalui kekuasaannya. Seorang amir, pejabat dan penguasa, menjadi sarana penegakan agama dan keadilan. Melalui keberadaannya, kemaslahatan-kemaslahatan dicapai dan bahaya-bahaya dihindarkan. Posisi seorang pemimpin, merupakan cerminan kebaikan di dunia ini. Apabila masyarakat dibiarkan tanpa ada penguasa, niscaya orang yang kuat akan berbuat aniaya kepada kaum yang lemah, harta-harta anak yatim pun akan dirampas, kemaslahatan sosial juga tidak terwujudkan. Termasuk di dalamnya, agama akan disia-siakan di tengah masyarakat.
Oleh karenanya, termasuk pengetahuan yang penting, yakni seorang muslim memahami kewajiban, bagaimana cara bersikap kepada penguasa yang ada di negerinya. Apabila orang-orang tidak memahami cara bersikap kepada penguasa muslim, niscaya akan menimbulkan keburukan dan kerusakan.
Keberadaan penguasa merupakan kebaikan. Ilmu tentang kaidah-kaidah syar’i dalam bersikap terhadap penguasa merupakan kebaikan. Sedangkan kebodohan terhadap ilmu ini, merupakan keburukan besar dan kerusakan yang merata. Karenanya, kewajiban para penuntut ilmu untuk menjelaskan masalah ini kepada kaum Muslimin, hukum-hukum tentang masalah ini, sehingga agar terwujud maslahat umum, dan kebahagiaan akan menyelimuti masyarakat. (Dengan demikian), rakyat ataupun penguasa pun mendapatkan manfaat dari adanya kekuasaan.
Sebelum memulai penjelasan tentang pedoman-pedoman agama tentang cara bersikap kepada penguasa, kiranya kita perlu mengetahui, siapakah gerangan yang disebut sebagai penguasa? Siapakah penguasa yang kita maksudkan? Siapakah penguasa, yang agama kita mengungkap prinsip-prinsip dalam bersikap dengannya?
Menurut para fuqaha kaum Muslimin, al hakim (penguasa) adalah, orang yang (dengannya terjaga) stabilitas sosial di suatu negeri, baik ia mencapai kekuasaan dengan cara yang disyariatkan atau tidak, baik kekuasaan hukumnya menyeluruh semua negara kaum Muslimin, atau terbatas pada satu negeri saja.
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Para fuqaha bersepakat atas wajibnya taat kepada imam yang mutaghallib (berkuasa melalui peperangan, kudeta atau cara represif lainnya, Pent.)”. Artinya, para fuqaha telah bersepakat, bila seorang imam berhasil mencapai puncak kekuasaan dengan saif (kekerasan) dan mampu mengendalikan negara dengan kekuatannya, lantas kondisi masyarakat menjadi stabil, maka ia wajib ditaati, karena ia adalah imam dan penguasa bagi kaum Muslimin.
Dan sudah diketahui, bahwa para ulama telah bersepakat wajibnya taat kepada penguasa yang ada, baik jumlah imam satu (yang menguasai seluruh negeri kaum Muslimin atau banyak (yang menguasai negeri-negeri tertentu).
Sesungguhnya kaum Muslimin tidak bersatu di bawah satu pimpinan sejak masa Imam Ahmad sampai sekarang. Dan kita mengetahui, para imam dan ulama Islam telah menetapkan pada kitab-kitab mereka kewajiban untuk taat kepada penguasa, padahal mereka mengetahui kondisi riil yang ada, karena penguasa telah banyak. Jadi, imam adalah seseorang yang stabilitas masyarakat terwujud pada masanya. Demikian ini adalah masalah yang sudah disepakati oleh para ulama. (Maka) harus dipahami dan diketahui agar setan tidak menyusup pada akal dan hati umat.
Dalam majelis ini, saya ingin berbicara tentang empat prinsip yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang membicarakan mu’amalah dengan penguasa, yaitu:

Prinsip Pertama. Berkeyakinan Wajibnya Bai’at Bagi Penguasa.

