“Termasuk pengetahuan yang penting,
yakni seorang muslim memahami kewajiban, bagaimana cara bersikap kepada
penguasa yang ada di negerinya. Apabila orang-orang tidak memahami cara
bersikap kepada penguasa muslim, niscaya akan menimbulkan keburukan dan
kerusakan.”
Pembaca budiman,
Kutipan di atas merupakan penggalan dari muhadharah yang disampaikan Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah ar Ruhaili –hafizhahullah- dosen Universitas Madinah, pada kajian Tabligh Akbar yang diselenggarakan oleh Yayasan Minhajus Sunnah dan Tasjilat at Taqwa al Islamiyah Bogor. Muhadharah Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah ar Ruhaili, yang diselenggarakan pada hari Ahad 20 Jumadil Tsani 1427H bertepatan dengan 16 Juli 2006M di Masjid Istiqlal ini, ditranskip dan diterjemahkan oleh Muhammad Ashim Mustofa. Secara lengkap kami hadirkan ke hadapan pembaca. Selamat menyimak dan semoga bermanfaat. (Redaksi).
Saya datang dari kota Rasulullah, kota kaum Anshar. Saya datang dengan membawa perasaan mahabbah (cinta) kepada penduduk negeri ini. Semoga
Allah memberi berkah dan memberi pertolongan kepada orang-orang yang
ada di dalamnya dan konsisten dengan Islam, yang tiada kemuliaan,
ketinggian dan kharisma kecuali dengan Islam. Semoga Allah menyatukan
hati kita di atas tauhid dan Sunnah, dan merapikan barisan kita dengan
perkara yang agung ini.
Dahulu, keadaan bumi sebelum di utusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
berada dalam keadaan gelap gulita, dan kejahiliyahan yang parah.
Kebodohan mendominasi. Sementara itu, ilmu tidak bernilai. Akal-akal
manusia menjadi begitu dungu, sampai-sampai manusia menyembah bebatuan.
Salah satu dari mereka sampai membuat tuhan sendiri dari kurma atau
makanan. Apabila merasa lapar, maka ia makan dan akan membuat tuhan
lagi.
Cara hidup mereka pun berada di atas
titik nadir. Salah seorang dari mereka akan tega membunuh anak
perempuannya lantaran rasa malu. Kegelapan begitu merata dan kuat. Di
saat itulah, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak
mengutus seorang rasul. Maka, bumi pun terang benderang dengan cahaya
kebenaran. Bumi menjadi baik dengannya. Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melaksanakan dakwah dengan sebenar-benarnya. Beliau tidak
meninggalkan kebaikan, kecuali telah disampaikan kepada umatnya. Dan
tidaklah beliau meninggalkan keburukan, kecuali telah memperingatkan
umat darinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لَيْسَ شَيْئٌ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى الْجَنَّةِ إِلاَّ أَمَرْتُكُمْ بِِهِ وَلَيْسَ شَيْئٌ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى النَّارِ إِلاَّ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
“Tidak ada sesuatu yang mendekatkan
diri kalian kepada surga, kecuali telah aku perintahkan. Dan tidak ada
sesuatu yang mendekatkan diri kalian ke neraka, kecuali telah aku larang
darinya.”
Ada seorang lelaki dari kalangan kaum Musyrikin -dalam riwayat lain- seorang dari Yahudi berkata kepada Salman al Farisi:
قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَة قَالَ أَجَل
“Apakah Nabi kalian mengajarkan
segala sesuatu kepada kalian, termasuk adab di kamar mandi?” Ia (Salman
al Farisi, Red) menjawab,”Ya.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengajari umatnya segala sesuatu. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Tinggi,
maka para sahabat yang terpercaya lagi bertakwa menyampaikan amanah
dengan sebaik-baiknya. Mereka menyerukan din (agama) Allah
sesuai dengan petunjuk Nabi Subhanahu wa Ta’ala, dalam keadaan suci dan
murni, menyebarkannya ke seluruh pelosok bumi, serta berjihad di jalan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya.
Demikianlah, umat akan senantiasa berada
dalam kebaikan selama konsisten dengan Sunnah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Tetapi, setan melakukan penyusupan kepada umat dengan
memunculkan fitnah yang terjadi di akhir masa sahabat. Maka, kerusakan
pun mulai merasuki tubuh umat. Namun, umat ini akan senantiasa dekat
dengan kebaikan, selama mendekat dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang murni. Dan sebaliknya, akan semakin jauh dari
kebaikan, apabila kian menjauh dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kewajiban atas setiap muslim, harus
meyakini dengan teguh, bahwa Allah telah menyempurnakan agama ini, dan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikannya dengan
cara yang sangat jelas dan menyeluruh. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
berfirman kepada kaum mukmin :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” [Al Maidah/5 : 3].
