Minggu, 22 Januari 2012

Ciri-ciri Teroris di Sekitar Kita

Oleh Rimbun Natamarga
Jika sebatas menebar rasa takut, setiap orang yang melakukan itu bisa dikata sebagai teroris. Namun, masalah bakal jadi rumit ketika menebar ketakutan itu atas nama agama. Mengatasnamakan Islam danjihad fi sabilillah untuk mengharap mati syahid, orang-orang atau pihak-pihak yang melakukan aksi-aksi terorisme di Indonesia 12 tahun belakangan ini tidak bisa sekedar disebut teroris.
Mereka lebih patut diistilahkan dengan Khawarij. Khawarij, kata Asy-Syahrastani dalam Al-Milal wa An-Nihal, adalah setiap orang yang menentang dan memberontak—apa pun caranya—kepada penguasa atau pemerintah yang kaum muslimin sepakat atas kepemimpinan dan kekuasaannya—baik itu pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib ataupun pada masa pemerintahan-pemerintahan setelahnya sampai hari Kiamat nanti.
Akan tetapi, pengertian Khawarij tidak hanya sampai di situ. Sebutan Khawarij, biasanya, identik dengan orang-orang yang gampang mengafirkan-ngafirkan para pelaku dosa-dosa besar selain syirik. Bahkan, para pemimpin sah dan juga ulama kaum muslimin turut dikafirkan hanya karena melakukan sesuatu yang itu dinilai sebagai dosa besar oleh orang-orang Khawarij.
Di Indonesia kita, orang-orang Khawarij dapat hidup dan bebas menyebarkan pemikiran mereka. Dakwah mereka disebarkan ke masyarakat lewat rupa buku agama, novel Islami, buletin Jum’at, tabloid dan majalah bulanan, artikel-artikel di suratkabar, rekaman ceramah, film dokumenter, pamflet dan poster solidaritas perjuangan. Sayangnya, kita sering tidak jeli.
Menyikapi aksi bom bunuh diri dan penculikan sekaligus pencucian otak sejumlah orang belakangan ini, tulisan ini berusaha mengidentifikasi kelompok-kelompok Khawarij—apapun namanya—yang ada di sekitar kita. Ada beberapa ciri yang dapat kita ketahui, setidaknya, untuk dapat mengenali mereka. Dengan melihat ciri-ciri tersebut, kita dapat berhati-hati sekaligus juga ikut membantu pemerintah dan aparat dalam menanggulangi terorisme di Indonesia.