Apabila kondisi sosial menjadi stabil pada masanya, maka setiap orang yang berada di bawah kekuasaannya, wajib meyakini bahwa sang penguasa berhak dibai’at oleh mereka. Meskipun ia tidak pergi untuk memba’itnya. Karena, agar bai’at itu sempurna, tidak harus melakukannya secara langsung. Masalah ini menurut para fuqaha, apabila ahlu halli wal ‘aqdi (para tokoh yang terpandang) dan kemudian keadaan menjadi stabil pada seorang penguasa, maka bai’at menjadi sah baginya dan berlaku pada semua orang.
Kewajiban setiap orang, ia harus meyakini ada tuntutan bai’at atasnya. Ini merupakan kewajiban syariat. Seorang muslim tidak boleh keluar darinya. Orang yang tidak meyakini kewajiban bai’at kepada penguasa di negerinya yang menjadi kewajibannya, ia terancam dengan ancaman yang keras.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa melepaskan ketaatan (dari penguasa), niscaya akan menjumpai Allah tanpa memiliki hujjah (alasan). Dan barangsiapa meninggal tanpa ikatan bai’at, maka kematiannya (seperti) kematian jahiliyah”. [HR Muslim, 3441].
Seorang muslim yang berkeyakinan tidak wajib membai’at penguasa, ia terancam, kematiannya layaknya kematian orang jahiliyah -semoga Allah melindungi kita dari keadaan buruk ini. (Oleh karenanya), kewajiban seorang muslim meyakininya dengan mantap. Dan seyogyanya, seorang muslim mengetahui bahwa, bai’at kepada penguasa bukan bagai kalung yang bisa diletakkan dan dicabut kapan saja; jika suka ia letakkan, dan bila tidak suka mencabutnya. Tetapi kewajiban bai’at tetap berlaku selama kekuasaan penguasa masih ada di negeri tersebut. Seorang muslim tidak boleh menarik diri dari bai’at ini.

Prinsip Kedua. Menasihati Para Penguasa Dengan Menjauhi Sikap Khuruj (berontak, membangkang, Pent.), Mencaci-maki Dan Menghina, Serta Menanamkan Antipati Dalam Hati Rakyat Terhadapnya.

Berkaitan dengan tindak-tanduk penguasa, ada dua kelompok yang menyikapinya dengan dua sikap yang keliru. Salah satunya menilai, al hakim (penguasa) adalah manusia yang ma’shum (terjaga) dari segala kesalahan. Segala tindakannya benar adanya, karena ia menghukumi berdasarkan perintah Allah. Kedudukannya, layaknya seorang nabi dalam segala tindakan dan ucapan. Demikian menurut pandangan Rafidhah (Syi’ah).
Sedangkan kelompok kedua memiliki pandangan, memiliki sikap yang berseberangan dengan yang pertama. Yaitu, apabila penguasa melakukan sebuah kesalahan, maka kesalahan itu dibesar-besarkan, bahkan kadang-kadang dikafirkan karenanya. Dan menurut mereka, wajib melakukan pemberontakan kepadanya. Dua golongan itu bertentangan dengan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seperti biasanya, ahlul haq, Ahli Sunnah berada di posisi tengah, dengan mengatakan, seorang hakim adalah manusia biasa. Dia memiliki potensi melakukan kesalahan dan kebenaran. Sebagian tindakannya ada yang benar, dan ada tindakannya yang salah. Namun, munculnya kesalahan tidak membolehkan untuk memberontak, dicaci, dihina kehormatannya, dan tidak boleh menumbuhkan hati masyarakat menjadi antipati kepadanya. Yang harus dikerjakan, menasihatinya dan menjelaskan kesalahannya melalui mekanisme yang dibenarkan syariat dan mempertimbangkan situasi serta kondisi, berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا : (مِنْهِا ): وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ

“Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal pada kalian (di antaranya), kalian menasihati orang-orang yang Allah jadikan penguasa atas urusan kalian”.[HR Ahmad, 23278; Malik, 1578].