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang mengada-ngadakan sebuah bid’ah dan memandang itu (sebagai) bagian
dari agama, sungguh ia telah menganggap Muhammad n berkhianat terhadap
risalah”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mensyariatkan semua perkara yang bermanfaat dan mencegah perkara yang
berbahaya. Termasuk di dalamnya, perkara yang dikandung oleh nash-nash
syariat tentang mu’amalah dengan para penguasa. Nash-nash itu memaparkan
masalah ini dengan sangat jelas. Dan telah diketahui oleh para
cendekia, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, dan
menjadikannya mempunyai kecenderungan untuk suka bergabung dengan orang
lain. Sudah diketahui pula, yang namanya kelompok, pasti membutuhkan
pemimpin. Kepentingan rakyat tidak akan lurus sampai terwujud eksistensi
seorang pemimpin yang akan mewujudkan maslahat dan menolak bahaya
melalui kekuasaannya. Seorang amir, pejabat dan penguasa, menjadi sarana
penegakan agama dan keadilan. Melalui keberadaannya,
kemaslahatan-kemaslahatan dicapai dan bahaya-bahaya dihindarkan. Posisi
seorang pemimpin, merupakan cerminan kebaikan di dunia ini. Apabila
masyarakat dibiarkan tanpa ada penguasa, niscaya orang yang kuat akan
berbuat aniaya kepada kaum yang lemah, harta-harta anak yatim pun akan
dirampas, kemaslahatan sosial juga tidak terwujudkan. Termasuk di
dalamnya, agama akan disia-siakan di tengah masyarakat.
Oleh karenanya, termasuk pengetahuan yang
penting, yakni seorang muslim memahami kewajiban, bagaimana cara
bersikap kepada penguasa yang ada di negerinya. Apabila orang-orang
tidak memahami cara bersikap kepada penguasa muslim, niscaya akan menimbulkan keburukan dan kerusakan.
Keberadaan penguasa merupakan kebaikan.
Ilmu tentang kaidah-kaidah syar’i dalam bersikap terhadap penguasa
merupakan kebaikan. Sedangkan kebodohan terhadap ilmu ini, merupakan
keburukan besar dan kerusakan yang merata. Karenanya, kewajiban para
penuntut ilmu untuk menjelaskan masalah ini kepada kaum Muslimin,
hukum-hukum tentang masalah ini, sehingga agar terwujud maslahat umum,
dan kebahagiaan akan menyelimuti masyarakat. (Dengan demikian), rakyat
ataupun penguasa pun mendapatkan manfaat dari adanya kekuasaan.
Sebelum memulai penjelasan tentang
pedoman-pedoman agama tentang cara bersikap kepada penguasa, kiranya
kita perlu mengetahui, siapakah gerangan yang disebut sebagai penguasa?
Siapakah penguasa yang kita maksudkan? Siapakah penguasa, yang agama
kita mengungkap prinsip-prinsip dalam bersikap dengannya?
Menurut para fuqaha kaum Muslimin, al
hakim (penguasa) adalah, orang yang (dengannya terjaga) stabilitas
sosial di suatu negeri, baik ia mencapai kekuasaan dengan cara yang
disyariatkan atau tidak, baik kekuasaan hukumnya menyeluruh semua negara
kaum Muslimin, atau terbatas pada satu negeri saja.
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata,”Para fuqaha bersepakat atas wajibnya taat kepada imam yang
mutaghallib (berkuasa melalui peperangan, kudeta atau cara represif
lainnya, Pent.)”. Artinya, para fuqaha telah bersepakat, bila seorang
imam berhasil mencapai puncak kekuasaan dengan saif (kekerasan) dan
mampu mengendalikan negara dengan kekuatannya, lantas kondisi masyarakat
menjadi stabil, maka ia wajib ditaati, karena ia adalah imam dan
penguasa bagi kaum Muslimin.
Dan sudah diketahui, bahwa para ulama
telah bersepakat wajibnya taat kepada penguasa yang ada, baik jumlah
imam satu (yang menguasai seluruh negeri kaum Muslimin atau banyak (yang
menguasai negeri-negeri tertentu).
Sesungguhnya kaum Muslimin tidak bersatu
di bawah satu pimpinan sejak masa Imam Ahmad sampai sekarang. Dan kita
mengetahui, para imam dan ulama Islam telah menetapkan pada kitab-kitab
mereka kewajiban untuk taat kepada penguasa, padahal mereka mengetahui
kondisi riil yang ada, karena penguasa telah banyak. Jadi, imam adalah
seseorang yang stabilitas masyarakat terwujud pada masanya. Demikian ini
adalah masalah yang sudah disepakati oleh para ulama. (Maka) harus
dipahami dan diketahui agar setan tidak menyusup pada akal dan hati
umat.
Dalam majelis ini, saya ingin berbicara
tentang empat prinsip yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang membicarakan mu’amalah dengan penguasa, yaitu:
Prinsip Pertama. Berkeyakinan Wajibnya Bai’at Bagi Penguasa.
Apabila kondisi sosial menjadi stabil
pada masanya, maka setiap orang yang berada di bawah kekuasaannya, wajib
meyakini bahwa sang penguasa berhak dibai’at oleh mereka. Meskipun ia
tidak pergi untuk memba’itnya. Karena, agar bai’at itu sempurna, tidak
harus melakukannya secara langsung. Masalah ini menurut para fuqaha,
apabila ahlu halli wal ‘aqdi (para tokoh yang terpandang) dan
kemudian keadaan menjadi stabil pada seorang penguasa, maka bai’at
menjadi sah baginya dan berlaku pada semua orang.