Mereka Gampang Mengafirkan Orang

Pertama, orang-orang Khawarij di tengah masyarakat kita adalah orang-orang yang gampang mengafir-ngafirkan siapa saja dari pelaku dosa selain syirik. Meski ciri ini adalah ciri umum orang-orang Khawarij di mana pun, tetapi di kalangan kelompok-kelompok Islam yang ada di tengah masyarakat kita tindakan mengafir-ngafirkan seperti ini hanya dimiliki oleh segelintir kelompok.
Dari segelintir kelompok itu, orang-orang Khawarij paling ekstrim tidak akan shalat berjamaah di belakang imam-imam masjid kaum muslimin yang telah mereka kafirkan karena berbuat maksiat. Karena itu, shalat berjamaah di belakangnya menjadi tidak sah, sehingga harus diulang.
Ketimbang mengamati satu demi satu imam-imam masjid untuk shalat berjamaah, orang-orang Khawarij lebih memilih shalat berjamaah di rumah dengan sesama mereka atau shalat sendiri di masjid kaum muslimin. Kalau pun mereka harus shalat berjamaah bersama kaum muslimin yang lain, itu dilakukan agar masyarakat tidak curiga dan—biasanya—shalat itu akan diulang lagi tanpa sepengetahuan orang lain.
Dalam mengafirkan, orang-orang Khawarij tidak peduli siapa yang dituju. Selama orang itu melakukan maksiat atau dosa-dosa besar selain syirik akan mereka kafirkan juga. Kita akan dapati mereka mengafirkan orangtua sendiri, saudara-saudara kandung, kerabat-kerabat dekat, tetangga, para pegawai kantor pemerintahan, tokoh-tokoh pemerintah setempat, anggota-anggota kepolisian dan tentara, juga presiden serta menteri-menteri di kabinetnya hanya karena alasan itu.
Masuk juga ke dalam ciri pertama ini adalah orang-orang yang menganggap bahwa masyarakat Islam dan dunia sekarang ini kembali ke masa jahiliyah seperti sebelum Muhammad diutus menjadi rasul dulu. Siapa saja yang menganggap masyarakat sekarang adalah masyarakat jahiliyah, maka ia termasuk ke dalam kelompok Khawarij. Di tengah masyarakat kita, siapa pun yang jeli pasti akan dapat mudah menemukan buku-buku, artikel-artikel, tulisan-tulisan, rekaman-rekaman ceramah dan film-film dokumenter yang mewacanakan kejahiliyahan masyarakat sekarang.
Tidak patut untuk dilupakan, karena masuk ke dalam ciri ini, adalah anggapan bahwa di dunia sekarang ini tidak terdapat sama sekali negara-negara muslim atau negara-negara Islam. Mereka yang memiliki anggapan seperti ini akan memvonis dunia sekarang sebagai darul kuffar (wilayah orang-orang kafir, zona kafir) atau darul harbi (kawasan perang).
Terkhusus Indonesia, mereka akan mengatakan, Indonesia adalah negara kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah atau karena menggunakan sistem hukum sekuler dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Itu menjadi anggapan mereka, meski mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim dengan presiden dan wakil presiden negara yang juga muslim dan mengerjakan shalat.
Meski demikian, tidak usah heran pula, jika ternyata ada kelompok-kelompok Khawarij yang menganggap dunia tidak semuanya darul harbi. Alasan mereka, daerah-daerah yang ditempati kelompok-kelompok mereka—meski hanya sekecil Kramat Tunggak di Jakarta Utara, Saritem di Bandung, Sunan Kuning di Semarang atau kawasan Dolly di Surabaya—tetap bisa disebut sebagai darul iman (zona keimanan). Kepada anggota-anggota baru, biasanya, mereka diminta hijrah ke sana.
Siapa saja dari rakyat Indonesia yang beranggapan seperti itu atau ditemukan memiliki anggapan seperti itu, dapat dikatakan sebagai Khawarij sekarang ini atau telah terpengaruh pemahaman Khawarij. Bagaimana pun, anggapan seperti yang dimaksud dapat hinggap pada banyak orang, baik mereka itu aktivis-aktivis partai Islam atau mereka hanya sekedar rakyat biasa yang taat bayar pajak.