Allah meridhai dari kalangan hambaNya kaum Muslimin, agar mereka menasihati orang-orang yang dijadikan pemimpin atas mereka, agar jujur dalam mu’amalahnya, dan menjelaskan kesalahan dengan cara yang diperbolehkan syariat, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ وَالنَّصِيحَةُ لِوَلِيِّ الْأَمْرِ وَلُزُومُ الْجَمَاعَةِ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تَكُونُ مِنْ وَرَائِهِ

“Ada tiga hal, hati seorang mukmin tidak dirasuki dengki saat melakukannya. Yaitu : ikhlas beramal untuk Allah, menasihati waliyul amr, dan konsisten bersama dengan jama’ah.”[2]
Tiga hal ini, hati seorang muslim tidak dirasuki rasa dengki di dalamnya.
Pertama : Hendaknya amalan seorang manusia ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua urusannya, terutama dalam masalah yang sedang kita bicarakan. Hendaknya nasihat dan sikap yang ia berikan kepada penguasa karena Allah dan ditujukan kepada Allah. Apabila berbicara tentang waliyul amr, ia berbicara karena Allah. Ketika menasihati penguasa, maka ia lakukan karena Allah. Tidak menginginkan balasan duniawi. (Kedua) : Apabila seorang manusia benar-benar ikhlas, pasti ia akan menasihati penguasa. Termasuk dalam konsekwensi ikhlas kepada Allah, yaitu seseorang menasihati waliyul amr. (Ketiga) : Dan termasuk dari makna menasihati waliyul amr, yaitu sikap untuk selalu bersama dengan jama’ah. (Maka sungguh) merupakan kedustaan, kedustaan dan kedustaan, (yaitu) orang yang mengklaim menasihati penguasa, tetapi menyingkir dari jama’ah. Tidak ada nasihat yang jujur kecuali dengan bergabung dengan jama’ah muslimin.
Demikianlah yang dijelaskan Nabi dengan bahasa Arab yang fasih. Beliau menjelaskan tiga perkara yang saling berkaitan dengan lainnya. Pertama, ikhlas kepada Allah. Disusul dengan munashahah (menasihat) kepada waliyul amr. Dan berikutnya, selalu bergabung dengan jama’ah kaum Muslimin.
Tentang nasihat kepada penguasa ditempuh dengan cara yang dapat menghasilkan maslahat, bukan yang mendatangkan kerusakan. Sehingga tidak dilakukan di atas podium-podium. Disampaikan kepada penguasa dengan cara yang tidak menyulut emosi masyarakat kepadanya. Orang yang benar-benar ingin menasihati penguasa karena Allah, ia hanya menginginkan perbaikan semata, tidak bermaksud menunjukkan jasa, atau dikatakan sebagai orang kuat yang berani berbicara tentang penguasa. Keinginannya hanyalah, timbulnya kebaikan bagi negara dan masyarakat. Dan kebaikan hanya terwujud jika menjelaskan kesalahan dengan cara yang baik, disertai kesatuan hati masyarakat kepada penguasa agar tidak tersebar fitnah.
Pada zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu terjadi fitnah. Ada orang berkata kepada Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma : “Tidakkah engkau mengingkari ‘Utsman?” Usamah Radhiyallahu ‘anhuma menjawab,”Aku mengingkarinya di depan massa? Aku akan mengingkarinya saat berdua. Aku tidak ingin membuka pintu fitnah bagi orang-orang.” [3]
Dalam pandangan para sahabat, sudah menjadi sebuah ketetapan di kalangan para sahabat, bahwa menasihati penguasa di depan umum akan membuka pintu fitnah. Oleh karenanya, Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma memegangi prinsip yang agung ini. Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

“Barangsiapa ingin menasihati sulthan (penguasa) dengan suatu masalah, janganlah menampilkan kepadanya secara terang-terangan. Tetapi, hendaknya menggandeng tangannya dan untuk berduaan dengannnya. Apabila ia menerima darinya, maka itulah (yang diharapkan). Kalau tidak, berarti telah melaksanakan kewajibannya”.[4]
Demikianlah yang dipaparkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maksudnya, orang yang akan menasihati penguasa, tidak memperlihatkannya di depan massa supaya tidak memancing kemarahan masyarakat terhadap penguasa. Adapun komentar tentang kesalahan-kesalahan penguasa di atas mimbar-mimbar, atau dilakukan secara terang-terangan, ini bukan disebut nasihat, tetapi justru merupakan celaan, pendiskreditan, dan penghinaan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa menghina sulthan Allah di dunia, niscaya Allah akan menghinakannya”.[5]
Saya ingin mengutarakan sebuah kisah yang mengandung dua sikap. Saya berharap setiap dari kita melihat, ia bersama dengan pihak mana.