Kewajiban setiap orang, ia harus meyakini
ada tuntutan bai’at atasnya. Ini merupakan kewajiban syariat. Seorang
muslim tidak boleh keluar darinya. Orang yang tidak meyakini kewajiban
bai’at kepada penguasa di negerinya yang menjadi kewajibannya, ia
terancam dengan ancaman yang keras.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melepaskan ketaatan
(dari penguasa), niscaya akan menjumpai Allah tanpa memiliki hujjah
(alasan). Dan barangsiapa meninggal tanpa ikatan bai’at, maka
kematiannya (seperti) kematian jahiliyah”. [HR Muslim, 3441].
Seorang muslim yang berkeyakinan tidak
wajib membai’at penguasa, ia terancam, kematiannya layaknya kematian
orang jahiliyah -semoga Allah melindungi kita dari keadaan buruk ini.
(Oleh karenanya), kewajiban seorang muslim meyakininya dengan mantap.
Dan seyogyanya, seorang muslim mengetahui bahwa, bai’at kepada penguasa
bukan bagai kalung yang bisa diletakkan dan dicabut kapan saja; jika
suka ia letakkan, dan bila tidak suka mencabutnya. Tetapi kewajiban
bai’at tetap berlaku selama kekuasaan penguasa masih ada di negeri
tersebut. Seorang muslim tidak boleh menarik diri dari bai’at ini.
Prinsip Kedua. Menasihati Para Penguasa Dengan Menjauhi Sikap Khuruj (berontak, membangkang, Pent.), Mencaci-maki Dan Menghina, Serta Menanamkan Antipati Dalam Hati Rakyat Terhadapnya.
Berkaitan dengan tindak-tanduk penguasa,
ada dua kelompok yang menyikapinya dengan dua sikap yang keliru. Salah
satunya menilai, al hakim (penguasa) adalah manusia yang ma’shum
(terjaga) dari segala kesalahan. Segala tindakannya benar adanya,
karena ia menghukumi berdasarkan perintah Allah. Kedudukannya, layaknya
seorang nabi dalam segala tindakan dan ucapan. Demikian menurut
pandangan Rafidhah (Syi’ah).
Sedangkan kelompok kedua memiliki
pandangan, memiliki sikap yang berseberangan dengan yang pertama. Yaitu,
apabila penguasa melakukan sebuah kesalahan, maka kesalahan itu
dibesar-besarkan, bahkan kadang-kadang dikafirkan karenanya. Dan menurut
mereka, wajib melakukan pemberontakan kepadanya. Dua golongan itu
bertentangan dengan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seperti biasanya, ahlul haq, Ahli Sunnah
berada di posisi tengah, dengan mengatakan, seorang hakim adalah manusia
biasa. Dia memiliki potensi melakukan kesalahan dan kebenaran. Sebagian
tindakannya ada yang benar, dan ada tindakannya yang salah. Namun,
munculnya kesalahan tidak membolehkan untuk memberontak, dicaci, dihina
kehormatannya, dan tidak boleh menumbuhkan hati masyarakat menjadi
antipati kepadanya. Yang harus dikerjakan, menasihatinya dan menjelaskan
kesalahannya melalui mekanisme yang dibenarkan syariat dan
mempertimbangkan situasi serta kondisi, berdasarkan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا : (مِنْهِا ): وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ
“Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal
pada kalian (di antaranya), kalian menasihati orang-orang yang Allah
jadikan penguasa atas urusan kalian”.[HR Ahmad, 23278; Malik, 1578].
Allah meridhai dari kalangan hambaNya
kaum Muslimin, agar mereka menasihati orang-orang yang dijadikan
pemimpin atas mereka, agar jujur dalam mu’amalahnya, dan menjelaskan
kesalahan dengan cara yang diperbolehkan syariat, dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ وَالنَّصِيحَةُ لِوَلِيِّ الْأَمْرِ وَلُزُومُ الْجَمَاعَةِ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تَكُونُ مِنْ وَرَائِهِ
“Ada tiga hal, hati seorang mukmin
tidak dirasuki dengki saat melakukannya. Yaitu : ikhlas beramal untuk
Allah, menasihati waliyul amr, dan konsisten bersama dengan jama’ah.”[2]
Tiga hal ini, hati seorang muslim tidak dirasuki rasa dengki di dalamnya.
Pertama : Hendaknya
amalan seorang manusia ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
semua urusannya, terutama dalam masalah yang sedang kita bicarakan.
Hendaknya nasihat dan sikap yang ia berikan kepada penguasa karena Allah
dan ditujukan kepada Allah. Apabila berbicara tentang waliyul amr, ia
berbicara karena Allah. Ketika menasihati penguasa, maka ia lakukan
karena Allah. Tidak menginginkan balasan duniawi. (Kedua)
: Apabila seorang manusia benar-benar ikhlas, pasti ia akan menasihati
penguasa. Termasuk dalam konsekwensi ikhlas kepada Allah, yaitu
seseorang menasihati waliyul amr. (Ketiga) : Dan
termasuk dari makna menasihati waliyul amr, yaitu sikap untuk selalu
bersama dengan jama’ah. (Maka sungguh) merupakan kedustaan, kedustaan
dan kedustaan, (yaitu) orang yang mengklaim menasihati penguasa, tetapi
menyingkir dari jama’ah. Tidak ada nasihat yang jujur kecuali dengan
bergabung dengan jama’ah muslimin.