Mereka Menentang Pemerintah Kita

Kedua, selain gampang mengafir-ngafirkan, Khawarij di tengah masyarakat kita adalah orang-orang yang amat gampang menuduh pemerintah kita dan aparatnya sebagai orang-orang lalim, kafir, dan antek-antek Salibis-Yahudi. Mereka menjelek-jelekkan pemerintah kita dalam majelis-majelis pengajian mereka, pembicaraan-pembicaraan internal antar mereka, atau sekedar obrolan-obrolan ringan di waktu-waktu senggang mereka.
Mereka juga menyerukan sikap penentangan terhadap pemerintah beserta kebijakan-kebijakannya di tengah masyarakat kita. Orang-orang Khawarij mendakwahkan bahwa kesempurnaan Islam dapat tercapai dengan menggantikan sistem pemerintahan kita dengan sistem pemerintahan Islam (baca: penegakan syariat Islam lewat jalur kekuasaan). Khusus masalah ini, mereka termasuk orang yang gelap-mata dalam berpendapat. Mereka menutup faktor-faktor lain di luar faktor ini sebagai solusi umat.
Di tengah maraknya usaha untuk menjatuhkan citra pemerintah oleh pihak oposan sekarang ini, orang-orang Khawarij ikut menyebarkan semangat menjelek-jelekkan pemerintah itu dengan dalih amar ma’ruf nahi mungkar atas nama umat Islam. Bahkan dapat dikatakan, kebencian mereka terhadap pemerintah kita jauh melebihi kebencian seorang politikus yang berdiri dalam barisan oposisi pemerintah. Dalam istilah mereka, pemerintah beserta jajaran aparatnya adalah thaghut-thagut yang mesti diperangi bersama.
Karena mereka menghafal Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah, tindakan mereka itu selalu dilandasi ayat-ayat atau hadits-hadits tentang jihadamar ma’ruf nahi mungkar, janji-janji surga bagi yang matisyahid (dalam pandangan mereka). Dengan sorot mata yang tajam dan uraian yang berapi-api serta kiasan-kiasan sederhana, mereka sangat fasih membawakan dalil-dalil ancaman bagi siapa pun yang taat terhadap para thaghut (baca: pemerintah kita). Bukan rahasia umum lagi, kiranya, jika orang-orang Khawarij dikenal sebagai orang-orang yang memiliki retorika bicara bagus dan mudah meyakinkan orang lain.
Dalam retorika Khawarij di Indonesia, kata “Iman” lalu “Hijrah” dan “Jihad” (iman, hijrah, jihad) menjadi semacam keyword untuk mengenali orang-orang Khawarij di tengah masyarakat kita. “Hidup mulia atau mati syahid” termasuk slogan yang membakar anggota-anggota muda mereka. “70 bidadari di surga” atau “Para Peminang Bidadari” adalah dorongan yang terus diulang-ulang agar mereka melakukan sebuah aksi berani dalam apa yang mereka sebut sebagai jihad.
Dakwah mereka melulu mengedepankan kata “jihad” dan “mati syahid” ketimbang kata “tauhid dansunnah” atau “akhlak-akhlak karimah”. Kelompok mana pun atau siapa saja yang menjadikankeyword-keyword tersebut sebagai slogan-slogan dalam dakwah masing-masing sekarang ini dapat diidentifikasi sebagai Khawarij atau, setidaknya, orang-orang yang terpengaruh pemahaman Khawarij.
Tentang ajakan untuk bertauhid, orang-orang Khawarij juga, ternyata, mengajarkan tauhid dalam dakwah-dakwah mereka. Bedanya, tauhid orang-orang Khawarij diistilahkan dengan TAUHID MULKIYAH. Dengan itu, mereka memaksudkan bahwa tidak ada hukum selain hukum Allah (inil hukmu illa lillah). Artinya, dalam masalah hukum, menegakkan hukum Islam sebagai hukum negara adalah bagian tauhid yang mesti dilakukan pertama kali.
Karena itulah, bagi mereka, setiap penguasa atau negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah wajib untuk digantikan dengan penguasa atau negara yang berhukum dengan hukum Allah. Kita mafhum sekarang, tauhid mulkiyah adalah dalih utama bagi orang-orang Khawarij untuk memberontak dan mengafirkan penguasa serta para pendukungnya yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Menegakkan tauhid, buat orang-orang Khawarij, adalah menegakkan negara dan hukum Islam meski sambil menebar teror.