Ibnu ‘Amir adalah seorang gubernur. Suatu ketika ia keluar untuk melakukan Khutbah Jum’at dengan mengenakan pakaian yang transparan. Maka Abu Bilal al Khariji (dari Khawarij) berkomentar : “Lihatlah pemimpin kita. Dia mengenakan baju orang fasiq,” maka Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi, menyanggah: “Diamlah engkau. Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Barangsiapa menghina sulthan Allah di dunia, niscaya Allah akan menghinakannya’.” [6]
Lihatlah sikap orang Khawarij terhadap kesalahan pemimpin, dan bandingkan dengan sikap sahabat Nabi tersebut. Maka, seharusnya Anda wahai para hamba Allah, pilihlah cara orang yang engkau cintai. Sesungguhnya pada hari Kiamat, seseorang akan bersama orang yang dicintainya.
Apabila ada orang yang bertanya “apakah hal ini berarti, jika ada kesalahan yang berasal dari pemerintah, kita mendiamkan dan tidak melarang orang-orang berbuat maksiat dan tidak menjelaskannya?”
Tidak demikian! Kewajiban kita, yaitu harus melarang orang-orang berbuat maksiat, dan menjelaskan bahwa perkara itu merupakan maksiat. Tetapi, berkaitan dengan menasihati penguasa dalam masalah maksiat ini, haruslah dengan cara-cara yang tidak menyulut kemarahan masyarakat kepadanya.
Sudah seharusnya kita ketahui, bahwa Ahli Sunnah wal Jama’ah, ketika menetapkan prinsip yang sudah kita sebutkan tadi, bukan berarti memerintahkan untuk mendiamkan kemaksiatan-kemaksiatan tanpa pengingkaran, dengan dalih maksiat itu muncul dari pemerintah. Tetapi, maksiat tersebut tetap wajib diingkari dan dijelaskan kepada masyarakat, bahwa itu (merupakan) kemaksiatan, dan masyarakat dilarang berbuat maksiat seperti itu. Namun pengingkaran terhadap penguasa secara khusus berkaitan dengan kemaksiatan ini atau perkara lainnya, harus dengan prinsip yang telah kita sebutkan.

Prinsip Ketiga : Mendengar Dan Taat Kepada Penguasa Pada Perkara Yang Bukan Maksiat Kepada Allah. Tidak Ada Kebaikan Bagi Masyarakat Kecuali Dengan Jama’ah. Dan Urusan Jama’ah Tidak Akan Lurus, Kecuali Dengan Kebaradaan Imamah (Kepemimpinan). Dan Tidak Lurus Sebuah Kepemimpinan, Kecuali Dengan Ketaatan.

Oleh karena itu, terdapat banyak nash yang menunjukkan ketaatan terhadap pemimpin negara dalam masalah yang bukan maksiat. Allah berfirman kepada kaum Mukminin :

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu”. [An Nisaa`/4 : 59].
Allah memulai ayat ini dengan “yaa ayyuhalladzi na aamanu“. Para ulama tafsir berkata : “Apabila Allah mengawali ayat dengan arah pembicaraan kepada kaum Mukminin, maka ketahuilah, terdapat perkara penting setelahnya”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan ketaatan kepadaNya dan kepada RasulNya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’la menjelaskan bahwa, yang termasuk dalam ketaatan kepada Allah dan Rasulnya, (yaitu) taat kepada penguasa dalam perkara yang bukan maksiat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang taat kepadaku, ia telah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa bermaksiat kepadaku, sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa taat kepada Amir (penguasa), sungguh ia taat kepadaku. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Amir, sungguh ia bermaksiat kepadaku” [HR Bukhari 6604]
Dalam hadits yang shahih lagi muhkam ini, dijelaskan prinsip agung lagi mulia. Bahwa taat kepada Rasulullah merupakan taat kepada Allah Subhanhu wa Ta’ala. Taat kepada amir merupakan ketaatan kepada Rasulullah. Dan berbuat maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Melakukan penentangan kepada amir (bermaksiat) merupakan maksiat kepada Rasulullah.