Demikianlah yang dijelaskan Nabi dengan
bahasa Arab yang fasih. Beliau menjelaskan tiga perkara yang saling
berkaitan dengan lainnya. Pertama, ikhlas kepada Allah. Disusul dengan
munashahah (menasihat) kepada waliyul amr. Dan berikutnya, selalu
bergabung dengan jama’ah kaum Muslimin.
Tentang nasihat kepada penguasa ditempuh
dengan cara yang dapat menghasilkan maslahat, bukan yang mendatangkan
kerusakan. Sehingga tidak dilakukan di atas podium-podium. Disampaikan
kepada penguasa dengan cara yang tidak menyulut emosi masyarakat
kepadanya. Orang yang benar-benar ingin menasihati penguasa karena
Allah, ia hanya menginginkan perbaikan semata, tidak bermaksud
menunjukkan jasa, atau dikatakan sebagai orang kuat yang berani
berbicara tentang penguasa. Keinginannya hanyalah, timbulnya kebaikan
bagi negara dan masyarakat. Dan kebaikan hanya terwujud jika menjelaskan
kesalahan dengan cara yang baik, disertai kesatuan hati masyarakat
kepada penguasa agar tidak tersebar fitnah.
Pada zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu
terjadi fitnah. Ada orang berkata kepada Usamah bin Zaid Radhiyallahu
‘anhuma : “Tidakkah engkau mengingkari ‘Utsman?” Usamah Radhiyallahu
‘anhuma menjawab,”Aku mengingkarinya di depan massa? Aku akan
mengingkarinya saat berdua. Aku tidak ingin membuka pintu fitnah bagi
orang-orang.” [3]
Dalam pandangan para sahabat, sudah
menjadi sebuah ketetapan di kalangan para sahabat, bahwa menasihati
penguasa di depan umum akan membuka pintu fitnah. Oleh karenanya, Usamah
bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma memegangi prinsip yang agung ini.
Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa ingin menasihati sulthan
(penguasa) dengan suatu masalah, janganlah menampilkan kepadanya secara
terang-terangan. Tetapi, hendaknya menggandeng tangannya dan untuk
berduaan dengannnya. Apabila ia menerima darinya, maka itulah (yang
diharapkan). Kalau tidak, berarti telah melaksanakan kewajibannya”.[4]
Demikianlah yang dipaparkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maksudnya, orang yang akan menasihati
penguasa, tidak memperlihatkannya di depan massa supaya tidak memancing
kemarahan masyarakat terhadap penguasa. Adapun komentar tentang
kesalahan-kesalahan penguasa di atas mimbar-mimbar, atau dilakukan
secara terang-terangan, ini bukan disebut nasihat, tetapi justru
merupakan celaan, pendiskreditan, dan penghinaan. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa menghina sulthan Allah di dunia, niscaya Allah akan menghinakannya”.[5]
Saya ingin mengutarakan sebuah kisah yang
mengandung dua sikap. Saya berharap setiap dari kita melihat, ia
bersama dengan pihak mana.
Ibnu ‘Amir adalah seorang gubernur. Suatu
ketika ia keluar untuk melakukan Khutbah Jum’at dengan mengenakan
pakaian yang transparan. Maka Abu Bilal al Khariji (dari Khawarij)
berkomentar : “Lihatlah pemimpin kita. Dia mengenakan baju orang fasiq,”
maka Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi,
menyanggah: “Diamlah engkau. Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,’Barangsiapa menghina sulthan Allah di dunia,
niscaya Allah akan menghinakannya’.” [6]
Lihatlah sikap orang Khawarij terhadap
kesalahan pemimpin, dan bandingkan dengan sikap sahabat Nabi tersebut.
Maka, seharusnya Anda wahai para hamba Allah, pilihlah cara orang yang
engkau cintai. Sesungguhnya pada hari Kiamat, seseorang akan bersama
orang yang dicintainya.
Apabila ada orang yang bertanya “apakah
hal ini berarti, jika ada kesalahan yang berasal dari pemerintah, kita
mendiamkan dan tidak melarang orang-orang berbuat maksiat dan tidak
menjelaskannya?”
Tidak demikian! Kewajiban kita, yaitu
harus melarang orang-orang berbuat maksiat, dan menjelaskan bahwa
perkara itu merupakan maksiat. Tetapi, berkaitan dengan menasihati
penguasa dalam masalah maksiat ini, haruslah dengan cara-cara yang tidak
menyulut kemarahan masyarakat kepadanya.
Sudah seharusnya kita ketahui, bahwa Ahli
Sunnah wal Jama’ah, ketika menetapkan prinsip yang sudah kita sebutkan
tadi, bukan berarti memerintahkan untuk mendiamkan
kemaksiatan-kemaksiatan tanpa pengingkaran, dengan dalih maksiat itu
muncul dari pemerintah. Tetapi, maksiat tersebut tetap wajib diingkari
dan dijelaskan kepada masyarakat, bahwa itu (merupakan) kemaksiatan, dan
masyarakat dilarang berbuat maksiat seperti itu. Namun pengingkaran
terhadap penguasa secara khusus berkaitan dengan kemaksiatan ini atau
perkara lainnya, harus dengan prinsip yang telah kita sebutkan.