Mereka Mengadakan Baiat Kelompok

Ketiga, di antara ciri-ciri mereka di tengah masyarakat kita, orang-orang Khawarij termasuk orang-orang yang mengadakan proses baiat dalam keanggotaan mereka. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah baiat diartikan sebagai proses pengambilan sumpah setia kepada pemimpin atau amir jamaah.
Siapa pun yang direkrut mereka, ia akan menjalani proses pembaiatan dulu. Artinya, untuk bergabung dengan kelompok atau jamaah mereka harus dengan baiat. Baiat terhadap pemimpin kelompok atauamir jamaah itu lebih wajib dilakukan ketimbang baiat kepada SBY dan Boediono, pemimpin legal dalam bernegara dan bermasyarakat di wilayah NKRI kita.
Dalam bentuk yang lebih ekstrim, seperti pada kelompok-kelompok Khawarij, ketaatan mereka hanya pada pemimpin atau amir mereka, bukan pada pemerintah Indonesia dan segenap jajarannya. Terlebih lagi, jika mereka telah menganggap pemerintah kita telah kafir; mereka akan bertekad mempertahankan baiat terhadap pemimpin kelompok mereka yang dalam anggapan mereka adalah satu-satunya pemimpin muslim.
Karena itu, sudah tidak mengherankan lagi, jika orang-orang Khawarij dikenal sebagai warga negara Indonesia yang paling payah. Mereka tidak lapor ke RT atau RW setempat, ketika berkunjung lebih dari 1 x 24 jam atau pindah ke sebuah alamat baru. Mereka enggan mengurusi identitas kewarganegaraan, seperti KTP, Kartu Keluarga, Surat Keterangan Pindah atau sekedar Akte Kelahiran.
Mereka cenderung untuk mangkir dari kewajiban membayar iuran-iuran bersama di lingkungan masing-masing, seperti iuran RT, iuran sampah, iuran ronda, iuran air ledeng, bahkan terkadang iuran listrik. Lebih dari itu, mereka tidak memiliki rasa hormat terhadap aparat-aparat pemerintah di tingkat bawah, mulai dari tingkat RT, RW, kecamatan, sampai tingkat propinsi. Mereka mengistilahkan pemerintah beserta jajarannya itu sebagai thaghut-thaghut yang tidak layak untuk dihormati apalagi ditaati.
Meski demikian, orang-orang Khawarij di tengah masyarakat kita bukan orang-orang tanpa identitas. Mereka bukan pribadi-pribadi anonim yang ketika kita minta identitas diri mereka akan mengatakan tidak punya. Justru sebaliknya, sering kali—kalau mau jeli—kita dapatkan beberapa di antara mereka memiliki identitas ganda.
Pimpinan kelompok Khawarij meminta kepada para anggotanya, terutama yang memiliki peran dan kedudukan penting, untuk memiliki identitas ganda dalam rangka mengelabui masyarakat dan terkhusus aparat. Seorang Khawarij yang telah dianggap sebagai mujahid dan senior bagi anggota-anggota lain, kebanyakan, memiliki KTP lebih dari satu dengan identitas berbeda. Terkadang, beberapa di antara mereka memiliki paspor lebih dari satu dengan identitas yang berbeda pula.
Dalam keadaan seperti itu, terkait dengan ciri mereka yang keempat, jangan bayangkan mereka sebagai laki-laki berjenggot dan berjubah gaya Timur Tengah. Sebaliknya, mereka akan berpenampilan seperti orang-orang kebanyakan; mereka berpenampilan klimis, mengenakan jeans dan kemeja chic. Tidak jarang, rupa mereka tidak jauh berbeda dari mahasiswa-mahasiswa pasca sarjana Universitas Indonesia. (Ingat foto-foto ketika salah satu kelompok mereka merampok Bank CIMB dulu!)
Bagi mereka yang berada di kota-kota kecil dan desa-desa di pulau Jawa, penampilan mereka jauh dari penampilan seorang Jamaah Tabligh, apalagi penampilan seorang Salafi. Mereka dapat merupa penampilan tukang las, penjaja bakso, pedagang beras dan segala keumuman yang tampil di masyarakat.
Adapun mujahid-mujahid mereka yang sedang mengemban misi di Filipina dan Thailand, mereka malah mengenakan anting-anting dan kalung bersalib, rambut dengan potongan skin-head, busana punkies, dan ngedugem di diskotik-diskotik setempat. Mereka nongkrong di bar-bar dalam rangka jihad di negeri kafir.
Mereka baru akan menampakkan identitas keislaman mereka hanya ketika berada dalam tahanan. Dan mereka baru akan seperti itu, ketika kemungkinan untuk menyelamatkan diri dari kejaran aparat dirasa tidak mungkin lagi.
Wajar, jika anggota-anggota mereka yang telah tertangkap pasti terlihat berpenampilan  a la syaikh-syaikh Timur Tengah dalam liputan-liputan tentang mereka di penjara. Mengenakan jubah besar atau gamis khas Pakistan warna putih, abu-abu, biru muda dan kadang hitam, mereka akan membebat kepala-kepala mereka dengan sorban putih atau hanya mengenakan peci-peci putih seperti seorang ustadz pesantren. Jenggot-jenggot mereka baru dibiarkan tumbuh di penjara. Celana-celana panjang mereka akan tergantung di atas matakaki-matakaki mereka. Dalam sorotan kamera stasiun televisi, mereka akan mengacungkan kepal tangan sambil teriak, “Allahu Akbar!”.
Itu semua menunjukkan kegandaan identitas mereka di tengah-tengah masyarakat. Siapa saja yang tidak mau jeli, selalu akan bersikap tidak-habis-pikir ketika salah seorang tetangga di dekatnya ditangkap aparat karena terlibat perencanaan aksi bom bunuh diri di ibukota. Tidak sedikit pula orangtua-orangtua anggota kelompok Khawarij yang tidak menyangka ketika anak-anak berwajah-lugu-dan-alim mereka diciduk aparat suatu hari.