Dari sini, kita ambil sebuah pedoman penting. Yaitu, saat kita mentaati penguasa pada perkara yang bukan maksiat, sesungguhnya kita sedang mendekatkan diri kepada Allah Subhanhu wa Ta’ala. Ketaatan Anda kepada penguasa dalam masalah yang bukan maksiat, merupakan qurbah (upaya mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Janganlah Anda melihat kepada penguasa, atau polisi, atau apakah ada orang yang melihat kita. Tetapi, kita lakukan itu dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pasalnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan masalah ini kepada kita. Karena itu, para ulama telah sepakat, wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala.
Lantaran agung dan besarnya pengaruh masalah ini bagi terciptanya keamanan bagi negara dan kebahagiaan masyarakat, maka Nabi menutup celah-celah setan ke dalam hati manusia dalam masalah ini. Setan kadang-kadang mendatangi seorang manusia dengan membisikkan, sesungguhnya taat kepada penguasa harus dilakukan ketika penguasa adalah seorang pemimpin adil yang memberikan hak-hak kalian. Adapun pimpinanmu, ia seorang yang zhalim, tidak memenuhi hak-hak kalian. Justru mengambil harta kalian. Ia lebih mengutamakan jabatan-jabatan tertentu bagi diri sendiri. Memperkerjakan orang-orangnya, dan menyingkirkan orang-orang yang sebenarnya lebih berhak. Maka orang ini tidak pantas ditaati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menangani penyumbatan celah ini sendiri, tidak beliau serahkan kepada orang lain.
Ada seorang lelaki yang berdiri, lalu bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah. Kalau ada pemimpin yang menguasai kami, ia meminta haknya dari kami dan menghalangi hak kami darinya. Apa yang engkau perintahkan kepada kami (untuk kami kerjakan)?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling. Maka orang tadi bertanya untuk kedua kalinya. Nabi pun berpaling lagi. Orang itu bertanya kembali untuk ketiga kalinya. Maka beliau bersabda : “Dengarlah, dan taati. Sesungguhnya kewajiban mereka adalah kewajiban yang mereka emban. Dan kewajiban kalian adalah yang harus kalian emban”. [HR Muslim 3/1474]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kewajibanmu adalah mendengar dan taat, dalam kondisi sulit, longgar, semangat ataupun benci serta ketika ia bertindak sewenang-wenang terhadapmu,” maksudnya, engkau wajib mendengar dan taat, baik engkau dalam keadaan mudah dan kecukupan harta, dan pikiran yang tenang atau dalam kondisi yang terjepit, atau dalam keadaan engkau melaksanakan perintahnya atau malas untuk melakukannya, atau engkau melihat penguasa mengambil hak darimu tanpa memperdulikan keadaanmu. Sedangkan cara lainnya merupakan cara-cara setan.
Terkadang setan mendatangi orang-orang dengan membisikkan taat kepada hakim itu wajib, bila ia (hakim itu) semisal Abu Bakr dan Umar. Adapun penguasa ini, ia termasuk orang fasik lagi bermaksiat kepada Allah. Mereka tidak menegakkan din Allah, sehingga tidak ada kewajiban taat kepadanya. Nabi pun menutup celah setan ini dengan bersabda:
“Nanti akan ada penguasa-penguasa sepeninggalku, yang tidak memegangi petunjukku dan tidak melaksanakan sunnahku. Di tengah mereka ada orang-orang yang hatinya berhati setan dalam bentuk manusia”.
Perhatikanlah kondisi itu, akan ada penguasa setelah beliau. Apakah yang mereka kerjakan? Mereka tidak memegangi petunjukku dan tidak melaksanakan sunnahku. Alangkah buruk tindakan mereka. Akan ada sejumlah orang yang menunjukkan sebagai penasihat. Hati mereka adalah hati setan dalam wujud manusia.
Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berdiri dan bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan apabila aku menjumpainya?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dengar dan taatilah penguasa, meskipun punggungmu dipukul, dan hartamu dirampas.” [HR Muslim : 3/1481]
Dalam kondisi demikian ini, yang telah disebutkan Nabi, beliau menetapkan wajibnya taat kepada penguasa meskipun terjadi tindak kesewanangan kepada rakyat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik penguasa adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sejelek-jelek penguasa, adalah mereka membenci kalian, dan yang kalian laknati dan mereka melaknati kalian.”
Lihatlah kondisi ini, sejelek-jelek penguasa, adalah yang kalian benci karena agamanya dangkal. Dan mereka membenci kalian karena tipisnya agamanya. Kalian melaknati mereka dan mereka melaknati kalian.
Para sahabat bertanya : “Apakah kita harus memerangi mereka dengan pedang, wahai Rasulullah?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak, selama ia menegakkan shalat dengan kalian. Ketahuilah, orang yang dikuasai oleh seorang penguasa, dan melihatnya mengerjakan maksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci maksiat kepada Allah yang ia kerjakan dan tetap tidak melepaskan ketaatan kepadanya”.[HR Muslim : 3/1481]
Lihatlah keseimbangan agung ini.
Apabila kita mengetahui penguasa melakukan kemaksiatan kepada Allah, kita tidak sukai kemaksiatannya, kita tidak katakan pula bahwa itu baik karena penguasa yang mengerjakan. Kita juga tidak menilainya baik di hadapan orang-orang, lantaran sang penguasa melakukannya. Tetapi, kita menilai buruk maksiat itu secara khusus, tanpa dikaitkan dengan penguasa. Kita membenci maksiat, tetapi tanpa melepaskan ketaatan darinya. Justru tetap mentaati penguasa pada masalah yang bukan maksiat.
‘Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Kami tidak bertanya tentang taat kepaada penguasa yang bertakwa. Tetapi kami menanyakan tentang penguasa yang melakukan ini itu”. Dia menyebutkan bentuk keburukan. Inilah pertanyaannya : “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang penguasa yang bertakwa karena sudah jelas masalahnya. Tetapi kami bertanya tentang penguasa yang melakukan tindak keburukan”.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bertakwalah kepada Allah, dengarlah dan taati ia!,”[1] yaitu taat pada perkara yang bukan maksiat. Ini akan kami jelaskan nantinya.
Di sini muncul persoalan, apakah kita harus mentaati penguasa dalam segala masalah? Apakah jika penguasa memerintahkan kita, kita harus menurutinya terus?
Jawabnya, tidak! Seorang penguasa ditaati, jika ia memerintahkan perintah yang tidak mengandung maksiat. Apabila ia memerintahkan kepada maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat, dengan tetap taat pada selain maksiat itu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Kewajiban seorang muslim untuk mendengar dan taat dalam perkara yang ia sukai ataupun yang ia benci, selama tidak diperintah untuk bermaksiat. Bila memerintahkan maksiat, maka tidak ada (kewajiban) mendengar dan ketaatan”.[HR Bukhari Muslim]
Seorang muslim, ia wajib mentaati penguasa selama tidak memerintakan kepada maksiat. Apabila memerintahkan untuk bermaksiat, maka ketaatan kepada Allah lebih dikedepankan. Dia tidak boleh taat kepada amir, tetapi (juga) tidak melepaskan ketaatan darinya. Taat kepadanya masih wajib pada perkara selain maksiat.
Para sahabat telah memahami ini. Akan saya ceritakan sebuah kisah yang termuat dalam ash Shahih.
Nabi memilih seseorang menjadi komandan pada sebuah sariyyah (ekspedisi perang) dan memerintahkan pasukannya untuk mendengar dan taat kepadanya. Mereka pun berangkat. Dalam perjalanan, mereka membuat sang komandan marah. Ia memerintahkan untuk mengumpulkan kayu bakar. Mereka pun mengumpulkan. Setelah mereka mengumpulkannya, ia berkata: “Bakarlah”. Mereka pun membakarnya. Api menjadi menyala-nyala. Lalu ia berkata : Bukankah aku pimpinan kalian?.