Prinsip Ketiga : Mendengar Dan Taat Kepada Penguasa Pada Perkara Yang Bukan Maksiat Kepada Allah. Tidak Ada Kebaikan Bagi Masyarakat Kecuali Dengan Jama’ah. Dan Urusan Jama’ah Tidak Akan Lurus, Kecuali Dengan Kebaradaan Imamah (Kepemimpinan). Dan Tidak Lurus Sebuah Kepemimpinan, Kecuali Dengan Ketaatan.
Oleh karena itu, terdapat banyak nash
yang menunjukkan ketaatan terhadap pemimpin negara dalam masalah yang
bukan maksiat. Allah berfirman kepada kaum Mukminin :
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu”. [An Nisaa`/4 : 59].
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu”. [An Nisaa`/4 : 59].
Allah memulai ayat ini dengan “yaa ayyuhalladzi na aamanu“.
Para ulama tafsir berkata : “Apabila Allah mengawali ayat dengan arah
pembicaraan kepada kaum Mukminin, maka ketahuilah, terdapat perkara
penting setelahnya”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
ketaatan kepadaNya dan kepada RasulNya. Kemudian Allah Subhanahu wa
Ta’la menjelaskan bahwa, yang termasuk dalam ketaatan kepada Allah dan
Rasulnya, (yaitu) taat kepada penguasa dalam perkara yang bukan maksiat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang taat kepadaku, ia
telah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa bermaksiat
kepadaku, sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa taat
kepada Amir (penguasa), sungguh ia taat kepadaku. Dan barangsiapa yang
bermaksiat kepada Amir, sungguh ia bermaksiat kepadaku” [HR Bukhari 6604]
Dalam hadits yang shahih lagi muhkam ini,
dijelaskan prinsip agung lagi mulia. Bahwa taat kepada Rasulullah
merupakan taat kepada Allah Subhanhu wa Ta’ala. Taat kepada amir
merupakan ketaatan kepada Rasulullah. Dan berbuat maksiat kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya bermaksiat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Melakukan penentangan kepada amir
(bermaksiat) merupakan maksiat kepada Rasulullah.
Dari sini, kita ambil sebuah pedoman
penting. Yaitu, saat kita mentaati penguasa pada perkara yang bukan
maksiat, sesungguhnya kita sedang mendekatkan diri kepada Allah Subhanhu
wa Ta’ala. Ketaatan Anda kepada penguasa dalam masalah yang bukan
maksiat, merupakan qurbah (upaya mendekatkan diri) kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Janganlah Anda melihat kepada penguasa, atau
polisi, atau apakah ada orang yang melihat kita. Tetapi, kita lakukan
itu dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pasalnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan masalah
ini kepada kita. Karena itu, para ulama telah sepakat, wajib taat kepada
penguasa dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala.
Lantaran agung dan besarnya pengaruh
masalah ini bagi terciptanya keamanan bagi negara dan kebahagiaan
masyarakat, maka Nabi menutup celah-celah setan ke dalam hati manusia
dalam masalah ini. Setan kadang-kadang mendatangi seorang manusia dengan
membisikkan, sesungguhnya taat kepada penguasa harus dilakukan ketika
penguasa adalah seorang pemimpin adil yang memberikan hak-hak kalian.
Adapun pimpinanmu, ia seorang yang zhalim, tidak memenuhi hak-hak
kalian. Justru mengambil harta kalian. Ia lebih mengutamakan
jabatan-jabatan tertentu bagi diri sendiri. Memperkerjakan
orang-orangnya, dan menyingkirkan orang-orang yang sebenarnya lebih
berhak. Maka orang ini tidak pantas ditaati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam langsung menangani penyumbatan celah ini sendiri, tidak beliau
serahkan kepada orang lain.
Ada seorang lelaki yang berdiri, lalu
bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah.
Kalau ada pemimpin yang menguasai kami, ia meminta haknya dari kami dan
menghalangi hak kami darinya. Apa yang engkau perintahkan kepada kami
(untuk kami kerjakan)?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
berpaling. Maka orang tadi bertanya untuk kedua kalinya. Nabi pun
berpaling lagi. Orang itu bertanya kembali untuk ketiga kalinya. Maka
beliau bersabda : “Dengarlah, dan taati. Sesungguhnya kewajiban
mereka adalah kewajiban yang mereka emban. Dan kewajiban kalian adalah
yang harus kalian emban”. [HR Muslim 3/1474]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kewajibanmu
adalah mendengar dan taat, dalam kondisi sulit, longgar, semangat
ataupun benci serta ketika ia bertindak sewenang-wenang terhadapmu,”
maksudnya, engkau wajib mendengar dan taat, baik engkau dalam keadaan
mudah dan kecukupan harta, dan pikiran yang tenang atau dalam kondisi
yang terjepit, atau dalam keadaan engkau melaksanakan perintahnya atau
malas untuk melakukannya, atau engkau melihat penguasa mengambil hak
darimu tanpa memperdulikan keadaanmu. Sedangkan cara lainnya merupakan
cara-cara setan.
