Selasa, 03 Januari 2012

Jika kita melihat dan memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi belakangan ini, maka kita akan mendapati sebagian dari kaum muslimin berada dipinggir jalan mencoba mengais rezeki dengan menengadahkan tangannya kepada setiap orang yang melintas. Ini adalah suatu pemandangan yang sangat memilukan hati. Padahal meminta-minta adalah perbuatan yang tercela didalam islam.
Mereka tinggalkan usaha atau berkarya dengan tangan mereka sendiri. Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah menjamin rezeki bagi mereka. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي‎ ‎الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ‏‎ ‎رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ‏‎ ‎مُسْتَقَرَّهَا‎ ‎وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي‎ ‎كِتَابٍ مُبِينٍ
“Tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini melainkan Allahlah yang mengatur rezekinya.” (Hud: 6)
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :
“Seandainya kamu sekalian benar-benar tawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Ia memberi rezeki kepada burung. Di mana burung itu keluar pada waktu pagi dengan perut kosong (lapar), dan pada waktu sore ia kembali dengan perut kenyang.” [HR. At-Tirmidzy (4/2344), Ibnu Majah (2/4164), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/318), dan dia berkata: ”Hadits ini hasan shahih.” Dan disepakati oleh Adz-Dzahaby)]
Dari keterangan ini, maka jelaslah bahwasanya setiap dari kita telah dijamin rezekinya oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- tinggal usaha dari kita untuk mendapatkannya. Karena rezeki tidak turun begitu saja dari langit, akan tetapi dibutuhkan usaha, kesungguhan serta tawakkal yang sempurna. Oleh karena itu, Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- memberikan perumpamaan dengan seekor burung yang keluar dari sarangnya untuk mencari rezeki.
Burung itu tidak tinggal di dalam sarangnya menunggu rezeki yang datang kepadanya. Akan tetapi, dia berusaha dengan terbang kesana kemari untuk mendapatkan makanannya. Dan manusia yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- memberikan banyak fasilitas kepadanya dibandingkan burung (berupa kaki, tangan, hati, dll) maka itu lebih layak baginya untuk berusaha dalam mencari rezekinya. Sebagaimana firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala- :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ‏‎ ‎فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ‏‎ ‎وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ‏‎ ‎اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ‏‎ ‎كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ‏‎ ‎تُفْلِحُونَ
“Apabila sholat telah selesai ditunaikan maka bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi ini dan carilah karunia Allah.” (Al-Jum’ah: 10)
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- sangat menganjurkan agar seorang muslim untuk makan dari hasil usaha sendiri dan menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta dan mengharapkan pemberian dari orang lain. Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:
“Sungguh salah seorang di antara kalian pergi mencari kayu bakar dan dipikulkan ikatan kayu itu di punggungnya, maka itu lebih baik baginya dari pada ia meminta-minta kepada seseorang baik orang itu memberi ataupun tidak memberinya.” [HR. Al-Bukhary (4/2073/Alfath), Muslim (2/zakat/721), dan An-Nasa’y (5/2573), dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-]
Dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :
“Tidak ada seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil usahanya sendiri dan sesungguhnya nabi Allah Daud -’alaihi salaam- makan dari hasil usahanya sendiri.” [HR.Al-Bukhary (4/2072/Al-Fath), Ahmad di dalam Musnadnya (4/131,132), dari sahabat Al-Miqdam bin Ma'dikarib -radhiyallahu anhu-]
Oleh karena itu, hendaknya setiap dari kita untuk menjaga kehormatan dirinya dengan tidak meminta-minta kepada orang lain. Karena sesungguhnya, tidaklah seseorang meminta dari orang lain, kecuali ia menjadi hina dan rendah dalam pandangan orang lain itu.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :
“Tangan yang di atas, itu lebih baik dari pada tangan yang di bawah. Tangan yang di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta-minta.” [HR. Al-Bukhary (3/1429/Al-Fath), dan Muslim (2/zakat/717), dari sahabat Ibnu 'Umar -radhiyallahu anhu-]
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- telah memperingatkan akan bahaya atau balasan terhadap orang yang meminta-minta. Bahwasanya Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
“Seseorang di antara kalian akan selalu meminta-minta sehingga ia nanti bertemu dengan Allah sedangkan mukanya tidak ada daging sama sekali.” [HR. Al-Bukhary (3/1474/Al-Fath) dan Muslim (2/zakat/720), dan Ahmad (2/15) dari sahabat Ibnu 'Umar -radhiyallahu anhu-]
Dan Rasulullah juga bersabda:
“Barangsiapa yang meminta-minta kepada sesama manusia dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, maka sesungguhnya ia meminta bara api. Terserah padanya apakah ia mengumpulkan sedikit saja atau akan memperbanyaknya.” [HR. Muslim (2/zakat/760), Ibnu Majah (2/1737), Ahmad di dalam Musnadnya (2/231), dan Al-Baihaqy dalam Sunannya (4/196), dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-]