Mereka menjawab,”Benar.”
Dia bertanya,”Bukankah Nabi memerintahkan kalian untuk mendengar dan taat kepadaku?”
Mereka menjawab,”Iya.”
“Kalau begitu, masuklah kalian ke dalamnya,” yaitu masukkah ke dalam api.
Sebagian dari mereka menyingsingkan pakaian untuk terjun ke dalamnya, karena mengetahui tentang wajibnya mentaati seorang pemimpin. Tetapi orang-orang yang sigap dari mereka melarang dan mengatakan: “(Tidak kita lakukan), sampai kita mendatangi kepada Nabi”.
Ketika mereka telah memberitahukannya kepada Nabi, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Seandainya mereka memasukinya, maka tidak akan pernah keluar darinya selama-lanmanya. Ketaatan hanya pada perkara yang ma’ruf (yang bukan maksiat),” artinya, Nabi menjelaskan bahwa, taat yang ditekankan lagi pasti kepada penguasa atau pimpinan adalah dalam masalah yang ma’ruf, bukan maksiat kepada Allah. Adapun dalam masalah maksiat, ia tidak boleh ditaati, dengan tetap berhak ditaati pada masalah lain yang bukan maksiat.

Prinsip Keempat : Tidak Sembrono Untuk Melontarkan Takfir Kepada Penguasa Muslim. Takfir Merupakan Hak Allah, Tidak Boleh Dilontarkan Kecuali Kepada Orang Yang Berhak Dikafirkan Dan Termasuk Layak Mendapatkannya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau ada seseorang mengatakan ‘wahai kafir’ kepada saudaranya, maka akan kembali kepada salah satu dari keduanya.”
Kaitannya dengan penguasa, maka (lontaran ini) akan lebih merisaukan lagi. Sebab, pengkafiran terhadap penguasa akan menimbulkan berbagai masalah. Oleh karena itu, Ahli Sunnah wal Jama’ah menetapkan, seorang penguasa tidak boleh dikafirkan kecuali bila memenuhi tiga syarat.
Pertama : Kita melihat ada kekufuran yang nyata (buwah). Dalam bahasa Arab, kata buwah berarti, yang jelas tampak, tidak kabur, diketahui oleh setiap orang.
Kedua : Adanya burhan. Para imam mengartikannya dengan dalil yang tidak mengandung multi interpretasi (multi takwil). Seorang penguasa tidak boleh dikafirkan dengan dalil yang masih mengandung takwil makna lebih dari satu.
“‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi kami. Maka kami berbai’at kepada beliau. Di antara (tuntutan) yang beliau ambil dari kami, kami berbai’at kepada beliau untuk selalu mendengar dan taat (kepada pimpinan) dalam keadaan suka atau benci, serta kesewang-wenang kepada kami dan tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya. Kecuali kalian menyaksikan adanya kekufuran buwah, dan kalian memiliki burhan dari Allah.” [HR Bukhari 13/192, Muslim 3/1470]
Ketiga : Pihak yang berhak memutuskan takfir ialah para ulama, dari kalangan Ahli Sunnah, ahlul haq, ahlul ‘ilmi wal bashirah. Sebab pengkafiran terhadap penguasa akan mendatangkan kekhawatiran pada diri kaum Muslimin. Dalam masalah ini, Allah telah menjelaskan kondisi kaum munafiqin dan sikap orang-orang yang berada di atas jalan al haq.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)”. [An Nisaa`/4 : 83]
Kaum munafiqin, apabila mereka menjumpai permasalahan besar yang akan mendatangkan stabilitas keamanan, atau mendatangkan rasa ketakutan, mereka mencoba menanganinya, menyiarkannya, dan berkomentar tentangnya. Inilah sifat sebagai orang-orang yang lemah (ilmu dan imannya, pent), tidak segan mengkafirkan penguasa. Maka kita dapati seorang dokter ikut-ikutan mengkafirkan. Seorang insinyur ikut mengkafirkan. Ada sopir yang ikut mengkafirkan. Dan masih banyak lagi yang mengkafirkan. Darimana mereka bisa menyimpulkan demikian? Ini adalah sikap melampui batas terhadap ketetapan syariat.