Terkadang setan mendatangi orang-orang
dengan membisikkan taat kepada hakim itu wajib, bila ia (hakim itu)
semisal Abu Bakr dan Umar. Adapun penguasa ini, ia termasuk orang fasik
lagi bermaksiat kepada Allah. Mereka tidak menegakkan din Allah,
sehingga tidak ada kewajiban taat kepadanya. Nabi pun menutup celah
setan ini dengan bersabda:
“Nanti akan ada penguasa-penguasa
sepeninggalku, yang tidak memegangi petunjukku dan tidak melaksanakan
sunnahku. Di tengah mereka ada orang-orang yang hatinya berhati setan
dalam bentuk manusia”.
Perhatikanlah kondisi itu, akan ada
penguasa setelah beliau. Apakah yang mereka kerjakan? Mereka tidak
memegangi petunjukku dan tidak melaksanakan sunnahku. Alangkah buruk
tindakan mereka. Akan ada sejumlah orang yang menunjukkan sebagai
penasihat. Hati mereka adalah hati setan dalam wujud manusia.
Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berdiri dan bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan apabila aku menjumpainya?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dengar dan taatilah penguasa, meskipun punggungmu dipukul, dan hartamu dirampas.” [HR Muslim : 3/1481]
Dalam kondisi demikian ini, yang telah
disebutkan Nabi, beliau menetapkan wajibnya taat kepada penguasa
meskipun terjadi tindak kesewanangan kepada rakyat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik
penguasa adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian
mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sejelek-jelek penguasa,
adalah mereka membenci kalian, dan yang kalian laknati dan mereka
melaknati kalian.”
Lihatlah kondisi ini, sejelek-jelek
penguasa, adalah yang kalian benci karena agamanya dangkal. Dan mereka
membenci kalian karena tipisnya agamanya. Kalian melaknati mereka dan
mereka melaknati kalian.
Para sahabat bertanya : “Apakah kita harus memerangi mereka dengan pedang, wahai Rasulullah?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak,
selama ia menegakkan shalat dengan kalian. Ketahuilah, orang yang
dikuasai oleh seorang penguasa, dan melihatnya mengerjakan maksiat
kepada Allah, hendaknya ia membenci maksiat kepada Allah yang ia
kerjakan dan tetap tidak melepaskan ketaatan kepadanya”.[HR Muslim : 3/1481]
Lihatlah keseimbangan agung ini.
Apabila kita mengetahui penguasa
melakukan kemaksiatan kepada Allah, kita tidak sukai kemaksiatannya,
kita tidak katakan pula bahwa itu baik karena penguasa yang mengerjakan.
Kita juga tidak menilainya baik di hadapan orang-orang, lantaran sang
penguasa melakukannya. Tetapi, kita menilai buruk maksiat itu secara
khusus, tanpa dikaitkan dengan penguasa. Kita membenci maksiat, tetapi
tanpa melepaskan ketaatan darinya. Justru tetap mentaati penguasa pada
masalah yang bukan maksiat.
‘Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu
berkata,”Kami tidak bertanya tentang taat kepaada penguasa yang
bertakwa. Tetapi kami menanyakan tentang penguasa yang melakukan ini
itu”. Dia menyebutkan bentuk keburukan. Inilah pertanyaannya : “Wahai
Rasulullah, kami tidak bertanya tentang penguasa yang bertakwa karena
sudah jelas masalahnya. Tetapi kami bertanya tentang penguasa yang
melakukan tindak keburukan”.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bertakwalah kepada Allah, dengarlah dan taati ia!,”[1] yaitu taat pada perkara yang bukan maksiat. Ini akan kami jelaskan nantinya.
Di sini muncul persoalan, apakah
kita harus mentaati penguasa dalam segala masalah? Apakah jika penguasa
memerintahkan kita, kita harus menurutinya terus?
Jawabnya, tidak! Seorang penguasa
ditaati, jika ia memerintahkan perintah yang tidak mengandung maksiat.
Apabila ia memerintahkan kepada maksiat, maka tidak ada kewajiban
mendengar dan taat, dengan tetap taat pada selain maksiat itu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Kewajiban seorang muslim untuk
mendengar dan taat dalam perkara yang ia sukai ataupun yang ia benci,
selama tidak diperintah untuk bermaksiat. Bila memerintahkan maksiat,
maka tidak ada (kewajiban) mendengar dan ketaatan”.[HR Bukhari Muslim]
Seorang muslim, ia wajib mentaati
penguasa selama tidak memerintakan kepada maksiat. Apabila memerintahkan
untuk bermaksiat, maka ketaatan kepada Allah lebih dikedepankan. Dia
tidak boleh taat kepada amir, tetapi (juga) tidak melepaskan ketaatan
darinya. Taat kepadanya masih wajib pada perkara selain maksiat.
Para sahabat telah memahami ini. Akan saya ceritakan sebuah kisah yang termuat dalam ash Shahih.