Dengan melihat ancaman seperti ini, maka seorang muslim hendaknya takut dan menahan dirinya serta menjaga kehormatannya dari meminta-minta kepada orang lain kecuali dalam keadaan darurat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Qabishah Bin Mukhariq Al-Hilali -radhiyallahu anhu- bahwasanya dia berkata: “Saya memiliki tanggungan (hutang, diat dan sebagainya) lalu saya mendatangi Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- untuk meminta sesuatu kepada beliau -Shollallahu alaihi wa sallam-. Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam-bersabda: “Tinggallah sampai datang kepada kami sedekah, nanti akan kami perintahkan agar dibagikan kepadamu.” Kemudian Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga orang: Pertama, orang yang sedang menanggung beban (denda, hutang, dan sebagainya) maka ia boleh meminta sampai ia melepaskan tanggungan (beban) itu. Kedua, seseorang yang tertimpa kecelakaan/musibah yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh meminta-minta sehingga ia bisa memperoleh kehidupan yang layak. Ketiga, seseorang yang sangat miskin, sehingga disaksikan oleh tiga orang cerdik pandai dari kaumnya bahwa “si fulan benar-benar miskin” maka ia boleh meminta-minta sehingga ia bisa memperoleh kehidupan yang layak. Hai Qabishah, meminta-minta yang selain karena tiga sebab ini maka itu adalah usaha yang haram, dan orang yang memakannya berarti makan barang yang haram.” [HR. Al-Bukhary (3/1479/Al-Fath), dan Muslim (2/zakat/719)]
Saudaraku… kelaparan dan sedikit ibadah lebih baik daripada kamu memakan dari hasil meminta-minta dari orang lain seraya melakukan banyak ibadah.
Asy-Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i –rahimahullah- berkata: “Saya nasehatkan kepada Ahlus Sunnah agar bersabar menghadapi kemiskinan. Karena kemiskinan ini adalah keadaan yang telah dipiihkan oleh Allah untuk Nabinya Muhammad-Shollallahu alaihi wa sallam-. Dan Rabb Yang Maha Perkasa berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan kelaparan jiwa dan buah-buahan dan berikanlah berita kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan inna lillahi wa inna lillahi rajiun mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157)
Perhatikanlah beberapa petikan tentang kesabaran Nabi dan para sahabatnya -radhiyallahu Ta’ala ‘anhum- di dalam menghadapi kemiskinan, kelaparan dan kekurang di dalam pangan (tidak memiliki makanan).
Imam Muslim meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- dia berkata : Pada suatu hari atau malam Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- keluar rumah, tiba-tiba bertemu dengan Abu Bakar dan Umar, lalu beliau berkata: “Apa yang mengeluarkan kalian dari rumah kalian, pada saat seperti ini?” Keduanya menjawab, “Lapar ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, saya juga dikeluarkan oleh yang menyebabkan kalian keluar, bangkitlah!” Lalu keduanya bangkit bersama beliau lalu mendatangi seorang sahabat Anshar. Ternyata dia tidak ada di rumah. Namun ketika istri sahabat tersebut melihat (mereka), dia berkata: “Selamat datang.”
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bertanya kepadanya kemana si fulan? Wanita itu berkata: “Keluar mencari air minum untuk kami.” Kemudian datanglah sahabat Anshar tersebut dan melihat Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- beserta kedua sahabatnya kemudian dia berkata, “Segala puji bagi Allah tidak seorang pun pada hari ini yang tamunya lebih mulia daripada aku.” Kemudian dia pergi dan membawa setandan kurma lengkap, ada busr (kurma muda), tamr (kurma matang) dan ruthab (kurma yang masih basah dia berkata: “Silakan makan.” Setelah itu dia mengambil pisau.
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- menegurnya : “Hati-hati jangan ambil yang sedang menyusui.” Diapun menyembelih seekor kambing. Merekapun makan dari kambing dan setandan kurma dan minum. Setelah kenyang dan hilang dahaga, Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- berkata kepada Abu Bakr dan Umar : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya kalian pasti akan ditanyai tentang kenikmatan ini pada hari kiamat. Rasa lapar telah membuat kalian keluar dari rumah kalian, kemudian kalian tidak pulang kecuali telah menyantap kenikmatan ini.” [HR. Muslim (3/1609)]
Oleh karena itu janganlah engkau berkecil hati dengan kemiskinan yang menimpa dirimu dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah karena sesungguhnya rahmat Allah itu luas maka berusahalah dengan kemampuan yang ada pada dirimu, tentunya dengan cara yang halal dan bersifatlah dengan sifat qona’ah yaitu merasa cukup dengan apa yang ada pada dirimu. Karena sesungguhnya kekayaan itu bukanlah dilihat dari banyaknya harta benda akan tetapi dilihat dari lapangnya dada dalam menerima kondisi kita yang telah diberikan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:
“Bukanlah yang dinamakan kaya itu karena banyak hartanya, tetapi yang dinamakan kaya sebenarnya adalah kekayaan jiwa.” [HR. Al-Bukhari (11/6446/Al-Fath) dan Muslim(2/zakat/726) dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-]
Seorang penyair pernah berkata :
“Sungguh kekayaan itu adalah kaya akan jiwa meski tanpa berbalut baju tanpa beralas kaki, orang tiada puas meski lebih dari sederhana namun bila hati menerima, sebagian saja pun mencukupi.”
Inilah yang dapat kami uraikan dalam masalah tercelanya meminta-minta dari sejumlah ayat Al Qur’an dan Hadits yang shahih agar binasa orang yang memang pantas binasa dengan keterangan yang jelas dan hidup orang yang memang pantas hidup dengan keterangan yang nyata. Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 15 Tahun I.
Lihat: http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/wajah-wajah-tak-berdaging.html

Sumber : yaaukhti.wordpress.com

0 komentar :

Posting Komentar