Adapun sifat orang-orang mu’min, orang-orang yang beriman, jika mereka menjumpai masalah yang punya relevansi dengan keamanan dan ketakutan, mereka menyerahkannya kepada Rasulullah dan Sunnah Rasul serta kepada ulil amr. Dan yang dimaksud dengan ulil amri adalah para ulama. Bukan setiap orang ‘alim dapat memutuskan. Tetapi orang ‘alim yang ingin mengetahui kebenarannya (melakukan istimbath) dari kalangan ulama. Mereka adalah ulama-ulama khusus.
Perhatikanlah wahai saudaraku, hikmah agung ini; “dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka,” agar kita mengetahui bahwa, yang dimaksud dengan ulil amri yang menjadi rujukan penyelesaian masalah, mereka adalah Ahli Sunnah. Karena, arti menyerahkan masalah kepada Rasul adalah mengembalikannya kepada Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud dengan ulul amri, yaitu orang-orang yang menguasai Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pihak yang berwenang untuk menetapkan hukum adalah ahlil’ ilmu wal bashirah.
Inilah yang wajib ditempuh, tidak boleh ada yang mengkafirkan seorang penguasa kecuali ahlil bashirah, ahli sunnah, yang menguasai dalil dari kalangan ulama. Kalau tidak, hukum ini tidak boleh dipegang oleh siapa saja, tidak boleh melihat pendapat setiap orang yang mengkafirkan penguasa tertentu. ini adalah tiga syarat yang sangat jelas lagi terang. Di dalamnya terdapat kandung tawasuth (sikap tengah) dan i’tidal (keseimbangan), kebenaran, dan bebas dari kesesatan. Kewajiban seorang mu’min agar memegangi prinsip agung ini.
Inilah sebagian dari agama kalian. Kami tidak mengambilnya dari diri kami sendiri, tetapi berasal dari Kitabullan dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, saya ingatkan dengan firman Allah Ta’ala :
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”. [Al Ahzab/33 : 36]
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. [An Nisaa`/4 : 65].
Teguhlah bersama dengan Sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan selamat. Jauhilah perasaan dan emosi, karena tidak mendatangkan kebaikan. Tidak ada keselamatan di dunia dan saat perjumpaan dengan Allah, kecuali dengan qaala Allah, qaala Rasulullah.
Semoga Allah menjadikan kita sekalian bagian dari orang-orang yang mengikuti Nabi dengan sebenarnya, mendengarkan dan menaati sabda-sabda beliau.
Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallam.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M, Rubrik Mabhats, Alamat Redaksi : Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo - Solo 57183, Telp. 0271-5891016]
Artikel Almanhaj.or.id dipublikasi ulang oleh Abangdani.Wordpress.com
________
Footnote
[1]. Fathul Bari (13/7) Maktabah Riyadh Haditsah
[2]. HR Abu Dawud (3/322). At-Tirmidzi (5/33), Ahmad (5/183), Al-Albani menshahihkannya dalam Zhilalul Jannah hlm. 504
[3]. Hadits shahih. HR Ahmad 3/340, Ibnu Abi Ashim 2/507, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, hlm. 507. Syaikh Al-Albani menerangkan : “Maksudnya (dengan) bersikap terang-terangan dalam mengingkari penguasa (Utsman) di depan massa. Sebab pengingkaran dengan terang-terangan dikhawatirkan akan mengakibatkan bahaya, sebagaimana yang terjadi pada Utsman yang berakhir dengan kematiannya akibat pengingkaran dengan terang-terangan (yang dilakukan kaum Khawarij). Mukhtashar Shahih Muslim, hlm. 335
[4]. Hadits Hasan, HRTirmidxi 4/502, Musthafa Al-Babi, Cet II, Ash-Shahihah 5/376
[5]. HR At-Tirmidzi 4/502, Musthafa Al-Babi, Cet II, Ash-Shahihah, 5/376
[6]. Hadits Hasan li Ghairihi, As-Sunnah Ibnu Abi Ashim (2/494)

0 komentar :

Posting Komentar