Nabi memilih seseorang menjadi komandan
pada sebuah sariyyah (ekspedisi perang) dan memerintahkan pasukannya
untuk mendengar dan taat kepadanya. Mereka pun berangkat. Dalam
perjalanan, mereka membuat sang komandan marah. Ia memerintahkan untuk
mengumpulkan kayu bakar. Mereka pun mengumpulkan. Setelah mereka
mengumpulkannya, ia berkata: “Bakarlah”. Mereka pun membakarnya. Api
menjadi menyala-nyala. Lalu ia berkata : Bukankah aku pimpinan kalian?.
Mereka menjawab,”Benar.”
Dia bertanya,”Bukankah Nabi memerintahkan kalian untuk mendengar dan taat kepadaku?”
Mereka menjawab,”Iya.”
“Kalau begitu, masuklah kalian ke dalamnya,” yaitu masukkah ke dalam api.
Sebagian dari mereka menyingsingkan
pakaian untuk terjun ke dalamnya, karena mengetahui tentang wajibnya
mentaati seorang pemimpin. Tetapi orang-orang yang sigap dari mereka
melarang dan mengatakan: “(Tidak kita lakukan), sampai kita mendatangi
kepada Nabi”.
Ketika mereka telah memberitahukannya kepada Nabi, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Seandainya
mereka memasukinya, maka tidak akan pernah keluar darinya
selama-lanmanya. Ketaatan hanya pada perkara yang ma’ruf (yang bukan
maksiat),” artinya, Nabi menjelaskan bahwa, taat yang ditekankan
lagi pasti kepada penguasa atau pimpinan adalah dalam masalah yang
ma’ruf, bukan maksiat kepada Allah. Adapun dalam masalah maksiat, ia
tidak boleh ditaati, dengan tetap berhak ditaati pada masalah lain yang
bukan maksiat.
Prinsip Keempat : Tidak Sembrono Untuk Melontarkan Takfir Kepada Penguasa Muslim. Takfir Merupakan Hak Allah, Tidak Boleh Dilontarkan Kecuali Kepada Orang Yang Berhak Dikafirkan Dan Termasuk Layak Mendapatkannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau ada seseorang mengatakan ‘wahai kafir’ kepada saudaranya, maka akan kembali kepada salah satu dari keduanya.”
Kaitannya dengan penguasa, maka (lontaran
ini) akan lebih merisaukan lagi. Sebab, pengkafiran terhadap penguasa
akan menimbulkan berbagai masalah. Oleh karena itu, Ahli Sunnah wal
Jama’ah menetapkan, seorang penguasa tidak boleh dikafirkan kecuali bila
memenuhi tiga syarat.
Pertama : Kita melihat ada
kekufuran yang nyata (buwah). Dalam bahasa Arab, kata buwah berarti,
yang jelas tampak, tidak kabur, diketahui oleh setiap orang.
Kedua : Adanya burhan. Para imam
mengartikannya dengan dalil yang tidak mengandung multi interpretasi
(multi takwil). Seorang penguasa tidak boleh dikafirkan dengan dalil
yang masih mengandung takwil makna lebih dari satu.
“‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi kami. Maka kami
berbai’at kepada beliau. Di antara (tuntutan) yang beliau ambil dari
kami, kami berbai’at kepada beliau untuk selalu mendengar dan taat
(kepada pimpinan) dalam keadaan suka atau benci, serta kesewang-wenang
kepada kami dan tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya. Kecuali kalian
menyaksikan adanya kekufuran buwah, dan kalian memiliki burhan dari
Allah.” [HR Bukhari 13/192, Muslim 3/1470]
Ketiga : Pihak yang berhak
memutuskan takfir ialah para ulama, dari kalangan Ahli Sunnah, ahlul
haq, ahlul ‘ilmi wal bashirah. Sebab pengkafiran terhadap penguasa akan
mendatangkan kekhawatiran pada diri kaum Muslimin. Dalam masalah ini,
Allah telah menjelaskan kondisi kaum munafiqin dan sikap orang-orang
yang berada di atas jalan al haq.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)”. [An Nisaa`/4 : 83]
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)”. [An Nisaa`/4 : 83]
Kaum munafiqin, apabila mereka menjumpai
permasalahan besar yang akan mendatangkan stabilitas keamanan, atau
mendatangkan rasa ketakutan, mereka mencoba menanganinya, menyiarkannya,
dan berkomentar tentangnya. Inilah sifat sebagai orang-orang yang lemah
(ilmu dan imannya, pent), tidak segan mengkafirkan penguasa. Maka kita
dapati seorang dokter ikut-ikutan mengkafirkan. Seorang insinyur ikut
mengkafirkan. Ada sopir yang ikut mengkafirkan. Dan masih banyak lagi
yang mengkafirkan. Darimana mereka bisa menyimpulkan demikian? Ini
adalah sikap melampui batas terhadap ketetapan syariat.
Adapun sifat orang-orang mu’min,
orang-orang yang beriman, jika mereka menjumpai masalah yang punya
relevansi dengan keamanan dan ketakutan, mereka menyerahkannya kepada
Rasulullah dan Sunnah Rasul serta kepada ulil amr. Dan yang dimaksud
dengan ulil amri adalah para ulama. Bukan setiap orang ‘alim dapat
memutuskan. Tetapi orang ‘alim yang ingin mengetahui kebenarannya
(melakukan istimbath) dari kalangan ulama. Mereka adalah ulama-ulama
khusus.