Mereka Punya Tanzhim As-Sirriyah

Keempat, orang-orang Khawarij dengan segala ciri yang telah disebutkan itu menerapkan sistem kerahasiaan dalam kelompok mereka atau tanzhim as-sirriyah. Dalam prakteknya, sistem itu bersifat sangat rahasia dan hanya diketahui oleh lingkaran mereka. Terkadang, anggota-anggota baru tidak mengetahui rahasia-rahasia kelompok yang bersifat pelik. Bahkan, dalam beberapa kasus, jati diri pimpinan kelompok atau amir jamaah dirahasiakan dari anggota-anggota baru.
Karena mereka menerapkan model rekrutmen seperti itu, beberapa pimpinan kelompok Khawarij memberlakukan bentuk sel-sel kecil yang efektif dan aman dijalankan ketika pihak aparat dan masyarakat luas mulai menyadari keberadaan mereka. Untuk sebuah aksi atau hanya sekedar indoktrinasi berkala kepada anggota-anggota baru, sel-sel kecil ini sangat berhasil menjaga kerahasiaan kelompok-kelompok mereka.
Sistem kerahasiaan mereka itu juga berarti ada struktur tersendiri dalam kelompok. Dimaksud struktur di sini, artinya, mereka memiliki jalur-jalur komando instruksi dari atas ke bawah. Pemuncak mereka adalah imam atau amir jamaah. Di bawahnya, ada beberapa jabatan yang akan membantunya menjalankan kelompok. Setiap orang yang duduk dalam jabatan itu memiliki wewenang kepada anggota-anggota di bawah masing-masing.
Dalam bentuk paling ekstrim, struktur mereka itu ada yang menyerupai struktur jabatan kenegaraan. Dengan kata lain, seperti negara dalam negara. Mereka menunjuk seorang imam, sejumlah gubernur, beberapa belas bupati, dan puluhan camat. Masing-masing membawahkan jabatan-jabatan lain, termasuk jabatan-jabatan komandan wilayah yang memegang kesatuan-terlatih mereka.
Mereka menyebarkan struktur ini ke wilayah yang lebih luas dari sekedar propinsi Jawa Tengah. Indonesia, dengan struktur yang mereka susun, akan terbagi-bagi menjadi satuan-satuan wilayah kecil. Mereka membangun satu negara bawah tanah.
Dalam kelompok-kelompok Khawarij tertentu, struktur rahasia yang mereka bentuk itu terhubung langsung dengan struktur besar kelompok Khawarij di Asia Tenggara atau bahkan di Timur Tengah. Dalam rantai struktur ini, garis kebijakan tidak mesti terdapat antara struktur besar di luar dan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan penting, apalagi darurat, dapat diambil oleh imam atau amir setempat tanpa sepengetahuan orang-orang di dalam struktur besar.
Dengan tanzhim as-sirriyah juga, mereka meneruskan hidup. Terkait dengan urusan perkawinan, misalnya, seorang anggota kelompok Khawarij akan mencari pasangan hidup dari kelompok mereka juga. Rahasia-rahasia yang banyak mereka pegang menuntut mereka untuk mencari pasangan hidup seperti itu agar siap memahami, menerima, dan menanggung semuanya. Sebagai istri, seorang wanita dari kelompok Khawarij menyiapkan diri jauh-jauh hari untuk ditinggal pergi suaminya karena ditangkap aparat atau ditinggal mati ketika sedang menjalankan aksi.