Perhatikanlah wahai saudaraku, hikmah agung ini; “dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka,”
agar kita mengetahui bahwa, yang dimaksud dengan ulil amri yang menjadi
rujukan penyelesaian masalah, mereka adalah Ahli Sunnah. Karena, arti
menyerahkan masalah kepada Rasul adalah mengembalikannya kepada Sunnah
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud dengan ulul
amri, yaitu orang-orang yang menguasai Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kemudian pihak yang berwenang untuk menetapkan hukum adalah
ahlil’ ilmu wal bashirah.
Inilah yang wajib ditempuh, tidak boleh
ada yang mengkafirkan seorang penguasa kecuali ahlil bashirah, ahli
sunnah, yang menguasai dalil dari kalangan ulama. Kalau tidak, hukum ini
tidak boleh dipegang oleh siapa saja, tidak boleh melihat pendapat
setiap orang yang mengkafirkan penguasa tertentu. ini adalah tiga syarat
yang sangat jelas lagi terang. Di dalamnya terdapat kandung tawasuth
(sikap tengah) dan i’tidal (keseimbangan), kebenaran, dan bebas dari
kesesatan. Kewajiban seorang mu’min agar memegangi prinsip agung ini.
Inilah sebagian dari agama kalian. Kami
tidak mengambilnya dari diri kami sendiri, tetapi berasal dari
Kitabullan dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, saya
ingatkan dengan firman Allah Ta’ala :
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki
yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah
dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”. [Al Ahzab/33 : 36]
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya”. [An Nisaa`/4 : 65].
Teguhlah bersama dengan Sunnah Nabi
kalian, niscaya kalian akan selamat. Jauhilah perasaan dan emosi, karena
tidak mendatangkan kebaikan. Tidak ada keselamatan di dunia dan saat
perjumpaan dengan Allah, kecuali dengan qaala Allah, qaala Rasulullah.
Semoga Allah menjadikan kita sekalian
bagian dari orang-orang yang mengikuti Nabi dengan sebenarnya,
mendengarkan dan menaati sabda-sabda beliau.
Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallam.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi
06/Tahun X/1427H/2006M, Rubrik Mabhats, Alamat Redaksi : Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo - Solo 57183, Telp.
0271-5891016]
Artikel Almanhaj.or.id dipublikasi ulang oleh Abangdani.Wordpress.com
________
Footnote
[1]. Fathul Bari (13/7) Maktabah Riyadh Haditsah
[2]. HR Abu Dawud (3/322). At-Tirmidzi (5/33), Ahmad (5/183), Al-Albani menshahihkannya dalam Zhilalul Jannah hlm. 504
[3]. Hadits shahih. HR Ahmad 3/340, Ibnu Abi Ashim 2/507, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, hlm. 507. Syaikh Al-Albani menerangkan : “Maksudnya (dengan) bersikap terang-terangan dalam mengingkari penguasa (Utsman) di depan massa. Sebab pengingkaran dengan terang-terangan dikhawatirkan akan mengakibatkan bahaya, sebagaimana yang terjadi pada Utsman yang berakhir dengan kematiannya akibat pengingkaran dengan terang-terangan (yang dilakukan kaum Khawarij). Mukhtashar Shahih Muslim, hlm. 335
[4]. Hadits Hasan, HRTirmidxi 4/502, Musthafa Al-Babi, Cet II, Ash-Shahihah 5/376
[5]. HR At-Tirmidzi 4/502, Musthafa Al-Babi, Cet II, Ash-Shahihah, 5/376
[6]. Hadits Hasan li Ghairihi, As-Sunnah Ibnu Abi Ashim (2/494)
________
Footnote
[1]. Fathul Bari (13/7) Maktabah Riyadh Haditsah
[2]. HR Abu Dawud (3/322). At-Tirmidzi (5/33), Ahmad (5/183), Al-Albani menshahihkannya dalam Zhilalul Jannah hlm. 504
[3]. Hadits shahih. HR Ahmad 3/340, Ibnu Abi Ashim 2/507, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, hlm. 507. Syaikh Al-Albani menerangkan : “Maksudnya (dengan) bersikap terang-terangan dalam mengingkari penguasa (Utsman) di depan massa. Sebab pengingkaran dengan terang-terangan dikhawatirkan akan mengakibatkan bahaya, sebagaimana yang terjadi pada Utsman yang berakhir dengan kematiannya akibat pengingkaran dengan terang-terangan (yang dilakukan kaum Khawarij). Mukhtashar Shahih Muslim, hlm. 335
[4]. Hadits Hasan, HRTirmidxi 4/502, Musthafa Al-Babi, Cet II, Ash-Shahihah 5/376
[5]. HR At-Tirmidzi 4/502, Musthafa Al-Babi, Cet II, Ash-Shahihah, 5/376
[6]. Hadits Hasan li Ghairihi, As-Sunnah Ibnu Abi Ashim (2/494)
Sumber : abangdani.wordpress.com
0 komentar :
Posting Komentar