Mencari pasangan hidup dari luar kelompok teramat beresiko. Butuh waktu lama dan usaha tidak sedikit untuk meyakinkan siapa pun yang menjadi pasangan hidup itu. Alih-alih, mencari pasangan hidup dari luar kelompok justru dapat menjadi bumerang kelompok berikut jaringan-jaringan yang tersebar. Artinya, bukan sekedar jaringan kelompok terbongkar, tetapi juga menghancurkan masa depan kelompok dan perjuangan yang mereka emban.
Terkait dengan nafkah keluarga, sebagai misal yang lain, sebagian anggota-anggota aktif kelompok Khawarij di Indonesia memiliki rekening-rekening pribadi tempat tunjangan keluarga diterima. Dengan tunjangan itu, mereka tidak mesti pusing ketika tuntutan untuk menafkahi keluarga mengemuka. Rekening-rekening itu akan beralih fungsi sebagai tempat santunan sosial—terlepas dari besar atau kecil jumlah yang ada—buat janda-janda dan anak-anak mereka, ketika mereka tewas dalam aksi.
Dana yang mereka miliki diperoleh lewat donasi. Kelompok-kelompok Khawarij menerima donasi dari pihak-pihak yang bersimpati dengan kegiatan-kegiatan mereka. Di luar donasi, sejumlah uang untuk mendanai aktifitas mereka diperoleh lewat beberapa tindak kriminal, seperti perampokan, pencurian, atau pembobolan rekening bank orang lain. Khusus yang terakhir ini, beberapa anggota kelompok Khawarij memiliki kemampuan hacking di atas rata-rata. Mereka menganggap korban-korban mereka itu sebagai orang-orang kafir dan karena itu mengambil harta termasuk bagian dari jihad mereka.
***
Semua ciri Khawarij yang telah disebutkan tidak akan berarti apa-apa tanpa ciri terakhir, sistem kerahasiaan yang dipegang. Tanzhim as-sirriyah menjadi sebuah tuntutan demi kelangsungan kelompok, tujuan kelompok, dan juga pemahaman kelompok. Jika dibandingkan, sistem kerahasiaan mereka itu lebih ketat dijaga ketimbang sistem kerahasiaan (baca: code red) yang ada di kalangan polisi dan tentara negara kita.
Siapa pun di sekitar kita yang bergabung atau sekedar memiliki hubungan dengan pengajian-pengajian dan kelompok-kelompok Islam dengan ciri-ciri tersebut dapat dimintai keterangan. Kalau betul sedang merencanakan aksi-aksi teror, biasanya, membohongi kita menjadi pilihan-terbaiknya. Paling tidak, mengelak dengan dalih macam-macam. Sebab, bagaimana pun, terorisme di Indonesia sekarang ini lebih bernuansa Khawarij ketimbang aksi teror biasa.[]
Sumber :  http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/21/ciri-ciri-teroris-di-sekitar-kita/

Sumber : kaahil.wordpress.com

0 komentar :

Posting Komentar